Monday, November 17, 2008

Cinta yang Sebenarnya

'Senandung Pagi'/Foto: Mulyadi Saputra/Lokasi: Jatiluhur

Oleh: Mulyadi Saputra

Bus Kota telah ngetime di terminal. Tidak jauh dari kosku. Aku menuju kesana, setelah sampai aku langsung naik dengan penuh semangat mencari tempat duduk yang kosong. Aku duduk tepat di tepi jendela samping kanan. Semakin bersesak saja.
Disampingku duduk seorang Ibu setengah baya. Senyum ia padaku. Kugeser sedikit pantatku meski lutut tertumbur kursi di depannya. Temanku pernah bilang itulah resiko orang tinggi tapi, aku lebih setuju pendapat Restu temanku juga, ia berpedoman kalau perakit Bus inilah yang salah mengukur jarak kursinya.
Berjalan Bus Kota dengan perlahan-lahan, maklum penumpang begitu padat dan umur Bus itu sepertinya lebih tua dariku. Kumulai dari pertama dengan renungan singkat yang tak berarti sambil mendengarkan suara nyanyian dari pengamen.
Keramain kota terlihat dari padatnya pengguna jalan hari itu. Sekejap terlihat mobil Mersi dengan sopir seorang perempuan tidak begitu cantik, ya..lumayan poin enam pasti diraih, namun mobilnya terlihat mengkilap seperti kumbang habis disemir. Aku ingin sekali menggodanya waktu itu. Sampai aku coba membuka jendela Bus. Tapi aku berpikir dua kali. Tidak levellah...
***
Lambaian tanganku langsung disambut dengan senyum semringahnya. Wah...bukan main girangnya hati ini. Seperti habis dikasih uang saku tambahan oleh Kakek sewaktu SD dulu. Lambat laun setelah perkenalan kemarin itu, kami menjadi akrab. Sering bertemu, ngobrol, sampai curhatnya yang terus kudengar meski terkadang hilang diterpa oleh suara musik akustik di sebuah kafe.
Tidak mengerti. Cinta entah materi yang merambat. Kami jalin hubungan dengan modal tampang dan materinya. Asas manfaat. Mungkin seperti itu orang bilang. Setiap aku pulang kuliah, selalu menunggu telpon darinya. Syukur-syukur ngajak makan. Soalnya di kos selalu warteg yang menjadi santapan maksimal. Melebihi steak atau makanan lain dari Amerika. Uenak....karena luapar.
Terkadang aku tak paham dengan cinta sejati atau cinta yang sebenarnya. Karena bagiku cinta tidak ada yang sejati kecuali cinta seorang ibu terhadap anaknya atau sebaliknya. Lihat dan rasakan cinta yang sebenarnya. Cinta karena dia cantik/ganteng. Cinta karena dia baik. Cinta karena dia kaya. Cinta kerena dia...dan dia.... entahlah....
Hampir sebulan lamanya kami telah merakit hati, berlabuh dan terkadang diterpa badai. Sampai saatnya rakitan hati kami kandas disebuah sungi. Putus!. Ia tahu dengan kelakuanku. Asas manfaat yang membuat jaringan otaknya mengejang. Digit nomor di tabungannya mengecil. Aku memang bajingan.
Seminggu lamanya aku menunggu ponselku berdering dengan tulisan namanya dilayar. Aku menyesal. Entah apa yang mengilhamiku sehingga aku dapat berubah fikiran. Otakku telah terkuras habis menurunkan rakitan agar berlayar kembali. Mungkin ini yang dimakan cinta yang sebenarnya. Benar kata orang tua dulu, ”Jangan main api kalau takut kebakar.” aku benar-benar jatuh cinta padanya. Namun semua telah hanyut diterpa arus pasang laut.
***
Bus Kota berhenti. Memang disitu tempat terakhir jurusan. Semua penumpang turun, Tertinggal aku, kondektur dan sopir.
”Mas...Mas...Udah habis Mas...” kondektur itu menepuk pundakku seraya memberitahu. Aku malah menyingkirkan tangannya. Terlihat rancu sekali mukaku. Penuh dengan nada sedih, tersandar di jendela kaca Bus itu. Tertawa sang sopir melihatku.
”Coy....memang enak naik Bus..bisa ngelamun sepuasnya.” kata sang sopir meledekku. Tapi aku masih belum sadar dan tak mendengarnya. Kembali Kondektur itu membangunkan aku dari lamunan. Kali ini usahanya sukses. Aku begitu terkejut.
”Wah...aku dimana..?” cemas aku dibuatnya. Belum pernah sama sekali mengambah wilayah itu. Kondektur dan sopir tertawa terbahak-bahak. Brengsek ....! rupaya cuma hayalan.
”Mas mau kemana..?” kembali bertanya sopir itu padaku saat aku mulai melangkahkan kaki untuk turun dari Bus Kota yang telah membawaku ke alam hayal. Namun tak kujawab. Aku malu pada mereka. Ini benar adanya, layarku nyasar.
***
malam rabu, 2008-04-29

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.