Saturday, December 13, 2008

Tatapan Kosong

Seperti biasa aku berangkat sekolah menggunakan bus, ya meski terkadang aku harus berdesak-desakkan, melawan rasa gerah padahal masih pagi, atau terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk, tapi lumayan bisa ngirit ongkos dibanding kalau harus naik angkot atau taksi.
Kali ini aku terpaksa berdiri karena semua kursi sudah terisi penuh, tapi sungguh malang nian nasibku, di depanku berdiri seorang lelaki bertubuh tambun, satu tangannya terangkat berpegangan pada besi yang berada diatas kepalanya seperti menyuarakan “Merdeka!”, tentu saja aku amat terganggu karena keteknya tepat berada di depan hidungku, bau tak sedap tercium dari sana, seperti bau sayur asam yang sudah basi, aku ingin menghindar tapi sepertinya tidak ada tempat yang tepat karena ternyata di belakangku juga berdiri seorang lelaki kribo, rambutnya yang seperti sarang lebah itu tak kalah baunya dari ketek si lelaki tambun, bau terasi tercium dari sana, apalagi saat kuperhatikan pakaiannya yang lusuh, entahlah apa dia pengemis atau bukan, aku tidak terlalu memperdulikannya.
“Uhk….”aku berusaha tetap bertahan meski rasanya mau muntah, si cowok kribo tersenyum padaku, tapi aku ogah membalas senyuman sok manisnya itu, aku langsung memalingkan wajah.
“Hem…kayaknya yang satu nggak pernah mandi dan yang satunya lagi jarang keramas” rutukku sambil menutup hidung.
Kenapa juga perjalanan ke sekolah terasa amat lama padahal hanya beberapa kilometer saja, tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang lelaki yang sedang duduk manis tak jauh dari tempat aku berdiri, penampilannya rapi, dia memakai T-shirt berwarna biru dipanut dengan celana jeans, diatas kepalanya bertengger topi, lumayan cakep juga, dia terus saja menatapku meski tatapannya tanpa ekspresi, mungkin sudah dari tadi dia memperhatikanku, siapa yang tidak nerveous coba diperhatikan cowok cakep.
Aku mengarahkan wajahku ke tempat lain tak bisa lama-lama membalas tatapannya, beberapa detik kemudian aku menoleh ke arah si cowok cakep, rupanya dia masih memandangiku, aku merapikan rambut dan seragamku sambil tersenyum-senyum sendiri, tak sengaja mataku tertuju pada si kribo, dia kembali tersenyum, aku melengos.
“Dia pikir aku senyum sama dia apa, enak aja! Kayaknya harus berpikir 1000x deh kalau harus senyum sama nih cowok”.
Karena penasaran aku kembali melirik cowok cakep itu, ya ampun!! Matanya masih tertuju padaku, jangan-jangan tuh cowok suka lagi sama aku, sekarang aku jadi deg-degan, aku kembali tersenyum sambil mengarahkan kembali pandanganku ke tempat lain.
Kali ini si kribo tahu diri, karena sepertinya dia sadar kalau sedari tadi senyuman ini bukan untuknya, tapi dia masih saja tersenyum padaku.
Tiba-tiba kondektur meneriakkan nama sebuah tempat, cowok cakep itu berdiri dari kursinya, aku berniat untuk menyapanya tapi kuurungkan niat itu saat kulihat dia berjalan ditemani sebuah tongkat yang ia pegang di tangan kanannya, pantesan dari tadi matanya tertuju padaku tapi tatapannya tanpa ekspresi gitu, kalau dipikir-pikir malu juga sepanjang jalan aku sudah kepedean diperhatikan cowok cakep, eh ternyata tuh cowok nggak bisa lihat alias buta.
Si kribo yang masih berdiri disampingku masih melemparkan senyumnya, senyuman kali ini mungkin kalau diartikan “Rasain! Makannya Non jadi orang jangan kepedean”.
Beberapa saat kemudian sekolah sudah di depan mata.
“Stop! Stop! Stop!” teriakku, bergegas aku turun dari bus masih dengan perasaan malu, malu banget.

Minggu, 31 Agustus 2008
By:
Richa Febrina

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.