Asap mengepul dari kendaraan yang terus lalu-lalang. Meliuk-liuk, mengapung dan berantai keudara. Mungkin esok atau lusa akan menggumpal menjadi mendung dan akan hujan selebat-lebatnya setelah mendung itu terisi penuh oleh air akibat penguapan dari panas sinar matahari. Tapi aku bukan ahli di bidang turun hujan. Bukan pula pawang hujan. Yang bisa mengalihkan hujan dari tempat yang ia inginkan. Aku juga bukan ahli geografi. Bahkan aku tak bisa menebak kapan akan terjadi hujan.
Hari ini memang panas sekali. Mataku sampai berbayang-bayang menguap. Kalau seperti ini aku ingin sekali pulang kampung, karna disana teduh oleh pepohonan, bahkan udaranya lebih asri dan alami. Langkah kaki semakinku cepat, berharap sesegra mungkin dapat terhindar dari sinar matahari siang yang dapat membuat kulit ariku mengelupas. Ah…hitam yang jelas. Aku tak begitu tahu tentang kanker kulit yang biasa dibicarakan oleh para Dokter, katanya akibat sengatan ultrafiolet langsung. Kepalaku pusing.
Tadi di sekolah sorak-sorai teman-teman telah menghilangkan semua jenuhku. Namun setelah aku sampai rumah semuanya menjadi jelas. Aku sedang banyak pikiran. Otakku dipenuhi oleh tugas dari guru alias PR yang menumpuk, tapi tugas hatiku lebih menumpuk. Aku menyukai seorang wanita.
“Ben, kalau kamu ada masalah ngomong dong sama aku. Tahu aja aku bisa bantu,” tadi Lukman mendekatiku saat aku duduk melamun di pinggir tangga dekat kelas. Aku ingin sekali mengatakan sesungguhnya apa yang terjadi. Semuanya semu. Aku malah pergi begitu saja tanpa meninggalkan sedikit sandi bila aku butuh dia. Tapi aku yakin di dunia ini banyak yang mengalami kegelisahan sepertiku.
Pagi-pagi sekali aku berangkat kesekolah. Duduk di pinggir pintu gerbang masuk sekolah. Masih sepi rupanya. Hanya Pak Satpam yang terkantuk-kantuk sebab tadi malam ia habiskan dengan main catur, meladeni tantangan temannya. Ia tak mengajakku ngobrol seperti biasanya. Aku tak mau mengganggunya.
“Ben, sudah lama?” tepuk tangannya menyambut kegirangan pagi yang sebentar lagi akan menyesakkan ruangan kelas.
“Belum, baru aja. Yuk masuk…” namun mataku masih mencuri-curi keluar gerbang sana, berharap bidadari pujaan hatiku datang. Tidak juga rupanya. Aku yakin sebentar lagi akan lewat depan mata bila aku mesih tetap duduk di situ. Tapi aku takut akan terbacanya otakku oleh Lukman.
“Ada apa sih Ben, kamu akhir-akhir ini terus murung, bilang aja sama aku, tau aja aku bisa pecahin masalah kamu,
“Kita kan sudah lama temenan,aku sering banget minta bantuan kamu, jadi kalau aku mau balas budi sama kamu, kan nggak salah, asal kamu cerita masalahmu,” Lukaman terus ngoceh seperti acara TV pagi hari “Kultum” atau “Hikmah Pagi”. Aku tak menjawab.
“Masalah cewek ya?” tawanya cekakakan seakan meledekku habis-habisan. Aku tak merespon.
“Cewek aja bikin pusing…,” tambahnya. Tertawanya seperti kesurupan Mak Lampir atau Nenek Sihir yangkegirangan karena dapat menyihir musuhnya menjadi kodok. Kepalaku kini tak berotasi dengan baik. Tanganku panas, mengepal dan takku sadari aku langsung meremas kerah bajunya,
“Man, aku tak setolol kamu… kalau aku nggak mau cerita, jangan dipaksa,” kudorong kedinding, sampai seluruh siswa yang kepagian datangnya dan masih ngantuk jadi langsung lari mencicit mendekati dan menarikku. Lukman masih terheran-heran sambil jongkok dimana aku mendorongnya tadi. Aku dibawa ke kelasku dan diberi air minum oleh salah seorang siswa yang tak kuketahui kelas berapa dan umurnya berapa, ah…tidak penting.
Aku tak lagi sebangku dengan Lukman. Padahal dia sudah beberapa kali minta maaf denganku. Aku masih kesal. Aku kesal karna yang ia tertawakan itu benar. Dan itulah yang melanda kegelisahan hatiku akhir-akhir ini.
PR atau apapun tak pernah aku kerjakan berdua dengan Lukman. Bahkan tugas kelompok pun aku memisah darinya. Sebenarnya aku bukan benci padanya, aku hanya malu. Malu. Setiap pulang kerumah aku langsung masuk kamar, dan keluar dari persemedian itu saat perutku keroncongan dan saat aku mau berangkat sekolah. Aku habiskan hari-hariku dengan melamun, berhayal, dan main PS sampai stik-nya rusak.
“Tok…Tok…Tok..”
“Tok..Tok…Tok…” aku masih tak mau keluar untuk membukakan pintu. Berharap orang lain dirumah itu yang kan membukanya. Namun, kali ini suara ketukan pintu itu menjadi mendekat. Sekarang bukan di pintu depan melainkan dipintu kamarku.
“Siapa?” teriakku dengan nada yang tak mungkin menerima tamu.
“Ibu”
“Masuk nggak dikunci,”
“Ini ada Lukman,” ujar Ibu setelah berhasil membuka pintu. Tak mungkin aku mengusirnya, pasti Ibuku bakalan menendangku atau menyambukku seperti hukuman sorang ajudan yang berhianat dengan Sang Raja, atau seorang yang telah melakukan perzinaan di Bangsa Arab.
Lukman tanpa disuruh langsung saja masuk. Seperti biasanya, ia memang sering datang kerumah, bahkan menginap.
“Sory…kalau aku mengganggu. Aku cuma mau minta maaf, aku tak bermaksud menyinggung kamu kemarin itu,
“Aku juga nggak mau kalau persahabatan kita sejak SMP ini menjadi pecah cuma karena kesalahanku, tapi aku terkadang masih terheran-heran, biasanya kamu tak sebegitu emosi bila kucandain, dan kita saling mengejek itu sudah hal biasa,” aku masih saja diam sambil berbaring memegang buku komik, baru kemarin kubeli saat ada diskon besar-besaran di toko buku depan sekolah.
Ia langsung duduk di kursi belajarku sambil memilah-milah buku. Berserak, berantakan.
“Ben, sekali lagi aku minta maaf, meski kamu tak mau memaafkan aku, aku tetap menganggap sahabat,” kata-katanya telah diputar-putar sehingga aku ingin sekali tertawa. Aku duduk dan langsung merangkul pundak Lukman. Tersandar.
“Aku juga minta maaf, mungkin itu salahku atau memang salah kita berdua Man,”
***
Kalau saja waktu dapat berhenti sebentar mungkin itu hal yang paling membosankan. Bahkan mungkin itu takkan terfikirkan oleh filusuf manapun. Seperti kalanya persahabatanku dan Lukman. Kini tak seakrab dulu. Cermin yang telah retak takkan kembali seperti semula, dengan perekat dari Negara manapun, tetap terlihat retaknya. Mau disimpan berapa puluh tahunpun takkan kembali seperti semula. Seperti itulah persahabatanku dengan Lukman sekarang ini. Sekarang aku sedang dekat dengan Erwin, ia anak kelas sebelah namun kami sama jurusan Bahasa. Kebetulan pula rumahnya dekat denganku.
Meski aku telah berganti teman namun bidikanku tetap satu. Perempuan cantik adik kelasku itu. Ku berinama Preci. Nama itu sengaja aku berikan padanya karena aku tak tahu namanya dan aku tak berani berkenalan sekalipun. “Preci artinya Perempuan Cantik pujaan hatiku yang tak kuketahui nama aslinya.” Itu yang selalu kuingat saat aku melamun. Kalau sampai dia tahu namanya kuganti, pasti marahnya bukan kepalang.
Malam minggu. Erwin datang kerumah yang telah kuundang sebelumnya. Aku menantangnya main Play Station. Padahal itu hanya bohong-bohonganku saja karena aku telah jenuh sekali memikirkan perempuan itu. Erwin pun datang dengan langkah tegap seperti anggota paskibraka tujuhbelasan di depan kantor Gubenur.
“Masuk Win, santai aja. Eh…langsung ke kamarku aja,”
“Ayo..” matanya mengintari sekeliling rumahku yang mungil, “Tipe 36,” kata Ayahku.
Malam minggu ini sepertinya akan lambat bergulir. Aku sedang kasmaran sepertinya. Namun yang lebih kasihan lagi temanku itu, ia merelakan tidak pergi kerumah pacarnya hanya memenuhi tantanganku untuk main PS. Kurangajar.
“Win, kamu pacaran sama Devi, kamu yang nembak atau dia?” ia malah senyum.
“Aku dong… kan aku cowok, berarti aku yang sepantasnya nembak dia, emang kenapa gitu?” sebenarnya dari dulu yang paling aku takutkan adalah pertanyaan baliknya seperti ini.
“Eng..enggak..enggak kok…nggak kenapa-kenapa,” wajahku telah berlari jauh dari kenyataan.
“Wah…ketahuan…lagi naksir sama seseorang nih…. Sipa tuh..” mukanya penuh meledekku. Aku benar tak kuasa menahan segalanya yang ada di tubuhku. Aku mau kencing, perutku keroncongan sampai aku pengin buang air besar. Aku gugup.
“Iya, Win aku suka sama cewek kelas sebelas IPA 1. aku nggak tau namanya.”
“Kenalan dong….” Erwin semakin tertawa cekikikan mengejekku. Aku kesal sekali dibuatnya.
Aku pura-pura tidur.
“Ah..kamu pengecut,”
Mudah-mudahan aku bermimpi menjadi seorang yang pemberani.
***
Setelah kuhitung-hitung, dari mulai aku melihat Preci sudah empat bulan terakhir. Semua belum berubah. Aku belum tahu siapa nama sebenarnya. Bahkan Erwin membujukku untuk menunjukkan mana perempuan yang aku suka itu, aku tak mau menunjukinya, aku takut dia akan berbuat konyol yang tak aku inginkan. Aku tahu betul dia bukan cowok penakut sepertiku. Kalau sampai ia tahu semua bakalan hancur dan berantakan.
Hari ini pengumuman juara umum tahun ini. semua berbaris rapi mendengarkan MC yang sejak tadi mengoceh. Mataku masih berkeliaran mengelilingi lapangan. Aku mencari-cari sosok cantik itu. Hidungnya yang mancung, matanya yang sayu-sayu tajam, kulitnya yang lembut meski aku belum pernah menyemtuhnya, bibirnya merah seperti habis dikulum. Puah…. Cantik pokoknya.
Setelah di sebutkan berurutan dari kelas Sepuluh kini giliran kelasku, tapi aku tak pernah berharap, karena di kelaspun aku tak pernah mendapatkan juara.
“Juara umum tahun ini untuk kelas sebelas, dari urutan ketiga. Jatuh ketangan Meldiana Rosmini,” gemuruh tepuk tangan meluap-luap dari lapangan itu.
“Dan yang kedua Jatuh pada kelas Sebelas Bahasa 1 yaitu teman kita Fitra Rahmawan….” Temanku yang berkacamata itu tertunduk-tunduk melangkahkan kaki menuju sederetan anak-anak pintar di depan. Dia tak pernah relakan posisi dua itu, sejak kelas satu dulu.
“Dan ini adalah yang paling kita tunggu, pringkat pertama dengan nilai tertinggi. Yaituuuuuuuu Devlia Ratna Pratiwi….” Aku benar-benar tak mengenal nama itu. Namun aku ikut saja bersorak.
“Wah…Preci….” Mataku membulat. Kujelas-jelaskan menatapnya…. “Ia benar,” aku semakin percaya pilihanku tak meleset alias aku tak salah pilih bila suka padanya.
Aku kan ingat nama itu Devlia Ratna Pratiwi.
***
Sepertinya aku harus percaya diri. Aku harus berkenalan dengannya dan aku akan bilang kalau aku suka padanya. Pasti aku berani bila aku sungguh-sungguh. Kalaupun ia menolakku bukan berarti dia langsung benci denganku setidaknya kami bisa berteman. Mudah-mudahan.
Kini aku telah duduk dikelas duabelas. Setelah liburan dan semuanya telah direfres dengan kesantaian libur.
Siang nanti aku akan menunggunya di depan pintu gerbang dan aku akan berkenalan dengannya.
“Woi…lagi nunggu siapa nih…” Lukman rupanya…
“Ah…. Nggak lagi nyantai aja, habis mau pulang panas banget.”
“Aku pulang duluan….” Lukman melejit hilang dengan tumpukan teman-temannya yang lain, kami tak sekelas lagi.
Itu dia, dari jauh pun aku telah paham bagaimana gerak-geriknya. Mataku keram, seluruh persendian darahku berhenti. Aku habis-habisan mengeluarkan keringat.
Pas sampai depanku, semua berlalu lambat. Daun-daun semuanya diam. Bahkan matahari redup seketika. Angin juga tak ada. Aku tetap tak berani mendekatinya. Namun, aku punya alasan kuat mengapa aku tak berani mendekatinya, sebab ia berjalan dengan dua teman lelaki. Pasti ada jalan kalau aku ada kemauan. Aku juga ikut pulang.
***
Semuanya kini berada di laboratorium computer. Mata pelajaran ini seminggu sekali, namun diselang-seling ke laboratoriumnya, jadi bila minggu ini teori maka minggu depan praktek di lab. Guru mata pelajaran ini lucu sekali. Ia sering bercerita yang membuat kocak seluruh siswa.
Setelah ia menerangkan materi ia langsung menyuruh mempraktekkan di computer yang kami hadap masing-masing. Suara lagu mengalun-alun lirih dari speaker aktif di samping computer guru. Lagu itu asing ditelingaku. Tidak rock, tidak pula dangdut khas negriku. Tidak pula R&B, tapi petikan gitarnya santai. Kucermati setiap bait-baitnya.
Harus kuakui bahwa aku pengecut…
Untuk menciummu, juga merabamu…
Namun aku tak takut untuk ucapkan…
Segudang kata cinta padamu…
Mengertilah……
Perempuanku….
Jalan masih teramat jauh…
Mustahil berlabuh…
Bila dayung tak terkayuh …
Aku tanyakan pada Erwin setelah pulang sekolah tentang lagu itu. Rupanya ia hafal benar dari mulai bait pertama sampai habis, bahkan setelah sampai rumahnya, ia memegang gitar, ia juga jago mengiringi lagu itu. Yang kuingat ia memegang grift E terus A dan ….Lagu Iwan Fals judulnya Maaf Cintaku.
Lagu itu yang memboyongku. Berarti orang pengecut sepertiku tidak sendiri. Sepertinya banyak sampai-sampai Iwan Fals menciptakan lagu itu. Tapi aku yakin aku akan dapatkan perempuan itu.
***
Ini sepertinya babak terakhir dari pemburuanku. Sudah enam bulan kuhitung-hitung. Aku harus sanggup mengatakan yang setiap malam kurencanakan. Aku akan tunggu pulang sekolah nanti.
Bel telah berbunyi nyaring…..
Aku berlari menunggu di depan pintu gerbang sekolah. Dengan sekejap aku tunjulkan kepalaku menembus kelasnya. Tak kelihatan. Selang beberapa saat. Seperti biasa, angin yang kencang berhenti, debu yang berkobar-kobar di udara seperti sedang menge-rem. Kendaraan-kendaraan yang lalu-lalang langsung sepi. Keringatku bercucuran tak karuan.
Preci lewat didepanku. Wangi baunya. Kakiku melangkah dengan ringan mengejarnya…
“Devlia….Tunggu….!”
Mataku terpejam menahan malu. Orang disekitarku ingin teriak semua…
Setelah mataku terbuka ia telah tiada. Ia di jemput oleh Ayahnya. Hatiku tak menjadi remuk sedikitpun.
Mungkin suatu saat orang yang mencintaiku akan menampakkan diri.
Mungkin suatu saat orang yang kucintai juga menjadi milikku.
Aku pulang dan menyalakan VCD. Memasukkan kaset yang kemarin kubeli di Kota Kembang,
Ingin kuludahi mukamu yang cantik…
Agar kau mengerti, bahwa kau memang cantik…
Ingin kucongkel keluar, indah matamu…
Agar engkau tahu memang indah matamu….
***
Cibaduyut, 6/6/2008 5:30:19 PM
“Moel”