![]() |
'Senandung Pagi'/Foto: Mulyadi Saputra/Lokasi: Jatiluhur |
Oleh: Mulyadi Saputra
Bus Kota telah ngetime di terminal. Tidak jauh dari kosku. Aku menuju kesana, setelah sampai aku langsung naik dengan penuh semangat mencari tempat duduk yang kosong. Aku duduk tepat di tepi jendela samping kanan. Semakin bersesak saja.
Disampingku duduk seorang Ibu setengah baya. Senyum ia padaku. Kugeser sedikit pantatku meski lutut tertumbur kursi di depannya. Temanku pernah bilang itulah resiko orang tinggi tapi, aku lebih setuju pendapat Restu temanku juga, ia berpedoman kalau perakit Bus inilah yang salah mengukur jarak kursinya.
Berjalan Bus Kota dengan perlahan-lahan, maklum penumpang begitu padat dan umur Bus itu sepertinya lebih tua dariku. Kumulai dari pertama dengan renungan singkat yang tak berarti sambil mendengarkan suara nyanyian dari pengamen.
Keramain kota terlihat dari padatnya pengguna jalan hari itu. Sekejap terlihat mobil Mersi dengan sopir seorang perempuan tidak begitu cantik, ya..lumayan poin enam pasti diraih, namun mobilnya terlihat mengkilap seperti kumbang habis disemir. Aku ingin sekali menggodanya waktu itu. Sampai aku coba membuka jendela Bus. Tapi aku berpikir dua kali. Tidak levellah...
***
Lambaian tanganku langsung disambut dengan senyum semringahnya. Wah...bukan main girangnya hati ini. Seperti habis dikasih uang saku tambahan oleh Kakek sewaktu SD dulu. Lambat laun setelah perkenalan kemarin itu, kami menjadi akrab. Sering bertemu, ngobrol, sampai curhatnya yang terus kudengar meski terkadang hilang diterpa oleh suara musik akustik di sebuah kafe.
Tidak mengerti. Cinta entah materi yang merambat. Kami jalin hubungan dengan modal tampang dan materinya. Asas manfaat. Mungkin seperti itu orang bilang. Setiap aku pulang kuliah, selalu menunggu telpon darinya. Syukur-syukur ngajak makan. Soalnya di kos selalu warteg yang menjadi santapan maksimal. Melebihi steak atau makanan lain dari Amerika. Uenak....karena luapar.
Terkadang aku tak paham dengan cinta sejati atau cinta yang sebenarnya. Karena bagiku cinta tidak ada yang sejati kecuali cinta seorang ibu terhadap anaknya atau sebaliknya. Lihat dan rasakan cinta yang sebenarnya. Cinta karena dia cantik/ganteng. Cinta karena dia baik. Cinta karena dia kaya. Cinta kerena dia...dan dia.... entahlah....
Hampir sebulan lamanya kami telah merakit hati, berlabuh dan terkadang diterpa badai. Sampai saatnya rakitan hati kami kandas disebuah sungi. Putus!. Ia tahu dengan kelakuanku. Asas manfaat yang membuat jaringan otaknya mengejang. Digit nomor di tabungannya mengecil. Aku memang bajingan.
Seminggu lamanya aku menunggu ponselku berdering dengan tulisan namanya dilayar. Aku menyesal. Entah apa yang mengilhamiku sehingga aku dapat berubah fikiran. Otakku telah terkuras habis menurunkan rakitan agar berlayar kembali. Mungkin ini yang dimakan cinta yang sebenarnya. Benar kata orang tua dulu, ”Jangan main api kalau takut kebakar.” aku benar-benar jatuh cinta padanya. Namun semua telah hanyut diterpa arus pasang laut.
***
Bus Kota berhenti. Memang disitu tempat terakhir jurusan. Semua penumpang turun, Tertinggal aku, kondektur dan sopir.
”Mas...Mas...Udah habis Mas...” kondektur itu menepuk pundakku seraya memberitahu. Aku malah menyingkirkan tangannya. Terlihat rancu sekali mukaku. Penuh dengan nada sedih, tersandar di jendela kaca Bus itu. Tertawa sang sopir melihatku.
”Coy....memang enak naik Bus..bisa ngelamun sepuasnya.” kata sang sopir meledekku. Tapi aku masih belum sadar dan tak mendengarnya. Kembali Kondektur itu membangunkan aku dari lamunan. Kali ini usahanya sukses. Aku begitu terkejut.
”Wah...aku dimana..?” cemas aku dibuatnya. Belum pernah sama sekali mengambah wilayah itu. Kondektur dan sopir tertawa terbahak-bahak. Brengsek ....! rupaya cuma hayalan.
”Mas mau kemana..?” kembali bertanya sopir itu padaku saat aku mulai melangkahkan kaki untuk turun dari Bus Kota yang telah membawaku ke alam hayal. Namun tak kujawab. Aku malu pada mereka. Ini benar adanya, layarku nyasar.
***
malam rabu, 2008-04-29
No comments:
Post a Comment