Saturday, December 29, 2012

Tetesan Air Mata Ibu

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)

         Saat Udin ingin pergi merantau ke Jakarta Ibunya membekali pesan yang akan jadi tumpuan hidup di kampung orang baginya. Ucapan itu yang terdengar di telinganya pagi itu.
         “Din…hati-hati di sana. Raihlah cita-citamu. Jadilah orang yang berguna.” Ia bersalaman dan mencium tangan Ibunya. Sunarti sangat sedih sekali karena Udin adalah anak simata wayang. Ibunya berbisik sedikit terputus dengan isakan tangis kecil yang tak kuat lagi ia tahan.
         “ Oh…Tuhan berilah anakku keselamatan, jadikan ia orang yang berguna nantinya, kabulkanlah apa yang tersirat di benaknya.” Saat itu sang Ibu meneteskan air mata dan mengenai kepala Udin.  
         Sang Ibu terus melihat kepergian anaknya sampai termakan oleh tebalnya

Wednesday, December 26, 2012

Warok Kena Butunya

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)



Disuatu kampung hidup seorang yang sangat disegani karena kehebatan ilmu kanuragannya dan ia juga kebal dari berbagai senjata. Seluruh penduduk takut dan segan padanya, sangking segannya suluruh penduduk setiap berjumpa si centeng itu menegur dengan nama panggilannya “Warok”. Sebab kalau tidak menegur takut bisa dicincang… oleh golok di pinggang si Warok.
Setiap ia mendengar panggilan “Warok”, dengan bangga ia berdehem sambil mengelus kumisnya yang panjang sampai jenggotnya dengan tangan kanan.
Dimanpun penduduk bertemu Warok, mereka harus menyapa dengan “Warok”. Si Warok pun lasung “Ehm…” tangannya mengelus kumis sampai jengkot. Begitulah seterusnya.
Sampai suatu ketika ada seorang remaja sedang berjalan sendiri lewat samping rumah si Warok tersebut. Ia melihat kepala dan setengah badan Warok sedang serius dengan kerjaannya. Si Warok sedang buang air besar rupanya…. WC si Warok memang tidak tertutup semua, dan itu sudah biasa di kampung itu, WC dengan dinding setengah badan. Pemuda itu terlihat bingung, ia mau

Monday, December 24, 2012

Cinta Berdarah

Oleh: Mulyadi Saputra


Beberapa kali ponselku berbunyi, begitu aku berbalik arah, aku teringat akan tugas  yang di berikan oleh Pak Ardi seminggu yang lalu dan harus dikumpul besok. Kubaca satu demi satu sms yang telah masuk, semuanya menanyakan tugas dari Pak Ardi. Ada yang minta dikirim lewat email, sampai ada yang  pesan  sudah jadi alias tau beres. Memang aku terkenal rajin mengerjakan tugas dan kalau tugas seperti itu aku telah selesai beberapa hari yang lalu.
Pagi yang cerah menyambutku dengan sorot matahari yang penuh dengan kehangatan. Aku sengaja berangkat siang supaya mereka yang menunggu hasil tugas saja akan bingun dan cemas.
“Misi...Pak, boleh masuk.?” ucapku sambil

Friday, December 21, 2012

Pak Haji VS Pendeta

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)

                          
Disuatu sore Pak Haji mau pulang dari pengajian. Ia mau naik kendaraan umum.
“Bismillahirrahhmanirrahim”  kata Pak Haji sambil melangkahkan kaki naik keatas bis.
Didalam bis itu ada seorang pendeta yang baru pulang dari gereja pula… dan Pendeta itupun meralat
“Bis kota Pak…” Pak haji diam saja tanpa komentar…
Cuaca hari itu mendung mau hujan. Lalu terlihat kilat petir menyambar. Pendetapun terkejut dan reflek mengucap  “Haleluya…” dengan sigap pula Pak Haji meralat… “Halilintar Pak…”
Ha…ha…ha…ha…

Thursday, December 20, 2012

Orang Pelit

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)



Pak Udin adalah seorang petani dari sumatera yang merantau ke daerah Bandung, ia bertani buah-buahan. Sore itu ia hendak pulang dari kebunnya menuju rumahnya yang tidak jauh dari situ. Sebelum pulang ia memetik mangga karena sedang musim mangga kali itu. Pada saat di jalan ia bertemu dengan penduduk peribumi sedang duduk-duduk ditepi jalan,
Pak Udin              : “Permisi Pak…” ucapnya seraya membungkukkan badan.
Warga                  :   “Mangga...”
Pak Udin              : “Wah… Bapak tahu aja kalau saya bawa mangga” lalu ia memberi beberapa biji kepada orangt-orang tersebut… padahal Mangga dalam bahasa sunda yaitu artinya silahkan… tapi Pak Udin tak tahu artinya karena ia asal Sumatra.
Keesokan harinya ia masih memetik Mangga lagi karena memang musim mangga waktu itu. dan kejadian seperti kemarin terulang lagi. Ia harus bagi-bagi mangga meski tak ikhlas.

Monday, December 3, 2012

Cinta Terjatuhkan

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)

Aku sedang asik membaca sebuah majalah di ruang tamu. Sendirian. Isi majalah beraneka ragam tentunya, dari artikel, kolom, berita, feature, iklan sampai dengan cerpen. Dan sedari tadi aku menghayati cerpen yang mengharukan ini. Mengisahkan sebuah cinta… cinta yang terjatuhkan. Kadang aku tergeleng juga tersenyum sedih…
Cinta… Cinta…. Cinta… siapa yang tak kenal dengan kata yang terdiri dari lima huruf itu. Bahkan sejak TK sudah dikenalkan. Cinta kepada orang tua, teman, saudara, guru, pokonya cinta telah tumbuh sejak lahir sepertinya. Dari zaman kenabianpun telah ada meski mereka tak tahu kalau perasaan itu sekarang diberi nama c-i-n-t-a. Ingat sekali sewaktu kakek mendongengkan kisah anak dari Nabi Adam (Khabil-Khobil) darah manusia yang pertama kali mengalir diakibatkan oleh cinta, yang terus merembet kepada dengki, iri, dan pembunuhan. Ingat pula kisah Nabi Yusuf yang difitnah mau memperkosa sampai dia masuk dalam penjara, dan itu karena cinta juga. Berarti cinta punya banyak mengundang hal-hal negatif, tapi jangan salah… cinta juga dapat mengundang pada hal kebaikan. Karena kita cinta dengan sesama maka ada rasa kasihan dan saling membantu, Iya khan?

Sunday, December 2, 2012

Manusia Jalan

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)


Sliwar-sliwer kendaraan tak pernah ada hentinya dari mulai matahari terbit sampai rembulan tersenyum, terus ada yang menyenangi aspal hitam. Entah apa yang mereka cari dari ngebut sampai pelan-pelan. Tidak mungkin tak ada keperluan penting jika malam hari seperti ini. Lampu jalan terus bercahaya menaungi derasnya arus angin malam. Dingin, sejuk terus menusuk dari kulit dan lubang fori-foriku.
Aku sendiri berjalan menuju rumahku, terlihat anak-anak jalanan sedang asik bercanda dan tawa dengan kabut malam. Liku-liku jalan terus mengarungi bagaikan wahana yang terukir tajam. Lampu lalulintas hanya berkedip kuning saja pertanda “Hati-hati”.

Saturday, December 1, 2012

Bus kota

oleh: Mulyadi Saputra

Bus Kota telah ngetime di terminal yang tidak jauh dari kosku. Aku menuju kesana dan setelah sampai aku langsung naik dengan penuh semangat mencari tempat duduk yang masih terlihat kosong. Aku duduk tepat di tepi jendela samping kanan. Semakin bersesak saja Bus Kota yang lebih dikenal Damri di Kota Kembang. Lebih tersohor dengan kembangnya yang begitu cantik-cantik dan menawan.
Disampingku duduk seorang Ibu setengah baya. Senyum ia padaku. Kugeser sedikit pantatku meski lututku tertumbur kursi yang ada di depanku. Temanku pernah bilang itulah resiko orang tinggi tapi, aku lebih mengikuti pendapat Restu temanku juga ia berpedoman kalau perakit Bus inilah yang salah mengukur jarak kursinya.
Berjalan Bus Kota dengan perlahan-lahan, maklum penumpang yang begitu padat dan umur Bus itu sepertinya lebih tua dariku. Kumulai dari pertama dengan renungan singkat yang tak berarti. Terdengar suara nyanyian dari pengamen yang menghibur dengan harapan mendapat koin sisa pembayaran Bus. Crek…Crek…Cerk bunyi Recehan yang berpusat dari kondektur. Kualungkan tangan yang terselipkan uang sebagai pembayaran.
Keramain kota terlihat dari padatnya pengguna jalan hari itu. Terkadang macet dan terkadang berhenti menurunkan penumpang atau ada penumpang yang naik. Desak-desakan mulai terlihat dari beberapa orang yang tergantung dengan tangan memegang besi melintang diatas kepala. Disalah satu lampu merah, kepadatan kendaraan mulai terjadi. Kulihat mobil-mobil yang pas dibawahku.
Sekejap terlihat mobil Mersi dengan sopir seorang cewek yang tidak begitu cantik, ya..lumayan poin enam pasti diraih, namun mobilnya terlihat mengkilap seperti kumbang yang habis disemir. Aku ingin sekali menggodanya waktu itu. Sampai aku coba membuka jendela Bus yang kutumpangi. Tapi aku berpikir dua kali aku yang naik Bus kota menggoda bermersi ya...tidak levellah.
***

Prinsip Yang Rapuh

"Kerapuhan" Foto: Mulyadi Saputra/objek: Nagrek Indonesia
Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)


Ponsel di tangan kananku terus bergonta-ganti menu aplikasi. Phone Book sampai Game. Tapi bukan mau menelpon atau mau menulis pesan singkat, melainkan ketidakadaan kerjaanku sore yang tak indah ini. Mau sms bingung yang akan kutuju siapa? Bukan karena tak punya pulsa. Mau iseng kepada perempuan rekan kerja di kantor, aku tak suka padanya dan dia juga sama sepertinya. Bisa dibanting ponselnya karena sangking kagetnya dan bakalan menjerit kencang, sampai satu RW datang mengunjungi.
            Masalahnya malam ini malam minggu. Aku tak punya jadwal bercinta dan bahkan sudah lama aku lupa kalau malam yang kulalui itu malam minggu. Telah kuubah menjadi sabtu malam dan malam senin, jadi tak kujumpai malam minggu dalam satu minggu. Padahal kepenatan kerja selama satu minggu seperti ini akan hilang bila punya pujaan hati untuk di ajak bercanda, bercerita, dan bahkan berdebat sekalipun gara-gara pesan menu makanan saat diner. Semua akan mengasikkan. Sering kali aku mendengar cerita dari teman-teman sekantor tentang asiknya melebur kepenatan dengan pacar, istri, anak, pokonya aku menjadi korban pendengar sejati setiap acara cerita itu telah dapat aba-aba “START”.
*

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.