Monday, November 17, 2008

B e r k a r y a ? . . . .



By. Moel
“Hidup tanpa karya adalah mati.”
“Apa setiap penulis dan orang
yang telah sukses oleh karyanya
juga merasakan hal yang sama?....
Dikucilkan?... Atau diberi semangat?...”

Zeptian Tauziek adalah seorang remaja yang ingin berkarya lewat dunia kepenulisan. Ia mulai menulis cerpen, essay sampai dengan novel yang tak selesai-selesai ia garap. Ia merangkap pula menjadi seorang mahasiswa disalah satu PTS yang letaknya di pinggirang kota Bandung. Namun, kendalanya ialah teman-temannya sendiri yang selalu membutanya tak semangat menulis lagi, bukan membuatnya menjadi lebih bersemangat.
“Awas! Ada penulis, n’tar kita jadi bahan tulisan atau bisa jadi bahan inspirasinya yang tidak karuan atau tentang kekacauan kita, maklumlah sang penulis, cerpenis, kolumis, novelis yang ‘nggak jadi! Ha...ha...,” itulah perkataan sahabatnya yang telah terukir dalam di memorinya. Tak hanya itu saja, ketika mereka bercanda juga tak pernah luput untuk menyinggung dan meledek.
Coba kita berpikir sejenak. Mereka melakukan itu ada beberapa faktor kemungkinan, yang pertama, sebenarnya teman-teman kita itu ingin memberi semangat agar kita terbakar untuk berkarya lebih bagus lagi dan lebih banyak . Kedua, mereka merasa iri atau dengki karena mereka tak bisa berkarya seperti kita atau bisa saja ia juga seorang penulis yang takut tersaingi. Ketiga, itu adalah cobaan, apakah kita sanggup untuk berkarya terus atau kita cukup sampai disitu saja? Keempat,mereka ingin menghentikan perbuatan kita.
Ketika seseorang berkarya namun dikucilkan maka, banyak orang yang akan mempertimbangkan untuk berkarya dan menggali bakat. Zeptian sempat berpikir,
“Apa setiap penulis dan orang yang telah sukses oleh karyanya juga merasakan hal yang sama?.... Dikucilkan?... Atau diberi semangat?...” ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak tahu. Salah seorang gurunya dulu pernah memberi pembakar padanya,
“Hidup tanpa karya adalah mati.” Zeptian akhirnya duduk sendiri disebuah kantin depan kampusnya. Ia masih merenung.
Pramoedya Ananta Toer penulis beberapa buku, novel, roman, dan masih banyak yang lainnya. Dia disebut-sebut sebagai sejarawan karna novel dan roman-nya yang terus mengalir tentang sejarah. Namun, dia hampir menghabiskan hidupnya di trali besi alias penjara karna karyanya. Yang masih teringat “Lebih baik diasingkan dari pada menganut kepada kemunafikan,” itulah yang tertulis disalah satu bukunya. Dan Khairil Anwar yang mengatakan dalam bait puisinya “Sekali berarti setelah itu mati,” apa itu juga bisa dibilang jalan hidupnya karena ia telah berarti dengan karyanya lalu ia meninggal? Atau tokoh yang lain seperti Che Guivara yang dikenang setelah ia mati. Dan dalam film Veronica. G, setelah ia tiada di atas buni, baru terlihat perubahan itu? Ah....!
Ketika Zeptian merenung tiba-tiba ia ingat bahwasanya seorang filosofi Yunani rela di hukum pancung karena teorinya. “Apa aku harus menyerah?”
Zeptian pun pulang ke rumah untuk menulis lagi. Baginya perkataan Pram itu adalah perkataan untuk dirinya. Sebenarnya dia bukanlah penulis hebat seperti Pram namun nasibnya kini sama. DIKUCILKAN !.

B u j a n g… B u j a n g…

By: M o e l
Bujang…Bujang…
Dewa menyeru menampar bejana-bejana emas
Apakah Surga tak ada…juga Bidadari dan Akhirat?
Lalu…
Petuah sang Datuk di ujung kubah surau
Lantang tak kira-kira, merebut seluruh gelombang suara
“Tak ada Bidadari di Surga”
Ludahku mencuat!
Sebuah Madrasah dengan logo hati memerah jambu
Seorang budak melempar ranting pohon
Tancap…
“Mirip lambang jodoh”
***
Bujang…Bujang…
Lukislah pelangi di sajadah untuk titian Bidadari
Hantukkan kening di helaiannya
Nantilah… Tunggulah….
“Merpati terbang dengan Bidadari”
Bujang…Bujang…
Kaislah hati Hawa di taman
Hardik Adam meruas-ruas tajam
Lalu…
Kusurungkan lembaran dosa dari kulit kambing
Adam, tuliskan aku doa… agar dapat kupanjatkan untuk Hawa
***
Kubunuh kali ini bilik kanan jantungku
Diantara panas api cerutu kian memendek membakar jemari
“Aku akan tetap menulis seketsa jodoh”
Kumasak teori Filusuf
Katanya harus tanya pada Ustadz
Kali ini dengan Dukun
Katanya harus ada ilmu astrologi
Bujang…bujang…
Keker bintang yang paling benerang
Serdadu dan amunisi telah siap hantarkan nafas dengan picu
“Tekan!”
“Bukan Jodoh”
“Bukan pula Bidadari”
Kini…
Ujung magnetku hampir habis
Setrum nadiku telah melemah
Mereka menghajarku di kepak-kepak kesuraman
Hatiku nyilu bisu di tatap Muhammad dan Aisah
Adam dan Hawa
Laila dan Majnun
Romeo dan Juliet
Terseret di kubah gelap
Aku maki talang yang telah rapuh!

*Bandung, Malam minggu,14 Maret 2008

S e m u t L i a r

By: M o e l
Wahai ....semut-semut liar...
Tidak kah kau sadar
bahwasanya kau telah di gerogoti oleh burung belatuk
Sedikit demi sedikit
sekarang mereka telah berani terang-terangan

Wahai ....semut-semut liar...
Bahwa gula yang kau cari
telah berganti dengan penindasan
Sadarlah kau semut ....
Bangkit, perjuangkan hakmu itu...
Kau jangan malu dan takut
Selagi itu berbau kebenaran

Wahai ....semut-semut liar...
Kau harus dobrak semua
yang akan buatmu sengsara
Tumpas semua kemunafikan
Sekarang kau bangun kekuatanmu
Karna kau terkenal dengan ke kompakanmu
Kau tumbuh dan besar bukan untuk pengecut

Wahai ....semut-semut liar..
Ingat kau generasi yang di dambakan
Jangan tunjukkan kalau kamu itu lemah
Dan kau hanya mau pasrah
dengan segala bentuk penindasan

Wahai ....semut-semut liar...
Aku taruh kepercayaan di pundakmu
(2007)

Kamu Memang Sang Pengecut

Asap mengepul dari kendaraan yang terus lalu-lalang. Meliuk-liuk, mengapung dan berantai keudara. Mungkin esok atau lusa akan menggumpal menjadi mendung dan akan hujan selebat-lebatnya setelah mendung itu terisi penuh oleh air akibat penguapan dari panas sinar matahari. Tapi aku bukan ahli di bidang turun hujan. Bukan pula pawang hujan. Yang bisa mengalihkan hujan dari tempat yang ia inginkan. Aku juga bukan ahli geografi. Bahkan aku tak bisa menebak kapan akan terjadi hujan.
Hari ini memang panas sekali. Mataku sampai berbayang-bayang menguap. Kalau seperti ini aku ingin sekali pulang kampung, karna disana teduh oleh pepohonan, bahkan udaranya lebih asri dan alami. Langkah kaki semakinku cepat, berharap sesegra mungkin dapat terhindar dari sinar matahari siang yang dapat membuat kulit ariku mengelupas. Ah…hitam yang jelas. Aku tak begitu tahu tentang kanker kulit yang biasa dibicarakan oleh para Dokter, katanya akibat sengatan ultrafiolet langsung. Kepalaku pusing.
Tadi di sekolah sorak-sorai teman-teman telah menghilangkan semua jenuhku. Namun setelah aku sampai rumah semuanya menjadi jelas. Aku sedang banyak pikiran. Otakku dipenuhi oleh tugas dari guru alias PR yang menumpuk, tapi tugas hatiku lebih menumpuk. Aku menyukai seorang wanita.
“Ben, kalau kamu ada masalah ngomong dong sama aku. Tahu aja aku bisa bantu,” tadi Lukman mendekatiku saat aku duduk melamun di pinggir tangga dekat kelas. Aku ingin sekali mengatakan sesungguhnya apa yang terjadi. Semuanya semu. Aku malah pergi begitu saja tanpa meninggalkan sedikit sandi bila aku butuh dia. Tapi aku yakin di dunia ini banyak yang mengalami kegelisahan sepertiku.
Pagi-pagi sekali aku berangkat kesekolah. Duduk di pinggir pintu gerbang masuk sekolah. Masih sepi rupanya. Hanya Pak Satpam yang terkantuk-kantuk sebab tadi malam ia habiskan dengan main catur, meladeni tantangan temannya. Ia tak mengajakku ngobrol seperti biasanya. Aku tak mau mengganggunya.
“Ben, sudah lama?” tepuk tangannya menyambut kegirangan pagi yang sebentar lagi akan menyesakkan ruangan kelas.
“Belum, baru aja. Yuk masuk…” namun mataku masih mencuri-curi keluar gerbang sana, berharap bidadari pujaan hatiku datang. Tidak juga rupanya. Aku yakin sebentar lagi akan lewat depan mata bila aku mesih tetap duduk di situ. Tapi aku takut akan terbacanya otakku oleh Lukman.
“Ada apa sih Ben, kamu akhir-akhir ini terus murung, bilang aja sama aku, tau aja aku bisa pecahin masalah kamu,
“Kita kan sudah lama temenan,aku sering banget minta bantuan kamu, jadi kalau aku mau balas budi sama kamu, kan nggak salah, asal kamu cerita masalahmu,” Lukaman terus ngoceh seperti acara TV pagi hari “Kultum” atau “Hikmah Pagi”. Aku tak menjawab.
“Masalah cewek ya?” tawanya cekakakan seakan meledekku habis-habisan. Aku tak merespon.
“Cewek aja bikin pusing…,” tambahnya. Tertawanya seperti kesurupan Mak Lampir atau Nenek Sihir yangkegirangan karena dapat menyihir musuhnya menjadi kodok. Kepalaku kini tak berotasi dengan baik. Tanganku panas, mengepal dan takku sadari aku langsung meremas kerah bajunya,
“Man, aku tak setolol kamu… kalau aku nggak mau cerita, jangan dipaksa,” kudorong kedinding, sampai seluruh siswa yang kepagian datangnya dan masih ngantuk jadi langsung lari mencicit mendekati dan menarikku. Lukman masih terheran-heran sambil jongkok dimana aku mendorongnya tadi. Aku dibawa ke kelasku dan diberi air minum oleh salah seorang siswa yang tak kuketahui kelas berapa dan umurnya berapa, ah…tidak penting.
Aku tak lagi sebangku dengan Lukman. Padahal dia sudah beberapa kali minta maaf denganku. Aku masih kesal. Aku kesal karna yang ia tertawakan itu benar. Dan itulah yang melanda kegelisahan hatiku akhir-akhir ini.
PR atau apapun tak pernah aku kerjakan berdua dengan Lukman. Bahkan tugas kelompok pun aku memisah darinya. Sebenarnya aku bukan benci padanya, aku hanya malu. Malu. Setiap pulang kerumah aku langsung masuk kamar, dan keluar dari persemedian itu saat perutku keroncongan dan saat aku mau berangkat sekolah. Aku habiskan hari-hariku dengan melamun, berhayal, dan main PS sampai stik-nya rusak.
“Tok…Tok…Tok..”
“Tok..Tok…Tok…” aku masih tak mau keluar untuk membukakan pintu. Berharap orang lain dirumah itu yang kan membukanya. Namun, kali ini suara ketukan pintu itu menjadi mendekat. Sekarang bukan di pintu depan melainkan dipintu kamarku.
“Siapa?” teriakku dengan nada yang tak mungkin menerima tamu.
“Ibu”
“Masuk nggak dikunci,”
“Ini ada Lukman,” ujar Ibu setelah berhasil membuka pintu. Tak mungkin aku mengusirnya, pasti Ibuku bakalan menendangku atau menyambukku seperti hukuman sorang ajudan yang berhianat dengan Sang Raja, atau seorang yang telah melakukan perzinaan di Bangsa Arab.
Lukman tanpa disuruh langsung saja masuk. Seperti biasanya, ia memang sering datang kerumah, bahkan menginap.
“Sory…kalau aku mengganggu. Aku cuma mau minta maaf, aku tak bermaksud menyinggung kamu kemarin itu,
“Aku juga nggak mau kalau persahabatan kita sejak SMP ini menjadi pecah cuma karena kesalahanku, tapi aku terkadang masih terheran-heran, biasanya kamu tak sebegitu emosi bila kucandain, dan kita saling mengejek itu sudah hal biasa,” aku masih saja diam sambil berbaring memegang buku komik, baru kemarin kubeli saat ada diskon besar-besaran di toko buku depan sekolah.
Ia langsung duduk di kursi belajarku sambil memilah-milah buku. Berserak, berantakan.
“Ben, sekali lagi aku minta maaf, meski kamu tak mau memaafkan aku, aku tetap menganggap sahabat,” kata-katanya telah diputar-putar sehingga aku ingin sekali tertawa. Aku duduk dan langsung merangkul pundak Lukman. Tersandar.
“Aku juga minta maaf, mungkin itu salahku atau memang salah kita berdua Man,”
***
Kalau saja waktu dapat berhenti sebentar mungkin itu hal yang paling membosankan. Bahkan mungkin itu takkan terfikirkan oleh filusuf manapun. Seperti kalanya persahabatanku dan Lukman. Kini tak seakrab dulu. Cermin yang telah retak takkan kembali seperti semula, dengan perekat dari Negara manapun, tetap terlihat retaknya. Mau disimpan berapa puluh tahunpun takkan kembali seperti semula. Seperti itulah persahabatanku dengan Lukman sekarang ini. Sekarang aku sedang dekat dengan Erwin, ia anak kelas sebelah namun kami sama jurusan Bahasa. Kebetulan pula rumahnya dekat denganku.
Meski aku telah berganti teman namun bidikanku tetap satu. Perempuan cantik adik kelasku itu. Ku berinama Preci. Nama itu sengaja aku berikan padanya karena aku tak tahu namanya dan aku tak berani berkenalan sekalipun. “Preci artinya Perempuan Cantik pujaan hatiku yang tak kuketahui nama aslinya.” Itu yang selalu kuingat saat aku melamun. Kalau sampai dia tahu namanya kuganti, pasti marahnya bukan kepalang.
Malam minggu. Erwin datang kerumah yang telah kuundang sebelumnya. Aku menantangnya main Play Station. Padahal itu hanya bohong-bohonganku saja karena aku telah jenuh sekali memikirkan perempuan itu. Erwin pun datang dengan langkah tegap seperti anggota paskibraka tujuhbelasan di depan kantor Gubenur.
“Masuk Win, santai aja. Eh…langsung ke kamarku aja,”
“Ayo..” matanya mengintari sekeliling rumahku yang mungil, “Tipe 36,” kata Ayahku.
Malam minggu ini sepertinya akan lambat bergulir. Aku sedang kasmaran sepertinya. Namun yang lebih kasihan lagi temanku itu, ia merelakan tidak pergi kerumah pacarnya hanya memenuhi tantanganku untuk main PS. Kurangajar.
“Win, kamu pacaran sama Devi, kamu yang nembak atau dia?” ia malah senyum.
“Aku dong… kan aku cowok, berarti aku yang sepantasnya nembak dia, emang kenapa gitu?” sebenarnya dari dulu yang paling aku takutkan adalah pertanyaan baliknya seperti ini.
“Eng..enggak..enggak kok…nggak kenapa-kenapa,” wajahku telah berlari jauh dari kenyataan.
“Wah…ketahuan…lagi naksir sama seseorang nih…. Sipa tuh..” mukanya penuh meledekku. Aku benar tak kuasa menahan segalanya yang ada di tubuhku. Aku mau kencing, perutku keroncongan sampai aku pengin buang air besar. Aku gugup.
“Iya, Win aku suka sama cewek kelas sebelas IPA 1. aku nggak tau namanya.”
“Kenalan dong….” Erwin semakin tertawa cekikikan mengejekku. Aku kesal sekali dibuatnya.
Aku pura-pura tidur.
“Ah..kamu pengecut,”
Mudah-mudahan aku bermimpi menjadi seorang yang pemberani.
***
Setelah kuhitung-hitung, dari mulai aku melihat Preci sudah empat bulan terakhir. Semua belum berubah. Aku belum tahu siapa nama sebenarnya. Bahkan Erwin membujukku untuk menunjukkan mana perempuan yang aku suka itu, aku tak mau menunjukinya, aku takut dia akan berbuat konyol yang tak aku inginkan. Aku tahu betul dia bukan cowok penakut sepertiku. Kalau sampai ia tahu semua bakalan hancur dan berantakan.
Hari ini pengumuman juara umum tahun ini. semua berbaris rapi mendengarkan MC yang sejak tadi mengoceh. Mataku masih berkeliaran mengelilingi lapangan. Aku mencari-cari sosok cantik itu. Hidungnya yang mancung, matanya yang sayu-sayu tajam, kulitnya yang lembut meski aku belum pernah menyemtuhnya, bibirnya merah seperti habis dikulum. Puah…. Cantik pokoknya.
Setelah di sebutkan berurutan dari kelas Sepuluh kini giliran kelasku, tapi aku tak pernah berharap, karena di kelaspun aku tak pernah mendapatkan juara.
“Juara umum tahun ini untuk kelas sebelas, dari urutan ketiga. Jatuh ketangan Meldiana Rosmini,” gemuruh tepuk tangan meluap-luap dari lapangan itu.
“Dan yang kedua Jatuh pada kelas Sebelas Bahasa 1 yaitu teman kita Fitra Rahmawan….” Temanku yang berkacamata itu tertunduk-tunduk melangkahkan kaki menuju sederetan anak-anak pintar di depan. Dia tak pernah relakan posisi dua itu, sejak kelas satu dulu.
“Dan ini adalah yang paling kita tunggu, pringkat pertama dengan nilai tertinggi. Yaituuuuuuuu Devlia Ratna Pratiwi….” Aku benar-benar tak mengenal nama itu. Namun aku ikut saja bersorak.
“Wah…Preci….” Mataku membulat. Kujelas-jelaskan menatapnya…. “Ia benar,” aku semakin percaya pilihanku tak meleset alias aku tak salah pilih bila suka padanya.
Aku kan ingat nama itu Devlia Ratna Pratiwi.
***
Sepertinya aku harus percaya diri. Aku harus berkenalan dengannya dan aku akan bilang kalau aku suka padanya. Pasti aku berani bila aku sungguh-sungguh. Kalaupun ia menolakku bukan berarti dia langsung benci denganku setidaknya kami bisa berteman. Mudah-mudahan.
Kini aku telah duduk dikelas duabelas. Setelah liburan dan semuanya telah direfres dengan kesantaian libur.
Siang nanti aku akan menunggunya di depan pintu gerbang dan aku akan berkenalan dengannya.
“Woi…lagi nunggu siapa nih…” Lukman rupanya…
“Ah…. Nggak lagi nyantai aja, habis mau pulang panas banget.”
“Aku pulang duluan….” Lukman melejit hilang dengan tumpukan teman-temannya yang lain, kami tak sekelas lagi.
Itu dia, dari jauh pun aku telah paham bagaimana gerak-geriknya. Mataku keram, seluruh persendian darahku berhenti. Aku habis-habisan mengeluarkan keringat.
Pas sampai depanku, semua berlalu lambat. Daun-daun semuanya diam. Bahkan matahari redup seketika. Angin juga tak ada. Aku tetap tak berani mendekatinya. Namun, aku punya alasan kuat mengapa aku tak berani mendekatinya, sebab ia berjalan dengan dua teman lelaki. Pasti ada jalan kalau aku ada kemauan. Aku juga ikut pulang.
***
Semuanya kini berada di laboratorium computer. Mata pelajaran ini seminggu sekali, namun diselang-seling ke laboratoriumnya, jadi bila minggu ini teori maka minggu depan praktek di lab. Guru mata pelajaran ini lucu sekali. Ia sering bercerita yang membuat kocak seluruh siswa.
Setelah ia menerangkan materi ia langsung menyuruh mempraktekkan di computer yang kami hadap masing-masing. Suara lagu mengalun-alun lirih dari speaker aktif di samping computer guru. Lagu itu asing ditelingaku. Tidak rock, tidak pula dangdut khas negriku. Tidak pula R&B, tapi petikan gitarnya santai. Kucermati setiap bait-baitnya.
Harus kuakui bahwa aku pengecut…
Untuk menciummu, juga merabamu…
Namun aku tak takut untuk ucapkan…
Segudang kata cinta padamu…
Mengertilah……
Perempuanku….
Jalan masih teramat jauh…
Mustahil berlabuh…
Bila dayung tak terkayuh …
Aku tanyakan pada Erwin setelah pulang sekolah tentang lagu itu. Rupanya ia hafal benar dari mulai bait pertama sampai habis, bahkan setelah sampai rumahnya, ia memegang gitar, ia juga jago mengiringi lagu itu. Yang kuingat ia memegang grift E terus A dan ….Lagu Iwan Fals judulnya Maaf Cintaku.
Lagu itu yang memboyongku. Berarti orang pengecut sepertiku tidak sendiri. Sepertinya banyak sampai-sampai Iwan Fals menciptakan lagu itu. Tapi aku yakin aku akan dapatkan perempuan itu.
***
Ini sepertinya babak terakhir dari pemburuanku. Sudah enam bulan kuhitung-hitung. Aku harus sanggup mengatakan yang setiap malam kurencanakan. Aku akan tunggu pulang sekolah nanti.
Bel telah berbunyi nyaring…..
Aku berlari menunggu di depan pintu gerbang sekolah. Dengan sekejap aku tunjulkan kepalaku menembus kelasnya. Tak kelihatan. Selang beberapa saat. Seperti biasa, angin yang kencang berhenti, debu yang berkobar-kobar di udara seperti sedang menge-rem. Kendaraan-kendaraan yang lalu-lalang langsung sepi. Keringatku bercucuran tak karuan.
Preci lewat didepanku. Wangi baunya. Kakiku melangkah dengan ringan mengejarnya…
“Devlia….Tunggu….!”
Mataku terpejam menahan malu. Orang disekitarku ingin teriak semua…
Setelah mataku terbuka ia telah tiada. Ia di jemput oleh Ayahnya. Hatiku tak menjadi remuk sedikitpun.
Mungkin suatu saat orang yang mencintaiku akan menampakkan diri.
Mungkin suatu saat orang yang kucintai juga menjadi milikku.
Aku pulang dan menyalakan VCD. Memasukkan kaset yang kemarin kubeli di Kota Kembang,
Ingin kuludahi mukamu yang cantik…
Agar kau mengerti, bahwa kau memang cantik…
Ingin kucongkel keluar, indah matamu…
Agar engkau tahu memang indah matamu….
***
Cibaduyut, 6/6/2008 5:30:19 PM
“Moel”

Cinta yang Sebenarnya

'Senandung Pagi'/Foto: Mulyadi Saputra/Lokasi: Jatiluhur

Oleh: Mulyadi Saputra

Bus Kota telah ngetime di terminal. Tidak jauh dari kosku. Aku menuju kesana, setelah sampai aku langsung naik dengan penuh semangat mencari tempat duduk yang kosong. Aku duduk tepat di tepi jendela samping kanan. Semakin bersesak saja.
Disampingku duduk seorang Ibu setengah baya. Senyum ia padaku. Kugeser sedikit pantatku meski lutut tertumbur kursi di depannya. Temanku pernah bilang itulah resiko orang tinggi tapi, aku lebih setuju pendapat Restu temanku juga, ia berpedoman kalau perakit Bus inilah yang salah mengukur jarak kursinya.
Berjalan Bus Kota dengan perlahan-lahan, maklum penumpang begitu padat dan umur Bus itu sepertinya lebih tua dariku. Kumulai dari pertama dengan renungan singkat yang tak berarti sambil mendengarkan suara nyanyian dari pengamen.
Keramain kota terlihat dari padatnya pengguna jalan hari itu. Sekejap terlihat mobil Mersi dengan sopir seorang perempuan tidak begitu cantik, ya..lumayan poin enam pasti diraih, namun mobilnya terlihat mengkilap seperti kumbang habis disemir. Aku ingin sekali menggodanya waktu itu. Sampai aku coba membuka jendela Bus. Tapi aku berpikir dua kali. Tidak levellah...
***
Lambaian tanganku langsung disambut dengan senyum semringahnya. Wah...bukan main girangnya hati ini. Seperti habis dikasih uang saku tambahan oleh Kakek sewaktu SD dulu. Lambat laun setelah perkenalan kemarin itu, kami menjadi akrab. Sering bertemu, ngobrol, sampai curhatnya yang terus kudengar meski terkadang hilang diterpa oleh suara musik akustik di sebuah kafe.
Tidak mengerti. Cinta entah materi yang merambat. Kami jalin hubungan dengan modal tampang dan materinya. Asas manfaat. Mungkin seperti itu orang bilang. Setiap aku pulang kuliah, selalu menunggu telpon darinya. Syukur-syukur ngajak makan. Soalnya di kos selalu warteg yang menjadi santapan maksimal. Melebihi steak atau makanan lain dari Amerika. Uenak....karena luapar.
Terkadang aku tak paham dengan cinta sejati atau cinta yang sebenarnya. Karena bagiku cinta tidak ada yang sejati kecuali cinta seorang ibu terhadap anaknya atau sebaliknya. Lihat dan rasakan cinta yang sebenarnya. Cinta karena dia cantik/ganteng. Cinta karena dia baik. Cinta karena dia kaya. Cinta kerena dia...dan dia.... entahlah....
Hampir sebulan lamanya kami telah merakit hati, berlabuh dan terkadang diterpa badai. Sampai saatnya rakitan hati kami kandas disebuah sungi. Putus!. Ia tahu dengan kelakuanku. Asas manfaat yang membuat jaringan otaknya mengejang. Digit nomor di tabungannya mengecil. Aku memang bajingan.
Seminggu lamanya aku menunggu ponselku berdering dengan tulisan namanya dilayar. Aku menyesal. Entah apa yang mengilhamiku sehingga aku dapat berubah fikiran. Otakku telah terkuras habis menurunkan rakitan agar berlayar kembali. Mungkin ini yang dimakan cinta yang sebenarnya. Benar kata orang tua dulu, ”Jangan main api kalau takut kebakar.” aku benar-benar jatuh cinta padanya. Namun semua telah hanyut diterpa arus pasang laut.
***
Bus Kota berhenti. Memang disitu tempat terakhir jurusan. Semua penumpang turun, Tertinggal aku, kondektur dan sopir.
”Mas...Mas...Udah habis Mas...” kondektur itu menepuk pundakku seraya memberitahu. Aku malah menyingkirkan tangannya. Terlihat rancu sekali mukaku. Penuh dengan nada sedih, tersandar di jendela kaca Bus itu. Tertawa sang sopir melihatku.
”Coy....memang enak naik Bus..bisa ngelamun sepuasnya.” kata sang sopir meledekku. Tapi aku masih belum sadar dan tak mendengarnya. Kembali Kondektur itu membangunkan aku dari lamunan. Kali ini usahanya sukses. Aku begitu terkejut.
”Wah...aku dimana..?” cemas aku dibuatnya. Belum pernah sama sekali mengambah wilayah itu. Kondektur dan sopir tertawa terbahak-bahak. Brengsek ....! rupaya cuma hayalan.
”Mas mau kemana..?” kembali bertanya sopir itu padaku saat aku mulai melangkahkan kaki untuk turun dari Bus Kota yang telah membawaku ke alam hayal. Namun tak kujawab. Aku malu pada mereka. Ini benar adanya, layarku nyasar.
***
malam rabu, 2008-04-29

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.