Monday, December 15, 2008

Pemikiran Modern Emha (Cak Nun)


Oleh: Mulyadi Saputra
Emha adalah seorang tokoh budayawan yang religius. Pemikiran-pemikirannya sungguh tepat bila diacungkan jempol. Dari berbagai aspek ia selalu bisa masuk. Sosial, budaya, sastra, agama, dan lain sebagainya. Salah satu pemikirannya ialah :
Inilah tafsir baru tentang hablum minallah dan hablum minannas. Selama ini dua terminologi itu diartikan sebagai hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Menurut Cak Nun, pengertian yang selama ini ada masih bersifat sekuler, yaitu ada dua tali yang satu bersifat vertikal dan satu lagi bersifat horisontal, dan tidak ketemu keduanya. Ia mencontohkan, orang rajin umroh, tetapi korupsi tetap jalan. Padahal hablum minallah itu berarti tali dari Allah (informasi, kasih sayang, dll. kepada manusia, begitu tiba pada manusia lantas dilanjutkan ke manusia lain, ke alam, ke binatang, bahkan kepada jin, maka disebut hablum minannas. Dan sesungguhnya tali itu tetap satu yaitu tali Allah yang oleh manusia disebarkan ke beberapa pihak. Itulah konsep Cak Nun mengenai hablum minallah dan hablum minannas. Jadi tidak bisa ada sekularisme di situ.
Lebih jauh Cak Nun menjelaskan, implikasi dua konsep itu bisa dilihat dalam kehidupan nyata kita. "Pas Ramadhan banyak band bikin album religi, sebelum Ramadhan tidak. Seolah Tuhan disembunyikan entah ke mana, itulah sekularisme," ujar Cak Nun memberi contoh dampak salah paham terhadap konsep hablum minallah dan hablum minannas tersebut.
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun . “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?“
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yangmemperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Pemikiran Emha yang lain seperti dalam forum Maiyahan , tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar,sering saya bertanya kepada forum:
“Apakah anda punya tetangga?”.Dijawab serentak “Tentu punya”
“Punya istri enggak tetangga Anda?”
“Ya, punya doooong”
“Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?”
“Secara khusus, tak pernah melihat “
“Jari-jari kakinya lima atau tujuh? “
“Tidak pernah memperhatikan”
“Body-nya sexy enggak?” Hadirin tertawa lepas.
Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka: “Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja”.
Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.
Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya. Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit.
Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.
Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga Berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati. Itulah Maiyah.

Banyak Kalangan Mencoba Menafsirkan Cak Nun
Emha Ainun Nadjib, agaknya, adalah salah satu individu (penting) dalam pentas sejarah tanah air. Tindakan, pemikiran, dan karyanya dalam beragam model, cukup berpengaruh pada lingkar komunitas (masyarakat) tertentu. Begitu banyak orang terpukau pada sosok Emha. Dia memang punya karisma keaktoran untuk memukau publik. Tapi barangkali perlu dipertanyakan: Apakah keterpukauan orang banyak itu memang terkait dengan "kualitas" Emha yang sesungguhnya?
Publik pengagum Emha bahkan kadang memperlakukan Emha layaknya seorang "artis", sebuah predikat yang paling sering dikritik oleh Emha sendiri. Dengan caranya sendiri --entah lewat pemikiran atau tindakan -- Emha sering ''hadir" dalam peristiwa demi peristiwa di tanah air. Sangat banyak ragam komunitas yang disentuhnya. Bermacam-macam model tindakan yang dilakukannya. Energi sosok yang satu ini lumayan berlipat-lipat. Perannya multidimensi. Meski juga seperti (hampir?) semua individu dalam sejarah, Emha tetap punya kekuatan dan kelemahannya sendiri.
Justru karena Emha relatif independen (belum pernah benar-benar terkurung dalam komunitas dan organisasi tertentu), dia bisa mengkritisi siapa saja secara leluasa. Mengkritisi terutama dalam artian menganalisis kekuatan dan kelemahannya untuk kemudian memutuskan untuk membantu atau tidak pada program suatu individu, komunitas maupun organisasi. Dalam momen-momen tertentu, Emha ada di mana-mana, tapi pada momen-momen yang lain seakan-akan dia tidak ikut siapa pun dan atau kelompok mana pun. Dia bisa mengkritik siapa saja, tapi tentu juga sebaliknya: dia bisa dikritik oleh siapa saja.
Terlepas dari faktor kekuatan dan kelemahannya, dalam soal tindakan, karya, dan pemikiran, Emha tergolong manusia "produktif". Sampai di akhir tahun 1996 ini saja kurang lebih 40-an buah bukunya yang terbit. Dan tampaknya berkas-berkas dokumen tulisannya masih banyak, dan dia masih terus saja produktif menulis. Angka 40 itu menunjukkan, ia merupakan penulis Indonesia terproduktif sampai saat ini. Juga mungkin terlaris, karena terkait dengan sosok Emha yang sudah telanjur marketable. Buku-bukunya sering kali mengalami cetak ulang, dan kebanyakan sukses terjual di pasaran, di tengah-tengah daya beli masyarakat buku Indonesia yang lesu.
H.B. Jassin, paus sastra Indonesia, pernah menyebut Emha sebagai salah satu penulis "jenius" di samping Hilman, pengarang cerita remaja Lupus. Jenius bukan dalam konteks "kualitas" tulisannya, tapi jenius dalam konteks banyak yang menggemari tulisannya, banyak yang membeli karyanya. Sebagaimana halnya beberapa penulis (Indonesia), ada karya Emha yang bagus tapi juga ada yang tidak. Ada yang berbobot ada yang tidak. Ada yang berkualitas ada yang tidak.
Karena terlampau produktif, banyak tulisan Emha yang -- maaf -- dangkal dan kedodoran. Bahkan, beberapa di antaranya terkesan asal jadi karena harus merespons permintaan yang insidental. Justru karena over produktifnya, maka mungkin kurang realistis menggunakan kriteria yang terlampau "keras", "ketat", atau "ideal" dalam menilai karya-karya Emha. Apalagi untuk karya-karya kelas bunga rampai yang dikumpulkan dari tulisan pendeknya yang pernah dimuat di media massa. Sebagian besar tulisan Emha memang merupakan tulisan lepas yang pendek, yang sebelumnya sengaja dikonsumsikan untuk media massa. Bukan tulisan yang utuh.
Justru karena amat produktif, Emha tampaknya tak begitu memperhatikan faktor estetika dan seni ungkap tulisannya. Juga tak memberi ruang inovasi dan eksperimen terhadap Bahasa Indonesia yang masih tergolong muda dan "miskin". Ini tentu berbeda dengan -- misalnya -- Goenawan Mohamad yang amat teliti dalam persoalan estetika dan seni ungkap tulisannya. Goenawan juga terus-menerus melakukan upaya eksperimen terhadap bahasa Indonesia. Dia berusaha keras melawan "kemiskinan" bahasa Indonesia, misalnya saja dengan cara mengadaptasi dan mengkreasi (menciptakan?) kosakata yang belum ditemukan dalam bahasa Indonesia baku. Lain dengan Goenawan, Emha menulis hanya sebatas bisa dipahami oleh audience-nya. Pokoknya asal orang bisa menangkap maksud Emha.
Cukup sulit, agaknya, mencoba untuk memetakan kosmos nilai dan pemikiran Emha. Begitu banyak warna-warni masalah (kehidupan) yang direspons dan diungkapnya. Begitu banyak jenis tulisan yang dibikinnya. Dan rumitnya, kadang di sana-sini ada beberapa idenya yang ambigu, bertentangan satu sama lain, kesannya kadang kurang konsisten. Daya tarik Emha, mungkin saja, adalah pada paradoks-paradoks-nya.
Walau berkonsekuensi (terlampau) menyederhanakan, agaknya kosmos nilai dan pemikiran Emha tetap bisa dipetakan. Setidaknya menurut saya. Jika orang lain memetakan, mungkin saja hasilnya beda. Atau bahkan Emha sendiri tak sepenuhnya sepakat dengan pemetaan orang lain yang dilakukan pada dirinya. Semuanya mungkin tetap sah-sah saja. Sebuah pluralisme pemahaman yang tak harus selalu seirama dan senada. Kosmos nilai dan pemikiran ini adalah sebuah ikhtiar untuk menangkap yang paling menonjol pada sepak terjang dan pemikiran Emha.
Emha meletakkan Tuhan (Allah), Nabi (Muhammad) dan Agama (Islam) sebagai "center", sebagai "pusat", sebagai sumber inspirasi dari segala tindakannya, entah dalam tindakan, pemikiran maupun karyanya. Dalam hampir semua tulisan dan karyanya, pada konteks ini, Emha amat sering menyebut kosakata Allah, Muhammad (juga nabi-nabi Abrahamic lainnya), nilai-nilai Islam (secara umum agama), Alquran (ayat-ayat suci), hadis (sabda Nabi), sejarah (tokoh-tokoh) Islam dan semacamnya. Saking seringnya menyebut Tuhan (Allah) dan nabi-nabi, kesannya Emha terlampau "mendramatisasi".
Dari situ, Emha sering terjebak pada nada berpikir yang sloganistik dan berkesan terlampau menyederhanakan dan menggampangkan masalah (hidup) yang sebenarnya rumit dan kompleks. Seakan-akan hidup pasti akan baik dan sempurna jika manusia memegangi benar-benar tradisi agama, khususnya Islam. Sampai di sini, retorika Emha sering mirip dengan yang secara sederhana -- meski tak selalu tepat -- disebut kaum "fundamentalis". Yaitu suatu komunitas yang gampang terkurung pada "penjara bahasa" (logosentrisme?). Biasanya menjadi tidak dinamis, dus dogmatis.
Jika dianalisis dari beberapa pesan tulisannya, misalnya, untuk sebuah pertanyaan: Mengapa umat manusia dan perjalanan sejarah justru semakin destruktif, semakin tidak adil, semakin tidak manusiawi dan sejenisnya, bahkan manusia semakin terjebak untuk menganiaya dan memperbudak dirinya sendiri? Maka, berdasrakan alur berpikir Emha, pertanyaan seperti itu akan dijawab sebagai berikut: karena umat manusia semakin menjauh dari (nilai-nilai) Tuhan (Allah), dari pesan-pesan Nabi (Muhammad), dari nilai-nilai agama (Islam), Kitab Suci (Alquran), hadis dan seterusnya. Begitu simpel, begitu sederhana solusi pemecahannya.
Padahal, kalau dilihat dalam praktiknya, pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai agama -- dalam konteks Emha adalah Islam -- juga terhadap "citra" Tuhan (Allah) dan Nabi (Muhammad) bisa saja lain dan bahkan sering berlainan. Di sini, dalam berbagai kasus, bahkan banyak manusia dan komunitas (biasanya orde pemerintahan, politik, dan kekuasaan) yang bertindak tidak adil, otoriter, destruktif dan semacamnya dengan mengatasnamakan Tuhan dan agama. Kutub yang otoriter dan non-otoriter sama-sama mengatasnamakan Tuhan, agama, institusi sakral dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, ayat dilawan dengan ayat.
Bagi Emha, agama -- khususnya Islam -- bukan sekadar bagian dari semesta kesadaran dan semesta nilai yang begitu kompleks dan rumit dalam sejarah kehidupan dan umat manusia. Islam, baginya, merupakan "center", merupakan "pusat" nilai dan kesadaran yang sempurna, yang mengatasi dan melampaui semua semesta nilai dan semesta kesadaran yang pernah ada dan mungkin akan terus ada dalam pentas sejarah umat manusia. Sampai di sini, Emha lebih dominan warnanya sebagai -- sekali lagi -- seorang "fundamentalis" (bukan seorang parennialis), yang terlampau mengagung-agungkan (atau terkungkung?) keislamannya, tetapi (agak) sulit terbuka pada nilai-nilai yang dianggap di "luar" Islam. Dalam beberapa tulisan dan pemikirannya, Emha kadang-kadang memang menganjurkan dialog transkultural dan tentu dialog antar-Islam dan antar-agama, tetapi itu sekadar percik-percik kecil dari mosaik pemikirannya. Jika dicermati, warna dominan Emha tetap seorang "fundamentalis". Ini barangkali hanya salah satu contoh dari ambiguitasnya.
Dalam konteks bergotong royong, gugur gunung dan solidaritas sosial, dalam alur pemikiran Emha, antar-agama bisa bekerja sama, tapi dalam konteks teologis (padahal ada teologi sosial) sulit dilakukan dialog yang terbuka dan "telanjang bulat". Padahal, bisa saja antar-pemeluk agama saling belajar dari ruang-ruang tersembunyi, yang ritual, yang spiritual, yang batin untuk saling belajar dan mungkin saja saling menguatkan, meneguhkan dan memperdalam, bukan hanya dalam konteks relasi sosial kultural. Toh, pada dasarnya semua agama berniat mengajarkan kebaikan dan keluhuran (sumbernya adalah "kejujuran") dan bermuara kepada Yang Mahakasih dan Maha Pencipta.
Namun di sisi lain, jika dicermati, tekad Emha untuk menjadikan Islam sebagai "center", kadang juga sekadar retorika. Maksudnya, justru lebih banyak tulisan, pemikiran, dan karyanya yang menggunakan idiom-idiom nilai dan simbol bahasa ungkap yang "umum" daaripada memakai nilai-nilai dan idiom bahasa yang benar-benar "ketat" dan "formal Islam". Ini barangkali juga salah satu paradoks pada diri Emha.
Yang cukup menonjol juga dari tindakan, pemikiran, dan karya Emha adalah penggarisbawahannya yang cukup tebal pada wacana demokrasi, keadilan, emansipasi, anti-otoriterisme dan sejenisnya. Terutama yang menjadi kepedulian Emha adalah transformasi kebudayaan (untuk itu dia lebih sering disebut budayawan) dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Di sini, bagi Emha, persoalan sosial, kultural, politik, ekonomi, seni, sastra dan seterusnya hanya bagian dari kebudayaan itu. Di sini, Emha justru lebih sering disebut dengan predikat budayawan, bukan agamawan, cendekiawan muslim, kiai, ulama dan sejenisnya sesuai denga "heroisme"-nya untuk men-Tuhan dan meng-Islam secara kaafah. Budayawan tentu punya citra identitas lebih "umum" dan tidak mengakar pada salah satu agama saja. Sekali lagi, ini tentu paradoks dengan tekad Emha untuk mengakar pada agama (Islam). Kenapa? Karena di sini, agama (Islam) hanyalah merupakan bagian dari kebudayaan yang lebih luas.
Sangat banyak tulisan, pemikiran, ide,dan karya Emha yang menyoal ketimpangan sosial politik dan mengkritik (secara tajam) pada orde pemerintahan dan atau kekuasaan yang otoriter, korup, destruktif, dan hegemonik.Entah itu pada level lokal, nasional maupun internasional (global). Terutama pada era '80-an dan '90-an, pemikiran, karya, dan tindakan Emha sangat banyak yang menyoal bangunan kebudayaan yang dianggapnya pincang. Entah itu dalam bentuk dominasi kultural, ketimpangan sosial politik, dekandensi moral, dan masyarakat yang "sakit".
Kepincangan itu terutama diakibatkan oleh struktur kapitalisme global, modernisme dan developmentalisme beserta orde-ordenya yang otoriter. Orde ini juga melahirkan gaya hidup yang -- menurut istilah Emha -- konsumeristik dan hedonistik, di mana manusia dikendalikan oleh nafsu dan benda-benda yang tak habis-habisnya, bukan sebaliknya. Ketimpangan sosial politik yang paling sering dikritiknya adalah bermula dari kekuasaan (pemerintahan) yang otoriter, represif, feodalis, korup, tidak adil dan hegemonik. Kekuasaan yang tidak pernah mengemban kedaulatan rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya.
Emha sangat sering mengkritik dan "melawan" komponen-komponen kekuasaan, tapi agaknya dia taktis dalam membaca situasi dan melontarkan metodenya, sehingga sampai kini dia tidak pernah bisa dijebak dan dipukul dengan telak sebagaimana beberapa "oposan" dan pengkritik radikal lainnya. Paling banter Emha sebatas di-"cekal". Dan begitu di-"cekal" di suatu tempat dan dalam beberapa masalah (hal) tertentu, Emha akan ber-"gerilya" di tempat lain dan dalam beberapa masalah (hal) yang lain pula. Begitu seterusnya tanpa kenal menyerah.
Sampai di situ dia memang sering berbicara dengan apa yang disebut sebagai filosofi "kependekaran". Bukan sekadar kependekaran dalam ilmu bela diri fisik, tapi adalah filosofi "kependekaran" dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Di sini misalnya Emha menyebut konsep-konsep "batu", "besi", "air", "udara", "gelombang", "roh" dan sebagainya. Bahkan Emha juga sering menyebut dan mengurai alam-alam yang supranatural dan adiduawi.
Dan tampaknya bukan hanya berbicara, tapi Emha bisa menerapkan filosofi kependekaran itu dengan baik. Terbukti dia bisa masuk ke mana-mana, bukan sekadar ke civil society, tapi dia juga bisa menyelusup ke komponen-komponen kekuasaan beserta aktor-aktornya untuk melontarkan ide-ide yang diyakininya. Sebisa mungkin, tampaknya, Emha ingin mempengaruhi lingkar komunitas yang sangat luas dan bermacam-macam. Dari sini Emha punya pengaruh dan lingkar kenalan dan "jembatan batin" yang amat luas. Dengan filosofi cinta kasih dan kemesraan batin, Emha ingin menyapa hati nurani siapa saja, bahkan terhadap komponen-komponen state (kekuasaan, pemerintahan) beserta hegemoni dan perpanjangan tangannya.
Sampai di situ, Emha kadang sering disalahmengerti, seakan-akan dia mendekat, bekerja, dan oportunis terhadap kekuasaan, padahal sebenarya tidak. Beberapa kali, misalnya, Emha ditawari sebuah "jabatan struktural" politik dan organisasi yang sangat menjanjikan untuk karier jabatan dan ekonomi (materi), tapi selalu ditolaknya. Atau paling-paling dia masuk bergabung sebentar lantas keluar lagi. Agaknya ia memang tipe individu yang "independen" (solo karier) yang sejak awal (dan seterusnya?) memposisikan diri berada di luar lingkar formal, sistem, dan struktural kekuasaan yang "resmi".
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan Emha yang manusiawi, barangkali yang patut diberi kredit poin adalah semangat kerja keras dan etos perjuangannya yang luar biasa dan berlipat-lipat untuk ukuran "manusia kebanyakan". Bukan sekadar untuk mengurus dirinya sendiri dan keluarga, tapi lebih dari itu sebagian besar waktunya dihabiskan untuk "menyentuh" sesama umat manusia yang levelnya amat luas.

Akibat Pemikiran Emha dan Fens Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Berbicara :
Apa kata fans tentang Emha Ainun Nadjib, Kang Emha, guru beladiri saya di Bandung (dicky zaenal arifin) pengen ketemuan sama antum. kalian berdua banyak banget kesamaannya. 081 32 11 88 308.
Adan (20-07-2007 02:07:01),Apakah Cak Nun masih berpuasa berbicara? Bagaimana klo Cak Nun menghidupkan GARDU, CERMIN dan WACANA BUDAYA di televisi lagi. Agar rakyat mendapat pencerahan pemikiran.
Mbah Sapto Raharjo (Wartawan) (29-03-2007 16:08:43), Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Apa kbr Cak Nun? Saya kangen kolom, dan obrolan Cak Nun yang segar, menggelitik dan mencerahkan pemikiran itu. Bgm klo Cak Nun muncul di TV lagi, Wacana Budaya (TVRI), dan Gardu (Indosiar), Cermin bisa dihidupkan lagi. Di saat manusia kebingungan melihat kenyataan hidup yang makin sulit seperti ini, pencerahan pemikiran sangat membantu dalam mencerdaskan bangsa dalam mencari solusi dari segala problem kehidupan yang terjadi. Acara Empat mata yang hanya berisi banyolan saja laku, apalagi yang berisi pencerahan hati. Wassalam 'alaiku Wr. Wb. Hormat Saya TTD (Sapto Raharjo) Redaksi majalah Al-Zaytun Gantar, Indramayu, Jabar.
****
Referensi
John MacDougall apakabar@clark.net (from apakabar@localhost) by explorer2.clark.net
indonesia@conf.igc.apc.org
owner-indonesia-l@indopubs.com<199704291725.LAA06780@indopubs.com
www.pdat.co.id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib–indonesia-l@indopubs.com
http://www.indonesian-society.com/obrolan/arief1.htm
klub-mawar@yahoogroups.com
www.padangbulan.com
http://lenterahati.wordpress.com/category/emha-ainun-nadjib/
www.geocities.com
http://ajisetiawan.blogspot.com/2006/02/emha-ainun-nadjib-tamu-kita.html
http://selebriti.kapanlagi.com/emha_ainun_nadjib/
http://kajianislam.wordpress.com/2007/08/03/emha-ainun-nadjib-gusti-allah-tidak-ndeso/
sugiono_ali@yahoo.co.id

1 comment:

Anonymous said...

Ngepst tulisan tentang cak nun teu bebeja heula ka titisanana, bisi kualat siah!!!

Bos, cerpen maneh mana deui euy??

i love u...... Windaku!

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.