Tuesday, December 30, 2008

Kode Etik Jurnalistik, Etika Komunikasi, dan KPI Sebagai Alat Sensor Rahasia


OLeh: Mulyadi Saputra (Moel)

A. Pendahuluan
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai etika (etik) dan alat sensor, mari kita telusuri apa itu etika dan apa itu sensor.
Arti Definisi / Pengertian Etika ( Etik )
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan.
Arti Definisi / Pengertian Etiket
Etiket adalah suatu sikap seperti sopan santun atau aturan lainnya yang mengatur hubungan antara kelompok manusia yang beradab dalam pergaulan.
Etika Dan Etiket Yang Baik Dalam Komunikasi
Berikut di bawah ini adalah beberapa etika dan etiket dalam berkomunikasi antar manusia dalam kehidupan sehari-hari :
a. Jujur tidak berbohong
b. Bersikap Dewasa tidak kekanak-kanakan
c. Lapang dada dalam berkomunikasi
d. Menggunakan panggilan / sebutan orang yang baik
e. Menggunakan pesan bahasa yang efektif dan efisien
f. Tidak mudah emosi / emosional
g. Berinisiatif sebagai pembuka dialog
h. Berbahasa yang baik, ramah dan sopan
i. Menggunakan pakaian yang pantas sesuai keadaan
j. Bertingkahlaku yang baik
Sensor
Sensor adalah sebuah alat pendeteksi dalam sebuah kejadian. Baik itu alat sensor gempa, sensor syunami,, sensor media, dan masih banyak yang lainnya. Namun dalam kajian ilmu komunikasi sensor adalah sebuah alat control social untuk menyaring berbagai komunikasi massa yang akan tersaji pada khalayak.
Kita punya lembaga KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tak lain adalah alat sensor media, contohnya:
“Wakil Ketua Dewan Pers Abdullah Alamudi mengatakan dalam tayangan itu tidak hanya menyangkut hiburan, tetapi juga masalah etika dan pertanggungjawaban kepada publik. Menurutnya, ketika Trans 7 menghadirkan narasumber Sumanto, itu tidak bisa diterima karena dinilai sebagai orang gila atau sakit jiwa.
"Dalam jurnalistik orang gila tidak bisa dijadikan narasumber karena tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujar Alamudi saat jumpa pers di Kantor Komisi Penyiaran Indonesia, Selasa (4/11).
Seperti ditulis sebelumnya, Komisi Penyiaran menghentikan sementara program tayangan 'Empat Mata' karena tayangan pada periode 29 Oktober 2008. Saat itu, 'Empat Mata' menghadirkan Sumanto, si pemakan mayat dan narasumber lain yang menampilkan adegan makan kodok hidup-hidup.
Komisi Penyiaran menilai hal itu melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Program siaran ini sebelumnya sudah mendapat teguran dari Komisi Penyiaran pada 5 Mei 2007, 27 September 2007, dan 25 Agustus 2008.” (www.tempointeraktif.com)

B. Kode Etik Jurnalistik
Seperti halnya diatas definisi etika yaitu sebagai alat evaluasi. Dan jurnalistik adalah kegiatan mencari, meluput, mengolah informasi dan kemudian menyebarkan pada khalayak luas. Jadi kode etik jurnalistik adalah setrategi pengevaluasian (sensor) informasi yang akan disampaikan pada khalayak luas.
Jurnalis dalam bekerja harus menjunjung tinggi kejujuran. Ia tak melakukan penjiplakan atas karya orang lain. Ia tak menfitnah. Ia juga tak memanipulasi sumber-sumber yang didapatnya. Baik melalui tekanan maupun sogokan.
Jurnalis pada prinsipnya menolak sensor dan pembredelan. Jurnalis dan pengelola mediamassa juga tak mau dipanggil secara sembarangan oleh semua pihak, kecuali kejaksaan. Benarkah pers merasa dirinya selalu dan paling benar hingga tak mau tunduk pada lembaga mana pun? Tentunya tidak. Untuk itulah kode etik jurnalistik disusun. Bukan berarti tanpa kode etik, jurnalis tak bisa bekerja dan mediamassa tak terbit. Andaikan kode etik tak ada, jurnalis tetap akan bekerja dan pers tetap dicetak tanpa ada satu orang atau pihak pun yang bisa mencegahnya.
Jadi, jelas kode etik jurnalitik disusun oleh para jurnalis atas kemauan sendiri. Dan atas kemauan sendiri pula mereka menaatinya. Kode etik disusun sebagai rambu-rambu agar jurnalis dalam bekerja tidak serampangan, semaunya, berangasan dan mau menang sendiri. Karena pers itu berhubungan dan ada kemungkinan menyinggung banyak pihak, maka aturan main dibuat agar pers tak main hakim dan bekerja secara serampangan.
Ada kemungkinan kalau kode etik jurnalistik tak dibuat akan muncul ketegangan, tarik-menarik dan kemungkinan saling teror antara pers-penguasa dan masyarakat. Dengan demikian kode etik dibuat untuk mengatur hubungan yang sehat dan seimbang secara proporsional guna memahami batas hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Kode etik jurnalistik dibuat para jurnalis untuk menetapkan sikap mengenai ruang lingkup dan pagar-pagar kebebasan, menegaskan di batas-batas mana telah terjadi penyimpangan menyangkut pelanggaran terhadap kepentingan pribadi, kepentingan umum dan kepentingan negara. Kode etik merupakan standar nilai yang mendorong para jurnalis agar bertindak (does) dan menghindari tindakan (don’t). Jadi bukan semata-mata larangan.
Ada beberapa hal dasar yang harus dihormati oleh setiap jurnalis. Antara lain adalah: pertama, jurnalis harus sadar bahwa ia bekerja untuk kepentingan publik. Bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok, golongan atau pun elit kekuasaan. Untuk itulah jurnalis harus menyampaikan berita yang sejujur-jujurnya dan sebenarnya kepada masyarakat. Sebab masyarakat memang berhak mendapatkan informasi yang benar. Dalam hal ini dituntut kebiasaan jurnalis untuk selalu melakukan check and recheck setiap informasi. Setiap kesalahan harus segera diralat.
Jurnalis berkewajiban untuk menolak setiap campur tangan guna menghambat informasi ke masyarakat.
Seorang jurnalis tak dibenarkan mempunyai penilaian bias (prasangka) atas ras, etnik, bangsa, kelas sosial, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat atau sakit jasmani, cacat atau sakit mental dan lain-lain.
Seorang jurnalis tak boleh menyembunyikan informasi yang berhubungan, apalagi berdampak, pada masyarakat luas. Ia juga harus memiliki independensi. Ia mesti kebal suap dan menolak setiap kompromi yang bisa mempengaruhi pemberitaan yang dibuatnya
Kedua, selalu mengupayakan keseimbangan. Pada prinsipnya jurnalis harus membuka diri pada setiap pro-kontra pendapat. Seorang jurnalis tak dibenarkan untuk berdiri pada sebuah sisi kepentingan apa pun. Setiap kali melaporkan kasus, ia harus mengutip pendapat orang-orang yang kontra. Dalam dunia jurnalistik hal ini dikenal dengan istilah “meliput dari dua sisi” (cover both side) atau “keseimbangan peliputan” (balance reporting).
Dengan demikian jurnalis juga harus memberikan tempat bagi suara-suara kaum lemah (underdog), atau dengan kata lain jurnalis harus mampu menyuarakan kaum tak bersuara (voicing the voiceless). Tugas ini lebih-lebih menjadi penting dalam sebuah negara totaliter di mana suara penguasa dan demagog menjelma jadi suara Tuhan dan suara rakyat sama sekali diabaikan.
Ketiga, hanya melaporkan fakta. Sudah jelas bahwa seorang tak bisa berandai-andai atau membuat liputan imajiner. Kerja seorang jurnalis bukanlah kerja seorang cerpenis atau novelis yang menciptakan masalah, menciptakan tokoh-tokohnya, lantas menciptakan konflik untuk kemudian diakhirinya sendiri. Seorang jurnalis hanya memotret dan menulis tentang fakta. Dengan demikian, kutipan narasumber hanya bisa diturunkan bila narasumbernya jelas (narasumber bisa disamarkan). Tapi bukan berdasarkan gosip, desas-desus apalagi kabar bohong.
Keempat, mengutamakan kejujuran. Jurnalis dalam bekerja harus menjunjung tinggi kejujuran. Ia tak melakukan penjiplakan atas karya orang lain. Ia tak menfitnah. Ia juga tak memanipulasi sumber-sumber yang didapatnya. Baik melalui tekanan maupun sogokan.
Kelima, tak bekerja jorok. Jurnalis tak menyebarkan informasi, foto atau berita yang mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan eksploitasi seksual. Apalagi semata demi sensasi dan menggaet pembaca
Keenam, punya aturan main. Jurnalis tak bekerja asal main hantam kromo, tapi menghargai hak orang lain (narasumber). Antara lain pemintaan “off the record”, permohonan narasumber untuk tak dicantumkan namanya, permintaan embargo. Juga menghargai hak privacy orang. Dalam bekerja menghormati undang-undang dan hukum yang berlaku dan sebagainya. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi yang tengah terancam atau kemungkinan akan mengalami penderitaan bila pemberitaan atas dirinya muncul seperti identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
Di dalam kode etik juga diatur soal pemberian sanksi bagi para jurnalis yang melanggarnya. Biasanya para jurnalis mempercayakan proses peradilan dan pemberian sanksi pada semacam “dewan kehormatan” atau “dewan kode etik”. Hanya saja sayang, di Indonesia lembaga semacam ini belum bisa berjalan dengan baik. Antara lain karena perusahaan pengelola media memiliki pandangan yang berbeda. Di luar negeri, selain ada dewan kehormatan yang bertugas menilai “tampilan kerja” sebuah media juga ada media watch dan lembaga pers ombudsman.
Di luar kode etik ada juga beberapa ketentuan dalam KUHP yang membuat delik tentang pers misalnya delik pers tentang ketertiban umm, delik pers tentang hasutan, delik pers tentang kabar bohong, delik pers yang bersifat penghinaan dan delik pers tentang pornografi, delik pers tentang penghinaan lembaga peradilan (contempt of court). Namun bukan berarti jurnalis bisa diseret ke pengadilan dan dikorek keterangan secara seenaknya dengan alasan hukum, sebab pada diri seorang jurnalis inheren sebuah kekebalan yang disebut dengan hak “ingkar”.
Selain kode etik yang secara umum ditaati para jurnalis dan jadi pedoman kerja lazimnya setiap perusahaan pers juga punya aturan main yang mengakomodasi sejumlah hal yang tak termuat dalam kode etik. Misalnya soal “amplop”, “pemberian tiket gratis”, “perjamuan”, “servis” hingga soal “cenderamata”. Setiap perusahaan pers akan berbeda-beda kebijakannya. Tentu saja ini yang membuat sikap menulis jurnalis setiap media berbeda. Demikian pula kredibilitas media tempat seorang jurnalis bekerja. Disana pula kode etik jurnalistik menjadi alat control dan sensor sebelum dilimpahkan pada khalayak.

C. Etika Komunikasi
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Atau definisi lain mengatakan etika yaitu aturan-aturan yang di sepakati bersama oleh para ahli ahli yang mengamalkan kerja tertentu sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan baik itu pesan negative atau positif sekalipun. Jadi etika komunikasi adalah aturan-aturan yang mengefaluasi untuk menjadikan proses komunikasi lebih terevaluasi.
Kebaikan yang besar dan kejahatan yang besar berasal dari cara orang menggunakan media komunikasi sosial. Meskipun secara khas/tipikal dikatakan – dan kita kerap kali akan mengatakannya disini – bahwa “media “ menjadikan ini atau itu, media bukanlah kekuatan buta dari kodrat yang di luar kontrol manusia. Karena meskipun tindakan-tindakan berkomunikasi kerap menimbulkan akibat-akibat yang tidak dimaksudkan, namun manusialah yang memilih apakah akan menggunakan media untuk maksud-maksud baik atau maksud-maksud jahat, dengan cara yang baik atau cara yang jahat.
Pilihan-pilihan tadi, yang merupakan hal pokok dalam persoalan-persoalan etika, dilakukan bukan hanya oleh mereka yang menerima komunikasi, - yaitu para pemirsa, pendengar, pembaca - tapi lebih - lebih oleh mereka yang mengawasi alat-alat komunikasi sosial dan menentukan strukturnya, kebijakannya dan isinya. Termasuk dalam kelompok ini ialah para pejabat dan para eksekutif badan hukum, para anggota badan pengurus,para pemilik, para penerbit dan manajer siaran, para editor, para direktur pemberitaan, para produser, para penulis, para koresponden, dan lain-lain. Untuk mereka ini persoalan etika menjadi sangat penting: Apakah media digunakan untuk hal yang baik atau hal yang jahat?
Dampak dari komunikasi sosial bukannya dilebih-lebihkan. Di sini orang berhubungan dengan orang lain serta dengan peristiwa-peristiwa, membentuk pendapat mereka serta nilai-nilai yang mereka anut. Mereka tidak hanya meneruskan dan menerima informasi dan gagasan-gagasan lewat alat-alat tadi tapi kerap kali mereka mengalami penghayatan itu sendiri sebagai suatu pengalaman bermedia.
Perubahan tehnologi yang terjadi dengan cepat menjadikan media komunikasi menjadi kian menyusup ke mana-mana dan mempunyai kekuatan yang besar. Datangnya masyarakat informasi adalah suatu revolusi budaya yang reel.
Luasnya dan aneka ragamnya media yang dapat dijangkau oleh orang-orang di negara-negara yang makmur sunguh-sungguh mentakjubkan: Buku-buku dan majalah-majalah, televisi dan radio, film dan video, rekaman audio, komunikasi elektronik yang dipancarkan lewat gelombang udara, dengan melalui kabel dan satelit, lewat Internet. Isi dari banjir informasi yang cepat ini meliputi berita-berita yang berat maupun yang bersifat hiburan semata-mata, yang berupa doa tapi juga ada yang bersifat porno, yang bersifat renungan tapi juga ada yang menampilkan kekerasan. Tergantung dari bagaimanakah mereka
menggunakan media, orang-orang dapat menjadi semakin berkembang dalam simpati dan perhatiannya pada orang lain atau menjadi terisolasi dalam suatu dunia yang berisikan rangsangan-rangsangan yang bersifat egois dan mementingkan diri sendiri, yang akibatnya mirip dengan kecanduan narkotik. Bahkan mereka yang menghindari media tak dapat menghindari hubungan orang-orang lain yang sangat dipengaruhi oleh media komunikasi.
Prinsip-prinsip etika dan norma-norma yang relevan dalam bidang lain juga berlaku bagi komunikasi sosial. Prinsip-prinsip etika sosial seperti misalnya solidaritas, subsidiaritas, keadilan dan kesamaan, serta pertanggung jawaban dalam menggunakan sumber-sumber umum dan pelaksanaan peranan usaha-usaha umum selalu bisa diterapkan. Komunikasi harus selalu penuh kebenaran, karena kebenaran adalah hakiki bagi kebebasan individu dan demi komunitas yang otentik antara pribadi-pribadi.
Etika dalam komunikasi sosial menyangkut bukan hanya apa yang adil, dengan apa yang nampak dalam sinema dan layar televisi, pada siaran radio, pada halaman yang cetakan dan Internet, tapi sebagian besar juga di luar itu semua. Dimensi etika tidak hanya menyangkut isi komunikasi (pesan) dan proses komunikasi (bagaimana komunikasi dilakukan) tapi juga struktur fundamental dan persoalan-persoalan yang menyangkut sistem, yang kerap kali menyangkut persoalan-persoalan besar mengenai kebijakan yang berkaitan dengan pembagian tehnologi yang canggih serta produknya (siapa yang akan kaya informasi dan yang akan miskin informasi) Persoalan-persoalan ini menunjuk ke persoalan lain yang mempunyai implikasi ekonomi dan politik untuk kepemilikan dan kontrol. Sekurang-kurangnya di masyarakat terbuka dengan ekonomi pasar, persoalan etika yang terbesar dari semua persoalan yang muncul tadi ialah bagaimanakah membuat keseimbangan antara keuntungan dan pelayanan kepada kepentingan umum yang dimengerti menurut suatu gagasan yang inklusif mengenai kesejahteraan umum.
Dalam tiga bidang ini – pesan, proses, persoalan mengenai struktur dan sistem – yang menjadi prinsip dasar etika adalah sebagai berikut : Pribadi manusia dan komunitas manusia merupakan tujuan dan ukuran dari penggunaan media komunikasi sosial; komunikasi dilakukan oleh pribadi-pribadi kepada pribadi-pribadi demi keutuhan perkembangan pribadi. Perkembangan yang utuh menuntut ada barang-barang material serta produk yang cukup baik, tapi juga perlu diperhatikan “dimensi batin”. Setiap orang patut mendapatkan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang dalam hal fisik, intelektual, emosi, rola serta rohani. Setiap individu mempunyai martabat yang tidak boleh dikurangi serta mempunyai arti penting, dan tidak pernahboleh dikorbankan untuk kepentingan bersama.
Dengan demikian walaupun komunikasi sosial dibenarkan untuk memperhatikan kebutuhan dan minat kelompok-kelompok khusus tertentu, hendaknya hal itu jangan dilakukan sedemikian rupa sehingga menghadapkan satu kelompok dengan kelompok lainnya, misalnya demi konflik kelas, nasionalisme yang berlebih-lebihan, mengunggulkan ras, pembersihan etnis, dan hal-hal semacam itu.
Komunikator dan para pembuat kebijakan komunikasi harus mengabdi kebutuhan riil dan minat dari individu-individu dan kelompok-kelompok, pada semua tingkatan dan segala macam.
Dengan demikian jelaslah bahwa diperlukan suatu partisipasi yang luas dalam mengambil keputusan tidak hanya mengenai pesan-pesan proses komunikasi sosial tapi juga mengenai soal-soal system dan alokasi sumber-sumber. Para komunikator profesional hendaknya secara aktip terlibat dalam mengembangkan dan menerapkan kode etik untuk tingkah laku dalam profesi mereka, dalam kerjasama dengan wakil-wakil masyarakat.
Intinya etika komunikasi juga sebagai sensor social kemasyarakatan dalam upaya membentuk masyarakat yang tak melek media menjadi tidak terbawa oleh arus negative yang terbawa oleh komunikasi.

D. Pengawasan Penyiaran KPI
Eksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat (UU Penyiaran, pasal 8 ayat 1). Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU Penyiaran, pasal 7 ayat 2). Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution.
Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.
Berikut ini adalah kewenangan, tugas dan kewajiban KPI dalam rangka melakukan pengaturan penyiaran.
Wewenang, Tugas dan Kewajiban KPI

Wewenang
Menetapkan standar program siaran
1. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI)
2. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
3. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
4. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat

Tugas dan Kewajiban
1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia
2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran
3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait
4. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang
5. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran
6. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran


Lampiran Kutipan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia


BAB II
DASAR, TUJUAN, ARAH, DAN ASAS
PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN DAN STANDAR PROGRAM SIARAN
Pasal 2
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran ditetapkan berdasarkan pada nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum, berbagai kode etik, standar profesional dan pedoman perilaku yang dikembangkan masyarakat penyiaran, serta peraturan-perundangan yang berlaku, misalnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 3
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran ditetapkan untuk mengatur perilaku lembaga penyiaran dan lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran Indonesia mengingat lembaga penyiaran, dalam menjalankan aktivitasnya, menggunakan spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas, sehingga pemanfaatannya harus senantiasa ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya.

Pasal 4
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran ditetapkan dengan tujuan memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera.
Pasal 5
Pedoman Perilaku Penyiaran diarahkan agar:
a. lembaga penyiaran taat dan patuh hukum terhadap segenap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia;

b. lembaga penyiaran menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. lembaga penyiaran menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multikultural;
d. lembaga penyiaran menjunjung tinggi Hak-hak Asasi Manusia;
e. lembaga penyiaran menjunjung tinggi prinsip ketidakberpihakan dan keakuratan;
f. lembaga penyiaran melindungi kehidupan anak-anak, remaja, dan kaum perempuan;
g. lembaga penyiaran melindungi kaum yang tidak diuntungkan;
h. lembaga penyiaran melindungi publik dari pembodohan dan kejahatan; dan
i. lembaga penyiaran menumbuhkan demokratisasi.
Pasal 6
Pedoman Perilaku Penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:
a. rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;
b. rasa hormat terhadap hal pribadi;
c. kesopanan dan kesusilaan;
d. pelarangan dan pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;
e. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;
f. penggolongan program menurut usia khalayak;
g. penyiaran program dalam bahasa asing;
h. ketepatan dan kenetralan program berita;
i. siaran langsung; dan
j. siaran iklan.
Pasal 7
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran ditetapkan dengan menghormati asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum, asas keamanan, asas keberagaman, asas kemitraan, etika, asas kemandirian, dan asas kebebasan dan tanggungjawab.

E. Penutup
Etika sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Meski dalam kenyataannya banyak sekali etika-etika yang masih tak terpatuhi oleh individu maupun lembaga. Baik itu lembaga yang bergerak di bidang penyiaran (media), atau lembaga yang lainnya. Pada dasarnya etika tak jauh beda dengan peraturan. Sedangkan peraturan sendiri terbagi menjadi dua.
Pertama, peraturan yang telah di formalkan. Peraturan yang diformalkan biasanya telah tersetruktur, baik itu undang-undang yang jelas mengenai pelanggaran yang bagaimana yang dikatakan telah melanggar udang-undang tersebut ataupun sangsi bila melanggar peraturan formal tersebut.
Kedua, peraturan yang belum atau tidak diformalkan. Peraturan ini biasanya lebih kepada budaya. Budaya daerah, budaya suku, budaya agama, atau budaya yang lainnya yang biasanya mengandung kesopan santunan dan tatakrama. Misalnya orang Sunda jika lewat depan orang lian maka ia akan mengucapkan “Punteun”. Ini tidak formal namun ini adapt orang Sunda dalam hal sopan santun.
Etika tak lebih daripada alat sensor sebuah bidang kajian komunikasi. Komunikasi masa atau komunikasi bidang kajian yang lain. Sensor adalah sebuah alat untuk menyaring sebelum pesan (siaran, tayangan TV, berita, dll) tersaji pada khalayak luas. Dalam kajian jurnalistik sebagai cabang dari ilmu komunikasi telah mempunyai alat sensor yang kuat yaitu berupa kode etik jurnalistik, undang-undang pers, peraturan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan lainnya yang menjadi alat control social.

F. Referensi

Anugrah, Dadan dan Winny Kresnowiyati. 2008. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta; Jela Permata.
Echols, John dan Hassan Shadaly, 1990. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta; Gramedia
Harefa, Andreas,.2000.Menjadi Manusia Pembelajar.Harian kompas:Jakarta
Harian Umum Pikiran Rakyat. 8 September 2004 www.pikiran-rakyat.com
http://atwarbajari.wordpress.com/2008/09/20/media-massa-dan-tanggung-jawab-kepada-publik/
http://www.kpi.go.id/
http://asopian.blogspot.com/2004_09_01_archive.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/budaya/2008/11/04/brk,20081104-143930,id.html
http://ruuappri.blogsome.com/2006/05/12/
http://lsf.go.id/mambo/index.php?option=com_content&task=view&id=14&Itemid=9
http://ruuappri.blogsome.com/2006/05/12/
http://www.muhammadiyah-tabligh.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=598
Khamenei, Ayatullah Al-Uzhman Sayyid Ali. 2005 ”Karakteristik dan Strategi Media Terpacaya, Perspektif, www.irib.ir,.
Lesmana, Tjipta. Kebebasan dan Tanggung Jawab Pers Harus Berimbang, Sinar Harapan, www.sinarharapan.co.id, 2005.
McQuail, Denis. 1991. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga
Sumadiria, A.S. Haris. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature. Bandung; Simbiosa.
Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik, Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Bandung; Nuansa.

Foto Melalui Berbagai Zaman

oleh: Mulyadi Saputra (Moel)



Foto. Siapa yang tidak pernah mendengar kata itu, atau siapa yang tidak pernah melihat melihat foto pada zaman seperti sekarang ini. Bisa dibilang orang tersebut adalah orang yang benar-benar primitive. Bila orang awam mendengar kata FOTO yang terlintas adalah sebuah kertas yang tergambar secara rapi yang di hasilkan oleh kamera. Padahal foto bisa di bilang suatu alat pengabadian momen penting atau tidak penting atau orang biasanya menamakan hal tersebut dokumentasi, seperti momen pernikahan, di abadikan dengan foto, dan lain sebagainya. Ada juga yang bilang foto adalah suatu seni yang mempunyai arti dan dapat bercerita.
Pada zaman dahulu tak ada namanya foto yang berwarna atau bahkan foto belum ada. Bagaimana cara seseorang mengabadikan momen-monen penting? Dilukis? Atau hanya di save dalam ingatan? Mungkin itu suatu pertanyaan yang tak harus diutarakan. Sebab pada zaman-zaman terdahulu mereka baru fikir bagaimana caranya mengubah dunia. Hingga terciptalah suatu dunia yang sampai sekarang kita alami, dimana dunia yang kesemuanya serba digital.
***
Pernah melihat foto hitam putih? Tentu saja pernah. Biasanya pada era sekarang ini sangat jarang kita jumpai kecuali yang tertempel di Ijazah atau di surat lamaran kerja dan yang lainnya. Untuk sekarang ini yang menggunakan film hitam putih hanya dikalangan studio foto atau dikalangan yang mencari sensasi keklasikan. Namun, dikalangan masyarakat biasa sangat jarang sekali kita temui. Selain kurang enak dipandang juga tak dapat melukiskan suatu warna, sebagaimana kejadian yang sebenarnya.
Foto yang masih menggunakan film juga sekarang ini hampir terlewati, meskipun masih ada. Banyak orang bilang foto menggunakan film lebih ribet, banyak biaya, dan tidak bisa melihat langsung objek yang diambil. Ribetnya yaitu, pada saat kita harus memasang film (rol), salah sedikitpun maka film tidak berputar dan momen tersebut pun berlalu. Banyak biaya yang dikeluarkan yaitu pada saat harus membeli film dan mencuci cetak negatif atau positif. Pada kalangan tertentu masih menggunakan kamera manual dengan alasan kepuasan, ada juga yang mempunyai alasan belum terbeli yang digital dan lain sebagainya.
Seiring zaman yang terus bergulir, bila kita tidak mengikuti era demi era sampai dengan era globalisai saat ini, kita bisa dibilang gaptek (Gagap Teknologi). Di zaman digital sekarang ini semuanya dipermudah. Yang ribet menjadi mudah, yang banyak membutuhkan biaya menjadi lebih irit. Seperti halnya camera foto, tak perlu memakai film, tak perlu menunggu di cuci cetak untuk melihat hasil pemotretan kecuali untuk di pajang dan itupun lebih mudah dengan bantuan computer dan print out, sekaligus dapat diedit, kemudahan yang lain yaitu dapat disimpan dalam bentuk cetak atau digital (file).
***
Dapat disimpulkan bahwasanya foto mempunyai peran penting, dari segi dokumentasi tentunya. Tanpa foto tak ada yang dapat mengenang momen yang telah berlalu. Meski daya ingat mampu menceritakan namun foto dapat memperkuat dan lebih dapat dipercaya. Seperti pertama fotografi ada di Indonesia, yaitu pada saat pembacaan teks proklamasi (17 Agustus 1945). Setidaknya kita yang tak mengalami langsung peristiwa itu dapat membayangkan masa yang kisruh dan penuh kegembiraan dengan melihat foto dan ditambah dengan cerita dari nenek kita saat mau tidur atau cerita dalam sebuah buku yang dicuri (jangan di ikuti) dari perpus.
***

Dilarang Tertawa

Oleh: Moel
Pagi yang sejuk. Sangat tepat sekali untuk melakukan olehraga dan cuci mata. Aku pergi kesebuah taman di pusat kota memakai kostum olahraga dan sepatu cet warna biru. Khusus desain meraton. Tidak licin meski lari kencang-kencang sekalipun. Bukan hanya aku yang memakai kostum seperti ini, tetapi juga banyak orang yang memakai kostum yang sama denganku. Dari wanita, waria sampai pria sekalipun. Memang di kota besar tidak heran jika wanita memakai pakaian yang mengumbar kelentikan tubuhnya. Dan lelaki yang memakai kostum wanita juga sangat tidak asing di mata kita. Sekalipun itu telah menyalahi.
Aku mulai lari-lari pemanasan. Sambil memutar-mutar sekiping melewati bawah kakiku seperti mainan anak kecil yang memakai karet disertai loncat-loncat kecil. Cukup mengasikkan. Di sebelahku terlihat sosok wanita yang asik berjalan memutari lapangan dengan handset menutup telinganya. Aku melihatnya kagum. Pakaiannya seksi dan tubuhnya yang begitu cocok dibalut pakaian seperti itu.
Seorang laki-laki mendekatinya. Seperti mengajak bicara. Lalu aku langsung memulai lari mengelilingi lapangan. Tanpa mengingat cewek yang telah melintas di depanku tadi. Setelah beberapa putaran aku merasa lelah, aku memutuskan untuk istirahat dulu untuk mengatur nafas. Duduk di bawah pohon.
Kembali aku memperhatikan setiap orang yang lewat di depanku. Seorang wanita memakai celana sangat pendek, mungkin 10 jari dari pinggangnya. Wajahnya tidak begitu cantik dengan kulit sedikit hitam dan tidak begitu seksi. Aku ingin sekali tertawa. Aku tahan sampai tertunduk-tunduk. Namun begitu saja dia lewat di depanku. Kembali lagi aku berlari berlawanan arah dari cewek itu.
***
Terus memutari lapangan tanpa melihat kanan kiri. Setelah merasa capek aku berhenti lagi dan membeli sebotol air meneral, duduk di kursi yang telah disediakan oleh pemerintah, tepat di pinggir taman. Sambil meluruskan kedua kakiku supaya tidak keram.
”Kalau habis lari langsung duduk, jongkok, atau melipat kaki, maka aliran darah kita akan berhenti dan bisa keram.” kata orangtuaku dulu, terus kuingat meski ia bukan seorang Tabib atau Dokter. Aku mengangguk-anggukkan kepala seperti paham dengan pikiranku sendiri.
Tidak henti-hentinya orang lewat. Mereka juga sedang beroleh raga. Kemudian lewat pasangan yang paling mesra pagi itu. Dengan tangan merangkul pudak sang wanita terus berjalan hampir melewati hadapanku.
Lelakinya memakai celana dasar dan kemeja kotak-kotak, sedangkan perempuannya memakai baju yang sangat minim sekali dengan rok pendek dan baju yang mencolok. Lebih parahnya lagi baju yang ia pakai mirip baju bintang Dunia Britnay Spears alias pusat diumbar. Aku terus memandanginya dengan menahan tawa. Sesekali aku menunduk untuk melepaskan tawa. Aku kembali memandangi pasangan itu. Di situ juga banyak orang yang memperhatikan dia, tidak jauh tingkahnya sepertiku. Pasti mereka juga ingin tertawa.
Lelaki itu sedikit tua mungkin umurnya sekitar 42 tahunan, dan perempuanya sekitar 20 tahunan. Mereka berjalan sambil canda. Begitu mesra.
Pas di hadapanku. Aku taksadar melepaskan tawa, lelaki itu menatapku garang. Dan langsung mendekatiku.
”Ngapain lo ketawa...? ngetawain gue ...?” sambil menekuk-nekuk tangannya. Aku berusaha menghindar. Ia menangkap bajuku sambil melepaskan hantaman ke mukaku, begitu keras. Buk.....!
”Ampun...Ampun Mas. Saya tadi tidak menertawakan Mas. Aku hanya tertawa sendiri.” Aku mengangkat-angkat tangan pertanda aku meminta maaf.
”Makanya jadi orang jangan resek.” tangannya mendorongku sampai aku tersungkur meringkuk dibawah pohon. Tiada satu orangpun yang menolong atau peduli denganku, yang menertawakanku juga tidak ada. Sepertinya mereka telah tahu kalau tertawa kini telah dilarang.
****

2007


“Telah dimuat di majalah PATRIOT TELKOM”

Cita-Cita Kecilku

oleh mulyadi (Moel)

Matahari sebentar lagi akan meninggalkan alam sekitar, pertanda malam akan segera menjenguk dengan keromantisan dan kedinginan. Sedari tadi aku duduk melamun di taman dekat sekolah TK sebelah kantor tempatku bekerja. Bisa dibilang aku yang mengantarkan kepergian matahari hari ini. Di taman itu aku tak mengerjakan apa-apa selain melamun, menghayal dan mengingat yang dulu dan yang jauh meninggalkanku. Cita-citaku tepatnya yang kupikirkan sekarang.
Ingat benar waktu itu. Aku masih duduk di bangku TK, guruku yang baik dan murah senyum itu menanyai seluruh isi kelas. Bu Mun namanya, dan nama panjangnya sudah tak tersave di batok kepalaku lagi. Ia menanyakan cita-cita kami semua. Hanya dua jawaban yang paling bumming diantara 21 anak di kelas itu. Dokter dan Pilot. Termasuk aku yang mencita-citakan menjadi seorang dokter.
Sampai sekarangpun aku masih tetap mendambakan cita-cita itu. Entah mengapa?. Padahal aku percaya sekali kalau Dokter adalah cita-cita anak TK. Karena setelah besar nanti akan berpikir dua kali untuk mengambil kuliah jurusan itu. Mahal yang jelas. Atau seorang pilot yang menjadi cita-cita temanku yang lain… entah bagaimana nasib cita-cita itu. Tapi, benar juga kata orang-orang, “bercita-citalah setinggi langit, meleset-melesetnya akan jatuh di awan atau bulan.”
Dari 21 teman TKku dulu, sama sekali tak ada yang sesuai dengan cita-citanya termasuk juga aku. Keluaran jurusan Akuntansi kerja menjadi pubic relation di perusahan miskin yang bayar gajinya selalu nunggak. Puah…!
Kalau dokter apa ya.. cita-citanya waktu kecil? Atau seorang pilot? Pasti dia cita-citanya ingin menjadi Presiden atau Astronot, jadi melesetnya jadi dokter atau pilot. Kupikir lagi. Berarti dulu cita-citaku kurang tinggi, sehingga aku jadi seperti ini. Mungkin saja.
***
Gelap malam mulai menyerang dari setiap titik kehidupan. Suara jangkrik dan binatang malam yang lain mulai memutar volumenya. Kakiku mulai beranjak untuk pulang. Bila pulang terlalu malam bisa-bisa tak ada lagi kendaraan yang melintas untuk mengantarku sampai depan rumah. Kini aku duduk di sebuah halte, menunggu bus. Membosankan.
Lamunanku terus melayang sampai aku telah berdiri di bus. Penumpang penuh, dari yang pulang kerja sampai yang mau brangkat dan pulang pacaran, campur aduk, bahkan pulang kuliah juga banyak. Ponselku bergetar-getar pertanda pesan singkat telah masuk. Kubuka perlahan dan kubaca dengan cermat, kemudian jempolkupun menari-nari indah. Membalas.
Suara bising dan bau yang campur aduk mengisi bus itu. Pengap tanpa AC. Ditambah pula dengan nyanyian pengamen. Tambah sesak lagi. Aku masih tergantung-gantung memegang besi yang melintang di atas kepalaku. Apa bila di rem mendadak maka aku akan menumbur orang di depanku, lalu memantul kembali kebelakang seperti tarian yang tak mempunyai nama.
Tersentak aku ingat. Aku sedang menunggu balasan sms temanku. Ku gerayangi ponsel dikantong kiri celanaku tak ada lagi. Kantong kanan juga tidak ada. Seluruh kantong semuanya tak menyelipkan ponselku satu-satunya itu. Keringatku mengucur deras. Cemas tak terkira. Bingung tak terkontrol. Ponselku kini telah di tangan copet. Jelas sekali itu. Copet sialan. Dia telah mengajariku mengumpat.
Otakku belum berjalan normal, aku mencurigai seorang yang berdiri didepanku. Sebenarnya ia belum lama naik ke bus itu. Tapi aku yakin benar.
“Mas ngambil hp saya ya?”
“Kurangajar, jangan sembarang nuduh dong, jangan cari-cari masalah,” matanya sinis sekali. Lidahnya menyambar-nyambar seperti lidah ular, bercabang dua.
“Jangan marah dulu dong, saya hanya bertanya…”
Emosiku meledak-ledak. Yang jelas aku kesal sekali dengan kejadian ini. ponsel satu-satunya yang kubeli dari gaji pertama setahun lalu raib. Pikiranku tarkatung-katung menyimpan Tanya, “Copet itu cita-citanya apa ya? Kalau tidak perampok apa lagi?” meleset-melesetnya jadi copet.
***
Bandung,2008


“TELAH DI MUAT DI MAJALAH PATRIOT TELKOM”

Cita-Cita Kecilku

oleh : Mulyadi (Moel)

Matahari sebentar lagi akan meninggalkan alam sekitar, pertanda malam akan segera menjenguk dengan keromantisan dan kedinginan. Sedari tadi aku duduk melamun di taman dekat sekolah TK sebelah kantor tempatku bekerja. Bisa dibilang aku yang mengantarkan kepergian matahari hari ini. Di taman itu aku tak mengerjakan apa-apa selain melamun, menghayal dan mengingat yang dulu dan yang jauh meninggalkanku. Cita-citaku tepatnya yang kupikirkan sekarang.
Ingat benar waktu itu. Aku masih duduk di bangku TK, guruku yang baik dan murah senyum itu menanyai seluruh isi kelas. Bu Mun namanya, dan nama panjangnya sudah tak tersave di batok kepalaku lagi. Ia menanyakan cita-cita kami semua. Hanya dua jawaban yang paling bumming diantara 21 anak di kelas itu. Dokter dan Pilot. Termasuk aku yang mencita-citakan menjadi seorang dokter.
Sampai sekarangpun aku masih tetap mendambakan cita-cita itu. Entah mengapa?. Padahal aku percaya sekali kalau Dokter adalah cita-cita anak TK. Karena setelah besar nanti akan berpikir dua kali untuk mengambil kuliah jurusan itu. Mahal yang jelas. Atau seorang pilot yang menjadi cita-cita temanku yang lain… entah bagaimana nasib cita-cita itu. Tapi, benar juga kata orang-orang, “bercita-citalah setinggi langit, meleset-melesetnya akan jatuh di awan atau bulan.”
Dari 21 teman TKku dulu, sama sekali tak ada yang sesuai dengan cita-citanya termasuk juga aku. Keluaran jurusan Akuntansi kerja menjadi pubic relation di perusahan miskin yang bayar gajinya selalu nunggak. Puah…!
Kalau dokter apa ya.. cita-citanya waktu kecil? Atau seorang pilot? Pasti dia cita-citanya ingin menjadi Presiden atau Astronot, jadi melesetnya jadi dokter atau pilot. Kupikir lagi. Berarti dulu cita-citaku kurang tinggi, sehingga aku jadi seperti ini. Mungkin saja.
***
Gelap malam mulai menyerang dari setiap titik kehidupan. Suara jangkrik dan binatang malam yang lain mulai memutar volumenya. Kakiku mulai beranjak untuk pulang. Bila pulang terlalu malam bisa-bisa tak ada lagi kendaraan yang melintas untuk mengantarku sampai depan rumah. Kini aku duduk di sebuah halte, menunggu bus. Membosankan.
Lamunanku terus melayang sampai aku telah berdiri di bus. Penumpang penuh, dari yang pulang kerja sampai yang mau brangkat dan pulang pacaran, campur aduk, bahkan pulang kuliah juga banyak. Ponselku bergetar-getar pertanda pesan singkat telah masuk. Kubuka perlahan dan kubaca dengan cermat, kemudian jempolkupun menari-nari indah. Membalas.
Suara bising dan bau yang campur aduk mengisi bus itu. Pengap tanpa AC. Ditambah pula dengan nyanyian pengamen. Tambah sesak lagi. Aku masih tergantung-gantung memegang besi yang melintang di atas kepalaku. Apa bila di rem mendadak maka aku akan menumbur orang di depanku, lalu memantul kembali kebelakang seperti tarian yang tak mempunyai nama.
Tersentak aku ingat. Aku sedang menunggu balasan sms temanku. Ku gerayangi ponsel dikantong kiri celanaku tak ada lagi. Kantong kanan juga tidak ada. Seluruh kantong semuanya tak menyelipkan ponselku satu-satunya itu. Keringatku mengucur deras. Cemas tak terkira. Bingung tak terkontrol. Ponselku kini telah di tangan copet. Jelas sekali itu. Copet sialan. Dia telah mengajariku mengumpat.
Otakku belum berjalan normal, aku mencurigai seorang yang berdiri didepanku. Sebenarnya ia belum lama naik ke bus itu. Tapi aku yakin benar.
“Mas ngambil hp saya ya?”
“Kurangajar, jangan sembarang nuduh dong, jangan cari-cari masalah,” matanya sinis sekali. Lidahnya menyambar-nyambar seperti lidah ular, bercabang dua.
“Jangan marah dulu dong, saya hanya bertanya…”
Emosiku meledak-ledak. Yang jelas aku kesal sekali dengan kejadian ini. ponsel satu-satunya yang kubeli dari gaji pertama setahun lalu raib. Pikiranku tarkatung-katung menyimpan Tanya, “Copet itu cita-citanya apa ya? Kalau tidak perampok apa lagi?” meleset-melesetnya jadi copet.
***
Bandung,2008


“TELAH DI MUAT DI MAJALAH PATRIOT TELKOM”

Friday, December 26, 2008

Menander Semangat Menulis



Oleh: Mulyadi Saputra

Pendahuluan

Tak terbayangkan kehidupan di dunia ini tanpa sarana penyiaran berita, tanpa pelapor berita, tanpa wartawan, tanpa suratkabar, tanpa jurufoto, tanpa televisi, tanpa jurukamera, tanpa radio, dan sekarang tanpa internet. Singkatnya, tanpa keberadaan komunikasi massa, yang lebih popular dengan istilah ‘media massa’.
Bayangkan seandainya serbuan Amerika terhadap Irak, di tengah ketiadaan media massa, baru diketahui dua minggu atau sebulan kemudian dari cerita mulut ke mulut. Barangkali reaksi masyarakat internasional tidak akan sekeras yang kita lihat tempohari. Namun, karena ekseistensi media massa plus perkembangan teknologi komunikasi-informasi yang begitu pesat, hampir semua peristiwa di mana pun di dunia ini bisa tersebar luas beritanya dalam hitungan menit, kalau tidak detik. Lalu timbul pertanyaan “Apa itu Media Massa?”
Dari segi etimologis, ‘media massa’ adalah ‘komunikasi massa’ –komunikasi massa adalah sebutan yang lumrah di kalangan akademis untuk studi ‘media massa’.Dari segi makna, ‘media massa’ adalah alat/sarana untuk menyebar-luaskan berita, analisis, opini, komentar, materi pendidikan dan hiburan. Timbul lagi pertanyaan, “Apa peranan Media Massa sebenarnya?”
Salah satu peranan media adalah mempengaruhi sikap dan perilaku orang/public. McDevitt (1996: 270) mengatakan, “Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Lindsey (1994: 163) berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat.” Sedangkan para pemikir sosial seperti Louis Wirth dan Talcott Parsons menekankan pentingnya media massa sebagai alat kontrol sosial.
Ketika menyerbu Irak pada bulan Maret 2003, salah satu unit penting yang disiapkan oleh militer Amerika Serikat adalah ‘media centre’ yang berada satu atap dengan Command and Control Centre di Qatar. Dari media centre ini, militer Amerika secara berkala memberika penjelasan tentang operasi mereka. Pemerintah Bush sadar betul bahwa unit ini, dalam banyak hal, akan membantu posisi politik mereka –baik di dalam negeri, maupun di mata dunia. Jadi, AS melancarkan perang simultan: perang piranti keras (hardware) berupa pengerahan perangkat militer, dan perang piranti lunak (software) –dalam hal ini ‘perang media massa’.
Para pemegang kekuasaan menyadari betul bahwa media massa, wartawan, jurukamera, jurufoto, perlu ‘dijadikan teman’ karena mereka memegang senjata yang jauh lebih penting dari perangkat perang yang mereka kerahkan di Irak, Afghanistan, Bosnia, dsb.
Kemudian, kita lihat begitu banyak universitas, akademi, sekolah tinggi, pesantren, kursus-kursus, dll, yang mengiklankan diri di berbagai jenis media massa menjelang masa penerimaan mahasiswa baru. Ini semua mereka lakukan karena kesadaran bahwa media massa berperan penting untuk menjaring calon mahasiswa.

Mari Menulis

Untuk menulis, kiat dasarnya cukup sederhana. Kita hanya membutuhkan “bahan dasar” sebagai berikut:
1. Ide
Ide itu ada di mana-mana. Kali ini, kita mengambil contoh ide yang sederhana saja, yakni: “saya ingin membaca buku sebanyak-banyaknya, tapi saya tidak punya waktu dan tidak punya uang untuk membeli buku yang banyak.” Nah, ini adalah ide yang cukup bagus dan bisa kita angkat menjadi sebuah tulisan. Di dalam ide ini terdapat sebuah masalah yang dapat kita kembangkan nantinya.
2. Berpikir sistematis
Setelah idenya ketemu, saatnya kita berpikir sistematis. Menurut saya, berpikir sistematis ini penting sekali. Salah satu kegagalan para penulis pemula adalah: mereka belum terbiasa berpikir secara sistematis. Akibatnya, mereka punya ide, tapi bingung harus mulai dari mana, bagaimaan cara mengembangkannya, dan seterusnya. Karena itu, kalau kita ingin jadi seorang penulis, cobalah mulai berlatih berpikir sistematis. Begitu ada ide, kita analisis secara runut, poin per poin, langkah demi langkah.
Nah, dari sistem berpikir sistematis tersebut, kita sudah menemukan KERANGKA KARANGAN. Ya, kerangka karangan ini sangat penting, karena dari sini kita bisa mengembangkan tulisan. Kerangka tulisan ini bisa kita tulis di kertas, atau cukup disimpan di kepala saja. Terserah kita memilih yang mana, tergantung kebiasaan dan kemampuan masing-masing.
3. Data
Alangkah bagusnya jika tulisan ini kita lengkapi dengan data pendukung. Misalnya: berapa koleksi buku yang telah saya miliki, berapa rata-rata harga buku. Dari total penghasilan, berapa rupiah yang dapat tersisihkan untuk membeli buku. Dan seterusnya. Data ini akan membuat tulisan kita lebih “kaya”.
4. Fokus. Jangan melebarkan topik
Masuk pada masalah yang seringkali tidak kita sadari ketika menulis. Sebab, kita merasa bahwa apa yang kita tulis masih berhubungan dengan tema utamanya, padahal sebenarnya tidak terlalu berhubungan, dan tidak perlu dibahas. Misalnya:Ketika menulis tentang ide di atas (kendala saya dalam membaca buku), kita tanpa sadar membahas tentang “gerakan gemar membaca yang dicanangkan pemerintah.” Kita uraikan tema ini panjang lebar, ditambah berbagai data penunjang.
Bila tema ini dibahas sekilas saja, mungkin tidak terlalu masalah, karena justru bisa menjadi penguat argumen kita bahwa membaca itu memang sangat penting. Dan memang, tema “gerakan gemar membaca” ini masih berkaitan erat dengan ide yang sedang kita tulis. Masalahnya adalah, jika kita mulai membahas tema tambahan ini secara panjang lebar, tulisan kita menjadi tidak fokus lagi. Di dalamnya sudah ada dua tema besar yang sama-sama kuat. Dan pembaca nantinya akan bingung, “si penulis ini sebenarnya sedang membahas apa, sih?”
Jika keempat poin ini sudah kita miliki, maka Insya Allah, menulis bisa menjadi pekerjaan yang sangat mudah. Tiba saatnya menumpahkan semua, dari semua unek-unek bersangkutan yang telah tersave dalam otak, mulailah kita duduk manis didepan computer dengan meletakkan jari-jemari diatas papan ketik. Mulailah menulis dan ingat! jangan keluar dari tema. Setelah tulisan selesai baca ulang sampai beberapa kali, edit kata yang masih rancu, dan kalau perlu suruh teman membaca agar mereka dapat mengkritik sekaligus memberi saran.

Kirimkan Tulisan ke Media
Hampir setiap suratkabar harian dan mingguan memuat berita-berita dan artikel popular, dari ilmu pengetahuan sampai dengan teknologi. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didorong oleh teknologi informasi seperti Internet, berhasil menggugah keingintahuan masyarakat terhadap informasi.
Berikut beberapa kriteria utama bagi artikel-artikel yang bisa dipertimbangkan untuk dimuat dalam media:
Aktual. Hal pertama yang diperhatikan redaktur media ketika menerima kiriman artikel adalah aktualitasnya. Misalnya wabah demam berdarah, banjir, pendaratan wahana robotik di Mars atau bisa juga berupa aktivitas ilmiah seperti adanya kongres ilmuwan nasional maupun dunia mengenai suatu topik ilmu. “tidak ada angin, tidak ada ribut” tiba-tiba Anda menulis tentang bioteknologi misalnya, tulisan Anda tidak akan berada pada daftar prioritas yang akan dimuat. Jika tulisan Anda tentang bioteknologi ini benar-benar bagus, tapi tidak aktual, ada kalanya redaktur menyimpannya dulu sambil menunggu peg-nya, baru kemudian dimuat. Tapi ini jarang sekali terjadi, sebab begitu tulisan Anda dinilai tidak aktual, biasanya segera diputuskan untuk tidak dimuat atau dikembalikan kepada Anda
Mengandung unsur baru. Jika tulisan Anda sudah aktual, hal lain yang akan diperhatikan redaktur adalah adakah unsur baru dalam tulisan tersebut. Unsur baru ini bisa dilihat dari angle (sudut pandang) tulisan – dalam penulisan karya ilmiah angle ini mungkin mirip dengan perumusan masalah – maupun data-data dan informasi baru yang disajikan. Apakah angle tulisan Anda menarik atau tidak? Sekarang kita ambil contoh. Taruhlah Anda ingin menulis soal wabah flu burung. Jika Anda mengambil angle soal karakteristik flu burung ini, angle serupa pasti banyak dipilih oleh penulis lain. Akibatnya, tulisan Anda harus bersaing dengan para penulis lain, syukur-syukur bisa lolos. Namun, jika Anda memilih angle yang lain, yang menurut Anda pasti tidak banyak diperhatikan oleh penulis lain, berarti Anda sudah selangkah lebih maju dan kemungkinan tulisan Anda untuk dimuat tentu lebih besar lagi. Lalu, seperti apa misalnya angle yang tampil beda itu? Banyak sekali. Anda misalnya, bisa memilih angle evolusi yang sedang berlangsung. Jika dulu, virus tertentu hanya bisa berpindah antara sesama hewan, kini sudah terjadi perpindahan antara hewan dan manusia dengan merujuk ada kasus mad cow, SARS dan flu burung (jadi wabah SARS atau flu burung sebagai peg saja). Jika Anda berhasil mengungkapkan argumen yang meyakinkan soal evolusi virus, akan sulit bagi redaktur untuk tidak memuat tulisan Anda.
Kerangka atau sistematika tulisan. Secara substansial, tidak ada perbedaan antara kerangka penulisan artikel ilmiah popular dan jenis tulisan yang lain; setidaknya mengandung tiga komponen utama, yakni pendahuluan, bagian isi dan bagian akhir yang berisi kesimpulan dan saran. Namun untuk artikel ilmiah populer, pemisahan itu sengaja dibuat tidak begitu nyata. Artinya, Anda tidak perlu menulis sub-judul dalam tulisan dengan Pendahuluan, Isi dan Penutup, tetapi bisa Anda ganti sub-judul lain yang lebih menarik, tapi tetap mengandung ketiga komponen di atas.
Gaya penulisan. Jika tulisan Anda sudah aktual dan mengandung unsur baru, langkah berikutnya yang harus diperhatikan adalah gaya penulisan. Sering kali tulisan yang menarik tapi harus ditolak hanya karena gaya penulisannya sangat “akademik” dan dipenuhi dengan istilah-istilah yang tak disertai padanannya dalam bahasa Indonesia. Anda harus membayangkan, redaktur tidak punya banyak waktu untuk mengedit kembali tulisan Anda, jadi dia cenderung akan memuat tulisan yang sudah jadi dan siap muat saja. Tempatkan diri Anda sebagai pembaca awam ketika Anda sedang memeriksa hasil akhir tulisan Anda. Kalau Anda merasa istilah yang digunakan masih terlalu “berat”, carilah padanan lain yang yang lebih pas – tentunya dengan tidak mengurangi makna ilmiah yang sebenarnya.
Bahan pendukung. Untuk tulisan IPTEK Jangan lupa melengkapi tulisan Anda dengan dengan bahan, foto, gambar, grafik, ilustrasi dan tabel pendukung. Anda tentu berurusan dengan data, skema, angka, rumus dan referensi tertentu, yang dapat mendukung argumen Anda dalam tulisan tersebut dan Anda merasa hal itu penting untuk diketahui masyarakat.
Untuk menyiasati hal di atas, memang harus dimulai dari diri Anda sendiri. Tidak mungkin Anda bisa mendapatkan topik tulisan yang aktual jika Anda tidak mengikuti perkembangan yang terjadi. Jadi cobalah untuk membuka wawasan dengan rajin membaca, mengkliping berita maupun tulisan yang menarik dan cocok dengan minat Anda. Semakin kaya referensi yang Anda gunakan, akan semakin hidup dan menatik tulisan yang Anda sajikan.
Keuntungan Menulis
Dalam kehidupan sebenarnya tak luput dari untung dan rugi. Seorang pembisnis sejati pasti pernah merasakan perihnya kerugian, namun tak di pungkiri bila ia mendapat keuntungan yang berlimpah ruah.
Ketika tulisan-tulisan Anda dimuat di media massa, sesungguhnya banyak sekali keuntungan yang bisa diperoleh. Terutama pendapat dan gagasan Anda di baca oleh khalayak luas. Selain masyarakat mendapatkan manfaat setelah membacanya, Anda juga akan dikenal luas, bisa pula menambah credit point (Kum) bagi dosen untuk naik pangkat, bagi mahasiswa akan mendapat pengakuan diantara teman yang lain, dan Anda juga dapat sejumlah uang karena memang ada honornya yang telah disiapkan oleh pihak media.
Semoga makalah ini dapat menjadi penggoyang minat dan semangat kawan-kawan untuk menulis.
----Salam Semangat----

Referensi

Dra. Vero Sudiati dan Aloy Widyamartaya, Lic.Phil, Menjadi Wartawan Muda.
Drs. AS Haris Sumadiria, M.Si, Jurnalistik Indonesia
Drs. As HAris Sumadiria, M.Si, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan Praktis Penulis dan Junalis Profisional.
Drs. AS Haris Sumadiria, M.Si, Bahasa Jurnalistik
William L. Rivers dan Jay W. Jenesen Theodore Petrson, Media Massa dan Masyarakat Modern, edisi kedua terjemah,
http://bengkeljurnalistik.wordpress.com/
http://journalist-adventure.wordpress.com/

Monday, December 15, 2008

Pemikiran Modern Emha (Cak Nun)


Oleh: Mulyadi Saputra
Emha adalah seorang tokoh budayawan yang religius. Pemikiran-pemikirannya sungguh tepat bila diacungkan jempol. Dari berbagai aspek ia selalu bisa masuk. Sosial, budaya, sastra, agama, dan lain sebagainya. Salah satu pemikirannya ialah :
Inilah tafsir baru tentang hablum minallah dan hablum minannas. Selama ini dua terminologi itu diartikan sebagai hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Menurut Cak Nun, pengertian yang selama ini ada masih bersifat sekuler, yaitu ada dua tali yang satu bersifat vertikal dan satu lagi bersifat horisontal, dan tidak ketemu keduanya. Ia mencontohkan, orang rajin umroh, tetapi korupsi tetap jalan. Padahal hablum minallah itu berarti tali dari Allah (informasi, kasih sayang, dll. kepada manusia, begitu tiba pada manusia lantas dilanjutkan ke manusia lain, ke alam, ke binatang, bahkan kepada jin, maka disebut hablum minannas. Dan sesungguhnya tali itu tetap satu yaitu tali Allah yang oleh manusia disebarkan ke beberapa pihak. Itulah konsep Cak Nun mengenai hablum minallah dan hablum minannas. Jadi tidak bisa ada sekularisme di situ.
Lebih jauh Cak Nun menjelaskan, implikasi dua konsep itu bisa dilihat dalam kehidupan nyata kita. "Pas Ramadhan banyak band bikin album religi, sebelum Ramadhan tidak. Seolah Tuhan disembunyikan entah ke mana, itulah sekularisme," ujar Cak Nun memberi contoh dampak salah paham terhadap konsep hablum minallah dan hablum minannas tersebut.
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun . “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?“
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yangmemperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Pemikiran Emha yang lain seperti dalam forum Maiyahan , tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar,sering saya bertanya kepada forum:
“Apakah anda punya tetangga?”.Dijawab serentak “Tentu punya”
“Punya istri enggak tetangga Anda?”
“Ya, punya doooong”
“Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?”
“Secara khusus, tak pernah melihat “
“Jari-jari kakinya lima atau tujuh? “
“Tidak pernah memperhatikan”
“Body-nya sexy enggak?” Hadirin tertawa lepas.
Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka: “Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja”.
Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.
Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya. Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit.
Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.
Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga Berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati. Itulah Maiyah.

Banyak Kalangan Mencoba Menafsirkan Cak Nun
Emha Ainun Nadjib, agaknya, adalah salah satu individu (penting) dalam pentas sejarah tanah air. Tindakan, pemikiran, dan karyanya dalam beragam model, cukup berpengaruh pada lingkar komunitas (masyarakat) tertentu. Begitu banyak orang terpukau pada sosok Emha. Dia memang punya karisma keaktoran untuk memukau publik. Tapi barangkali perlu dipertanyakan: Apakah keterpukauan orang banyak itu memang terkait dengan "kualitas" Emha yang sesungguhnya?
Publik pengagum Emha bahkan kadang memperlakukan Emha layaknya seorang "artis", sebuah predikat yang paling sering dikritik oleh Emha sendiri. Dengan caranya sendiri --entah lewat pemikiran atau tindakan -- Emha sering ''hadir" dalam peristiwa demi peristiwa di tanah air. Sangat banyak ragam komunitas yang disentuhnya. Bermacam-macam model tindakan yang dilakukannya. Energi sosok yang satu ini lumayan berlipat-lipat. Perannya multidimensi. Meski juga seperti (hampir?) semua individu dalam sejarah, Emha tetap punya kekuatan dan kelemahannya sendiri.
Justru karena Emha relatif independen (belum pernah benar-benar terkurung dalam komunitas dan organisasi tertentu), dia bisa mengkritisi siapa saja secara leluasa. Mengkritisi terutama dalam artian menganalisis kekuatan dan kelemahannya untuk kemudian memutuskan untuk membantu atau tidak pada program suatu individu, komunitas maupun organisasi. Dalam momen-momen tertentu, Emha ada di mana-mana, tapi pada momen-momen yang lain seakan-akan dia tidak ikut siapa pun dan atau kelompok mana pun. Dia bisa mengkritik siapa saja, tapi tentu juga sebaliknya: dia bisa dikritik oleh siapa saja.
Terlepas dari faktor kekuatan dan kelemahannya, dalam soal tindakan, karya, dan pemikiran, Emha tergolong manusia "produktif". Sampai di akhir tahun 1996 ini saja kurang lebih 40-an buah bukunya yang terbit. Dan tampaknya berkas-berkas dokumen tulisannya masih banyak, dan dia masih terus saja produktif menulis. Angka 40 itu menunjukkan, ia merupakan penulis Indonesia terproduktif sampai saat ini. Juga mungkin terlaris, karena terkait dengan sosok Emha yang sudah telanjur marketable. Buku-bukunya sering kali mengalami cetak ulang, dan kebanyakan sukses terjual di pasaran, di tengah-tengah daya beli masyarakat buku Indonesia yang lesu.
H.B. Jassin, paus sastra Indonesia, pernah menyebut Emha sebagai salah satu penulis "jenius" di samping Hilman, pengarang cerita remaja Lupus. Jenius bukan dalam konteks "kualitas" tulisannya, tapi jenius dalam konteks banyak yang menggemari tulisannya, banyak yang membeli karyanya. Sebagaimana halnya beberapa penulis (Indonesia), ada karya Emha yang bagus tapi juga ada yang tidak. Ada yang berbobot ada yang tidak. Ada yang berkualitas ada yang tidak.
Karena terlampau produktif, banyak tulisan Emha yang -- maaf -- dangkal dan kedodoran. Bahkan, beberapa di antaranya terkesan asal jadi karena harus merespons permintaan yang insidental. Justru karena over produktifnya, maka mungkin kurang realistis menggunakan kriteria yang terlampau "keras", "ketat", atau "ideal" dalam menilai karya-karya Emha. Apalagi untuk karya-karya kelas bunga rampai yang dikumpulkan dari tulisan pendeknya yang pernah dimuat di media massa. Sebagian besar tulisan Emha memang merupakan tulisan lepas yang pendek, yang sebelumnya sengaja dikonsumsikan untuk media massa. Bukan tulisan yang utuh.
Justru karena amat produktif, Emha tampaknya tak begitu memperhatikan faktor estetika dan seni ungkap tulisannya. Juga tak memberi ruang inovasi dan eksperimen terhadap Bahasa Indonesia yang masih tergolong muda dan "miskin". Ini tentu berbeda dengan -- misalnya -- Goenawan Mohamad yang amat teliti dalam persoalan estetika dan seni ungkap tulisannya. Goenawan juga terus-menerus melakukan upaya eksperimen terhadap bahasa Indonesia. Dia berusaha keras melawan "kemiskinan" bahasa Indonesia, misalnya saja dengan cara mengadaptasi dan mengkreasi (menciptakan?) kosakata yang belum ditemukan dalam bahasa Indonesia baku. Lain dengan Goenawan, Emha menulis hanya sebatas bisa dipahami oleh audience-nya. Pokoknya asal orang bisa menangkap maksud Emha.
Cukup sulit, agaknya, mencoba untuk memetakan kosmos nilai dan pemikiran Emha. Begitu banyak warna-warni masalah (kehidupan) yang direspons dan diungkapnya. Begitu banyak jenis tulisan yang dibikinnya. Dan rumitnya, kadang di sana-sini ada beberapa idenya yang ambigu, bertentangan satu sama lain, kesannya kadang kurang konsisten. Daya tarik Emha, mungkin saja, adalah pada paradoks-paradoks-nya.
Walau berkonsekuensi (terlampau) menyederhanakan, agaknya kosmos nilai dan pemikiran Emha tetap bisa dipetakan. Setidaknya menurut saya. Jika orang lain memetakan, mungkin saja hasilnya beda. Atau bahkan Emha sendiri tak sepenuhnya sepakat dengan pemetaan orang lain yang dilakukan pada dirinya. Semuanya mungkin tetap sah-sah saja. Sebuah pluralisme pemahaman yang tak harus selalu seirama dan senada. Kosmos nilai dan pemikiran ini adalah sebuah ikhtiar untuk menangkap yang paling menonjol pada sepak terjang dan pemikiran Emha.
Emha meletakkan Tuhan (Allah), Nabi (Muhammad) dan Agama (Islam) sebagai "center", sebagai "pusat", sebagai sumber inspirasi dari segala tindakannya, entah dalam tindakan, pemikiran maupun karyanya. Dalam hampir semua tulisan dan karyanya, pada konteks ini, Emha amat sering menyebut kosakata Allah, Muhammad (juga nabi-nabi Abrahamic lainnya), nilai-nilai Islam (secara umum agama), Alquran (ayat-ayat suci), hadis (sabda Nabi), sejarah (tokoh-tokoh) Islam dan semacamnya. Saking seringnya menyebut Tuhan (Allah) dan nabi-nabi, kesannya Emha terlampau "mendramatisasi".
Dari situ, Emha sering terjebak pada nada berpikir yang sloganistik dan berkesan terlampau menyederhanakan dan menggampangkan masalah (hidup) yang sebenarnya rumit dan kompleks. Seakan-akan hidup pasti akan baik dan sempurna jika manusia memegangi benar-benar tradisi agama, khususnya Islam. Sampai di sini, retorika Emha sering mirip dengan yang secara sederhana -- meski tak selalu tepat -- disebut kaum "fundamentalis". Yaitu suatu komunitas yang gampang terkurung pada "penjara bahasa" (logosentrisme?). Biasanya menjadi tidak dinamis, dus dogmatis.
Jika dianalisis dari beberapa pesan tulisannya, misalnya, untuk sebuah pertanyaan: Mengapa umat manusia dan perjalanan sejarah justru semakin destruktif, semakin tidak adil, semakin tidak manusiawi dan sejenisnya, bahkan manusia semakin terjebak untuk menganiaya dan memperbudak dirinya sendiri? Maka, berdasrakan alur berpikir Emha, pertanyaan seperti itu akan dijawab sebagai berikut: karena umat manusia semakin menjauh dari (nilai-nilai) Tuhan (Allah), dari pesan-pesan Nabi (Muhammad), dari nilai-nilai agama (Islam), Kitab Suci (Alquran), hadis dan seterusnya. Begitu simpel, begitu sederhana solusi pemecahannya.
Padahal, kalau dilihat dalam praktiknya, pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai agama -- dalam konteks Emha adalah Islam -- juga terhadap "citra" Tuhan (Allah) dan Nabi (Muhammad) bisa saja lain dan bahkan sering berlainan. Di sini, dalam berbagai kasus, bahkan banyak manusia dan komunitas (biasanya orde pemerintahan, politik, dan kekuasaan) yang bertindak tidak adil, otoriter, destruktif dan semacamnya dengan mengatasnamakan Tuhan dan agama. Kutub yang otoriter dan non-otoriter sama-sama mengatasnamakan Tuhan, agama, institusi sakral dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, ayat dilawan dengan ayat.
Bagi Emha, agama -- khususnya Islam -- bukan sekadar bagian dari semesta kesadaran dan semesta nilai yang begitu kompleks dan rumit dalam sejarah kehidupan dan umat manusia. Islam, baginya, merupakan "center", merupakan "pusat" nilai dan kesadaran yang sempurna, yang mengatasi dan melampaui semua semesta nilai dan semesta kesadaran yang pernah ada dan mungkin akan terus ada dalam pentas sejarah umat manusia. Sampai di sini, Emha lebih dominan warnanya sebagai -- sekali lagi -- seorang "fundamentalis" (bukan seorang parennialis), yang terlampau mengagung-agungkan (atau terkungkung?) keislamannya, tetapi (agak) sulit terbuka pada nilai-nilai yang dianggap di "luar" Islam. Dalam beberapa tulisan dan pemikirannya, Emha kadang-kadang memang menganjurkan dialog transkultural dan tentu dialog antar-Islam dan antar-agama, tetapi itu sekadar percik-percik kecil dari mosaik pemikirannya. Jika dicermati, warna dominan Emha tetap seorang "fundamentalis". Ini barangkali hanya salah satu contoh dari ambiguitasnya.
Dalam konteks bergotong royong, gugur gunung dan solidaritas sosial, dalam alur pemikiran Emha, antar-agama bisa bekerja sama, tapi dalam konteks teologis (padahal ada teologi sosial) sulit dilakukan dialog yang terbuka dan "telanjang bulat". Padahal, bisa saja antar-pemeluk agama saling belajar dari ruang-ruang tersembunyi, yang ritual, yang spiritual, yang batin untuk saling belajar dan mungkin saja saling menguatkan, meneguhkan dan memperdalam, bukan hanya dalam konteks relasi sosial kultural. Toh, pada dasarnya semua agama berniat mengajarkan kebaikan dan keluhuran (sumbernya adalah "kejujuran") dan bermuara kepada Yang Mahakasih dan Maha Pencipta.
Namun di sisi lain, jika dicermati, tekad Emha untuk menjadikan Islam sebagai "center", kadang juga sekadar retorika. Maksudnya, justru lebih banyak tulisan, pemikiran, dan karyanya yang menggunakan idiom-idiom nilai dan simbol bahasa ungkap yang "umum" daaripada memakai nilai-nilai dan idiom bahasa yang benar-benar "ketat" dan "formal Islam". Ini barangkali juga salah satu paradoks pada diri Emha.
Yang cukup menonjol juga dari tindakan, pemikiran, dan karya Emha adalah penggarisbawahannya yang cukup tebal pada wacana demokrasi, keadilan, emansipasi, anti-otoriterisme dan sejenisnya. Terutama yang menjadi kepedulian Emha adalah transformasi kebudayaan (untuk itu dia lebih sering disebut budayawan) dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Di sini, bagi Emha, persoalan sosial, kultural, politik, ekonomi, seni, sastra dan seterusnya hanya bagian dari kebudayaan itu. Di sini, Emha justru lebih sering disebut dengan predikat budayawan, bukan agamawan, cendekiawan muslim, kiai, ulama dan sejenisnya sesuai denga "heroisme"-nya untuk men-Tuhan dan meng-Islam secara kaafah. Budayawan tentu punya citra identitas lebih "umum" dan tidak mengakar pada salah satu agama saja. Sekali lagi, ini tentu paradoks dengan tekad Emha untuk mengakar pada agama (Islam). Kenapa? Karena di sini, agama (Islam) hanyalah merupakan bagian dari kebudayaan yang lebih luas.
Sangat banyak tulisan, pemikiran, ide,dan karya Emha yang menyoal ketimpangan sosial politik dan mengkritik (secara tajam) pada orde pemerintahan dan atau kekuasaan yang otoriter, korup, destruktif, dan hegemonik.Entah itu pada level lokal, nasional maupun internasional (global). Terutama pada era '80-an dan '90-an, pemikiran, karya, dan tindakan Emha sangat banyak yang menyoal bangunan kebudayaan yang dianggapnya pincang. Entah itu dalam bentuk dominasi kultural, ketimpangan sosial politik, dekandensi moral, dan masyarakat yang "sakit".
Kepincangan itu terutama diakibatkan oleh struktur kapitalisme global, modernisme dan developmentalisme beserta orde-ordenya yang otoriter. Orde ini juga melahirkan gaya hidup yang -- menurut istilah Emha -- konsumeristik dan hedonistik, di mana manusia dikendalikan oleh nafsu dan benda-benda yang tak habis-habisnya, bukan sebaliknya. Ketimpangan sosial politik yang paling sering dikritiknya adalah bermula dari kekuasaan (pemerintahan) yang otoriter, represif, feodalis, korup, tidak adil dan hegemonik. Kekuasaan yang tidak pernah mengemban kedaulatan rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya.
Emha sangat sering mengkritik dan "melawan" komponen-komponen kekuasaan, tapi agaknya dia taktis dalam membaca situasi dan melontarkan metodenya, sehingga sampai kini dia tidak pernah bisa dijebak dan dipukul dengan telak sebagaimana beberapa "oposan" dan pengkritik radikal lainnya. Paling banter Emha sebatas di-"cekal". Dan begitu di-"cekal" di suatu tempat dan dalam beberapa masalah (hal) tertentu, Emha akan ber-"gerilya" di tempat lain dan dalam beberapa masalah (hal) yang lain pula. Begitu seterusnya tanpa kenal menyerah.
Sampai di situ dia memang sering berbicara dengan apa yang disebut sebagai filosofi "kependekaran". Bukan sekadar kependekaran dalam ilmu bela diri fisik, tapi adalah filosofi "kependekaran" dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Di sini misalnya Emha menyebut konsep-konsep "batu", "besi", "air", "udara", "gelombang", "roh" dan sebagainya. Bahkan Emha juga sering menyebut dan mengurai alam-alam yang supranatural dan adiduawi.
Dan tampaknya bukan hanya berbicara, tapi Emha bisa menerapkan filosofi kependekaran itu dengan baik. Terbukti dia bisa masuk ke mana-mana, bukan sekadar ke civil society, tapi dia juga bisa menyelusup ke komponen-komponen kekuasaan beserta aktor-aktornya untuk melontarkan ide-ide yang diyakininya. Sebisa mungkin, tampaknya, Emha ingin mempengaruhi lingkar komunitas yang sangat luas dan bermacam-macam. Dari sini Emha punya pengaruh dan lingkar kenalan dan "jembatan batin" yang amat luas. Dengan filosofi cinta kasih dan kemesraan batin, Emha ingin menyapa hati nurani siapa saja, bahkan terhadap komponen-komponen state (kekuasaan, pemerintahan) beserta hegemoni dan perpanjangan tangannya.
Sampai di situ, Emha kadang sering disalahmengerti, seakan-akan dia mendekat, bekerja, dan oportunis terhadap kekuasaan, padahal sebenarya tidak. Beberapa kali, misalnya, Emha ditawari sebuah "jabatan struktural" politik dan organisasi yang sangat menjanjikan untuk karier jabatan dan ekonomi (materi), tapi selalu ditolaknya. Atau paling-paling dia masuk bergabung sebentar lantas keluar lagi. Agaknya ia memang tipe individu yang "independen" (solo karier) yang sejak awal (dan seterusnya?) memposisikan diri berada di luar lingkar formal, sistem, dan struktural kekuasaan yang "resmi".
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan Emha yang manusiawi, barangkali yang patut diberi kredit poin adalah semangat kerja keras dan etos perjuangannya yang luar biasa dan berlipat-lipat untuk ukuran "manusia kebanyakan". Bukan sekadar untuk mengurus dirinya sendiri dan keluarga, tapi lebih dari itu sebagian besar waktunya dihabiskan untuk "menyentuh" sesama umat manusia yang levelnya amat luas.

Akibat Pemikiran Emha dan Fens Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Berbicara :
Apa kata fans tentang Emha Ainun Nadjib, Kang Emha, guru beladiri saya di Bandung (dicky zaenal arifin) pengen ketemuan sama antum. kalian berdua banyak banget kesamaannya. 081 32 11 88 308.
Adan (20-07-2007 02:07:01),Apakah Cak Nun masih berpuasa berbicara? Bagaimana klo Cak Nun menghidupkan GARDU, CERMIN dan WACANA BUDAYA di televisi lagi. Agar rakyat mendapat pencerahan pemikiran.
Mbah Sapto Raharjo (Wartawan) (29-03-2007 16:08:43), Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Apa kbr Cak Nun? Saya kangen kolom, dan obrolan Cak Nun yang segar, menggelitik dan mencerahkan pemikiran itu. Bgm klo Cak Nun muncul di TV lagi, Wacana Budaya (TVRI), dan Gardu (Indosiar), Cermin bisa dihidupkan lagi. Di saat manusia kebingungan melihat kenyataan hidup yang makin sulit seperti ini, pencerahan pemikiran sangat membantu dalam mencerdaskan bangsa dalam mencari solusi dari segala problem kehidupan yang terjadi. Acara Empat mata yang hanya berisi banyolan saja laku, apalagi yang berisi pencerahan hati. Wassalam 'alaiku Wr. Wb. Hormat Saya TTD (Sapto Raharjo) Redaksi majalah Al-Zaytun Gantar, Indramayu, Jabar.
****
Referensi
John MacDougall apakabar@clark.net (from apakabar@localhost) by explorer2.clark.net
indonesia@conf.igc.apc.org
owner-indonesia-l@indopubs.com<199704291725.LAA06780@indopubs.com
www.pdat.co.id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib–indonesia-l@indopubs.com
http://www.indonesian-society.com/obrolan/arief1.htm
klub-mawar@yahoogroups.com
www.padangbulan.com
http://lenterahati.wordpress.com/category/emha-ainun-nadjib/
www.geocities.com
http://ajisetiawan.blogspot.com/2006/02/emha-ainun-nadjib-tamu-kita.html
http://selebriti.kapanlagi.com/emha_ainun_nadjib/
http://kajianislam.wordpress.com/2007/08/03/emha-ainun-nadjib-gusti-allah-tidak-ndeso/
sugiono_ali@yahoo.co.id

Saturday, December 13, 2008

Tatapan Kosong

Seperti biasa aku berangkat sekolah menggunakan bus, ya meski terkadang aku harus berdesak-desakkan, melawan rasa gerah padahal masih pagi, atau terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk, tapi lumayan bisa ngirit ongkos dibanding kalau harus naik angkot atau taksi.
Kali ini aku terpaksa berdiri karena semua kursi sudah terisi penuh, tapi sungguh malang nian nasibku, di depanku berdiri seorang lelaki bertubuh tambun, satu tangannya terangkat berpegangan pada besi yang berada diatas kepalanya seperti menyuarakan “Merdeka!”, tentu saja aku amat terganggu karena keteknya tepat berada di depan hidungku, bau tak sedap tercium dari sana, seperti bau sayur asam yang sudah basi, aku ingin menghindar tapi sepertinya tidak ada tempat yang tepat karena ternyata di belakangku juga berdiri seorang lelaki kribo, rambutnya yang seperti sarang lebah itu tak kalah baunya dari ketek si lelaki tambun, bau terasi tercium dari sana, apalagi saat kuperhatikan pakaiannya yang lusuh, entahlah apa dia pengemis atau bukan, aku tidak terlalu memperdulikannya.
“Uhk….”aku berusaha tetap bertahan meski rasanya mau muntah, si cowok kribo tersenyum padaku, tapi aku ogah membalas senyuman sok manisnya itu, aku langsung memalingkan wajah.
“Hem…kayaknya yang satu nggak pernah mandi dan yang satunya lagi jarang keramas” rutukku sambil menutup hidung.
Kenapa juga perjalanan ke sekolah terasa amat lama padahal hanya beberapa kilometer saja, tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang lelaki yang sedang duduk manis tak jauh dari tempat aku berdiri, penampilannya rapi, dia memakai T-shirt berwarna biru dipanut dengan celana jeans, diatas kepalanya bertengger topi, lumayan cakep juga, dia terus saja menatapku meski tatapannya tanpa ekspresi, mungkin sudah dari tadi dia memperhatikanku, siapa yang tidak nerveous coba diperhatikan cowok cakep.
Aku mengarahkan wajahku ke tempat lain tak bisa lama-lama membalas tatapannya, beberapa detik kemudian aku menoleh ke arah si cowok cakep, rupanya dia masih memandangiku, aku merapikan rambut dan seragamku sambil tersenyum-senyum sendiri, tak sengaja mataku tertuju pada si kribo, dia kembali tersenyum, aku melengos.
“Dia pikir aku senyum sama dia apa, enak aja! Kayaknya harus berpikir 1000x deh kalau harus senyum sama nih cowok”.
Karena penasaran aku kembali melirik cowok cakep itu, ya ampun!! Matanya masih tertuju padaku, jangan-jangan tuh cowok suka lagi sama aku, sekarang aku jadi deg-degan, aku kembali tersenyum sambil mengarahkan kembali pandanganku ke tempat lain.
Kali ini si kribo tahu diri, karena sepertinya dia sadar kalau sedari tadi senyuman ini bukan untuknya, tapi dia masih saja tersenyum padaku.
Tiba-tiba kondektur meneriakkan nama sebuah tempat, cowok cakep itu berdiri dari kursinya, aku berniat untuk menyapanya tapi kuurungkan niat itu saat kulihat dia berjalan ditemani sebuah tongkat yang ia pegang di tangan kanannya, pantesan dari tadi matanya tertuju padaku tapi tatapannya tanpa ekspresi gitu, kalau dipikir-pikir malu juga sepanjang jalan aku sudah kepedean diperhatikan cowok cakep, eh ternyata tuh cowok nggak bisa lihat alias buta.
Si kribo yang masih berdiri disampingku masih melemparkan senyumnya, senyuman kali ini mungkin kalau diartikan “Rasain! Makannya Non jadi orang jangan kepedean”.
Beberapa saat kemudian sekolah sudah di depan mata.
“Stop! Stop! Stop!” teriakku, bergegas aku turun dari bus masih dengan perasaan malu, malu banget.

Minggu, 31 Agustus 2008
By:
Richa Febrina

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.