Thursday, October 8, 2009

Akan Kulukis Semua Gelisah dalam Satu Malam

Mentari yang bersinar hangat menyuruhku untuk segra menyapa. Melambaikan tangan. Bahkan menatapnya dengan kesilauan. Bila kuinginkan itu maka aku yang akan kepanasan. bak caci9ng geleparan di tanah liat yang keras dan tandus. Teriak melolong. Berlari menjauh semua dari nasib kehidupan. Atau sanggupkah aku melukiskan semua gelisah dalam satu malam? Tak hanya itu yang kuharapkan. Yang hilang akan kembali. Yang pergi akan pulang dan yang mati akan hidup kembali. Ah tapi ini gila….
Anganku telah berlari jauh menuju kepesisir pantai. Menerjang ombak yang mengilap dan menggulung semua duka dermaga. Menatap jauh ketengah hamparan air yang meluas. Menantang badai. Setelah kutaklukan laut akan kutaklukan seluruh benda dilangit. Bulan, Matahari, Awan, Bintang dan Udara yang mengapung-apaung tak bertujuan maka akan kutaklukkan daratan, lengkaplah sudah. Ah, masa ia aku sekuat Arjuna? Atau aku seperti buraq yang mengantarkan Nabi kesurga? Terlalu jauh kini anganku membungkus semua kelu.

“Esok….” Aku hanya ingin bilang kalau esok Aku harus merayap untuk menguasai daratan. Janjiku hanya satu “Aku akan melukiskan semua gelisah dalam satu malam.” Akhir dari cerita yang setiap hari di utarakan setiap Ibu-Ibu rumah tangga. Bukan perselingkuhan suaminya. bukan pula bahan makanan dan minyak yang melonjak. Tapi Anaknya yang tak pulang malam tadi.

***

Mulai kutatar jari jemariku untuk menguaskan seluruh kehidupan. Memberi corak dalam setiap detik yang telah kulalui.

“Kakek, apa dulu Kakek yang mengajari Ayah menulis dan membaca?” ucapku seketika duduk didepan kulit keriputnya. Rupanya ia sama sekali tidak menjawab. Suaranya hanya sekedar dehem dan memberijawaban tak jelas. Kakek adalah pahlawan seribu abad yang lalu. Kakekku adalah alam. Ia sanggup menuntun kelelahan jiwa yang terhantam kerisauan. Benar-benar Abstrak dunia yang kulamunkan sekarang.

“Baren, kemana saja semalaman tadi?” Hatiku mengilu-ngilu tak sedap. Ingin kujawab dengan jujur pasti ini hanya ilusiku saja. Tapi ia telah benar menyebut namaku “Baren”. Nama itu yang pertama kulukis nanti. Nama pemberian Ayah, dan Ayah di ajari oleh Kakek.

“Semalam aku pergi bersama teman-temanku, melintasi Alam yang dingin. Alam yang akan mengajariku tentang kehidupan,” sejenak kuhela nafas, “Alam itu pula yang menjanjikan seluruh kedamaian,” seperti itu aku jawab dalam hatiku.
Mungkin kali ini benar memang Kakekku. Kulitnya kusut, keriput, tulang pipinya telah menonjol. Kelihatan tua sekali dia. Tangannya menepuk bahunku, meremas dan matanya menghilang dari jiwanya. Entah kemana. Hanya aku sanggup menempelkan secarik pikiran. “Ia mau menanyakan sesuatu tentang aku,”

“Kek, ada apa sebenarnya dengan saya?” kutatap dengan jeli setiap bola matanya mengintari alam sekitar. Sepertinya ia tak menghiraukan pertanyaanku. Suaraku tadi, telah hilang melambung terbawa oleh dinginnya angin.

“Apa yang telah kamu lukis selama kamu hidup di dunia ini?” aku begitu terkejut. Pertanyaan yang tak pernah kucari jawabannya kini telah menampar-namparku. Aku tak berkutik, muram, dan tak bergerak.

“Semalam suntuk aku telah mencoba mencari kuas, cat dan berbagai peralatan untuk melukis Kek. Di sana… di sebuah gunung yang tak jauh dari kota. Yang tak jauh dari jiwa yang telah gila,” sebentar-sebentar aku berhenti berkata, kususun rapi yang akan ku utarakan, sehingga yang terucap seperti puitis, “Disana pula telah kutoreh bersama teman-temanku. Sebuah lukisan kehidupan untuk peneruskan habitat kami, mereka orang yang beruntung Kek,”

“Berapa orang yang melukisnya?” Kakek itu menatapku seakan tak percaya dengan ucapan suci ini. ia tak menyangka cucunya yang amburadul telah sanggup melukis. Meski ia sebenarnya belum tau apa lukisan sebenarnya yang ku maksud.

“Kenapa Kakek tak menanyakan seperti apa lukisanku itu?” erat tangannya masih menjamah bahuku. “Apa sebenarnya Kakek tak percaya kalau aku sanggup mengerjakan hal itu?” kulit kusutnya mewakili semua jawaban yang tak terucap dari Kakek.

“Cucuku, dunia ini tak hanya sebuah goresan saja, bahkan warna dunia ini melebihi indah pelangi yang melengkung di timur sana, dan celah kehidupan tak serata kuas yang kau gunakan untuk melukis, dan dahsyatnya badai telah serta merta meluluhlantakkan semua cerita yang akan kau lukis,” tangan Kakek melemah, turun menyentuh krikil-krikil bulat seperti butirn-butiran yang menghiasi pantai.

***

“Apa…? disana kau dan teman-temanmu telah memikirkan, bagaimana kalau lukisan itu sebenarnya tak pernah diterima oleh para penikmat? Apakah kau dan teman-temanmu telah mempercayai kalau kertas yang kau lukis itu adalah kertas yang benar-benar kertas lukis? Ingat cucuku, jika itu tak cocok maka semua akan sia-sia,” Deg…. Jantungku seakan berhenti. Memikirkan bagaimana sebenarnya lukisan itu bila telah terpajang di dinding. Sedangkan yang kutahu lukisan-lukisan itu masih samar, mereka belum jelas semua. Apa mereka lukisan yang idealis atau lukisan abstrak atau yang lainnya. Aku dan teman-temanku bukan paranormal. Aku tak pernah tahu hati mereka. Mereka sebenarnya sama dengan kami. Mereka lukisan.
Dan jika penikmat tak pernah menerima lukisan itu, kami harus bagaimana? Sedangkan kami semua telah habis-habisan mengerahkan semua tenaga, pemikiran, dan hati. Jika tak lebih baik dari lukisan yang sering terpajang di luar sana, berarti kami telah gagal. Kuulangi sekali lagi “GAGAL”. Dua G, dua A dan satu L. lima huruf yang memalukan.

“Kek, kini telah terjadi semua, dengan waktu yang singkat, dengan rencana yang matang, dan dengan lukisan yang berbeda, lima buah lukisan Bunga yang berbeda-beda dan tiga lukisan yang menunjukkan pemangsa bunga,” begitulah aku mengurai satu demi satu lukisan.

“Lalu pelukisanya apakah menyukai bunga itu?” Kakek begitu semangat mengorek data dari setiap lekuk. Dia seakan membaca setiap lompatan mataku. Menatap lukisan bunga yang satu dan yang lain. Sebenarnya aku tak pernah memilah-milah, ia adalah lukisanku dan teman-temanku. Aku mencintai mereka melebihi dari cintaku dengan karya orang lain. Itu pasti!

“Kakek tau benar, pelukisnya semua adalah kaum Adam, mereka yang lembut dan penikmat dari segala karunia Ilahi Robbi. Mereka tak mau menyia-nyiakan suatu keindahan. Mereka semua pengagum dari segala seni,”

***

Malam yang larut kini telah menyusut menjadi butiran-butiran embun yang dingin. Menyerap semua hawa hangat ditubuh setiap manusia, pembakar tubuhpun menjadi kering kerontang seperti dalam masa yang gelap dengan pengetahuan, Yap…zaman dimana Nabi yang mencerahkan, zaman Jahilah tepatnya. Api… benar api yang sanggup menghilangkan semua dingin ditubuh ini. ia akan menghasut embun untuk segera pergi dari lingkungan ini. lalu menghilang dan datanglah kehangatan yang maha nyaman.
Kakek masih terus dihadapanku. Menuntun setiap kerongkonganku yang kering. Meluruskan semua garis yang akan kubuat dalam bingkai lukisan itu.

“Pilihlah cucuku satu lukisan yang benar-benar membuat hatimu sejuk. Dia telah kau lukis dan dia yang akan menghargai semua jerih payahmu, dan dia pula yang menjanjikan keindahan di hidupmu. Kau pajang di dinding yang termulia di sela-sela jiwamu.”

“Apa maksudnya Kek?” otakku kejang pura-pura tak mengerti. Semua yang Kakek utarakan padahal itu yang akan kutanyakan padanya. Namun hatiku terkadang enggan merangkai kata untuk sebait puisi, jika aku ingin mengutarakan padanya. Kutahu persis watakku sendiri. Aku malu bila mengatakan langsung. Kuingin metafora, hiperbola, ironi dan segala jenis majas, yang menyampaikan bait-bait hatiku itu.

***

“Kakek jangan terus menuntunku seperti ini,” kini hatiku mulai takut akan rahasia dibalik lukisan itu.

“Kau itu terlalu jauh meloncat kedasar lautan sana, kau itu terlalu menyembunyikan sesuatu yang jelas, tak usah kau katakan semua orang telah menafsirkan. Lukisanmu berbicara.”

“Tapi, Kakek telah memaksaku untuk mengutarakan semua tentang lukisan itu,” darahku meloncat-loncat tak karuan. Aku tak berdaya dibuatnya. Tapi aku yakin, aku takkan mengatakan semua tentang lukisan kami yang tergores semalam itu. Teman-temanku telah kukunci mulutnya untuk diam.tak mengatakan semuanya.

“Kakek, kami hanya main-main. Mengisi waktu luang dihari libur,” tegasku menutupi semua kejadian dibalik pelukisan itu.

“Kakek tak percaya dengan sumua itu. Dari percikan matamu saja telah terlihat jelas bahwa kau melukis dengan hati dan tercipta lukisan yang sejati.” Kini kedua kaki Kakek telah ditekuk sila menghadapku. Ia begitu serius. “Kakek hanya ingin menilai kerja keras kalian,” liurnya kini telah mongering, rongga-rongga tubuhnya mengeras seakan ia akan mengungkap semua kejadian semalam di hutan Cicalengka itu.
Api kini berkobar dengan dahsyat. Melahap seluruh kayu yang dimasukkan kedalamnya, rating yang dilemparkan kedalam, jangankan yang kering, basahpun nyala. Itulah api. Bila ia sudah menjadi dirinya, tak ada yang sanggup menahan kobarannya, namun sebelum ia benar-benar nyala maka tak ada yang dapat memprediksi, apa api itu akan nyala atau hanya asap yang akan melambung keudara kemudian hanyut bersama angin. Lenyap saja.

Kakek tua itu masih menghadap mataku. Ia menyimpan sejuata Tanya lagi.

“Cucuku, Kakek masih belum puas dengan ceritamu ini. Kakek ingin melihat lukisan-lukisan itu,” aku ingin sekali mencicit lari dari hadapannya. Aku merasa belum sanggup memperlihatkan lukisan itu, meski bukan aku sendiri yang melukisnya.

“Dimana kau menaruh lukisan-lukisan itu?” tangannya mencekam erat lenganku. Aku tak sanggup menghindar. Aku ingin berteriak kencang. Lepaskan!

“Disana Kek,” aku telah menunjukkan lukisan itu, berarti aku harus bertanggung jawab bila ada sesuatu terjadi dengan lukisan-lukisan itu. Kepada Hapid, Restu, Hadi, Ivan, Mul, Dani, Yoko, dan yang lainnya. Terlebih kepada Moses, Bob, Dany, Pian, dan petinggi lainnya. Aku takut.

Mata kakek telah menyerang keseluruh penjuru. Meneliti semua lukisan yang terpajang. Galerikah? Aku juga tak mengatakan itu. Langkahnya telah laju melebihi langkah para malaikat menerobos langit. Melebihi kuda gunung pasir dan lebih lincah dari ayam kampung yang dikejar mau di sembelih.

“Hah, ternyata ini lukisan-lukisan itu,” ia telah menemukan lukisan-lukisan itu. Ingin sekali aku menutup matanya agar tak melihat langsung apa yang telah tergantung di berbagai dinding.

“Inikah yang kau sebut lukisan itu?”

“Benar Kek, itu yang kami gores semalam di hutan belantara Cicalengka,” aku berusaha tegar.

“Karya yang sangat aneh,” matanya belum berkedip juga, “Lukisan ini berisi Idiologi, menggoreskan segala peran-peran dunia, kebersamaan, dan budaya. Lukisan ini belum bebegitu sempurna. Tapi ini adalah anak-anak yang luar biasa. Ia adalah karya Cucu Kakek,” Saat itu gembiran hatiku tak kira-kira. Aku meloncat seakan melewati mendung.

“Kakek hanya berpesan kepada semua teman-temanmu yang menggores lukisan-lukisan ini, jangan pernah bosan melukis. Karya kalian adalah karya yang belum tertandingi.” Kakek itu langsung melenyap. Hilang. Aku berlari menuju arah teman-temanku berada. Akan kukabarkan berita menggaduhkan dunia ini. berna rupanya, kami tak sia-sia melukiskan semua gelisah dalam satu malam kemarin.

***
Moel
02:42:07………….17 May 2008

Tuesday, June 16, 2009

club cerita lucu

Orang jecius

Oleh: Moel
Ardi adalah sosok orang yang terkenal jeniusnya. Suatu hari ia sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Ia telah merasa kalau umurnya tidak lama lagi. Pada saat istri dan anaknya berkumpul ia berwasiat,
“Nanti kalau datang waktu Bapak di ambil oleh Allah, kuburkan Bapak dengan kain kafan yang sudah jelek saja.” Ucap Ardi tersengal-sengal… seluruh orang yang berada disitu terharu dan menangis….
Tibalah hari dimana Allah mencabut nyawa Ardi… seluruh keluarga menangis sejadinya. Ardi pun dikuburkan dengan kafan yang sudah lusuh alias jelek sebagaimana ia berwasiat.
Pada saat dalam kubur Malaikat datang untuk mengintrogasi Ardi…
Jreg..jreg..jreg… Malaikat datang… dengan gertakan ingin menanya…
“Siapa Tuhanmu?”
Dengan santai Ardi berkata,
“Malaikat… Apakah anda lupa? Saya sudah lama disini. Saya itu sudah meninggal beberapa minggu yang lalu. Lihat saya kain kafan saya saja sudah jelek seperti ini…” Malaikatpun menepuk keninggnya… “Oya..ya… saya lupa….”


Orang Pelit

Oleh: Moel
Pak Udin adalah seorang petani dari sumatera yang merantau ke daerah Bandung, ia bertani buah-buahan. Sore itu ia hendak pulang dari kebunnya menuju rumahnya yang tidak jauh dari situ. Sebelum pulang ia memetik mangga karena sedang musim mangga kali itu. Pada saat di jalan ia bertemu dengan penduduk peribumi sedang duduk-duduk ditepi jalan,
Pak Udin : “Permisi Pak…” ucapnya seraya membungkukkan badan.”
Warga : “Mangga...”
Pak Udin : “Wah… Bapak tahu aja kalau saya bawa mangga” lalu ia memberi beberapa biji kepada orang-orang tersebut… padahal Mangga dalam bahasa sunda artinya silahkan… tapi Pak Udin tak tahu artinya karena ia asal Sumatra.
Keesokan harinya ia masih memetik Mangga lagi karena memang musim mangga waktu itu. dan kejadian seperti kemarin terulang lagi. Ia harus bagi-bagi mangga meski tak ikhlas.
Dalam otak Pak Udin terus berfikir untuk memberi pelajaran pada warga yang setiap sore duduk-duduk di tempat itu.
Sore datang… ia memetik Rambutan yang masih muda karena memang belum musimnya matang… lalu ia pulang…
Pak Udin : “Permisi Pak…” ucap Pak Udin seraya membungkukkan badan.
Warga : “Mangga...”
Pak Udin : “Wah… salah… saya tidak bawa mangga hari ini… tapi… Rambutan Muda…”
Ha…ha….ha…


Pak Haji VS Pendeta

Oleh: Moel
Disuatu sore Pak Haji mau pulang dari pengajian. Ia mau naik kendaraan umum.
“Bismillahirrahhmanirrahim” kata Pak Haji sambil melangkahkan kaki naik keatas bis.
Didalam bis itu ada seorang pendeta yang baru pulang dari gereja pula… dan Pendeta itupun meralat
“Bis kota Pak…” Pak haji diam saja tanpa komentar…
Cuaca hari itu mendung mau hujan. Lalu terlihat kilat petir menyambar. Pendetapun terkejut dan reflek mengucap “Haleluya…” dengan sigap pula Pak Haji meralat… “Halilintar Pak…”
Ha…ha…ha…ha…


Si Centeng Kena Imbasnya…

Oleh: Moel
Disuatu kampung hidup seorang yang sangat disegani karena kehebatan ilmu kanuragannya dan ia juga kebal dari berbagai senjata. Seluruh penduduk takut dan segan padanya, sangking segannya suluruh penduduk setiap berjumpa si centeng itu menegur dengan nama panggilannya “Warok”. Sebab kalau tidak menegur takut bisa dicincang… oleh golok di pinggang si Warok.
Setiap ia mendengar panggilan “Warok”, dengan bangga ia berdehem sambil mengelus kumisnya yang panjang sampai jenggotnya dengan tangan kanan.
Dimanpun penduduk bertemu Warok, mereka harus menyapa dengan “Warok”. Si Warok pun lasung “Ehm…” tangannya mengelus kumis sampai jengkot. Begitulah seterusnya.
Sampai suatu ketika ada seorang remaja sedang berjalan sendiri lewat samping rumah si Warok tersebut. Ia melihat kepala dan setengah badan Warok sedang serius dengan kerjaannya. Si Warok sedang buang air besar rupanya…. WC si Warok memang tidak tertutup semua, dan itu sudah biasa di kampung itu, WC dengan dinding setengah badan. Pemuda itu terlihat bingung, ia mau menegur Warok tapi ia sedang buang air besar. Kalau tidak menegur ia takut pula di gorok dan dicincang. Akhirnya ia memutuskan untuk menegur, dari pada mati binasa….
“Warok” ujar si pemuda tersebut.
Tanpa ragu Warok pun tersenyum,
“Ehm…” dengan reflex pula tangannya mengusap kumis sampai dengan jenggotnya, padahal ia sedang cebok… bayangkan saja tangan dengan berlumur kotoran menghiasi kumis dan jenggotnya…. Ha…ha…

Friday, March 20, 2009

Kita Selamatkan Bumi Ini, Dari Ancaman Global Warming


Wacana tentang global warming tentu sudah sangat tidak asing di telinga kita saat ini. Efek rumah kaca, polusi udara hingga naiknya air laut yang berakibat pada banjir di sejumlah wilayah Indonesia dan Negara-negara lain di belahan dunia saat ini. Mungkin ini hal yang sangat mengerikan kalau tahun 2050 nanti kawasan Ancol, Tanjung Priok dan kawasan lain di Negara kita yang tercinta ini akan tenggelam.
Sebagai makhluk yang masih ingin hidup lama lagi di muka bumi ini dan juga penerus kita nanti tentu masih ingin menik mati daratan Indonesia, kita harus menyelamatkan dari wacana tenggelamnya beberapa wilayah di Indonesia yang di akibatkan oleh global warming. Mari kita kembalikan pada diri kita masing-masing, apakah kita sudah cinta dengan lingkungan kita dengan tidak membuang sampah sembarangan? Seberapa pedulikah dengan tumbuh-tumbuhan di sekitar kita? Bila tak sanggup melakukan penanaman, cukup dengan tidak merusak tanaman yang telah tumbuh. Mari kita koreksi, apakah kita sering menggunakan parfum yang menggunakan Gas?
Hal-hal diatas hanya garis besar penyebab global warming. Sampah dapat dibagi menjadi dua yaitu sampah organic dan non organic. Sampah organic adalah sampah yang dapat di terlebur apabila di tertanam didalam tanah, contoh, kertas, dedaunan dll, dan sampah non organic adalah sampah yang tak dapat dilebur yang berakibat fatal bila dibuang sembarangan, karena sampah tersebut tak dapat hancur meski terpendam seratus tahun dalam permukaan tanah. Contoh sampah non organik yaitu, plastic dll. Untuk sampah non organic sangat berbahaya untuk tumbuh-tumbuhan.
Kenapa kita harus peduli dengan tumbuh-tumbuhan? Tumbuh-tumbuhan mempunyai peran sangat penting untuk mengatasi global warming. Karena tumbuhan dapat menyerap air dan menyerap karbon dioksida yang dapat merusak lapisan ozon. Apabila kita merusak satu pohon saja itu berarti kita telah menyetujui tenggelamnya daratan kita ini. Penebangan pohon adalah suatu pemandangan tidak asing di Negara tercinta ini. Sering kali kita melihat penebangan pohon di pinggir-pinggir jalan dengan alasan tata kota yang katanya setelah ini akan ditanam lagi. Padahal pohon dapat menyerap air dengan maksimal saat pohon berusia sekita tiga sampai tahun. Mengapa pohon yang sudah dapat bekerja dengan optimal menyerap air dan karbon dioksida ditebang dengan mengganti dan menanam pohon baru yang belum berfungsi dengan sempurna dan bahkan kita harus menunggu beberapa tahun lagi. Seharusnya sebelum ditebang ditanam disebelahnya terlebih dahulu. Nanti setelah pohon muda besar, maka pohon tua baru ditebang.
Parfum adalah pewangi tubuh yang sangat sering kita jumpai dan digunakan banyak orang di dunia. Parfum disini bukan seluruhnya mengandung gas yang dapat merusak ozon, tetapi hanya parfum-parfum tertentu saja (parfum yang biasanya menggunakan gas adalah parfum-parfum semprot). Parfum yang menggunakan gas ini dapat terus naik keudara dan akan mengoyak lapisan ozon. Lapisan yang menahan sinar langsung dari matahari. Lapisan ozon sekarang ini telah sobek sebesar benua Australia. Oleh karena itu gunakanlah parfum-parfum alami dari tumbuhan (bunga) atau parfum-parfum yang tidak mengandung Gas.
Bumi ini adalah titipan untuk anak cucu kita nanti. Disini kita hanya menumpang dan harus menjaga sebaik mungkin agar titipan ini dapat tersampaikan dengan kondisi baik. Menyampaikan titipan ini adalah suatu amanat yang tak dapat kita sia-siakan. Cintai alam kita apabila kita tak ingin mereka marah.

Thursday, February 19, 2009

Beritahu Aku, Doa Untuk Ibu

“Din…hati-hati di sana. Raihlah cita-citamu. Jadilah orang yang berguna.” Ucapan itu yang terdengar di telinganya pagi itu. Ia bersalaman dan mencium tangan Ibunya. Sunarti sangat sedih sekali, dia adalah anak semata wayang. Ibunya berbisik sedikit terputus dengan isakan tangis kecil yang tak kuat lagi ditahan. Udin ingin merantau.
“ Oh…Tuhan berilah anakku keselamatan, jadikan ia orang yang berguna nantinya, kabulkanlah apa yang tersirat di benaknya.” saat itu sang Ibu meneteskan air mata dan mengenai kepala Udin.
“Ibu jangan pernah pikirkan bagaimana aku hidup di sana. Doakan Udin semoga kerasan disana. Doakan juga agar aku sukses dan tak kecewakan Ibu” Ibu hanya menganggukkan kepala.
“Itu pasti terus Ibu laksanakan” seraya Sang Ibu mengelus kepala Udin pertanda sebegitu sayangnya ia pada Udin.
Langkah kakinya tanpa ragu terus berjalan tanpa menoleh kebelakang. Ia harus terhanyut dengan dinginnya pagi dan tetes embun yang sejuk. Ia pun terus berjalan, namun air matanya menetes tanpa disadari, kaki Udin pun bergetar seakan tidak kuat untuk melangkah meski tadinya begitu tegar. Hatinya serasa tidak tega meninggalkan Ibunya sendirian dirumah, lagi pula rumahnya jauh dari tetangga, kekhawatiran Udin sangat membebani perasaan meskipun ibunya pernah berkata,
“Jangan fikirkan Ibu bagaimana disini, tetapi fikirkan bagaimana kamu bisa merubah kehidupan disini.” Sepertinya perkataan itu tidak bisa menenangkan hatinya, meskipun ia mempunyai hati yang keras seperti batu dan pantang menyerah serta tak pernah sedih.
Sang Ibu terus melihat kepergian anaknya sampai termakan oleh tebalnya embun pagi. Setelah kepergian Udin, sang Ibu selalu sedih dan menangis teringat anak tercinta dan nasibnya di kampung orang. Begitu pula Udin selama di perjalanan juga selalu menangis dan merasa bayangan ibunyalah yang duduk di depan kursinya. Kerap sekali ia memanggil orang tersebut.
“Bu” Dan orang itu menjawabnya,
“Ada apa Nak..?” dan ia kembali bertanya pada Udin, “Kamu akan merantau ya…?” tanya lagi orang itu. Dengan nada sedih,
“Ya Bu, tapi aku baru pertama kalinya pisah dari Ibuku, terus Ibuku hanya tinggal sendiri disana Bu…”
“Yang tabah dalam menghadapi cobaan, pasti kamu akan sukses” disela-sela perkataan Ibu itu ia bergumam lirih dan berulang ulang kali.
“Amin….Amin…Amin” mereka terus ngobrol sepanjang perjalanan, namun Ibu itu berhenti di Bandar Lampung, karena ia memang bertujuan ke sana. Kini ia harus sendiri lagi. Ia terus sedih dan sekali-kali tetesan air matanya masih terlihat mengilau.
***

Sunarti selalu sendiri disetiap waktu dan setiap hari-harinya, ia selalu teringat akan keadaan Udin. Memang cinta seorang Ibu tiada bandingnya meski itu tidak terlihat dan hanya bisa dirasakan. Sunarti ingat saat ia memarahi, saat permintaan Udin yang tak ia turuti pada waktu mereka masih bersama-sama. Canda dan tawanya yang membuat Sunarti terus gelisah dan membayangi mimpi buruk setiap malam.
***
Sebelumnya Udin sekolah SMA di pinggiran kota Riau. Setiap pagi ia berangkat kesekolah tanpa rasa malas dan rasa jenuh, meski harus berjalan sekitar dua kilo meter dari rumahnya. Sejuk dan dinginnya udara pagi dan panas matahari siang juga selalu mengiringi saat Udin berangkat dan pulang dari sekolahnya. Tetapi memang wataknya pantang menyerah, maka ia sangat semangat sekali untuk mengukir ilmu di sana, baginya itu suatu tantangan menarik.
Ibunya terkadang mengantar sampai depan rumah saat ia mau berangkat karena kebiasaannya pamit sambil mencium tangan, membuat Ibunya terpanggil untuk selalu mengantar. Memang dari dulu Ibu sangat sayang dengannya dan ia adalah satu-satunya harapan sang Ibu karena Ayahnya telah meninggal sejak ia dalam kandungan. Setiap pagi ia dibekali dengan ucapan ibu,
“Din…baik-baik di sekolah belajar dengan benar.” itu adalah bekal yang selalu dibawa setiap mau berangkat sekolah, karena kalau bekal uang hanya kadang-kadang meski ada juga palingan cukup untuk membeli tiga tahu pada saat itu, air minumlah yang selalu tak lupa ia bawa dari rumah. Tapi ia tak merasa terbebani dengan gaya hidup yang dia anu, dia anak seorang janda miskin yang hanya mempunyai pekerjaan tukang buat kue dan dititipkan kewarung-warung di sekitar kampungnya.
***
Semenjak kelas dua SMA ia mulai nakal dan bergaul tidak karuan karena ia sudah berani bolos sekolah yang terpengaruh dengan teman-temannya dan disana ia hanya bersenang-senang seperti merokok, dan lain-lainnya. Sama sekali ia tak membayangkan betapa Ibunya sangat mengharapkan ia belajar dengan serius. Sepertinya itu tidak seberapa karena ia pun telah punya pacar dan ia selalu jalan-jalan terus tak pernah memikirkan pelajaran dan sekolah meski dahulu ia rajin baca buku rajin belajar dan jarang bermain diluar, baginya itu tidak bermakna dan tak mengandung ilmu.Tapi, sekarang semua telah berbeda, kini ia tidak pernah ingat akan kata-kata Ibunya dan juga bagaimana Ibunya mencarikan uang untuk membayar SSP, membanting tulang untuk memenuhi itu semua.
Setelah lama kelamaan ia pun sadar karena sebentar lagi UN dan dia harus belajar dengan rajin supaya lulus nantinya, seperti harapan sang Ibu. Mulai dari itu pula ia dianggap sombong oleh teman-temannya karena tak pernah bermain bersama mereka dan akhirnya ia pun disebut penghianat. Anggapan-anggapan seperti itu tak membuat ia kembali kejalan sesat, tetapi ia tetap tegar dan ia berusaha untuk merubah segala kegiatan yang baginya sebuah penghianatan terhadap Ibunya. Sampai akhirnya ia tak punya teman dan ia selalu dirumah membantu Ibunya membuat kue dan mengantarkan ke warung-warung langganan. Kegiatan seperti itu ia lakukan dengan Ibunya pada pukul empat subuh, dan mengantarkannya sambil ia berangkat sekolah dan mengambilnya pada sore hari.
Sampailah waktu dia UN. Ia pun lulus dengan nilai yang sangat Ibunya dambakan.
“Mungkin Tuhan mendengar doa saya dan doa anak saya.” gumam Ibunya dalam hati seraya berterimakasih.“Terima kasih Tuhan telah mengabulkan doa kami.” Rasa syukur Ibunya tercurah saat ia selesai solat. Udin sangat gembira sekali karna ia telah bisa membuat Ibunya senang dan tertawa.
***
Setahun lamanya Udin pergi dari kampung halamannya. Sang Ibu terus menanti kabar anaknya tercinta itu. Tapi sepertinya Udin tak pernah ingat lagi akan keadaan Ibunya. Dalam pikiran sang Ibu.
“Mungkin Udin telah hidup mewah atau ia tak ada uang lagi yang sisa untuk kirim surat.” sangat bermacam-macam sekali perasangka yang ada dalam benak sang Ibu yang sangat merindukan anak tersayangnya. Seperti yang dikatakan Plato bahwa rindu merupakan aktivitas jiwa yang kosong. Sedangkan Aristoteles berkata bahwa rindu adalah sebagai akibat dari butanya perasaan yang bersangkutan dari melihat kekurangan yang ada dalam diri orang yang dicintainya. Namun, Al-Jahizh lain pula rindu adalah konsekuensi dari cinta yang berlebihan. Tak mengerti juga sepertinya sang Ibu dengan pendapat tokoh itu. Karena ia tidak pernah baca buku, bahkan ia tidak bisa baca tulis latin melainkan Arab Melayu.
Gunjingan warga kampung mulai terdengar karena melihat Sunarti semakin kurus dan semakin terlihat tua, bertambah pula bebannya dengan gunjingan-gunjingan yang tidak nyaman di telinga. Sunarti selalu tampakkan ketegaran bila ia bersama warga kampung, untuk memperlihatkan bahwasanya ia tidak sedih dan selalu gembira. Sepertinya warga kampung tidak bisa dibohongi dengan tingkahnya, gunjingan demi gunjingan selalu sampai di telinganya.
“Makanya kalau punya anak jangan di suruh kerja jauh-jauh.” tambah warga kampung yang lainnya. “Kalau sudah jauh, apa lagi dia sekarang sudah enak enggak bakalan lagi dia ingat sama Ibunya.” tambahan-tambahan seperti pupuk yang membuat semakin berfariasinya gunjingan itu. “Apa lagi sama orang di kampung, sedangkan dengan Ibunya saja tidak ingat...” ia semakin sakit hati dan tertekan dengan perkataan-perkataan itu dan Sunarti juga terkadang sempat berfikir.
“Apakah yang dikatakan orang kampung itu benar...?” Kebimbangan Sunarti hanya terjawab bila anaknya pulang.
“Kapan Udin akan pulang...?” Pertanyaan yang selalu muncul difikirannya sebagai sosok Ibu yang terkena Virus kerinduan.
***
Lima tahun kemudian. Sunarti terus menanti tanpa ada rasa bosan sedikitpun, meski tanpa ada sedikitpun burung yang membawa kabar tentang Udin. Sungguh sangat malang sekali nasib sang Ibu itu yang merindukan seseorang tanpa balas sepertinya. Ia terus berdoa untuk keselamatan anaknya.
“Tuhan lindungi anakku jauhkan dari segala dosa-dosa, berikan kesehatan dan ketegaran supaya ia sukses.Begitu pula aku yang selau menantinya disini dan berikan pula padanya ingatan tentang aku supaya ia memberi kahabar dan ia ingin pulang dalam waktu dekat ini karena aku sudah sangat merindukannya.” Sunarti terus berdoa setiap ia selesai solat dan setiap kali ia ingat dengan Udin.
***
Udin sebenarnya juga selalu ingat akan ibunya tetapi, apa mau dikata keadaan yang sebegitu rumit dan sebegitu susahnya hidup di kota metropolitan. Untuk makan sehari-hari saja ia sangat sulit apalagi harus mengirim surat atau pulang kampung. Berbagai pekerjaan ia coba dari pengamen, buruh, kuli bangunan sampai calo terminal, dan sekarang ia kerja di sebuah perusahaan. Ia sangat syukur sekali dengan pekerjaan yang sekarang ia jalani meski sebenarnya ia seorang bawahan yang selalu disuruh-suruh terus dan di omeli itu adalah sarapan paginya.
Udin mulai mempunyai keinginan untuk kirim surat dengan ibunya karna ia juga sangat merindukan Ibunya. Malam itu pula ia membuat surat, setelah selesai ia memasukkan ke amplop. Ia pun mencari alamat yang pernah ia catat sebelum berangkat merantau dulu. Ternyata tidak ketemu alamat itu sampai akhirnya ia bongkar semuanya dokumen-dokumen yang ada, tetapi tak ada hasil juga. Ia berkata sendiri pada saat kebingungan.
“Apa alamat itu tercecer saat aku masih tak punya rumah dulu ya..?” kebingungan Udin membawanya tidak tidur semalam penuh. Tak juga alamat itu ia temukan. Hanya mendapat hasil ngantuk pada saat jam kerja dan ia pun mendapat omelan dari atasannya.
***
Setelah beberapa bulan kemudian ia naik pangkat alias naik jabatan, beribu syukur selalu ia panjatkan karena ia memang sangat sadar kalau itu adalah sebagian dari kasih sayang Tuhan kepada hambanya. Merangkaknya jabatan Udin tak lagi lambat tetapi meluncur seperti roket karena tidak lama dari itu ia naik pangkat lagi. Ia selalu di percaya karena dengan kejujuran, ketekunan kerja dan disiplin serta ia yang tak kenal lelah meski itu bukan pekerjaannya ia selalu mencoba membantu semampunya. Atasan yang melihatnya sangat terkesan dan dianggap Udin sanggup untuk mengemban tugas-tugas yang mereka berikan.
Setelah lama kelamaan ia berpikiran kalau ia merasa tidak sempurna jika selalu sendirian dan ia pun merasa kalau begini terus siapa yang memperhatikan dia. Dan ia pun berkeinginan untuk menikah, tetapi ia tak kan lakukan itu tanpa dilihat dan disaksikan oleh sang Ibu yang tercinta, oleh karena itu Udin mulai berencana untuk pulang kampung dan mengajak calon istri, karena Udin ingin menikah disana jika sang Ibu merestui mereka berdua. Ibunya dulu pernah berkata
“Din...jika kau menikah Ibu ingin sekali yang mendampingi dan kau mencari istri yang baik, terus bisa mengerti kamu dan Ibu.” dengan kata itu pula Udin ingin pulang sesegera mungkin tapi ia takut dan cemas kalau Ibunya telah tiada. Ia juga pernah berjanji pada dirinya sendiri,
“Aku tak kan menikah dengan seseorang yang tidak di restui oleh ibu.” Udin pun selalu ingat perkataan itu, baginya sang ibu adalah seorang yang sanggup menjadi dewan juri dalam hidupnya.
Siang ini Udin diangkat sebagai kepala Supervisior di perusahan tempat ia berkerja. Karir Udin pun benar-benar meluncur cepat seperti roket, berawala Sales Marketing dan terus naik sampai dengan sekarang ini, Udin pun selalu sadar kalau ini tidak pernah lepas dari kasih sayang Allah terhadap umatnya dan terkabulnya doa dia dan doa Ibunya. Karena dia tahu persis bahwa Ibunyalah yang terus mendoakan dalam suasana apa pun dan ia yakin kalau Ibunya masih ada dan ia mulai ingin pulang dalam waktu dekat ini. Keyakinan itu timbul saat dia merasakan sentuhan hangat sang Ibu selalu hadir di setiap waktu. Malam itu juga dia bermimpi, dalam mimpinya ia bertemu dengan seorang Ibu yang menangis di balik pohon, Udin pun mendekati ibu-ibu tersebut.
“Ada apa Bu... kok menangis..?” tanya Udin disambung dengan pertanyaan selanjutnya. “Ibu sedang sakit ya..?” Ia bertanya semakin mendesak sang Ibu menjawab dengan sedetail mungkin.
“Ibu lapar..?” Dengan wajah sedih pula. Ia pun menjawab.
“Aku tidak sakit dan tidak lapar aku hanya rindukan anakku yang telah pergi” Udin pun langsung terjaga, sesaat dia langsung berfikir bahwasanya Ibunya sangat merindukan dia seperti seorang Ibu yang didalam mimpinya itu dan ia langsung mencuci muka (wudlu) dan melaksanakan solat tahajud. Ia merasa kalau sebenarnya itu adalah ratapan Ibunya yang sangat merindukan dia, begitu pula dia yang sangat merindukan Ibunya juga.
Sunarti sakit keras dan selalu menyebut-nyebut nama Udin sampai-sampai orang di kampung itu semua bingung. Mereka ingin menghubungi Udin, tetapi mereka semua tidak tahu ia ada dimana dan harus menghubungi siapa juga tidak ada yang mengetahui keberadaan Udin.
“Memang Udin telah lupa dengan Ibunya.” Seorang warga pun menjawab dengan remehnya.
“Biasa...!” Tambahnya dengan hati yang kesal. “Kalau orang sudah enak itu pasti lupa seperti kata pepatah itu.....Kacang lupa dengan kulitnya....Ha..ha..ha...” Perkataan itu keluar dari mulut warga karena mereka sangat kecewa sekali dengan Udin. Mereka adalah warga kampung yang menunggu saat Sunarti sakit.
Udin Pulang. Ia sedang dalam perjalanan. Ia begitu gelisah dan ingin sekali cepat-cepat sampai ke kampung. Ia merasa perjalanan itu sangat lambat sekali seakan-akan pesawat yang ia tumpangi itu sebuah becak yang terhenti-henti dan melewati jalan yang macet. Amelia terus menasehati Udin, melihat kekasihnya begitu gelisah.
“Bang...yang sabar, tenanglah, Ibu pasti tidak apa-apa kok, pasti semua akan baik-baik saja.” Ia meyakinkannya dengan pelukan mesra dan sesekali ia menyandarkan kepalanya di bahu Udin sambil mengelus-ngelus punggung kekasihnya. Namun kegelisahan dan kecemasan Udin seperti tidak terobati dengan pelukan dan elusan Amelia, Udin selalu bertanya-tanya dalam hati.
“Bagaimana keadaan Ibuku...?”
***
Kampung yang ia tuju sudah dekat. Ia sedikit lupa dan bingung dengan jalan-jalan yang berubah, ia baru sadar kalau sebenarnya ia telah meninggalkan kampung sangat lama sekali. Ia bingung sekali dan ia pun memutuskan untuk bertanya tetapi hari itu sangat sepi, ia terus berjalan beriringan dengan Amelia sampai akhirnya ia bertemu seorang pemuda dan ia pun bertanya dengan orang itu.
“Mas..Mas..tau rumahnya Bu Sunarti ga’...?” padahal yang dia tanya itu adalah orang yang baru pulang dari menjenguk Ibunya , jawabnya dengan tatapan tajam kearah kedua orang itu.
“Ini ...rumahnya.” jawab Iwan.
“Makasih...Mas.” sahut dengan tergesa-gesa.Tanya Iwan dalam benaknya sendiri.
“Sepetinya aku pernah bertemu dan melihat orang itu, tapi siapa ya...?. Kalau istrinya perasaan aku belum pernah ketemu.... cantik banget lagi..?” Iwan adalah salah satu teman kecil Udin, dulu mereka sering bermain bersama. Terus bertanya-tanya dalam benak Iwan. Perasangka demi perasangka mulai keluar dari dalam hati.
“Apa dia orang kampung sebelah ya..?.Atau dia seorang dokter yang mendengar ada orang sakit disini terus ia datang untuk menolongnya,... atau dia Udin...? Atau dia saudaranya yang dari Tanjung Balai..” beribu pertanyaan tentang udin didalam benaknya namun tak satu pun yang terjawab dan ia pun memutuskan tidak jadi pulang alias ia kembali lagi kerumah Sunarti untuk memastikan sebenarnya sepasang manusia itu siapa.
Sesampainya disana Udin langsung teriak
“Ibu...ini Udin pulang..!” Ia lari dan tanpa ia sadar melepas sepatunya langsung saja ia masuk kamar kecil tempat Ibunya terbaring selama sakit. Setelah ia masuk, ia sangat heran Ibunya telah dikerumuni banyak orang dan ia masuk dan langsung memeluknya sambil teriak histeris seperti orang yang kesurupan yang tak kenal akan orang yang nimbrung sebegitu banyak
“Ibu.....! Maafin Udin Bu...!”.Mendengar teriakan itu sang Ibu yang tadinya lemah tidak mampu berbicara dan langsung berkata seperti memaksakan kehendak karena suaranya terputus-putus seakan tali pita suaranya sudah rusak dan terbelit-belit.
“Udin....Ibu sangat rindu sama kamu...!” mereka berdua menangis dan Ibunya seakan-akan langsung sehat setelah bertemu dengan anak kesayangannya. Semua warga yang menunggu heran dan calon istrinya pun hanya terdiam dan terpaku menatap kedua insan yang sedang berpelukan itu.
***
Datang Udin mengagetkan dengan memukul bahu sang kekasih tercintanya.
”Hai....melamun aja. Nggak kerasan ya....? Apa nggak enak tempatnya..?” tanya udin sambil tersenyum dan terus memegang bahu Amelia yang duduk di depan teras. Amelia sama sekali tidak membuka mulutnya hanya ia menggelengkan kepala bermaksud menjawab pertanyaan yang super basi baginya.
”Kok keluar..? Bukannya...” potong Udin yang sepertinya ia tahu kalau perkataan itu akan sedikit menyinggung.
”Abang hanya ingin menyuruh adek masuk. Soalnya udara malam tidak begitu bagus. Ntar masuk angin lagi kan berabe jadinya.” nasehat Udin sepertinya dituruti olehnnya dengan gerakan kaki yang melangkah menuju pintu masuk. Tapi sedikit terlihat bahwasanya ada sedikit kesal yang menyelimuti hatinya.
Sebelum tidur Amelia melamun dan berhayal andai saja dia pulang sendiri ke Jakarta tanpa Udin. Rasa putus asa mulai terasa dengan watak dan sifat Udin yang semakin tidak perhatian dengannya. Memang Udin selalu dengan Ibunya. Mungkin karena sangking rindunya dan sudah berapa tahun mereka tidak bertemu seperti sekarang ini.
Namun ego Amelia selalu muncul, hanya dia yang ingin dimengerti dan ingin diperhatikan oleh Udin. Akhirnya Amelia tertidur dengan pikiran yang kalut dan sedikit ada rasa kekesalan. Bla...bla..bla...
Sinar matahari pancarkan sinarnya pertanda kalau hari itu telah dimulai. Amelia mulai ancang-ancang untuk pamitan dengan Udin dan Ibu calon martuanya. Bukanya pintu kamar. Di depan sudah terlihat dua insan yang ketawa-ketiwi menikmati indahnya kebersamaan. Ia merasa iri karena selama ia disana tidak pernah menikmati hal seperti itu malah terpojok terus setiap kali. Dengan bahasa dan lainnya.
Terlihat Amelia keluar sambil membawa koper/ransel.
”Mau kemana ..? tanya sang Ibu kepadanya. Amelia seperti gugup mendengar pertanyaan itu.
”Sa...Saya mau pulang ke Jakarta.” jawabnya, tetapi Udin langsung menumbur perkataannya,
”Mau pulang...? Bukannya kita berangkat kesini bersama maka pulangnya bersama, dong” tekannya supaya Amelia tidak memaksakan diri. Berdiri Udin sambil mendekati dan menarik tangannya masuk kedalam kamar lagi. Setelah didalam ia berbicara panjang lebar dan Amelia pun mengutarakan yang ada dalam hatinya. Udin pun mencoba menjelaskan dengan sedetail mungkin. Sampai akhirnya Amelia menuruti omongan kekasihnya, artinya Amelia tidak jadi pulang.
Beberapa waktu telah terlewati dan Ibu kembali sakit saat Udin berkata mau pergi lagi ke Jakarta. Ibunya tidak bisa pisah lagi dengannya. Ia mengundur lagi maksud hatinya itu. Sedangkan Amelia yang terbiasa dengan kehidupan kota Jakarta tentu saja ia tidak kerasan dengan kehidupan sepi, kumuh, kampungan, banyak nyamuk, pokoknya membosankan sekali baginya. Ia sudah tidak sabar lagi untuk pulang. Tetapi ia berfikir dua kali setelah melihat sang kekasihnya dilanda kesedihan dan kepanikan itu.
Setelah Ibu sembuh Amelia pun memaksakan diri untuk pulang meski harus bertengkar. Udin menjadi kebingungan. Calon istrinyakah? Ibunyakah? Ia juga ingat tentang jodoh sudah tertulis sejak kita lahir dan rezeki itu ada dimana-mana tetapi Ibuku tidak ada dimana-mana hanya satu Ibuku.
”Ya... Tuhan... Jadi, aku hatus berpihak pada siapa?” hatinya gaduh tak hingga.
*****
Cibaduyut, 2007-07-23

Sunday, January 25, 2009

Berkarya?…. Dikucilkan?…..

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Zeptian Tauziek adalah seorang remaja yang ingin berkarya lewat dunia kepenulisan. Ia mulai menulis cerpen, essay sampai dengan novel yang tak selesai-selesai ia garap. Ia merangkap pula menjadi seorang mahasiswa disalah satu PT yang letaknya di pinggirang kota Bandung. Namun, kendalanya ialah teman-temannya sendiri yang selalu membutanya tak semangat menulis, bukan membuatnya menjadi lebih bersemangat.
“Awas! Ada penulis, n’tar kita jadi bahan tulisan atau bisa jadi bahan inspirasinya yang tidak karuan atau tentang kekacauan kita, maklumlah sang penulis, cerpenis, kolumis, novelis yang nggak jadi! Ha…ha…,” itulah perkataan sahabatnya yang telah terukir dalam di memorinya. Tak hanya itu saja, ketika mereka bercanda juga tak pernah luput untuk menyinggung dan meledek.
Coba kita berpikir sejenak. Mereka melakukan itu ada beberapa faktor kemungkinan, yang pertama, sebenarnya teman-teman kita itu ingin memberi semangat agar kita terbakar untuk berkarya lebih bagus lagi dan lebih banyak . Kedua, mereka merasa iri atau dengki karna mereka tak bisa berkarya seperti kita atau bisa saja ia juga seorang penulis yang takut tersaingi. Ketiga, itu adalah cobaan, apakah kita sanggup untuk berkarya terus atau kita cukup sampai disitu saja?”. Keempat, mereka ingin menghentikan perbuatan kita. Namun, ini hanya sebuah perkiran Zeptian yang begitu kesal saat itu.
Ketika seseorang berkarya namun dikucilkan maka, banyak orang yang akan mempertimbangkan untuk berkarya dan menggali bakat. Zeptian sempat berkata sendiri waktu itu,
“Apa setiap penulis dan orang yang telah sukses oleh karyanya juga merasakan hal yang sama?…. Dikucilkan?… Atau diberi semangat?…” ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak tahu. Salah seorang gurunya dulu pernah memberi pembakar padanya,
“Hidup tanpa karya sama dengan mati.” Zeptian akhirnya duduk sendiri disebuah kantin depan kampusnya. Ia masih merenung.
Pramoedya Ananta Toer alias Pram, penulis beberapa buku, novel, roman, dan masih banyak yang lainnya. Dia disebut-sebut sebagai sejarawan karna novel dan roman-nya yang terus mengalir tentang sejarah. Namun, dia hampir menghabiskan hidupnya di trali besi alias penjara karna karyanya. Yang masih teringat “Lebih baik diasingkan dari pada menganut kepada kemunafikan,” itulah yang tertulis disalah satu bukunya. Dan Khairil Anwar yang mengatakan dalam bait puisinya “Sekali berarti setelah itu mati,” apa itu juga bisa dibilang jalan hisdupnya karena ia telah berarti dengan karyanya lalu ia meninggal? Atau tokoh yang lain seperti Che Guivara yang dikenang setelah ia mati. Dan dalam film Veronica. G, setelah ia mati baru terlihat perubahan itu? Ah….!
Ketika Zeptian merenung tiba-tiba ia ingat bahwasanya seorang filosof Yunani Sokretes, rela di hukum mati karena pendapat dan teorinya. “Apa aku harus menyerah?”
***
Tidak hanya itu yang menjadi halangan Zeptian dalam menulis. Publikasi. Ia masih merasakan ejekan teman-temannya. Namun disisi lain ia masih minder untuk mengirimkan lagi hasil karyanya di media karna dia telah berulang-ulang kali mengrimkan ke media nasional atau majalah ia selalu tak memperoleh hasil. Ia seperti prustasi. Jalan satu-satunya adalah media kampus dan komunitas yang mampu memberi jalan kepada karyanya. Menulis.
Terkadang ia sedikit me-review seluruh kerja kerasnya dulu,
“Apa yang aku kerjakan semua telah berjalan dengan maksimal? Atau masih tergolong minimal? Mungkin itu kendala tulisanku susah masuk ke media, karena tulisanku belum layak dikonsumsi oleh para masyarakat? Siapa yang bisa mendewanjuri seluruh tulisanku?” ia bengong. Tak lama seorang teman menepuk dari belakang sambil menaruh sebuah buku di pahanya yang merapat dengan kursi.
“Ni… buku antologi pusi gua udah terbit!” ujar teman sekomunitasnya. Darahnya seakan terhisap habis oleh desusan suara yang keluar dari temannya itu. Ia merasa kalau dirinya tak berarti apa-apa lagi.
“Elo hebat Tu’, gua ngaku kalah ma elo,” ucap Zep sambil membaca judul buku antologi itu “Kado Luka Untuk Cinta” dan dibawahnya terlihat jelas seorang nama penulis Restu Ashari Putra, temannya. Dalam benaknya berdetak kencang “Aku pasti bisa sepertinya, aku tak bisa, entahlah….” mereka berdua saling ngobrol meski Restu terus menceritakan tentang bukunya itu. Ia semakin tak tahan.
Setelah Zep kembali kerumahnya ia langsung menyalakan komputernya. Novel yang ia garap beberapa bulan lalu masih masih berbentuk file, ia tak mau lagi meneruskan. Namun kali itu ia buka kembali dan membacanya. Tak lama ia shut down komputer yang berada di hadapannya itu. Sambil menarik sebuah novel lalu berbaring,
“Kapan aku bisa menyusun buku-buku karyaku di etalase ya?” ia tersenyum sendiri seakan dunia sedang menertawakannya habis-habisan.
***
Beberapa waktu kemudian ia duduk dikantin kampus yang tak jauh dari kelasnya. Restu dan Yoko mendekatinya, “Elo, ngapain sih sering menyendiri terus akhir-akhir ini?” Yoko menyapa sambil mengulurkan tangan. “Enggak…enggak ah, perasaan gua biasa-biasa aja dari kemarin,” tangan Yoko disambutnya lalu ia mengulurkan ke Restu yang telah duduk disampingnya.
“Eh… gua lagi mau nyari penerbit untuk nerbitin puisi-puisi gua,” sesegra mungkin ia tersentak jantungnya seperti sedang terhantam oleh batu besar yang terbongkar dari gunung. Sesak.
“Zep, elo kapan?” Restu menarik sebuah gelas yang berisi air mineral. Ia terdiam.
Zeptian pun pulang langsung mencari File yang sempat ia buka bebrapa waktu lalu. Baginya seluruh kendala yang ia hadapi kemarin itu hanya cobaan namun tantangan untuk membawaku menulis lagi adalah Yoko dan Restu.
“Meski aku dikucilkan dari orang yang sesat tapi aku harus di dekati oleh orang hebat, Pram saja sanggup hidup di trali selama puluhan tahun. Aku ini belum apa-apanya!” ia terdiam sejenak, “Aku harus menulis lagi. Mungkin ini yang akan membawaku kedalam dunia yang lebih menarik.”
***
Kategori 1 dalam lomba menulis www.menulismudah.com, 2008.

Perempuan Setengah Hati

Bagian 1
Jejak
“Van, elo yang bener dong.... kita temenan bukan sekarang-sekarang aja, dari dulu Van...! gua nggak seneng dengan cara elo ngomong,” Ucap Andi setelah jengkel karena ia merasa diremehkan oleh Ivan.
“An...An....elo jangan sensitif gitu dong...Gua cuma canda lagi...” cengkal Ivan membela dirinya.
“Ah...Gua bosen ngomong ma elo....” Andi seraya pergi meninggalkan Ivan begitu saja. Ivan menarik-narik tangannya namun ia malah menampik dan diperlihatkan kejengkelannya. Raut mukanya sangar.
“Ah....resek elo...” ia menggenjot motornya kemudian memutar dan melaju meninggalkan Ivan. ia hanya bengong sambil mentap sekitar. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang memang sudah kusut sejak tadi.
Permasalahan sangat sepele sekali sebenarnya. Andi hanya tersinggung atas perkataan Ivan, baginya itu melecehkan harga dirinya. Tongkrongan itu seraya sepi seketika. Ivan masih duduk di atas mesin mobil Taffnya. Ia masih tertegun. “Emang ngomong itu harus bener-bener dijaga,” kambali ia termenung sendiri sebelum ia memutuskan untuk pergi dari tempat perseteruan itu.
Andi kecewa karena Ivan mengatakan kalau pacar Andi itu tak level dengannya,
“Pacar elo itu jelek... cari kek yang cantik...” sebenarnya semua itu hanya canda tapi, Andi begitu tersinggung. “Kalau gua punya pacar kayak gitu udah gua putusin dari dulu...” mulutnya mencla-mencle terlihat sekali mengejeknya. Kemudian Andi langsung berdiri dan langsung marah-marah tak terkontrol lagi.
Sejak itu pula Andi tak mau lagi menghubungi atau berteman dengan Ivan. baginya Ivan tak pernah bisa menghargai seseorang. Itulah perasaan Andi saat itu.
“Kurang apa gua dengan dengan dia, dia nggak ngerjain tugas kuliah gua kasih referensinya. Gua begitu menjaga persahabatan ini. Keparat Ivan...” ngomel-ngomel sendiri saat ia termenung di kamarnya.
*****
Sepatu berdebu alias dekil dan kusam terlihat di kaki Ivan malam itu. Seharian sepatunya bergelut dengan aspal dan debu, tapi itulah profesi alas kaki. Bau menyengatpun terkeluar dari kaos kakinya. Ia masuk ke kamar sambil membuka baju dan kaos dalam. Terasa dingin dengan keringat yang pernah membasahi seperti halnya sepatu. Ia keluar lagi dari kamar untuk mengambil air minum yang tersedia di dispenser.
Memang Ivan terlihat sedikit jorok dan malas. Sebenarnya ia seorang model yang tak wajar bila seperti itu. Namun itu sepertinya telah terbawa dari mulai ia lahir. Dalam penampilan tidak terlihat sama sekali kalau sebenarnya dia jorok. Selalu necis selayaknya anak muda yang terus terlibat dengan arus mode pakaian sekarang ini.
Ia kembali ke kamar, dengan senyum menatap kebulan asap rokok dari mulutnya.
“Van ngak makan dulu..?” Tanya Ibu terlihat sangat sayang sekali padanya dan sangat tahu pasti ia belum makan jika pulang malam seperti ini.
“Belum laper Bu.” Jawab Ivan dengan nada sedikit tegas supaya Ibu tidak terlalu memaksakan kehendak. meski Ibu sangat sayang padanya tapi dia tidak pernah memaksa kepada Ivan, tidak seperti Ibu-Ibu yang lain terus memaksa anaknya dengan alasan yang sudah tidak asing lagi “Karena Ibu sayang dengan kamu, maka Ibu nyuruh, itu tandanya masih perhatian.” dengan demikian Ivan pun sadar kalau Ibu juga sangat sayang dan perhatian padanya. Lalu ia tertidur pulas.
Spertinya Debi kekasihnya yang sehari ini tak melihat Ivan dan tak juga ia menelpon atau SMS. Ivan sibuk, sehingga ia tak cukup waktu untuk memberi kabar. Padahal beberapa kali Debi SMS tapi tak juga ia balas. Yang pertama alasannya ia pas Jam belajar dan sewaktu ia nelpon Ivan pas pemotretan jadi tak ada waktu sepertinya. Oya.... Ivan adalah seorang mahasiswa Fakultas Komunikasi atau biasa disebut FIKOM disebuah Universitas ternama di Bandung. Ia masuk di jurusan Jurnalistik karena ia sangat gemar menulis disamping kesibukannya di dunia model dan ia juga sangat menyenangi dinia itu.
*****
Pagi yang sejuk dan sorot matahari menembus jendela kaca kamar Ivan. Tak lama ia bangun dengan perlahan ia membuka matanya sedikit terkunci oleh belek menempel di sudut-sudut mata kanan dan kiri. Ia memuriat seakan enak sekali dengan desusan yang khas dari mulutnya.
”Uaaaaaah...!” sambil meluruskan tangan dan persendian tubuh yang kaku. Ia langsung menjamah ponsel di meja seraya ingin melihat jam. Sedikit ia teringat kalau jam sembilan ia harus ke kampus, ada matakuliah yang masuk pada jam tersebut. Namun setelah melihat di layar HPnya begitu banyak tanda amplop surat yang berarti SMS, ia segra membuka satu-persatu, diantaranya ucapan selamat tidur dari Gugun dan Maria dan selanjutnya tiga SMS dari Debi,

From : Debi 22:30:56
Say...kmna aja kok ga’
ada ksh kbr shri ini..?
Aq kan Rindu bgt,
lupa ya ma aq..?

Itu adalah SMS yang pertama dan Ivan pun hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.

From : Debi 22:56:37
Kok ga’ di blz ..? bnr lupa ya..
Say... aq tlp ya...?
Ga’ ganggu kan... I O U
Blz


From : Debi 23:29:21
Say...Udah ga’ mau lg angkt tlp
dr aq ya..? klu qm udh bosan ma aq blng
dong jgn bikin aku sprt ini..

Tercengang kali ini Ivan membacanya.
”Wah.....Kacau bener nih..” bisik Ivan sendiri seraya merasakan kalau pacarnya benar-benar marah. Ia juga ingat kemarin berulang kali dia menelpon tak diangkat dan SMS juga tidak pernah ia balas. Sepertinya ia lupa atau sengaja ya...?
”Ini harus aku telpon sekarang. Eh....SMS aja kayaknya, pulsaku ngak cukup lagi.” bingung. Ia bolak-balik di kamar seperti orang yang hilang arah tanpa tujuan saja........
Debi hanya menangis dan tertutup bantal. Tapi, ia pagi ini tetap berangkat sekolah meski begitu gundah dalam hati. Serasa tercekik-cekik hatinya menahan amarah yang dilakukan Ivan.
”Kalau udah punya yang baru ngomong kek. Atau Ivan udah bosan denganku..?” tanda tanya besar yang tercoret di benak perempuan berkulit kuning dan pipinya yang lembut. Sayup matanya dengan bulu mata yang melengkung, layak sekali kalau Debi itu menjadi seorang model. Namun ia tidak mau, meski beberapa kali Ivan dan teman-temannya menyuruh ia menjadi model. Maklum orang tuanya keturunan China dan Ibunya asli Bandung, pasti anaknya patent. Putih, matanya sipit dan lentik, cantik terus manis dan plus-plus dan plus deh. Mungkin kalau di kampung bisa disebut Gadis Desa dan kalau di kota jadi, Gadis Kota.
****
Ivan langsung mandi setelah ia sibuk mencari adiknya yang kemungkinan punya pulsa, tetapi adiknya telah berangkat kesekolah. Ivan memang punya adik satu namanya Resti dan dialah anak pertama. Jadi, mereka dua bersaudara.
Setelah mandi Ivan langsung buru-buru keluar untuk membeli Voucer isi ulang. Ia langsung menghubungi Debi, namun tak juga diangkat olehnya. Berulang-ulang kali ia mencoba tak juga ada hasilnya. Lalu ia mencoba mengirim pesan singkat pada kekasihnya tersebut.

To : Debi 09:19:41
Hai..Sayang.....
Kok ngbek sih...?
Segitu nya. Aku kmrn itu kcpean
Trs tidur jd ga’ tau klau qm sms n’ tlp
Maaf ya...Blz

“sent”

Debi menerima SMS itu bukan gembira tetapi ia malah seperti tambah sedih dan ia juga membalas tidak mengangkat telponnya dan tak membalas SMS dari Ivan.
Namun Ivan semakin sibuk dan semakin garuh pikirannya. Ia tetap berangkat ke kampus dengan Mobil Taft andalannya yang terus mengyaksikan betapa lebar dunia dan sempitnya kemacetan jalan di Bandung. Selama ia menyetir ia selalu ingat akan sosok Debi yang sedang marah padanya. Dan ia ingin menjemputnya pulang sekolah nanti siang.
Perkuliahanpun selesai. Ia langsung menuju tempat parkir di halaman kampusnya. Dari jauh ia telah menekan tombol klakson dari remot mobil andalannya itu. Dengan sebentar ia telah menuju ke sekolahan Debi untuk menjeput dan membicarakan kesalah pahaman yang terjadi antara mereka berdua. Sesampainya di sana ia langsung disambut oleh Syerli teman baiknya dan juga teman Debi meski tidak sekelas.
”Hai....Jemput aku ya..?” sambut Syerli, menggoda dengan manja. Memang ia terkenal centil alias banyak ngomong atau brisiklah biasa dibilang teman-temannya. Namun bila tidak ada sosok Syerli seperti sepi, ialah yang selalu membuat ribut dan bising.
”Debi mana..?” tanya Ivan langsung kepokok permasalahan tanpa menanggapi perkataan Syerli tadi.
”Belum keluar. Tunggu aja, sebentar lagi juga pulang,” jawabnya tanpa basa-basi dari mulutnya. Mereka berdua terus duduk di kantin sekolah samping gerbang pintu masuk. Mobilnya yang tak diparkir pada tempatnya membuat Satpam sekolah itu menjadi gemes dan menegur Ivan.
”Mas...Parkirnya jangan dijalan gitu dong..! Disitu kan tempat parkir,” Satpam itu menegur sambil memandang tepat di muka Ivan. Ia pun langsung menuju mobilnya dan memarkirkan di sebelah kiri kantin. Syerli hanya senyum-senyum meledek.
Debi berjalan menunduk terus lurus melewati gerbang dan kantin tanpa sedikit menoleh atau mampir. Ivan yang menunggu terhanyut dengan obrolan dengan Syerli sampai-sampai ia tidak melihat orang yang ditunggu telah pulang. Biasa Syerli setiap jumpa dengan Ivan hanya curhat. Curhat dan curhat. Ivan juga sangat mengerti bagaimana perasaannya mendengar rintihan batin Syerli.
Ber jam-jam mereka menunggu tak juga terlihat sosok Debi muncul.
”Syer...Kok jam segini belum pulang juga..?” Ivan dengan penasaran sambil menoleh-noleh kesamping seperti mencari sesuatu.
”Nggak tau tuh. Sebentar coba aku liat di kelasnya.” tumbur Syerli seraya ia melangkahkan kaki menuju kelas Debi yang lumayan jauh dari sana. Ivan menghirup Teh Botol dan membuka bungkus rokok. Ia menghisap dalam-dalam rokok Malboro, sambil memutar-mutar batang rokok dan sesering mungkin ia menghisap mencerminkan betapa bosan menunggu itu. Untung saja jadwal hari ini kosong dan jadwal kuliah juga kosong.
Syerli teriak dari jauh,
”Udah pulang..!” sambil ia mendada-dadakan tangan sebagai isyarat kalau tidak ada yang ditunggu itu.
”Hah....Udah pulang.” ia meyakinkan kembali seperti tidak percaya. Syerli mendekat dangan mengulang perkatannya yang dari jauh tadi. Rasa kesal Ivan meuak-muak dengan emosi tinggi. Dalam hatinya berkata “Ah..ya udah kalau dia ngajak begituan aku juga bisa. Masih banyak cewek yang lain, emang dia saja yang cantik.”
”Yuk...pulang biar gua anter.” ia mengajak Syerli untuk bergeser dari tempat membosankan itu.
”Asiiiiik....gitu dong...” dengan gembiranya Syerli sambil meloncat-loncat di kantin itu. Banyak orang yang memandangnya.
****
from : Debi 19:17:32
Van... aq tau kok klu qm tadi jmput Syerli.itu pcar
Baru qm ya..? smga happy aja dg
Nya n’ abadi tdk sprt kta.

Malam yang dingin menyambar disertai tuduhan dari ponsel dengan pengirim orang yang sangat disayanginya.

To : Debi 21:26:15
Kalu itu mau mu. Ya sdh kta
Bubar aja....da2

“sent”

Dengan sangat singkat dan penuh makna ia membalas SMS dari Debi. Dengan diliputi emosi, baginya tidak bisa lagi dipertahankan hubungan seperti itu.
Debi sambil memeluk bantal gulingnya terus menangis. Dalam hatinya Ivan benar-banar jadian dengan Syerli teman akrabnya itu. Ia semakin benci dangan Syerli, memang dari dulu ia tidak begitu suka alias curiga diantara Syerli dan Ivan ada unsur tertentu. Meski itu tidak benar adanya namun sepengetahuan Debi, itu hal yang akurat.
Ivan duduk di depan teras sambil menghisap sebatang rokok dengan nikmat. Seperti tidak ada keruatan dalam hati sang pria tinggi dan wajah tampan. Perempuan mana yang tak menoleh jika ia lewat di hadapannya. “Jangan kan perempuan yang menoleh Nenek tuapun senyum” kata lagu Iwan Fals.
Esok harinya Debi berangkat sekolah dengan lemasnya, diantar oleh Ayahnya sambil berangkat kerja. Sesampainya di depan pintu gerbang Syerli sengaja menunggu, tampak dari jauh. Syerli haya mau bilang kalau kemarin Ivan nunggu sampai kering. Tapi, ia malah sengaja menghindar supaya ia tidak emosi saat menghadapi Syerli. Syerli lebih dulu melihatnya, sehingga dengan segera ia mendekati Debi yang terlihat mampir di kanatin.
”Debi....Mat pagi..!” ia mendekati Debi sambil mengacungkan tangan. Namun apa yang ia dapat Debi malah memalingkan muka tanpa menyambut atau menjawab ucapan selamatnya. Tapi, Syerli memang terkenal rame, bukan malah tersinggung, ia malah duduk di sampingnya sambil menanyakan masalah apa antara dia dan Debi. Debi pergi begitu saja tanpa menoleh dan tanpa mengatakan sepatah katapun dari bibir merah yang terlihat cemberut.
Semakin bingung saja ia melihat Debi seperti itu. Tapi ia dapat inisiatif kalau ia tanya saja dengan Ivan, sepertinya dia tau mengapa Debi bertingkah seperti itu. Ivan dengan detailnya menceritakan tanpa dirubah atau memupuknya. Syerli sangat heran mendengar itu semua. Ia ingin menjelaskan langsung pada Debi bahwa itu semua kesalah pahaman saja. Debi tak merespon.
****












Bagian 2
Aji Mumpung

Pagi yang dingin dengan embun yang menutupi jarak pandang dan kesejukan menembus keseluruh tubuh. Ivan duduk di teras belakang sambil menikmati indahnya pagi dengan sebatang rokok Malboro. Seraya Ibu memanggil, mengajak sarapan bareng dengan Ayah yang sebentar lagi akan berangkat ke kantor. Ia beranjak dengan menjelentikkan rokok dari jemarinya.
Ayah senyum menyapa pagi dengan lembut. Ivan pun membalas dengan duduk pas di kursi lipat. Ayah hanya diam mengambil sepotong roti dan menampalkan keju di atasnya.
“Van...Ayah mau ngomong dengan kamu. Kamu boleh punya pacar, tapi kamu harus hati-hati, jangan sampai mempermalukan keluarga.” Ayah menghentikan sejenak. “Kamu itu anak laki-laki satu-satunya dari Ayah. Ayah denger kalau setiap hari banyak sekali perempuan yang menelpon kesini, Ayah jadi cemas dan menghawatirkan pergaulan kamu. Ayah juga pernah muda. Tapi satu yang Ayah ingat jangan sampai mengecewakan keluarga atau mempermalikannya,” berwibawa sekali Ayah mengucapkan dari kata ke kata. Ivan terdiam hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari dulu ia jarangs ekali di marahi atau sampai dipukul itu tak pernah.“Ayah susah sekali bisa ngobrol dengn kamu. Sedangkan kamu harapan Ayah.” Ivan semakin tertunduk. Namun ia menyela supaya tak berlarut-larut. Pagi-pagi sarapannya nasehat. Pikir Ivan dalam hati.
“Ayah pulang jam berapa..?” ia mengmabil waktu yang tepat untuk mengalihkan semua. Ia tersenyum terlihat ragu.
“Nggak tau, kayaknya maleman dikit, kamu ada acara hari ini..?” tanya sang Ayah dengan tatapan pasti kearah matanya.
“Nggak juga sih, kalau ada yang mendadak bisa jadi, kalau sekarang sih belum.” Dengan sangat detil sekali ia menjelaskan terhadap orang yang membentuk jiwanya. Ibu datang membawakan susu, ia duduk tepat di samping Ivan.
“Kok... cuma satu iris rotinya..?” sambil meletakkan gelas susu di hadapan ketiga orang yang sangat mereka sayangi.
”Udah kenyang Bu.” ucapnya seraya memegang tangkai gelas yang berisi penuh dengan cairan berwarna putih itu.
Ivan duduk di ruang tamu sambil membaca majalah yang berserakan di sana. Tiba-tiba Manto datang dan mengajaknya ke tempat latihan. Mereka ngobrol sebentar di ruangan itu. Ivan mengambilkan segelas air minum. Mula-mulanya Manto sedikit menolak tetapi akhirnya di minum juga. Tetapi ia meminta Manto menunggu sebentar. Untuk mandi tentunya. Manto juga salah satu temannya dikalangan model saling melengkapi. Ivan pecanda tapi jenius. Manto punya daya ingat tinggi tapi, jarang bercanda.
Manto menggoncengnya dengan motor Shogun yang masih terlihat mentereng. Sesampainya di sana Dian dan Karin sangat asik ngerumpi. Wajar sih, cewek yang mempunyai kehidupan seperti itu. Ivan dan Manto langsung ikut duduk dengan kakinya terselimpang di depan mereka. Sepertinya Ivan ingin sekali cepat nyambung dengan obrolan diantara Dian dan Karin. Yang membuatnya tertarik adalah obrolan seputar dunia yang mereka jalani sekarang ini.
Dunia model memang sangat kerap di bicarakan. Dari berbagai sudut pandang yang berbeda tentunya. Apalagi seorang model wanita sering digunjingkan sebagai pelayan diantara pria hidung belang. Mereka sangat membantah sekali dengan perkataan itu sebab realitanya tidak bagi mereka. Apalagi dunia model kerap juga di juluki sebagai dunia yang kerap memancing masyarakat untuk berperangsangka buruk. Sebenarnya fenomena seperti ini sudah tidak asing lagi dibicarakan oleh kamun mereka. Tetapi, tetap saja telinga yang mendenganr masih panas. Apalagi melihat model yang memakai pakaian seksi saat tapil dalam suatu acara. Itu juga sangat berpengaruh bagi masyarakat awam tentunya.
Sesering mungkin Ivan menyangga obrolan mereka namun ia mempunyai bukti yang jitu jadi, mereka semua sepertinya enggan untuk terus berdebat dengan si jago baca buku itu. Memang sangat terkenal Ivan adalah sosok cowok yang sangat rajin baca buku apalagi novel yang kerap ia masukkan dalam obrolannya. Ia juga sering membawa buku pada saat latihan seperti ini. Sepertinya ia tidak ingin dunianya hilang dengan kesibukan model. Baginya baca buku adalah suatu pengetahuan yang tak kan ia dapat dengan siapapun. Benar juga sih, karena tidak mungkin seorang Guru atau Dosen menyampaikan materi setebal alias sebanyak yang ada dalam buku pada waktu yang singkat. Lagi pula buku adalah guru yang bisa dibawa kemana-mana.
Sepertinya hari ini hanya latihan saja untuk pertunjukan atau tampil pada acara di Jakarta nanti. Namun diantara mereka belum datang semua diantaranya Gugun, Agus, Febry dan lainnya. Latihan biasa mereka lakukan setelah datang semua.
”Ah....Pada molor lagi..” ceplos Manto dengan wajah kesal dan seperi sangat bosan sekali menunggu seperti ini. Memang menunggu adalah hal yang sangat membosankan, banyak kalangan yang mengutarakan seperti itu.
”Wajar lah...ngasitaunya sih, mendadak...” jawab Dian dengan pembelaan kepada yang terlambat. Namun Ivan dan Karin hanya diam saja terkadang mereka mengangguk-anggukkan kepala seperti paham.
Latihan telah dimulai siang itu. Ivan sedikit gagu, entah ada apa. Saat ia parade ia selalu salah dan sangat sering sekali ia ditegur oleh para senior dan para pelatih.
”Van kamu kok gitu sih, biasanya nggak.” sambil mendekati Ivan pelatih itu. Sedangkan Ivan tak mampu menjawab apa-apa selain senyum sebagai obat malu.
Pada saat itu mereka sedang berlatih melakukan parade air mancur yang bagi meteka sedikit susah dari pada yang lainnya. Namun itu permintaan yang harus mereka turuti. Namun tidak itu saja yang dilatih kembali pada hari itu.
Sesering mungkin Dian menertawakan Ivan yang selalu saja salah. Meskipun ia selalu ditertawakan tapi, ia terus berusaha semaksimal mungkin. Seperti biasa untuk tampil pada show besar seperti ini harus melalui seleksi yang sangat teliti dan latihan yang gigih.
*****
Besok Ivan dan dan teman-temannya akan pergi ke Jakarta untuk memenuhi undangan permodelan. Mereka diantaranya Dian, Gugun, Manto, Karin, Agus, Ivan dan lainnya. Mereka salaing bersiap-siap karena di Jakarta selama dua hari penuh, jadi harus perlu bawa peralatan menginap yang cukup.
Jam 8.00 wib Ivan telah bangun. Bersiap-siap untuk berangkat jam sembilan nanti. Bebrapa kali SMS dari teman-temannya telah menumbur waktu yang teramat singkat pagi itu. Sedang Ivan sama sekali tak cukup waktu untuk membalas semuanya. Hanya sebagian saja yang sepertinya itu sangat perlu sekali.
Semuanya telah kumpul bersama di lokasi atau tempat yang telah direncanakan dan di janjikan. Selama dalam perjalanan menuju Jakarta mereka sangat gembira sekali sepertinya. Ada yang asik tertawa dengan obrolannya, ada yang asik tidur seperti Manto dan untuk ceweknya masih seperti biasa yang terus asik ngerumpi. Sama sekali tak heran dengan keadaan seperti ini. Sesekali Agus yang terkenal cerdik mengeluarkan tebak-tebakan yang terkadang jawabannya sangat tidak nyambung sekali.
Acara itu dimulai pada jam 5.00 wib. Dak...dik...duk...jantung Ivan seakan-akan ia ragu untuk bisa tampil bagus. Namun sedikit terlintas dalam ingatannya yaitu tentang cewek. Ia ingin mencari kecengan pada acara nanti maklum ia menjomblo sekitar tiga bulan lebih. Bukan ia tak mau cari atau tak ada lagi yang ia sukai tetapi ia sangat mempertimbangkan orang yang menjadi pendampingnya itu. Sambil ia menghisap rokok Malboro terus berhayal dengan teman modelnya yang nanti akan sama-sama nampil.
“Mudah-mudahan cantik-cantik terus mau jadi pacarku,” dalam hatinya berkata seperti ingin tertawa.
Hotel berbintang itu tak pernah sepi. Terus bermacam-macam kejadian yang terus dilihatnya. Dari mulai orang yang keluar-masuk dengan pasangan sampai pada cewek-cewek yang selalu duduk diam terus memandangi lelaki yang masuk, entah maksudnya apa.
“Hoi.....Ngelamun aja.” Pety mengejutkan Ivan, sedang duduk santai di kamar hotel itu.
”Eh..elo ada apa..?” tanya Ivan padanya basa-basi. Sebenarnya Ivan ingin meneruskan lamunannya namun pengganggu terus muncul dari Agus sekarang Pety.
”Enggak, pengen ngobrol aja ma elo.” tumbur Pety, sepertinya sangat penting sekali. Namun Ivan sendiri tidak begitu merespon. Mereka terlarut dalam obrolan sampai akhirnya Bang Yus masuk menyuruh mereka untuk segera siap-siap karena sebentar lagi acara dimulai. Mereka harus di make up dulu dan pastinya memerlukan waktu yang tidak sebentar. Obrolan mereka terputus dan mereka langsung beranjak menuruti apa yang Bang Yus katakan.
Diruang Make Up terlihat banyak sekali cewek yang cantik-cantik. Ivan tertegun sejenak mengingat tujuan dia ke Jakarta selain memenuhi tuntutan kerja salah satunya yaitu mengisi ruang hatinya yang sekarang sedang kosong setelah ia putus dengan Debi beberapa waktu lalu.
”Ih.... jauh lagi duduknya ...” ia sedikit kecewa setelah disuruh duduk jauh dari keberadaan yang telah ia lirik terus dari tadi.
****




Bagian 3
Oleh-Oleh Jakarta

Fashion Show, itu adalah bagian dari kehidupan model. Tidak aneh kalau mereka terus menjalani provesi yang tidak begitu membuat capek itu. Lampu yang gemerlapan adalah dunianya. Sepertinya pengunjung pada acara kali ini sudah mulai berdatangan. Ivan merasakan seperti gugup, ia seperti tidak pernah saja diperlihatkan pada banyak orang seperti ini.
Mereka berkumpul diruang tunggu bersama model-model yang lain dari Bandung maupun dari Jakarta sendiri. Ia terus melirik seorang cewek asal Jakarta yang duduk bersama ketiga teman modelnya. Lumayan centik, dengan hidung mancung mata yang sedikit liar dan rambutnya yang lurus terus mengusung Ivan untuk terus memperhatikannya.
”Rada mirip Debi hidungnya,” ujar Ivan dalam hati. Meski mereka telah putus beberapa bulan yang lalu tetapi Ivan sering sekali ingat sosok Debi yang lemah lembut itu. Ia mencoba mendekati cewek itu dengan hati-hati jalannya seperti pada parade nyisir, saat di panggung.
”Hai.....Ivan.” ia menyapa dengan langsung mengajungkan tangan untuk bersalaman, ketika itu pula ia juga menyebutkan namanya. Sambutan yang sangat bagus terlihat dengan senyuman mereka bertiga. Gugun melihat Ivan langsung berkata dari jauh,
” Mulai beraksi.....” sambil ia menepuk bahu Manto bermaksud memberitahu. Ivan seperti tidak perduli sama sekali dengan teriakan Gugun tadi.
“Sari” cewek itu juga menerima acungan tangan dari Ivan dan menyebutkan namanya. Begitupula kedua temannya.
Alam ini sangat bersahabat sekali sepetinya mendung seakan buyar angin yang tadinya kencang langsung reda, melihat sorang pria yang terus mencari percikan hati untuk dilatakkan manis di sudut hatinya. Denting jam mulai berangsur untuk mengiringi jalannya jiwa yang semakin dekat untuk menekuk sebuah rahasia besar yang menjadi dambaan kedua insan.
Tania dan Wulan berangsur meninggalkan Ivan dan Sari mereka berdua sangat asik sekali ngobrol.
“Eh...gue tinggal sebentar ya...?” mereka pergi sambil mengedipkan mata kanannya kearah Sari sebagai kede kalau mereka berdua mendukung. Namun perbuatan itu sama sekali tidak diketahui oleh Ivan sendiri. Tidak lama kemudian acara dimulai. Sebelum mereka berpisah sejenak Ivan mengobral janji untuk bisa ngobrol bareng lagi.
”Sari, ada waktu nggak setelah acara ini...?” Ivan sambil berdiri.
”Emang ada apa ...? balik bertanya Sari padanya. Ivan sedikit senyum.
”Gua masih pengen ngobrol panjang ma elo” ucapnya hati-hati sekali seperti takut ada kata yang salah. Namun Sari diam saja sambil ia membalikkan badan ia sedikit menganggukkan kepala. Gembira sekali pemuda ini dengan wajah berseri dan semangat tinggi untuk bisa secepatnya memeluk erat bidadari yang baru saja menyirami hatinya.
Terlihat model telah berjejer bagus di atas panggung. Atau sering disebut Parade dalam dunia mereka. Seperti yang telah dipelajari mereka, kali ini parade air mancur yang digunakan. Gugun terlihat di depan sekali, sedangkan manto disamping kiri nomor tiga dan Ivan belum mulai berjalan sebab ia hampir di ujung posisinya. Tepuk tangan mengiringi berjalannya Fashion di atas panggung.
Setelah itu model selanjutnya masuk. Disana terlihat Sari sedang cat wolk alias sedang berjalan. Ivan sejenak tertegun melihat begitu cantik wanita yang baru ia kenal itu. Sari tepat di depan begitu banyak penonton malam itu, posisi pause, sorot matanya menatap begitu banyak sosok manusia yang melihatnya kali itu. Ivan terus, melihatnya saat Steep I, II.
”Begitu indah,” hati Ivan mengagumi kecantikan Sari. ”Mudah-mudahan ia mau jadi pacarku,” harapan Ivan meledak-ledak. Tak lama parade out berlangsung.
Setelah sampai di dalam mereka disusun kembali dengan busana baru kali ini sepertinya berpasang-pasangan atau cavel. Ivan sangat berharap sekali bisa berdampingan dengan Sari tentunya. Namun setelah penyusunan, Manto rupanya yang berhak cavel di temani oleh wanita dambaannya itu.
”Ah...Gua yang berharap malah Manto yang dapet.” gumam Ivan kesal. Tetapi Manto sangat mengerti maksud Ivan memandangnya sinis.
”Van, tenang aja gua akan dukung lo supaya bisa jalan bareng dengan Sari.” bisik Manto mendekatinya. Ivan mengangguk-anggukkan kepala, dalam hatinyapun bahagia sekali.
*****
Udara yang sejuk menusuk-nusuk kulit dua insan yang sedang asik tertawa. Mereka janji untuk besok bisa jalan bareng di seputaran Jakarta. Manto memanggil Ivan, seraya mengajaknya untuk pulang bareng ke Hotel.
”Entar dulu, lagi asik. Tunggu ya...?” Ujar Ivan mendekati manto dan menariknya kearah balik pintu. Manto dan Gugun sangat setia dengan Ivan tercermin dari mereka berdua terus menunggu Ivan yang asik ngobrol dengan melati penyejuk malam itu.
”Brondong bo’, gila ganteng banget cowo itu,” seorang cowok mengelirik-lirik Gugun. Cowok itu duduk tepat di kursi samping mereka. Lirikan mata lelaki itu sangat tajam. Terfokus tepat pada Gugun dan Manto. Ia mendekati Gugun dan menariknya,
”Hai....Mau kencan ma gue nggak...?” nada lembut dari cowok itu.
”Makasih....makasih...” Gugun menjawab dengan gagap. Manto tak bisa lagi berbicara. Ia hanya tersenyum tertahan melihat temannya ditaksir oleh seorang cowok Gay. Cowok itu duduk menempel disamping Gugun sambil memegang pahanya yang atletis. Gugun semakin gugup, ia sesekali melihat wajah Manto sambil mengkedip-kedipkan matanya sebagai tanda. Bagaimana caranya mereka bisa pergi dari sana. Mereka berdua sangat takut menyinggung perasaan cowok itu. Karena banyak sekali temen cowok dan model pun yang terjerumus dalam jurang seperti itu.
”Sorry..ya gua ke Toilet dulu.” ia pergi sebagai alasan menghindar dari cengkramannya. Tinggal Manto di situ sendiri. Manto pun terlihat gemetar menghadapi kedipan mata sang cowok.
”Namanya siapa..? Gue, Niko..?” ucapnya mengajak kenalan dengan Manto. Terbata-bata Manto menjawab pertanyaan seperti itu.
Niko, ia sangat penasaran dengan Gugun yang pergi ke Toilet begitu lama, iapun mempunyai inisiatif menyusul Gugun ke Toilet. Sesampainya di sana melihat Gugun sedang merapi-rapikan rambut. Ia langsung memeluknya dari belakang. Begitu kaget si Gugun merasakan pelukan cowok setengah tua itu.
”Hoi...Apa-apaan sih.” seraya Gugun melepaskan tangan Niko yang merayap kedadanya. Setelah itu Gugun lari, berusaha menghindar dari pelukan laki-laki bangsat, ucap Gugun dalam hati. Manto melihatnya langsung lari juga. Seketika Taksi yang sedang lewat langsung mereka panggil,
”Taksi..!” dengan lambaian tangan Manto. Niko juga mengejar keluar namun, kedua pria itu telah meluncur kencang dengan taksi berwarna putih dan kuning. Niko terlihat kecewa sambil membalikkan badannya kearah pintu masuk.
Ivan dan Sari mulai beranjak untuk pulang.
”Da....sampai ketemu besok,” Sari mengucap salam dengan cowoknya yang baru itu. Alangkah gembira sekali kedua insan itu. Baru kenal langsung jadian, tidak pernah terbayangkan nasib Ivan begitu mujur. Ivan terus melihat Sari masuk kedalam Taksi. Sesaat Ivan ingat Gugun dan Manto,
“Mereka nunggu di mana ya..” tanya dalam hatinya sendiri.
“Mas..Mas...Lihat dua laki-laki dengan baju Putih dan yang satunya memakai jaket coklat. Tau nggak..?” Ivan bertanya dengan seorang petugas.
“Oh...mereka tadi lari-lari langsung naik Taksi, pulang kali.” jawab petugas itu dengan sangat jelas. Kesal sekali sepertinya Ivan mendengan kedua temannya itu pulang tanpa menunggunya. Tidak lama kemudia ia juga pulang. Dalam hatinya kesal dengan Manto dan Gugun. Tapi, disisi lain ia sangat gembira karena ia telah mendapat pengganti Debi. Sari adalah anak simata wayang dari keluarga yang sangat kaya sekali. Ia tinggal di Jakarta, namun bagi Ivan Bandung-Jakarta bukan jarak yang jauh bila cinta telah menembus hati. Jangankan Bandung-Jakarta, Kutub Utara dan Kutub Selatan juga dekat jika seseorang sedang kasmaran.
Pintu Hotel telah terlihat.
“Stop...Mas...!” Ivan menyuruh berhenti sopir taksi itu. Langsung ia menuju kamar, dalam pikirannya ingin sekali marah dengan kedua temanya. Tanpa ia mengetuk pintu ia langsung masuk.
“Hei....Elo pada nggak bisa diajak temenan ya...disuruh tunggu malah cabut duluan,” suara Ivan begitu keras. Sambil senyum Gugun mencoba menjelaskan padanya. Ditambah dengan Manto yang mengisahkan dengan sangat lengkap sekali. Ivan tertawa geli mendengar peristiwa naas itu.
“Elo..sih nyuruh kita nunggu, abisnya orang gila ngejar kita.”manto yang sedikit menyalahkan Ivan.
“Sorry....Sorry...” pinta Ivan sambil membuncukan kedua tangannya kearah Manto.
“Gimana, sukses nggak..?” tanya Gugun penasaran. Ivan hanya tertawa mengingat cowok gay itu.
“So...Pasti, dong..! Ivan. Gitu loh,” Gugun kembali memberi tanda selamat dengan mengulurkan salam. Ia banyak cerita dengan Gugun dan Manto tentang obrolan dengan Sari tadi, baginya penemuan kali ini adalah yang pertama, begitu kenal langsung jadian. Begitu singkat hidup ini.
“Besok gua nggak ikut pulang bareng kalian, gua masih ada acara dengan Sari.” jelaskan Ivan. Mereka berdua bengong.
“Oya...ya...kami ngerti kok.” Gugun sambil tertawa. Manto yang ikut senyum sambil mencabut rokok dari sakunya.

From : Sari 00:06:04
Van, udah nympek blm...?
Mat, mlm...gw udah di rmh ni..
Muahhhhh...


Dengan sangat serius sekali Ivan membaca SMS.
“Ehem...segitunya kalau lagi kasmaran,” ledek Gugun melihat Ivan membalas SMS.
To : Sari 00:08:02
Udah nympek kok..!
Cepek bgt tau...
Mat, bo2 say...
I love you
Muaaaah...

“sent”

Tidak lama dari itu mereka bertiga terlelap tidur. Dengan dislimuti kepenatan. Mimpi pun akan terus memberi warna dalam tidur tanpa jenuh.
****

Manto, Agus, Gugun dan teman-temannya yang lain telah siap-siap untuk berangkat sekarang menuju kota asal yaitu Bandung. Sedangkan Ivan masik asik sekali SMSan dengan Pacar barunya.
“Ehem....” Gugun meledek Ivan. Namun ia sama sekali tidak menghiraukannya.
“Bener nih..nggak ikut pulang..?” kembali Gugun menawarinya seperti bercanda, namun sebenarnya ia sangat serius. Ivan hanya menggelengkan kepala pertanda niatnya sudah bulat untuk jalan bareng dengan Sari siang ini.
Rombongan model itu telah berangkat. Ivan mengantar sampai pintu hotel. Ia masuk kembali dan berkemas sambil menunggu Sari yang akan datang menjemputnya. Musik terus menempel ditelinganya melalui perantara iPod yang terus menemaninya.
Agus terus menggoda teman-teman cewek di dalam Bus, seperti ia tidak ingat kalau mereka sebenarnya sangat tidak suka sekali dengan perlakuannya. Tapi, Agus takmenghiraukan celaan dari rasa marah temannya itu. Sesekali Manto menegur Agus, sepertinya ia tidak menuruti nasehat Manto.
Mobil Toyota berwarna Merah parkir di halaman Hotel. Kemudian keluar seorang cewek dengan kulit mulus. Ivan langsung menyambutnya dengan senyuman khas.
“Masuk dulu yuk,” Ajak Ivan kepada Sari.
“Langsung aja, Van,” sepertinya Sari tak sabar untuk langsung jalan dengan Ivan. Tanpa menolak Ivan mendekatinya. Begitu dekat Sari membuka pintu kiri.
“Kok sebelah situ sih, bukannya elo yang nyetir.” suara itu keluar dari mulut Ivan. Matanya yang tajam terfokus tepat ke muka Ivan.
“Gua kan nggak tau jalan di sini.” teruskan Ivan memberi alasan supaya Sari yang mengemudi. Sari tanpa banyak kata langsung menuju pintu sebelah kanan.
”Masak, cewek disuruh nyetir.” sambil tertawa geli Sari membuka pintu. Potong Ivan kembali memberikan alasan lebih detil,
”Kalau di Bandung, baru gua yang nyetir. Kalau di Jakarta harus elo dong..!” mereka sama-sama tertawa disertai cubitan manja diri kekasih barunya itu. Canda tawa terus mengiringi selama dalam perjalanan. Alunan musik sepertinya juga sebagai modal obrolan mereka.
Tempat romantis ini adalah saksi diantara mereka yang sedang bercumbu mesra, pelukan erat terus mengikat tubuh Sari. Begitu manis hidup ini. Sedikit yang bisa menjalani hidup seperti ini.
Selintas Ivan teringat akan pacar-pacarnya yang dulu. Sepertinya ini juga akan berakhir sama. Batin Ivan menduga dengan sedikit ragu jika mereka berpisah nanti.
“Ntar sore gua pulang ke Bandung,” ia memberi tahu kepada Sari. Terlihat murung dimukanya.
“Bukannya besok,” Sari menahan. Sepertinya ia masih ingin sekali terus bersama.
“Ntar ...kalau ada hari libur atau ada acara lagi di Jakarta pasti gua kesini lagi,” Ivan menegarkan keraguan dari benak Sari.
“Janji, ya..?” kembali sari angkat bicara sambil mengangkat tangannya dengan jarinya membentuk angka Ve. Pelukan tangan ke bahunya seperti itu adalah jawaban dari Ivan yang tepat. Ini sepertinya tempat terakhir yang akan mereka kunjungi, yaitu Mall, disamping membeli sesuatu di sana juga bisa heppy fun.
Gandengan tangan mereka berdua sepertinya tak pernah lepas meski harus berdesak atau melawan arus angin sekalipun.
“Jaga diri baik-baik ya....,” Sari memberi pesan.
“Elo juga.” Disertai cium kening dan pipi kanan, sebagai pertanda perpisahan. Sari kembali menarik tangan Ivan, rupanya hanya senyum saja. Lambaian tangan seperttinya tak terputus sampai mobil yang membawa Ivan tertelan oleh jarak. Sari terlihas sedih seketika ia masuk kedalam mobil.
*****
Bandung berseri-seri menatap datangnya Ivan. Ia masih tertidur di kursi nomor dua mobil travel yang ia tumpangi. SMS membangunkannya, rupanya dari Sari hanya menanyakan sudah sampai atau belum. Dengan penuh puitis ia membalas SMS itu. Masuk SMS selanjutnya,

From : Gugun 18:14:48
Gmn acr nya asik g’ tu...!
Kpn plg ke bdg ..?
Mbak Popy tyain qm kta nya
salam rindu.Cpat plng...mat
Happy.


Tersenyum sendiri Ivan membaca SMS itu, begitu ia kaget seorang Popy salam dengan orang sepertinya.

To : Gugun 18:20:16
Blng ma Mbak Popy Ngak slh ....
Salm kmbli, mita no dia...
Aq lg dlm prjlnan plg, 1 jm lg smpi.

“sent”

Gugun tersemun melihat masih liarnya hati Ivan. Tak pernah puas dengan satu kekasih. Tapi, Gugun tetap menjaga omongannya supaya tak menyakiti atau mnyinggung perasaan Ivan. Kemudian ia membalas disertai nomor Popy sebagai permintaan Ivan.
Malam begitu cerah sekali. Ia sendiri didepan teras lantai dua di rumahnya. Gugun memang orang yang santai, ia tidak seperti Ivan yang ranjin baca buku atau didepan komputer. Gugun lebih suka baca majalah. Ponselnya tak lama bergetar yang beerpusat dari saku celana.
”Kok Mbak Popy nelpon ada apa ya..?” penasaran sekali Gugun. Terus bergetar ponselnya.
“Kalau ia nawarin job nggak bakalan gua ambil.” Mengerutu sendiri ia jadinya. Ia sangat malas sekali ada job pada hari-hari yang melelahkan seperti ini. Karena beberapa hari ini kuliahnya terbengkalai.
”Halo, Mbak ada apa..nih.” suara Gugun lembut.
“Tau nggak Gun ...barusan Ivan SMS Mbak. Dia dapet nomor Mbak dari mana...?” tanya Mbak Popy seperti benar-benar penasaran dengan sosok Ivan yang super keren. Gugun tertawa-tawa tidak langsung menjawabnya. Ia sangat heran Mbak Popy itu cocoknya jadi Ibunya Ivan bukan gebetan. Dalam hatinya.
”Dari gua Mbak, abisnya dia minta sih...ngak pa-pa kan....?” Gugun mencoba menjelaskan.
”Nggaklah, malah bagus lagi Mbak bisa tau nomor dia jadi nggak harus lewat kamu.” Mbak Popy dengan genit mengutarakan isi hatinya yang sangat ingin bisa dekat-dekat dengan Ivan secepatnya. Mbak Popy adalah designer yang sangat terkenal pada masa-masa sekarang ini. Ia sering memberikan Job pada Model-model muda seperti Ivan, Gugun dan lainnya. Biasanya untuk pameran atau dalam lomba Fashion Show dengan busana rancangan Mbak Popy.
****
Bagian 4
Jangan Main Api
Malam yang cerah telah berlalu dengan gesit. Gemerlap bintang telah sirna tertumbur oleh sorot matahari yang begitu tajam melesat menembus celah-celah bumi. Bayang-bayangpun terlihat jelas kembali. Datang dan pergi sepertinya hal yang tak asing begitu kita merasakan antara malam dan siang. Aktivitas mulai berjalan, begitulah perputaran yang sebenarnya. Takluput bagi sekelompok maha siswa seperti Ivan dan semuanya.
Suara mobil yang meraung-raung terdengar dari dalam garasinya.

From : Sari 06:12:28
Mat pagi Van....
Udh Bgn blm..?
Kuliah nggk hri ini.
Muach...

Sambutan pagi telah menyapa. Begitu bahagia membacanya, apa lagi orang yang sedang dilanda badai cinta seperti Ivan. Tanpa pikir panjang ia langsung menjawabnya dengan penuh gairah.
Setelah sarapan ia langsung menuju kampus. Sambil menjinjing tas di pundak disertai kaca mata berwarna hitam untuk menutup deras angin saat mengendara Motor. Ia membuka jok motornya untuk mengambil sarung tangan supaya tidak keras kulit telapak tangannya.
Sampai kampus ia langsung mengabarkan atas keberhasilannya mendapatkan gadis Jakarta. Mereka tertawa cekikikan setelah Gugun juga menceritakan bagaimana Mbak Popy yang naksir sama Ivan.
”Ntar gua deketin dia, terus gua keruk tu duitnya.” Jiwa nakal Ivan sepertinya mulai keluar saat itu. Namun Gugun juga ikut tertawa, pada hal Gugun adalah tipe cowok yang tak pernah mau melakukan perbuatan seperti itu. Namun dikalangan dunia model itu sudah tidak asing lagi.
Getar ponselnya membuat ia segra beranjak untuk melihat SMS yang masuk.
”Pasti dari Sari.” Manto dengan tertawa mengatakannya. Teman-teman yang disamping juga dengan serentak memandang. Ternyata apa yang dikatakan Manto salah. SMS itu datang dari Mbak Popy yang mengajak ketemu nanti malam disebuah kafe di kawasan Dago. Tanpa basa-basi ia menyetujui ajakan itu. Namun ia diam saja meski apa yang di bilang Manto salah. Padahal Syerli lebih dulu menyuruhnya datang kerumah, sepertinya Syerli telah kalah saing dengan Mbak Popy seorang janda kaya dan juga design terkenal itu.
Sedikit gerimis malam itu. Ia sibuk menstarter mobil andalannya untuk menuju tempat yang telah dijanjikan tadi siang.
”Mau kemana gerimis-gerimis gini..? Entar sakit lho..” sang Ibu menahan dengan penuh perhatian dan kasih sayang itu.
”Ada urusan penting Bu.” jawabnya. Diteruskan dengan injakan gas mobil untuk segra meluncur. Sang Ibu mendekat di samping mobilnya, lalu ia membuka kaca mobil.
”Hati-hati.” pesan Ibunya. ”Ia Bu.” Sembari bersalaman dan mencium tangan Ibunya.
Terlihat di kursi nomor dua pojok seorang wanita dengan baju pesta telah duduk manis bertemankan segelas minuman.
“Malam Mbak.” Sapa Ivan disusul ucapan berikutnya,
”Udah lama nunggunya..? sori ya... telat.” pinta Ivan sambil mengepaskan bokong di kursi yang berhadapan.
”Nggak pa-pa lagi. Lagian belum lama kok.” dengan manja Mbak Popy menatapnya. Obrolan mereka terlihat serius meski bercampur dengan ketawa-ketiwi. Waktu terus berlalu meski grimispun berangsur reda. Namun keasikan mereka tidak seperti hujan, mereka bertambah lebat saja jika itu hujan alias makin seru obrolannya. Dentingan musik terus mengalun dengan tembang-tembang yang romantis. Tak lama dari itu pula terdengar suara ajakan untuk berdansa dari mulut Mbak Popy,
”Van, kita dansa yuk.?” Ivan sepertiya sangat enggan untuk menurutinya. Mungkin ia malu atau ia tidak bisa berdansa. Namun ajakan itu berulang-ulang kali terdengar, meski Ivan terus menolak. Alasan demi alasanpun tak mampu untuk mengelabui ajakan si wanita genit itu. Dengan sangat terpaksa Ivan kemudian menuruti tapi dengan satu janji, ”Sebentar”. Begitu gembira Mbak Popy mendengarnya. Kalau ia adalah urusan penting seperti dia bilang dengan Ibunya, inilah puncak kepentingan itu......
*****
Kesunyian kini menerpa Ivan setelah pulang dari kencannya. Begitu hancur kehidupannya sekarang ini. Bukan hanya Bliz kamera saja yang menyilaukan matanya, sepertinya uang juga sanggup menyilaukan. Begitulah harapannya mendekati Mbak Popy. Ivan mungkin masih bisa dikatakan biasa-biasa saja karna hubungannya masih lain jenis. Teman-teman Ivan yang seprovesi dengannya banyak sekali yang telah salah menggunakan ketampanannya. Mereka malah banyak yang menjualnya dengan kaum laki-laki pula alias kaum Gay. Materi.....Materi ... sepertinya itu yang selalu dikejar oleh orang.
Oleh karena itu dunia model selalu dipandang sebelah mata oleh para masyarakat awam. Kaum wanitanya juga tidak jauh berbeda dengan kredibilitas Ivan sekarang ini.
Terbaring sejenak ia memikirkan perbuatannya yang sangat akan membuat malu sendiri dan keluarganya. Ia juga teringat pesan Ayah. Kemudian ia membaca SMS dari Sari yang menyuruhnya ke Jakarta. Paling-paling juga rindu. Sebelumnya Ivan berencana kalau hari sabtu ini ia akan ke sana namun belum positif, tetapi setelah mendengar ada suruhan itu ia langsung membulatkan nekad. Disamping untuk menghindari Mbak Popy.
Ivan nyesal mendekati Mbak Popy karena akan menimbulkan efek yang sangat buruk sekali bagi kehidupannya sekarang dan natinya. Itu juga setelah ia mendengarkan dari beberapa sobat baiknya.
****
Gemerlap dunia Jakarta sepertinya telah menyapanya. Mereka melepas rindu disebuah taman di halaman rumah Sari. Mereka berdua terhanyut dengan desusan angin malam. Ciuman yang menempel tepat di pipi Ivan membangkitkan gairahnya untuk segra mencumbu bidadari yang sedang terbuka hatinya untuk ia belai dengan lembut. Lumatan bibir berkali-kali ia ulangi. Sepertinya Sari juga sangat memaknai pertemuan kali ini, begitu pula Ivan yang jauh dari Bandung. Sari juga menyuguhi tamu istimewa itu dengan hidangan istimewa pula.
”Van, I love you” bisik Sari di telinga Ivan saat terlepas dari bibirnya. Dengan senyum manis ia juga menjawab,
”I love you to” sembari mengecup keningnya. Begitu bahagia pasangan yang duduk disebuah batu dengan cahaya yang langsung dari sinar bulan meski tidak bulat. Mereka berpelukan erat seperti film telenovella, begitu romantis sekali.
Malam pun terus berlalu dan mereka berpisah kembali untuk sesaat. Esok mereka berdua akan jalan untuk menyusuri indahnya kota Metropolitan.
Hampir disetiap malam hari sabtu Ivan pergi ke Jakarta untuk menemui sang kekasih tercita. Selain itu ia masih takut dengan Mbak Popy. Yang selalu menanyakan,
“Van, kamu malam minggu ini kemana….?” seperti menghatui otaknya. Namun di kampus Ivan juga mempunyai pacar. Sekedar iseng. Hanya untuk mewarnai kehidupan kampus saja. Tapi sepertinya itu tidak berjalan lama sebab sanga ceweklah yang naksir berat dengannya. Namanya Heni. Sungguh malang nasib Heni yang dipermainkan oleh Buaya seperti Ivan.
****

























Bagian 5
Cinta Vs Dusta
Janji muluk Ivan sangat di dengarkan oleh Heni. Seperti tidak tahu gombalan cowok saja. Padahal permintaan-permintaannya sangat jarang sekali di kabulkan oleh Ivan. Jalan-jalan, nongkrong di kafee sampai minta antar ke suatu tempatpun selalu tak pernah dituruti Ivan. Alasan bermacam-macampun terkeluar darinya. Heni sepertinya sangat waspada sekali dengan kalau pacarnya akan berubah dalam waktu yang sebentar. Seperti yang diungkapkan salah seorang tokoh “Bila kita memperoleh sesuatu dengan mudah maka, akan mudah pula hilang dari kita.”
Sama halnya Heni mendapatkan Ivan. Sangatlah mudah, sekali saja ia dekat dengan Ivan dengan menjual bagaimana kemolekan tubuh dan lentik jarinya, hati Ivan dengan mudah terkobar dan menyambar seperti petir.
Sesal Heni tidak terkira saat ia merasakan kebohongan dari orang yang sangat ia banggakan itu.
“Heni, kemana ..? sombong gitu...nggak inget kemarin .. apa..? senyum meledek dari bibirnya.
Sekonyong-konyong Ivan meledek. Ia mengingatkan apa yang pernah mereka perbuat di kosan Heni tempo lalu. Heni menunduk kesal. Menyesali apa yang pernah ia berikan pada seorang keparat seperti Ivan. Hati Heni kini tak terbayangkan hancurnya.
“Cinta itu bushit.” Pekiknya dalam hati.
****
Sepulang kuliah Ivan menyempatkan untuk mampir kerumah Dino, ia telah lama sekali tidak bertemu. Wajarlah, selain rumahnya jauh, mereka juga telah berlainan sekolah. Semasa SMA mereka selalu bersama namun sekarang berlainan kampus meski masih dalam wilayah kota Bandung.
Ting....Tong.... bell rumah Dino telah di tekan Ivan. Keluar seorang lelaki dengan rambut godrong memakai baju lengan buntung alias can see.
”Eh...Ivan, tumben ada apa nih. Masuk..Masuk.” ia menyambut dengan ramah, sambil menarik tangan Ivan. Ivan terlihat gerogi dengan rumah megah seperti ini. Meski dulu mereka sering kumpul bersama di situ tapi tetap saja kikuk setelah lama tidak pernah datang ke situ kembali. Terlihat sosok laki-laki dikamarnya yang asik memainkan gitar.
”Kenalin, ini temen gua. Bima.” Doni sembari mengacungkan tangan kearah cowok berjerawat itu. Ia langsung mengacungkan tangan kearah Ivan dengan senyum.
”Bima” sambil melepaskan gitar yang terdekap erat di dadanya. Ivan menyambutnya dengan senyum pula,
”Ivan.” terdengar lirih ia menyebut namanya sendiri. Doni langsung menceritakan keakraban dan kebersamaannya sewaktu SMA dulu bersama Ivan.
”Masih sibuk di dunia model Van...?” tanyanya. Ivan menganggukkan kepalanya.
”Iya.”dengan sangat singkat sekali pemuda yang terkelit dengan banyak wanita sekarang ini. Maklumlah ia punya modal. Dari wajahnya yang ganteng ditambah banyak duit, cewek mana yang tidak kepincut dengan lelaki seperti itu.
Ivan sambil menyalakan korek untuk menghidupkan rokok yang terselip manis di jari kirinya, ia mengajak jalan-jalan atau kemping yang telah lama sekali tidak mereka lakukan. Padahal dulu mereka sangat sering dengan satu temannya lagi bernama Bram. Sekarang cowok yang punya hobi petualang itu telah menghilang dari kota Bandung. Ia meneruskan studinya di Singapura.
****
tiba-tiba Heni SMS memaki-makinya. Ia menagih janji-janji manis darinya. Ivan malah tersenyum-senyum geli melihat perempuan. Lalu ia malah SMS,

To : Heni 14:28:13

Hen, sblm nya gw mta maaf kalu tlah nyktin elo.
Tp, bkn maksd gw gtu.Cinta tdk bsa dpaksa.
Klu dlu gw blng cinta itu hnya menghrgai lo krn lo baik bgt ma gw.

“Sent”

Sungguh tak tertahankan pedih yang dirasakan Heni saat itu. Ivan sama sekali tak pernah merasakan betapa orang yang mencintai dia itu jungkir balik. Bantak guling adalah ajang pelampiasan tangis Heni. Kasihan benar dia, baru saja Ayahnya pergi keluar kota, katanya untuk memenuhi tuntutan kerja, padahal dia tahu persis kalau Ayahnya pergi dengan seorang sekretarisnya. Ibunya telah dibohongi habis-habisan oleh Ayahnya. Tapi, kalau di9a mengadu pada Ibunya maka dia akan lebih sakit hati. Karena Ibunya tak pernah mau menuntut haknya. Ibunya terlalu lemah untuk melakukan itu. Padahal sewaktu didepan hakin saat malaksanakan akad nikah telah berjanji didepan saksi untuk tidak berbuat seperti itu. Ia begitu kesal dengan Ayah dan Ivan dan semua laki-laki di muka bumi ini. Baginya semua laki-laki itu sama.
*****




























Bagian 6
Kemping

Terang-benerang malam itu. Di samping bulan yang membundar seperti bola ditambah kerlap-kerlip bintang. Angin yang datangpun terlalu bersahabat meski membawa dingin namun menyimpan keromantisan tersendiri. Kebisingan kota sangat jauh, polusi udara juga terjaga.
Memang suasana gunung seperti ini pasti didambakan banyak remaja. Begitu pula ketiga remaja yang sekarang ini sedang menyusun kayu untuk dibakar sebagai penghangat badan sekaligus sebagai alat untuk merebus air. Dino,
”Van, ambil kopi di ransel gua.” Sambil ia berusaha menyalakan korek api. Ivan dengan kegelapan meraba-raba tas yang tadi terimpan manis dipojok tenda mereka.
”Bim, kamu dingin nggak..?” tanya Dino sambil melipat tangannya di bawah ketek.
”Ya...jelaslah, namanya juga gunung kalau panas itu namanya pantai.” jelaskan Bima sambil menarik sebatang rokok. Api menyala dengan perlahan-lahan mulai membesar. Tepi, Ivan belum juga keluar dari tenda.
”Ada nggak Van..?” tanya Bima singkat, sepertinya ia taksanggup lagi menahan hasratnya untuk segra minum kopi. Namanya juga gunung, di gunung itu paling enak minum kopi hangat terus ngeliwet, berpikir sebentar Bima dalam hati.
”Nggak keliatan Bro’...” keluar Ivan tak membawa hasil.
”Senter di mana sih...?” tanyanya pada kedua temannya yang duduk enak di depan api. Tidak ada satupun yang menjawab diantara mereka berdua. Dino hanya mengangkat tangannya sambil menyala-nyalakan senter itu. Ivan dengan gegas menuju mereka.
”Bim, gantian elo yang ngambil kopinya, gua udah capek nih.” ucapnya sambil duduk. Ia juga menjulurkan tangannya disamping dekat api. Sepertinya ia merasa sangat dingin sekali.
Tidak tanggung-tanggung. Bima membawanya dengan ransel-ranselnya keluar.
”Susah banget sih.” ucapnya sambil sempoyongan mengangkat ransel yang berisikan perbekalan selama tiga hari di gunung.
”Baguslah,” Ivan sambil tersungging mengomentari perbuatan temannya itu. Asik sekali sepertinya mereka dengan tawa yang keras dan suara gitar dengan nyaring terus terdengar sampai tengah malam menjelang.
Suara binatang kecil juga terus mengiringi seperti tidak mau kalah dengan mereka. Mereka juga belum ngantuk. Ivan pergi sebentar masuk ke tenda untuk mengambil makanan yang tersimpan di ranselnya yang tak terangkut oleh Bima. Dengan membawa senter batrai yang tergenggam erat di tangan kanannya.
”Wah ...semakin lengkap aja malam ini” ujar Dino sambil tertawa kecil dari bibirnya. Mereka memang ingin begadang. Menghilangkan kejenuhan selama berada di kota yang selalu disibukkan oleh tugas-tugas kuliah sampai kesibukan luar setiap harinya seperti Ivan yang terlalu silau menatap kerlap-kerlip dunia model. Benar-benar enak untuk bersantai suasana gunung.
Sinar bulan yang terpancar mulai berangsur menepi dari langit yang memayungi mereka meski sinarnya yang sedikit tertutup oleh pohon-pohon yang rindang. Disana pula terletak keindahan Gunung meski sekarang telah banyak yang gundul ulah penebang yang tak mempunyai otak. Para penebang pohon tak pernah berpikir kalau akibat ulah mereka akan menyebabkan malapetaka dahsat yang siap menghayutkan.
Malam berlalu begitu saja. Ivan belum juga tidur meski kedua temannya telah terbungkus rapi dalam sleeping bag. Ia tak perduli. Dia sangat asik sekali mengotak atik note booknya. Entah kapan ia akan melepas barang teknologi canggih itu.
****

Siang menyala-nyala dengan sinar matahari tajam. Ketiga pemuda itu telah tiga hari menjalani kehidupan di gunung. Tenda telah mereka lipat rapi begitu pula peralatan-peralatan mereka telah terkemasi semua, meski ia masih akan pulang setelah matahari mulai lengser dari pertengahan.
Kembali mereka merebus air untuk menyeduh bungkusan kopi yang mereka bawa dari kota tentunya, maklum di gunung seperti ini sangat susah sekali menjumpai warung. Jangankan warung rumah-rumah warga juga jauh dari sini. Bungkusan roti juga ikut serta meramaikan santai pagi.
Setelah siang menggotong, mereka juga berangsur turun dari lereng gunung. Sekitar 3 mil dari pedesaan tempat mereka menitipkan mobil. Ransel besar menghiasi pinggung cowok-cowok keren dari kota itu.
Dino sepertinya kelelahan, karena ranselnya yang paling besar diantara mereka, yang berisikan tenda dan peralatan masak. Mereka bukan PA yang terbiasa dengan naik gunung turun gunung yang selalu membawa ransel besar tentunya lebih berat dari yang digendong oleh Dino sekarang ini.
Setelah sampai pedesaan mereka sepertinya sangat lelah sekali namun mereka terus berjalan dengan lambat. Mereka sangat memburu waktu yang mulai menampakkan matahari sangat condong ke barat. Seorang cewek berpapasan dengan mereka, Dino dengan agresif merespon gadis itu.
”Hai,...Neng..!” menggoda. Bima hanya senyum melihat temannya yang begitu doyan dengan cewek.
”Jangan asal nggoda, ini bukan kota, ntar ada yang sewot. Mampus lo.” nasehat Ivan yang sedikit takut dengan perbuatan seperti itu. Kembali mereka tertawa riang sambil memetik-metik gitar tidak karuan di sepanjang jalan menuju rumah Pak RT tempat menitip mobil.
Sesampainya di depan rumah Pak RT mereka langsung disambut oleh istri Pak RT yang telah kenal dengan tiga pemuda ganteng dari kota itu. Menyuruh istirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Namun mereka sedikit menolak karena hari telah mulai menampakkan tanda-tanda malam. Beberapa kali suara Ponsel terus bergantian. Wajar sih selama tiga hari sinyal tak menjamah ponsel mereka bertiga, jadi begitu menumpuk. Apa lagi Ivan yang tergolong manusia yang mempunyai fens yang tidak sedikit.
****
Cahaya terang telah terlihat dari jauh. Kerlap-kerlip lampu kota yang senantiasa nyala sampai malam menghabiskan mereka. Terlihat sangat bagus sekali dari lereng-lereng bukit. Mungkin kita hanya bisa geleng-geleng kepala jika meleihat keindahan seperti itu. Sebenarnya kota hanya bagus jika di lihat dari kejauhan, tapi jika masuk kedalamnya maka rasakan sendiri. Betapa polusi yang tak henti, ditambah bau sampah yang berceceran ditepi-tepi jalan, tidak indah sama sekali.
Kembali beruntun-runtun SMS masuk ke ponsel Ivan.
”Wah, disini sinyal sudah penuh, Bro.” ujar Ivan menekan-nekan tombol ponsel, bermacam-macam sumber SMS. Terutama Sari yang pertama ia baca kemudian pacarnya yang lain. Tak lupa Mbak Popy yang ikut sibuk menanyakan keberadaan Ivan. Memang ia tidak memberi tahu siapapun kecuali Ibunya. Belum lagi fens-fens beratnya yang selalu ingin tau keadaannya.
Suara musik sangat keras memandu mereka dalam mengendara mobil Jeep itu. Wajarlah anak muda, pasti gemar mendengarkan musik. Dengan bisik-bisik terlihat bibir Bima mengikuti lagu yang sedang mengalun dari Linkin Park itu. Dino juga ikut-ikutan bersiul mengiringi melodi lagu kesayangan mereka. Tol Cipularang telah habis mereka lalui ia kemudian keluar dari pintu Tol Kopo yang tidak jauh dari rumah Ivan. Sudah janji mereka untuk mengantar Ivan sampai kedepan rumahnya.
Pepohonan ikut menyambut hadirnya sosok yang lesu dan lelah itu. Ivan ikut menyapa mereka, tak terdengar oleh telinga para manusia biasa, yang jelas hanya melalui hati saja.
***
























Bagian 7
Pagi Yang Hilang
Ibunya beberapa kali bertanya selama ini ia di mana..? begitu banyak telpon yang masuk banyak sekali bertanya tentang Ivan yang menghilang begitu saja.
“Aku pengen ngilangin setres Bu, refreshing....” ucapnya sambil memakai handuk, hendak mandi sepertinya.
Sang ibu hanya senyum.
“Anak muda sekarang asal stres dikit aja, langsung jalan-jalan kemana aja coba saja Ibu dulu, mau keluar saja susah apa lagi mau hura-hura,” ngomong sendiri habisnya Ibu melihat tingkah anaknya. Sambil siul-siul ia di kamar mandi, supaya tidak begitu terasa dingin air yang ada dalam bak. Terdengar suara Ayahnya yang menanyakan, apakah ia udah pulang. Hatinya langsung dak...dik...dug...! dia sangat takut sekali dengan Ayahnya.
Anak muda itu langsung saja nyelonong tanpa menegur Ayahnya yang sedang duduk di meja makan. Sengaja Ayah menunggu Ivan supaya bisa makan bareng, maklum keluarga yang penuh dengan kesibukan pasti hanya waktu makan malam saja yang bisa menyatukan mereka. Jika mengingat itu semua, betapa berartinya sebuah makan malam bagi orang sibuk seperti itu.
“Van, nylonong aja..” tegur Ibunya. “Ayah udah tiga hari nggak lihat kamu, sapa dong..” nasehat Ibunya seperti tidak terdengar oleh Ivan. Dengan lari-lari kecil ia masuk ke kamarnya. Tampak basah seluruh badan. Kembali Ibuya menggelengkan kepala.
“Malam Yah...” sapa Ivan saat duduk di depan ruang makan itu.
“Kemana saja kamu..? kasih tahu dong kalau pergi keman, jangan main nylonong sana nyelonong sini, kayak orang ga’ terdidik saja. Ini Cuma SMS. Tidak jelas lagi kemana perginya. Bikin orangtua cemas saja,”omelan sang Ayah membuat ia tertunduk malu didepan layar kaca.
“Maaf...Yah, Abisnya mau telpon sinyalnya nggak kuat jadi susah nyambungnya.” pintanya dengan ucapan yang lembut.
”Sudah....Sudah...Makan gi sini bareng.” ucap Ibunya seraya menciduk-cidukkan nasi ke dalam piring. Tanpa menolak Ivan langsung duduk di samping kiri Ayahnya.
****
Deras angin malam menghanyutkan bisik mata yang tersudut dalam keasikan menatap indahnya langit, dengan hiasan bintang dan rembulan yang terpotong seperti celurit yang tajam menembus gelapnya suasana hening.
Berangsur Ivan masuk kedalam alam mimpi yang selalu menerangi katupan mata untuk menerjang malam. Bunyi binatang malam terdengar merdu dengan iringan nada yang begitu khas bagi mereka. Kodok, Jangkrik, dan binatang malam yang lain terus menempuh indahnya malam yang cerah. Berdansa dengan meriahnya mereka menyambut pagi yang akan membawanya dengan kesilauan yang panjang.
Pagi menjelang dengan fajar mulai menyingsing pertanda matahari akan siap menyorotkan cahaya kemuka bumi bagian timur. Aktivitas sebentar lagi akan berjalan sebagaimana biasanya. Setelah sorot matahari benar-benar panas maka banyak orang akan merintih dengan sengatan cahaya yang menusuk kulit dan pori-pori.
Jam 10.00 sekarang. Ivan belum juga bangun, sepertinya ia sangat lelah sekali sehingga tidur pulas adalah obat yang akan menyembuhkan. Suara ponsel berdering beberapa kali, tak juga bangunkannya. Kali ini Ibunya yang mendengar deringan kencang langsung mengetuk pintu kamarnya.
”Van....Bangun, pagi udah hilang kemana...! kamu belum bangun juga. Hp kamu dari tadi berdering terus tuh.” Ibunya sambil menggoyang-goyangkan gagang pintu kamar. Ia lalu membukakan pintu, lusuh mukanya dan rambut yang acak-acakan.
”Apa, Bu” tanyanya.
”Hp kamu dari tadi dering-dering terus.” sambil beranjak pergi dari situ. Ia masuk kamar lagi dan langsung menggapai ponsel yang tergeletak di tempat tidur.

From : Sari 10:45:05
Mat pagi Van..
Kmna aja kok g’ prnh ksih kbr lg sih?
Udh lupa ma gw ya?
Dr tdi gw tlp2 g’ dngkat2.

Ivan hanya tersenyum membaca SMS dari Sari. Kemudian ia membuka SMS dari Mbak Popy,



From : Mbak Popy 09:12:35
Van...bisa ktmu g’ mlm ini.Bls...Muah

Kali ini ia tak bisa tertawa sama sekali. Ia malah bingung, mau di tolak ajakannya, merasa tidak pantas alias tidak enak namun jika ia temui maka itu adalah sesuatu yang akan membuat ia hancur.

To : Mbak Popy 10:53:52
Sori aq da acra mlm ini.
Lain kali aja Mbak....

“sent”

Padahal ia sama sekali hari ini dan sampai malampun tidak ada kegiatan, kuliah juga libur aktivitas lain juga kosong. Tapi ia tidak membalas SMS dari Sari sepertinya ia telah hilangkan cerita tentang Sari saat ini.
****
Senja telah menantang manis di utuk barat, dengan merona kuning sorotnya. Terbias oleh air laut yang kian tenang. Masih terlihat para nelayan yang terus asik dengan jaring perangkapnya. Sementara Gugun mepisnya dengan mengendarai Motor menuju keramaian kota. Terlihat di sana sekelompok pemuda sedang asik bercanda. Diantaranya Manto, Jacky, dan Sonni.
”Hai,..Bro’ udah lama, nunggunya..?” Gugun sambil memarkirkan kendaraannya tepat di sisi tempat mereka duduk.
”Dari tadi Gua nunggu, mau gua SMS elonya nggak ada HP” Sonni sepertinya kesal. Memang Gugun saat ini tidak punya ponsel sebab telah terjual dulu. Ia tergolong cowok yang penuh pendirian. Dia kuliah namun ia tidak mau sama sekali meminta uang dari orangtuanya. Jadi ia kuliah dari hasil keringatnya sendiri, hasil honor tampil itulah yang menjadi tempuannya. Makanya ia sering tidak masuk kuliah. Bukan tak punya uang tetapi ia mencari tambahan uang.
Mereka semua ingin berangkat kesebuah tempat yang berisi orang yang happy fun atau sering disebut DUGEM. Mereka langsung berangkat menuju laokasi. Tidak jauh dari tempat mereka kumpul tadi. Parkiran mobil terlihat masih kosong karena masih sore, mungkin nanti malam akan lebih ramai dan bertumpuk tentunya.
Botol minuman telah tersusun di hadapan sekolompok pemuda itu, namun tidak untuk Gugun. Memang banyak sekali yang kagum dengannya, ia bisa membentengi dirinya meski teman-temannya yang tidak sedikit memeluk pergaulan bebas seperti itu. Jangankan ia minum-minuman keras, merokok saja ia tidak mau. Sering kali ia di ledek dan di ejek teman-temannya yang mengajaknya untuk terjerumus dalam dunia hancur.
Kini teman-temannya mulai tidak karuan ngomongnya, malah itu dibuatnya menjadi lelucon. Tiba-tiba Ivan muncul dengan tidak diduga.
”Wah, lagi pesta nih..?” Ivan sambil ikut nimbrung di sana.
”Ivan,....apa kabar nih..?” Gugun menyapanya dengan tetertawa lebar. Begitu pula teman-temannya yang lain juga ikut-ikutan menyapa. Ada juga yang langsung menawarinya minum. Tidak banyak kata Ivan langsung mengangkat gelas yang terisi penuh dengan cairan alkohol itu.
Malam itu serasa lengkap sekali disamping minuman banyak juga kebersamaan mereka yang tergolong jarang. Sebenarnya Ivan tadinya tidak berniat untuk ke situ, entah dorongan apa akhirnya ia coba-coba masuk. Disanalah biasa mereka kumpul selama ini.
Ivan tak mau minum banyak sepertinya. Dari tadi ia hanya sekedar menghormati temannya yang terus menyuruh untuk ikut gabung dalam dunia hayal yang kelabu. Gugun terus menggenggam sebuah minuman soda yang baginya itulah minuman malam yang enak dan menyegarkan.
Jam 01.23 dini hari. Mereka mulai meninggalkan tempat itu dengan seksama meski arah pulang yang sangat jauh berbeda.
****
Setelah sampai di rumah Ivan langsung menuju kamarnya dan langsung terbaring nyenyak. Mungkin ada pengaruh alkohol juga yang membuatnya begitu mudah untuk melepas semuanya. Biasanya ia selalu baca buku dan novel untuk penghatar tidurnya namun kali ini beda.
Sedangkan teman-temannya ada yang terus bergadang. Ada yang pulang diantaranya Gugun dan Ivan. Gugun tidak pernah mengikuti jejak seperti mereka. Itulah Gugun yang teguh memegang apa yang menjadi pendiriannya, ia tidak pernah mau begadang jika itu tidak berarti. Tapi, lain halnya jika ia ada pekerjaan yang memang harus dikerjakan saat itu dan mendorongnya untuk bergadang. Lain halnya Ivan ia memang hampir tiap malam didepan Laptop sampai larut. Baginya tidur bukan satu-satunya, jika ia masih menghasilkan sesuatu mengapa harus tidur. Toh tidur dari kecil sudah dan sampai tua juga masih akan merasakan kalau umur panjang.
*****





























Bagian 8
Untuk Teman
Bersantai di kamar sambil baca buku adalah yang sangat mengasikkan bagi pemuda satu ini. Alunan musik dari sebuah winamp pun memboyong damainya suasana kamar itu. Lampu di meja itulah yang menjadi saksi.
Ivan memang gemar membaca, apalagi itu berbau sastra seperti Novel, Cerpen dan Puisi. Kemudian ia beranjak mendekati Tape yang mengumandangkan lagu. Telunjuknya pas di tombol power. Mati. Seketika terasa sepi, namun ia kembali duduk di meja belajar. Lalu ia menjamah sebuah tas hitam yang berisikan laptop. Begitu laptop itu nyala ia langsung membuka sebuah program. Di sana ia bergelut dengan inspirasi yang membeludak dari otaknya. Sesaat ia terdiam. Jarinya bergerak mengetuk-ngetuk meja, tatapannya kosong kearah ponsel yang bergetar-getar dari tadi. Ia sama sekali tidak menghiraukan.
”Ah...Ganggu aja, siapa sih..?” tanpa mendekati ia mengoceh sendiri. Kembali tangannya tepat di kibot laptopnya. Sebuah cerpen ia susun. Baru satu paragraf. Matanya terpaku menatap layar LCD. Sambil membacanya perlahan sesekali ia memegang Mouse. Mentok sepertinya.
“Lihat SMS dulu ah...Tau... tau ada inspirasi di sana.” dalam hatinya berkata.

From : Sulfi 19:04:38
Van, Manto kecelakaan.
Skrng di rmh skt umum
Lo cptn ksni, tmnin gw. Gw sndrian.

Sangat terkejut sekali ia membacanya buru-buru ia membalas SMS tersebut.

To : Sulfi 18:41:09
Ok. Gw ksna skrng. Tggu aja.

“sent”

Setelah itu ia langsung ganti pakaian dan beranjak keluar dengan buru-buru. Namun Ibu menyegatnya di pintu.
”Mau kemana malam-malam begini.” sambil berjalan menuju pintu juga Ibu. ”Mau ke rumah sakit, Bu.” dengan memakai sendal ia menjawab pertanyaan Ibu. Muka Ibu menjadi seribu kerutan.
”Siapa yang sakit...?” Ibu bertanya kembali dengan penasaran yang menguak. ”Manto, kecelakaan.” Sesingkat mungkin ia menjawab. Namun Ibu semakin penuh tanda tanya.
”Bu, aku berangkat.” ucap si ganteng sambil meluncur ke garasi.
”Hati-Hati, ntar malah kamu lagi yang minta ditunggu juga.” Pesan ibu dengan muka yang semakin kasihan.
”Iya, Bu.” Sambil mengeluarkan kendaraan andalannya. Ibu terus menatap anak tersayangnya sampai tikungan menelan habis sorot lampu mobil Ivan.
****
Sesampainya di rumah sakit ia kembali kebingungan mencari kamar yang di beritahukan Sulfi tadi. Bolak-balik ia melewati ruang gawat darurat di sana. Seorang satpam mulai tertarik untuk menanyakan pada pemuda yang berpenampilan keren itu.
”Mas...Mas...lagi nyariin apa.” tanya satpam sambil mendekatinya.
”Ini Pak mau cari teman saya di kamar 139 B. Mana ya Pak...?” sangat kacau pikirannya sehingga ia tampak seperti gemetar saat berbicara.
”Oh...ruangan ini ada di lantai Tiga Mas...” jawab satpam itu sambil tersenyum. Namun Ivan tanpa mengucap terima kasih, langsung meluncur cepat menuju lif. Pak satpam hanya menggelengkan kepala sambil bergumam lirih,
”Pasti, pacarnya yang sakit. Kalau temannya nggak mungkin sampai segitunya.” kembali satpam itu tersenyum, sambil menuju loket.
Langsung masuk saja tanpa ia mengucapkan salam. Manto terlihat lemas dan di tangannya terlihat selang menuju ke botol yang tergantung disamping. Hidungnya juga tertutup. Majahnya penuh perban dan bercak merah darah di kain putih itu. Silfi langsung merangkul Ivan. Sambil menangis terisak-isak. Ia mencoba menenangkan perempuan yang berkulit kecoklat-coklatan dan hidungnya mancung.
”Van. Gimana dong ....?” dengan terputus-putus dia berbicara.
”Pasti manto nggak kenapa-kenapa.” Ivan sambil mengelus-ngelus pundaknya.
Ivan makin penasaran kecelaan bagaimana yang dialami temannya sehingga keadaannya sebegitu parah.
”Tadi kan, kami jalan-jalan, terus lewat jalan Kiara Condong. Pas di jembatan layang Manto ngebut sambil canda ma gua, dari samping ada seseorang pakai motor ngebut, nyenggol kami. Manto langsung tergoyang kesamping dan dari depan truk kontainer sangat laju menabrak bagian depan motor kami. Sampai disana gua nggak ingat lagi. Setelah ingat gua udah di kerumunin banyak orang, gua tidak parah hanya luka-luka sedikit. Sedangkan dia terplanting sekitar 10 meter dari sana. Kata orang-orang ia terseret di aspal.” ia menghentikan sejenak ceritanya. Namun Ivan terus mendesak.
“Terus...terus,” sangat serius sekali ia menanggapi.
“Manto tak sadar sampai sekarang. Kami langsung dibawa kesini oleh seseorang. Tapi, yang brengseknya truk itu langsung saja ngebut. Tak bertanggung jawab,” dengan sedikit air mata mengalir memebasahi pipi mulus. “Sebenarnya Truk itu nggak salah, yang sakah orang yang nyenggol kami itu,” kembali ia terdiam menunduk seperti ada sesuatu yang sangat ia sesali.
“Salah gua. Semuanya itu salah gua Van,” semakin kencang ia menangis. Tak sampai hati Ivan langsung mengelus-ngelus pundaknya.
“Semua itu udah takdir Fi. Kalau kalian nggak jalan-jalan pasti ada tragedi juga,” ujar Ivan menegarkan.
“Tapi Van, kalau gua nggak ngajak dia jalan-jalan pasti nggak seperti ini. Terus gua juga yang ngajak dia canda di jalan,” semakin ia merasa bersalah.
“Sudah... semua itu sudah terjadi,” Ivan juga menunduk kali ini, ia merasa kehabisan kata.
“Orangtuanya udah di kasih tau belum..?,” Ia mengalihkan pembicaraan. Namun Silfi masih menjawabnya dengan suara tangisan,
“Udah, tapi orangtuanya masih di luar kota. Mungkin besok pagi mereka datang,” terangkan Silfi bercampur air mata.
Tiba-tiba suasana langsung berubah ketika seorang Suster masuk didampingi seorang Dokter. Mereka membawa sebuah tas dijinjing dan langsung mendekati Manto, pastinya ia mau memeriksa bagaimana keadaannya setelah dua jam terakhir ini. Ivan langsung keluar dari kamar itu. Sesampainya di luar ia terus berjalan melewati lorong-lorong, naik lif terus berjalan. Area Smoking. Ia menyulut rokok sambil bersandar di pagar. Ia seperti bingung melihat Realita sekarang ini. Lalu ia mengeluarkan ponsel dari kantong depannya. Ia membaca sebuah SMS dari ibu. Ia tanya apa anak ganteng itu nginap di rumah sakit..?
******
Jam dua dini hari suasana begitu sepi lampu putih yang terus nyala, suara orang berjalan bolak balik sepertinya itu sebuah hal yang tidak aneh, namun suara keributan tiada lagi. Ivan tertidur di kursi samping meja tempat menaruh barang-barang atau makanan, begitu pula Silfi juga tertidur di samping Manto.
Manto mulai siuman setelah mereka semua tertidur. Tiada yang mengetahui, sebenarnya itulah yang ditunggu. Manto langsung menatap orang-orang yang telah begitu setia mendampingi dan menunggu sampai saat sekarang ini. Tangan sebelah kirinya memegang kepala Silfi yang tertidur pulas. Dalam hati Manto, “Pasti mereka semua kecapean,” Silfi langsung terkejut.
“To..!” sangat gembira sekali Silfi memandang pujangganya telah sadar. Mereka langsung berpelukan erat seperti lama tidak ketemu.
“To, aku bangunkan Ivan ya..?” Silfi ingin segra memberi tahu Ivan saat itu untuk menyatakan kegembiraannya. Manto melarangnya, karna ia kasihan pasti Ivan sangat capek.
Sekitar jam empat lebih, suara sepatu yang terburu-buru tepat berhenti di depan kamar 139 B.Silfi langsung menoleh kearah pintu. Terlihat dari kaca kecil seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian Silfi langsung menuju kesana,
“Apa ini kamar Pasien yang bernama Hermanto ..?” tanya lelaki itu. Silfi mengangguk-anggukkan kepala. Mereka langsung menumbur. Semakin heran Silfi melihat mereka, ia tak sadar kalau itu kedua orangtua Manto. Namun setelah mereka semua mendekati termasuk Ivan yang terbangun seketika, terjawablah apa yang ada di benak Silfi, Ivan telah mengenal kedua orang tua Manto semenjak mereka duduk di bangku SMP. Manto kembali tertidur.
***
Mereka saling bercerita tentang bagaimana semua itu bisa terjadi. Ivan sedikit menutupi apa yang dikatakan Silfi, ia bercerita seakan-akan kesalahan itu di buat oleh motor yang menumbur dari belakang dan truk yang menumburnya dari depan. Silfi terlihat diam saja ia hanya gerogi menghadapi kedua orang tua Manto.
“Kalian kalau mau tidur...tidur aja... Fi, tidur gi, pasti ngantuk, kamu juga Van, biar Ibu dan Bapak yang tunggu.” Tapi kedua remaja itu menolaknya.
Ivan terus ngobrol dengan kedua orang yang banyak menasehatinya dari tadi. Ia tak tidur sampai pagi. Silfi kemudian tertidur karena ia tidak begitu nyambung dengan semua obrolan mereka. Ibu Manto menceritakan masa kecil manto yang pendiam tidak nakal dan jarang mau tertawa.
“Bu...sepertinya sifat itu masih dibawa sampai sekarang ya...?” canda Ivan supaya mereka tidak terlarut dengan suasana rumah sakit. Tahu sendiri jarang sekali rumah sakit sebagai ajang tawa dan ceria, mungkin pada bagian melahirkan. Pasti sang Ayah akan gembira bila anak yang didambakannya telah keluar sesuai yang ia harapkan.
Akhirnya mereka tersenyum. Ibunya mengeluarkan banyak makanan, oleh-oleh asal Jogja. Manto asli kelahiran Jogja namun ia besar di Bandung setelah orang tuanya pindah kerja ke Bandung. Namun Orang tuanya sering kali pulang ke Jogja untuk menjenguk kampung dan keluarga di sana.
****
























Bagian 9
Diary
Panas matahari siang menyengat, udara juga ikut terbawa masuk kepori-pori tubuh. Begitulah suasana siang itu disebuah pintu Tol Mohammad Toha siang itu. Ivan bersama kedua orang tuanya dari Ciwidey. Sebuah tempat yang sejuk di daerah Jawa Barat, sangat terkenal dengan pemandian atau kolam renang yang berair panas alias pemandian panas. Senganja mereka lewat Tol Mohammad Toha untuk menghindari macet. Jika lewat Kopo hari minggu seperti ini pasti macet, bisa-bisa sampai rumahnya malam. Meski rumahnya lebih dekat dari sana.
Jalan Sukarno Hatta saat itu sangat ramai sekali dengan kendaraan yang lalu-lalang meski harus berhenti pada setiap lampu merah. Mobil Toyota Avanza itu melesat masuk di kawasan Cibaduyut. Dimana tempat pabrik pembuatan sepatu. Dengan lambang sepatu alias tugu di persimpangan masuk daerah itu. Memang lebih mudah untuk memasuki perumahan Kopo Permai lewat Cibaduyut saja.
Ivan cengar-cengir, ternyata Cibaduyut sore itu juga macet.
“Eh....ngindar dari macet malah kejebak.” si ganteng itu merintih kesal. Ayah hanya senyum-senyum tanpa komentar sebab tadi yang nyuruh lewat Cibaduyut dia.
“Yah...gimana dong..! malem ni aku ada acara,” Ia tak sabar melihat macet yang begitu panjang. Ayah hanya senyum sambil menyulut rokok 234.
“Jalan kaki aja, lagian udah dekat. Biar Ayah yang nyetir,” tanpa banyak kata ia langsung turun dan meninggalkan Toyota berwarna silver itu.
“Kemana Van..?” Ibu bertanya. Si ganteng itu sepertinya tak dengar lagi. Ia langsung menyelip-nyelip melewati jarak-jarak padat diantara mobil-mobil mentereng yang nimbrung di sana. Juga banyak sekali yang butut bercampur aduk seperti rujak. Kepulan asappun menambah sesak udara lingkungan kota tersebut.
****
Fotografer Edi telah terlihat sliwar-sliwer di depan lokasi. Entah apa yang sedang ia kerjakan tapi, mereka yang berada di sana tidak ambil pusing, paling-paling juga lagi mencari tempat yang setrategis untuk pemotretan. Salam Gugun yang baru datang.
“Bukannya jadwal hari ini kosong..?” Tanya Gugun yang terlihat malas hari ini. Semua tidak ada yang jawab karena kami juga tidak mengerti harus jawab apa. Gugun merasa sedikit terpojok dengan tidak ada respon dari kami.
“Hah..?” Ucap Gugun kembali seraya menegaskan pertanyaannya itu.
“Nggak tau,..gua juga di hubungi pagi tadi langsung aja gua jemput Ivan.” Irwan yang angkat bicara dengan logat senyumnya. Sedangkan Ivan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda ia setuju dan membenarkan apa yang dikatakan Irwan. Gugun langsung ambil posisi di depan Feri yang asik dengan sebatang rorok ditangannya.
”Fer, elo nggak sekolah...?” tanya Gugun sambil duduk di depannya.
”Ya, enggaklah gua ada disini, kalau nggak ada disini kemungkinan gua sekolah.” sambil cengengesan Feri menjawab pertanyaan Gugun. Ia semakin kesal dengan jawaban ngelantur dari mulut Feri.
”Gua tanya bener-bener elo jawab gitu.” sambil memalingkan muka.
”Iya,....Iya,....Gitu aja ngambek. Lagian elo nanyanya nggak berbobot sih. Gua males sekolah. Kebetulan ada latihan hari ini jadi kebetulan banget.” sambil menghisap rokoknya.
”Dasar....elo nggak pernah kasihan ma orang tua lo ya..? ntar elo baru nyesal. Kalau gua sih ..” ia memutuskan perkataannya seperti habis apa yang akan ia katakan dan ia juga bingung harus ngomong apa jadi ia teruskan dengan senyum. Ivan juga ikut ngumpul di sana. Namun Ivan sepertinya ada maksud tertentu, ia langsung mendekati Feri.
”Fer, mana rokoknya lagi...? ngrokok sendirian aja.” tertawa kecil Gugun melihat tingkah temannya. ”Gitu dong...!” ujar Ivan lagi. Ia langsung menariknya dari bungkus yang bermerek Star Mild. Dihisapnya dalam-dalam.
”Wah... Enak juga rokok lo, kirain kayak orangnya, asem gitu.” seloroh Ivan. Feri telah terbiasa dengan canda-canda dari Ivan.
”Ayo kita mulai sekarang... entar keburu panas.” ujar Bang Anton yang siap mendidik dalam dunia fashion.
Pada saat latihan canda tawa tak pernah lepas dari mereka meski pelatih itu sedikit kewanita-wanitaan. Biasa dipanggil Ce’.
”Ce’ gua harus jalannya kayak gitu..? gua nggak bisa.” sengkal Gugun alias memprotes jalan dengan bokong yang lenggak-lenggok.
”Iya....itu kan jalannya cewek.” tambah Feri yang begitu kesal bila diatur. Yang lainnya hanya senyum-senyum seperti setuju apa yang dikatakan dua cowok itu. Namun bagi cewek-ceweknya asik-asik aja.
”Elo...mau diajarin nggak..? kalau nggak, ya udah. Gue pulang aja. Gue juga udah males ngajarin pembangkang kayak elo-elo semua.” Mas Anton kali ini benar-benar marah. Langsung meninggalkan lokasi. Namun Gugun dan Feri begitu gembira. Sedangkan yang lain diam saja. Ada yang kesal.
“Kamu ini masih mau tampil nggak..?” manajer keluar langsung angkat bicara. Mereka semua terdiam. Di sana lebih tidak enaknya punya manajer. Selain diatur potongan pada setiap kali tampil juga besar, dari 30 sampai 40% dari honorium yang diterima. Tapi kalau mengingat free lance lebih mendingan. Free lance sangat susah sekali mencari job, jika tak up date mencari informasi maka takkan pernah mendapat job. Enaknya pada saat menerima honorium, satu persenpun tak ada yang memotong kecuali pajak.
****
Setelah semua selesai Ivan langsung beranjak ke sekolah Syerli untuk menjemputnya. Ia tahu kalau Syerli pasti banyak yang akan di bicarakan dengannya. Sesampainya di sana terlihat dia sedang berjalan dengan dua temannya di depan taman samping sekolah mereka.
“Apa kabar Syer..?” sambil ia acungkan tangan untuk memberi selamat. Namun dia tidak menjawab hanya menarik Ivan duduk di bawah pohon. Ia tidak banyak bicara hanya memberikan sebuah Diary yang selalu didekapnya setiap saat. Ia langsung pamitan. Ia mau kerja kelompok bersama teman-temannya.
Sambil berjalan menuju rumah, difikaran Ivan terlintas-litas keadaan Syerli, jika posisinya itu terlimpah padanya pasti ia tidak sanggup menjalani tikungan selanjutnya. Seketika murung. Tapi ia langsung mengubah fikirannya, seperti punya garapan pemikiran yang lebih dahsyat daripada kisah Syerli itu. Di dalam diary itu ia membaca secarik puisi,
Menari-nari di matamu
Aku memunguti segala embun dilangkah pagi
Meneguk racun itu
Mengoleksi setiap henti nafas itu
Menyayati detik-detik pergulatan itu
Lalu terukir dalam-dalam
Di serpihan benak yang kelam
Ivan langsung mengerti apa maksud dari puisinya itu. Namun, ia hanya menggelengkan kapala sambil terus berjalan mengarungi aspal dan terik mentari.
Sampai di rumah ia coba untuk menenangkan pikiran yang rancu selama siang ini. Kembali terlarut dalam lamunan dan juga angan yang terlalu emosi untuk mengungkap kejenuhan alam sekitar dan realita kehidupan.
“Ah…percuma sepertinya.” bantah benak Ivan sendiri. Merasa tidak puas dengan ide bodoh itu.
****




























Bagian 10

Kebetulan Sama
Gugun dan Sonny sekarang sedang pergi ke Mall. Mereka sedang happy-happy dengan Nania dan Dian yang selalu mendampingi mereka. Meski Sonny bukan seorang model tetapi ia bisa meluluhkan wanita model seperti Dian yang sebegitu cantik dan sebegitu menawan. Susah diungkapkan dengan kata-kata. Gandengan tangan yang erat dari masing-masing pasangan menghanyutkan waktu. Merekapun membeli tiket bioskop. Ingin nonton Film yang sedang marak diceritakan oleh kalangan penggemarnya.
“Harry Potter” ucap Sonni saat menelpon Ivan kemarin. Ia menawarkan kalau mau nonton bareng. Tadinya ia mau nonton rame-rame dengan teman-teman sekelas tapi, mereka banyak yang menolak. Ivan ada acara sendiri. Begitu pula Manto yang baru bisa kuliah setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Tentunya ia belum pulih sepenuhnya. Jalannya masih ter bata-bata.
****
Ivan lebih tertarik mengikuti diskusi di sebuah komunitas yang beraliran sastra. Sepertinya ia kini begitu mendalami sastra, ia mulai sadar kalau ia sebenarnya suka sekali dengan karya-karya sastra. Dari dulu ia hanya membaca dan belum pernah berdiskusi tentang sastra. Ia merasa penasaran juga rupanya.
Sebuah kosan kecil, 4x5meter. Di sana terkumpul mahasiswa-mahasiswa sastra. Diantaranya Reza, Seno dan Delia. Ivan masuk dan duduk di samping Seno. Tak lama beberapa orang datang dengan latar belakan dan jurusan yang berbeda. Bahkan sebagian besar dari mereka belum saling kenal. Saling sapa dan tegur kenalan dan bertanya kemampuan. Ivan tertunduk ketika salah satu dari mereka ada yang bertanya padanya,
“Tulisannya udah sering di muat di media...Mas... ?” Ivan tercengang gerogi.
“Belum.” Singkat saja. “Saya baru mencintai sastra. Kata seseorang padaku, sebelum kita membuat, cintailah terlebih dahulu,” Tambahkan Ivan sambil membeladiri agar ia tidak begitu diremehkan. Serasa hatinya terbakar habis. Ia mulai berfikir keras tentang karya-karyanya yang belum pernah selesai hanya tersimpan manis di laptop. Makin sempit kosan itu sehingga begitu sesak. Panas. Ia terpojok.
Acara dibuka dengan pengantar dari Reza sebagai ketua di Komunitas itu. Dan karya sastra yang mereka angkat adalah sebuah novel yang sangat terkenal. Novel yang sangat laris di dunia dan banyak sekali penggemarnya.
“Novel yang akan kita diskusikan adalah Harry Potter”
Deg. Ivan terbelalak mendengar kata-kata itu. Ia langsung ingat ajakan Sonni kemarin. Ia langsung menyulut rokoknya dan menawari teman disampingnya dan Seno. Senopun menarik satu batang langsung menyalakannya juga.
Sambil diskusi ia sering melihat kearah seorang perempuan. Delia. Bibinya memang manis sekali dan sepertinya sangat cerdas beberapa kali saat diskusi ia mengeluarkan Argumen-argumen yang dahsyat-dahsyat. Juga begitu kritis setiap menanggapi sesuatu.
“Kutunggu dia pulang.” Gumam Ivan dalam hati.
****





















Bagian 11
Jujur Itu Pedih
Sehabis diskusi ia langsung beranjak pulang. Diperjalanan ia teringat dengan Sari. Ia tak pernah memberi kabar seakan-akan ia mengngantungkan perasaan orang lain. Ia juga berpikir kalau saja itu semua terlimpah padanya pasti itu juga membuat setres. Ia berhenti disebuat rumah makan Padang. Sambil menunggu hidangan diantar oleh pelayan ia menarik ponselnya.
“Mis kol dulu, takutnya udah ganti nomor lagi.” Ujar Ivan dalam hati. Ia kemudian menekan-nekan tombol dan di Phone book. Di layar ponsel terlihat nama Sari. Lalu ia menempelkan di kuping. Setelah terdengar kalau nomor yang ia hubungi aktif lalu ia mengetik SMS.
To : Sari 19:14:01
Hai pa kabr..? kok ga kdngeran lagi...he..he..
ak kngen lo... ak hnya ingin jujur klu ak skrang
udh pnya pcar. Maafin ak ya. Ak tau kau bgtu syang
dg ku, ak mrasa tak pantas. Cari cowk yg lbh pantas
n lbh baik dari ku. Thank Ivan

“sent”
Hidangan yang ia tunggu kini telah terserak di depan matanya. Tanpa berfikir sesuatu ia langsung melahapnya dengan nafsu. Ia sangat suka sekali dengan masakan Padang bisa dibilang makanan faforit remaja ganten ini. Tidak terlihat sama sekali kalau dia seorang model yang seharusnya makan Steak atau menu Eropa dan Australia.
Tidak lama dari itu ponselnya bergetar-getar di sakunya. Terpampang di layar “Sari memanggil”
“Halo”
“Halo, Ivan ya...?” tanya Sari seketika.
“Oh...Sari, apa kabar...? Baik kan...?” seloroh Ivan dengan tawa-tawa kecil.
“Elo kok gitu sih Van... lo udah lupa dengan kata-kata lo sendiri kalau elo mau setia ama gue selama-lamanya. Lo bilang lo nggak akan cari cewek lagi. Mana ucapan manis elo itu...?” Sari mengondok-ngondok, menahan emosinya yang membeludak.
“Sori...Sori... gua nggak sanggup kalau kita harus pacaran jarak jauh seperti ini. Gua juga nggak tau apa yang lo lakuin disana. Lo setia atau nggak.” Dengan hati-hati sekali Ivan mengucapkan kata demi kata.
“Elo nggak inget apa...Gue itu sayang banget ama lo Van. Kalau gue selingkuh atau gue punya yang lain untuk apa gue repot-repot sms elo setiap hari meski nggak pernah lo balas. Gue bukan orang pengingkar janji kayak Elo.” Suaranya semakin tidak karuan seperti menangis kali ini.
“Sari..!.Sari...! tunggu dulu gua jujur karna gua sayang sama elo.” Usaha terakhir seorang buaya yang digunakan Ivan.
“Alah ...Gombal..” ucap Sari keras.
“Terserah elo deh, gua minta maaf kalau gua telah nyakitin perasaan lo.” Pinta Ivan dengan nada standar tapi, ia sepertinya sangat menjaga setiap kata yang keluar.
“Van, gue sayang ma elo. Gue terlanjur memberikan semuanya. Gue nggak mau putus ma elo Van...” terlihat harga dirinya kini telah hancur.
“Elo seorang model, elo cantik, mau cari cowok yang kayak gimana elo bisa. Carilah cowok yang lebih baik dari gua. Gua nggak bisa jadi yang terbaik.”
“Van kenapa elo jahat banget ama gue...?” suara Sari kini tercampur aduk dengan isakan tangis. “Van, elo tetep yang terbaik buat gue.” Itulah kata-kata penutup dari Sari. Tut..tut....tut...pertanda kalau hubungan mereka kini seperti ponsel.
Ivan langsung melanjutkan makan yang sempat jeda beberapa menit.
****
Sari merasa kalau hatinya kini telah hancur berantakan. Ia juga mulai berfikir kalau ternyata semua cowok itu sama. Penggombal. Ia hanya terdiam di kamar, mukanya terus tertutup oleh boneka kelinci yang dibelikan Ivan saat jalan-jalan ke Mangga Dua. Sebuah Maal besar. Terus terlintas sejuta tawa saat bermain Time Zone bersama Ivan dan jalan kaki mengintari sudut-sudut keramaian Jakarta waktu itu.
“Ivan gue sayang elo.” Terdengar lirih dibalik seprai warna Pink. Isak-isak kecil juga mengiringi kata-katanya.
“Tok...Tok....Tok..”
“Non...Sari...” suara itu jelas dari Mbok Ijah, pembantu Sari dan juga sebagai lahan curhatnya dari kecil. Ia diasuh Mbok Ijah dari mulai ia lahir. Ibu dan Ayahnya orang sibuk, jarang dirumah paling-paling malam mereka bisa kumpul sama-sama.
“Masuk Mbok....” sahut Sari pelan. Dengan hati-hati Mbok masuk membawakan sepiring nasi dan dihiasi lauk-pauk.
“Kok...di kamar terus Non...? ada apa...Ini Mbok bawain makanan. Mau ya...? dari siang kamu belum makan...?” penuh perhatian sekali setiap titik-titik kalimat yang diutarakan oleh Mbok. Naum Sari hanya diam saja tanpa sepatah katapun. Ia malah semakin memendam wajahnya di atas kasur.
“Kalau ada apa-apa cerita dong dengan Mbok... biasanya kan kamu juga cerita sama Mbok,” Dengan logat kencang dari Jawa membuat kata-katanya semakin asik di dengar. “Ada apa Non...?” tanya kembali Mbok. Sari kini mulai menyingkirkan boneka yang dari tadi ia peluk.
“Mbok, laki-laki itu jahat banget ya Mbok...” tanpa berpikir panjang ia langsung mengeluarkan unek-unek kesal dari dalam hatinya. Mbok tersenyum seperti ia setuju apa yang dikatakan Sari.
“Tergantung sih Non. Maksudnya tidak semuanya laki-laki itu jahat. Contohnya saja Bapak. Ia baikkan...?”
“Kalau lagi baik.” Tumbur Sari. “Papa juga sering nyakitin Mama, buat nangis Mama.” Sepertinya ia mulai membongkar-bongkar semua.
“Kamu disakitin cowok ya...?” tanya Mbok lembut. “Mbok juga Pernah disakitin Oleh seorang laki-laki. Makanya sampai sekarang Mbok sangat takut sekali dengan seorang laki-laki.” Sambil menyuapi Sari ia bercerita tentang bagaimana kisahnya dulu. “Dulu Mbok pernah punya suami selama satu tahun. Tapi, ia pergi entah kemana. Dia bilang mau menemui orang tuanya di Sumatra namun setelah Mbok tunggu selama dua tahun dia juga tidak kembali lagi.” Ia berhenti menyuapi Sari, tetesan air matanya menghentikan seluruh udara yang ada dikamar itu. Senyap. Sari merangkul.
“Mbok kalau merasa terpaksa menceritakannya jangan diteruskan. Aku ngerti kok Mbok.” Samar-samar suara Sari di telinga Mbok Ijah.
“Nggak apa-apa kok non.” Tangannya mengelus kepala Sari. “Kemudian Mbok kirim surat karena dia dulu pernah kasih alamat sewaktu kami masih tunangan. Katanya, dia tidak akan kembali ke Jawa lagi. Orangtuanya tidak setuju kalau dia dapat jodoh orang Jawa. Hati Mbok seperti hancur lebur saat itu Non... beberapa kali setelah itu Mbok masih kirim surat tapi tak pernah dibalas. Sampai suatu hari saudara kembar suami Mbok yang membalas. Kalau sebenarnya suami Mbok itu sudah menikah lagi di sana. Mbok semakin tidak karuan. Sampai sekarang Mbok paling takut dengan janji-janji laki-laki.” Semakin deras air matanya mengucur, membasahi pipi hingga daster yang ia pakai. Sari semakin gugah hatinya kalau penderitaan yang ia alami sekarang ini belum apa-apanya dibanding kehidupan Mbok Ijah. Kini ia merasa orang yang lebih beruntung.
Sari merasa kalau dia yang paling sedih waktu sekarang itu. Namun teringat kata seseorang tokoh “Pada saat kita mendapat malapetaka atau bencana dan sebagainya. Pasti kita merasa kita yang paling sedih dan paling susah,” Ia masih begitu kesal dengan Ivan.
Begitu pula Mbok juga sangat sakit hatinya jika ia mengingat apa yang telah diperbuat oleh suaminya dulu. Ia menceritakan itu semua hanya untuk menegarkan Sari dan sebenarnya ia tidak sanggup untuk mengingat kepahitan itu lagi.
****
























Bagian 12
Tak Pandang Bulu
Yadi adalah teman lama Ivan. Mereka berteman dari SMA namun mereka akhir-akhir ini jarang bertemu dan komunikasipun terlihat jarang. Saat Ivan pergi kesebuah taman di Bogor mereka bertemu dan saling menanyakan kabar. Saling canda. Keakraban kembali terjalin sebagaimana dulu sewaktu di SMA. Yadi ditemani seorang perempuan. Pacarnya. Ivan tak sengaja di sana ia hanya menghadiri acara keluarga. Kebetulan lokasi yang ditempatkan di Bogor.
Ivan diperkenalkan dengan pacar Yadi. Tubuhnya sangat menggoda sekali. Tinggi, putih dan rambutnya lurus panjang. Ivan menebar senyum padanya.
“Kuliah di mana...?” Ivan memulai pembicaraan. Perempuan itu tersenyum lugu. Ia tak menjawab. Yadi langsung bercerita tentang keakraban mereka dulu.
Perempuan itu namanya Emma. Sepertinya ia juga menaruh perhatian pada Ivan. Waktu tak berpihak pada mereka. Yadi pergi membeli minuman.
“Boleh minta nomor kontak kamu...?” pinta Emma, saat kesempatan menyerang.
“Dengan senang hati ...” senyumpun menebar diantara insan yang sedang mencari celah di benak. Tak lama Yadi duduk di sana Ivan pun di panggil oleh Ayahnya. Ivan pulang.
Saat senja menantang di utuk barat, satu SMS masuk.

From : Emma 17:57:25
Hi Van...udh smpai rmh blm..? capek ya...?
sama ak jg capek.Ak baru smpai rmh nih... km udh
mkan blm...? blz
Ivan senyum-senyum sendiri membaca SMS itu dengan penuh pesona Ivan membalasnya,

To : Emma 17:59:41
Udh dr tdi...klu cpek sih lmayan. Msih sma Yadi ga..? gw lom mkan, bareng yuk....he..he...he..lo udh mkn lom..? LeZ

“sent”
Mereka terus bergelut dalam layar ponsel. Emma pun tak segan untuk bercerita tentang hubungan mereka dengan Yadi. diancam kehancuran. Sekalipun Ivan tak biasa curhat namun ia sangat menghargai curhatan-curhatan teman. “Apasih susahnya mendengarkan omongan orang.” Ia selalu berkata saat ia sendiri sadar kalau banyak sekali orang yang curhat padanya.
Ia juga mengirimkan seutas cinta yang kecil lewat SMS. Emma juga meresponnya dengan begitu semangat. Mereka mengatur waktu untuk bisa ngobrol langsung. Emma janji akan datang kekampus Ivan pada waktu senggang nanti.
Ivan saat ini kosong. Hatinya hanya panas pada pertanyaan seseorang saat diskusi tempo hari. Seperti terus terniang-niang dalam kupingnya. “Tulisannya udah sering di muat di media...Mas... ?” itulah yang membuat ia terus berusaha berperang di depan laptopnya. Tak perduli ia sedang capek sekalipun.
****
Rabu sore dengan gemericik hujan dan sorot matahari yang begitu menyengat. Kata orang dulu “Kalau panas campur gerimis banyak penyakit yang turun dari langit.” Namun kelas yang berisi 34 mahasiswa itu terus ramai dengan debat dan diskusi.

From : Emma 14:54:07
Van km kul ga...? ak ke kps km ya... blz

Seketika Ivan tercengang dahsyat.

To : Emma 14:56:15
gw lg kul. Jam 4 slsai. Gw tggu...ok

“Sent”
Ivan dengan singkat sekali menjawab. Ia sedang sibuk meladeni seorang penanya yang terbelit-belit. Membuat ia sedikit emosi.
Gugun tersenyum melihat Ivan begitu gemas menghadapi pertanyaan-pertanyaan. Ia juga mencoba mengganggu konsentrasi Ivan saat itu. Ia menanyakan sesuatu hal yang keluar dari pokok bahasan. Semakin gereget.
Setelah perkuliahan selesai ia mencoba SMS kembali Emma.

To : Emma 16:02:53
Kesini aja gw tggu. Di dpan kmps gw. Pintu gerbang.

“Sent”
Ivan juga mengharapkan kehadiran Emma. Dasar buaya.
Tak lama mobil warna biru dongker masuk dengan nomor polisi D 1403 CW masuk pintu gerbang. Klakson berbunyi seperti memanggilnya. Kaca mobilpun terbuka, didalamnya seorang perempuan cantik yang ia tunggu. Memakai baju hitam dan celana jeans di atas lutut. Begitu cantik dengan hias paha yang putih.
“Van...” sapa Emma dengan riang. Lambaian tangannya menggoda Ivan untuk segra mendekatinya.
“Eh,...nyampek juga ternyata.” Senyum Emma menjawab seluruh pertanyaannya seketika. Heni lewat tanpa sapa namun terlihat jelas kepedihan hatinya.
“Siapa itu..kok serem gitu mandangin aku.” Emma keluar sambil menanyakan sesuatu yang tidak penting padanya. Ia menggelengkan kepala pura-pura tidak kenal. Hatinya tidak bisa berdusta kalau Heni adalah kekasih gelapnya dulu.
Mereka berdua larut dengan obrolan diatas mobil. Berulang-ulang kali Ivan menyulut rokoknya. Emma bercerita lagi kalau Hubungan mereka udah putus hanya karena salah paham saja.
****
Satu jam mereka duduk di sana. Sekarang mereka berdua masuk dalam mobil dan meluncur laju ke arah kafe di kawasan pusat kota. Suasana keramaian menyerbu lampu lilin menyertai mereka. Sangat romantis sekali saat itu, cahayanya remang-remang sangat menuntut mereka untuk menjalin dan mengutarakan cinta. Inilah kesempatan yang tepat bagi Ivan untuk menaklukkan wanita cantik juga kaya.
“Begitu pidadari datang dengan sayap lebar,
menyambar dan terkapar
Aku terperajat disana
Aku akan begitu mengagumi
Lihat saja mentari yang berganti dengan rembulan
Dan langit yang kini dihiasi bintang
Begitu juga aku”
Ivan terhenti. Dan menatap wajah Emma, kemudian memegang kedua tangan Emma.
“Aku seperti langit yang mendabakan bintang yang terterang.”
Ter henti lagi,
“Kamu mau kan menjadi bintang itu...?”
Muka Emma seketika memerah. Ia tak tahu harus bicara apa dan ia juga sangat susah sekali menangkap kata-kata puitis seperti itu. Ia membalasnya dengan senyum dan anggukan kepala. Jika ia menjawab dengan puisi juga pasti takkan nyambung karena dia bukan puitis.
Mereka keluar dari kafe menuju mobil. Masuk dan mereka berdua terbawa asmara. Lumatan bibir dan ciuman-ciuman genitnya tersentuh di sekeliling bibir dan teling Emma. Ivan yang mengganti posisi menyetir langsung menuju rumahnya dengan kencang.
****
Hubungan Ivan dan Emma tercium oleh Yadi. Seketika amarah yadi begitu melunjak-lunjak seperti bara dan mesin penggiling, siap menggiling teman yang menghisap liur sendiri. Tak hayal Yadi langsung menyerang Ivan kerumah. Saat itu Ivan sedang asik dengan laptop, ia sedang merangkai sebuah puisi.
“Van, ada teman kamu di luar.” Ibu memanggil. Seketika ia langsung meninggalkan kamar dan menemui Yadi yang duduk menunggu di kursi.
“Eh...Yadi, tumben main kerumah...?” hati Ivan telah menyangka kalau Yadi datang untuk mempertanyakan hubungan mereka atau ia telah mengetahui atau ia meinta bantu untuk bisa kembali dengan Emma. Ia sedikit gerogi dan bingung. Entah apa yang terjadi selanjutnya jika ia tahu. Haatinya bergemuruh bagaikan arus air di bendungan yang terjun dengan buih-buih putih dan berjalan terhambat.
Yadi tidak langsung membongkar semua namun ia malah mengajak Ivan ngobrol di taman. Sedikit demi sedikit ia mulai membuka pembicaraan tentang Emma. Semakin waspada.
“Lo udah putus dengan Emma..?” berpura-pura bodoh. Untuk mengelabui macan yang siap menerkam bila ia terlihat menantang.
“Gua udah denger kok Van, kalau elo manfaatin kejadian gua.” Santai sekali yadi bicara namun sungguh menyinggung.
Deg. Jantungnya seperti pecah. Ia begitu kikuk tingkahnya seperti tak tentu ia sesekali mengacak-ngacak rambutnya.
“Bukan itu, gua hanya temenan dengan dia. Dia begitu cinta ma elo Yad.” Ia sangat menjaga perasaan seorang sahabat tentunya.
“Nyantai aja lagi Van, gua merasa bangga lagi. Kalau ternyata bekas gua masih ada yang manfaatin,” Nadanya standar. Begitu pedih, ucapan-demi ucapan serasa semakin memojokannya. “Aku serahin semuanya pada elo Van. Pasti elo bisa menjadi yang terbaik baginya. Nggak kayak gua yang bisa nyakitin dia aja, kalau dia bahagia ma elo gua juga bahagia Van,” Seraya menepuk lutut Ivan. Kata-katanya kini hanya untuk merendahkan Ivan. Ivan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, ia sangat menutup kemungkinan terjadi sesuatu. “Van, gua pulang dulu. Salam dengan Emma,” Ivan mengantar sampai tepi jalan depan rumah.
****

























Bagian 13
Biarkan Memilih

“Van, tolongin Ibu…” pinta Ibu saat keluar dari mobil membawa banyak belanja. Sudah terbiasa bila awal bulan mereka selalu belanja untuk persediaan. Ivan tak langsung merespon. Ia masih termangu dengan laptop dan buku catatan kecil yang selalu ia bawa kemanapun.
“Ivan,…” seru kembali ibunya.
“Iya Bu…” sambil lari ia memakai kaos oblong warna putih dengan tulisan di punggungnya “COOL!!”.
“Tolong bawain yang di dalam sangkek di jok belakang,” Tunjuk Ibu berusaha memberi tahu. Kemudian ia berjalan masuk beriringan. Jinjingannya kanan-kiri sekitar 25 kg.
Ia kembali ke kamar meneruskan beberapa ketikannya tadi. Ia teringat Emma, Debi, Sari, Heni dan pacar-pacarnya dulu. Sepertinya inspirasi dari berbagai cerita dan puisinya. Seketika pula ia ingat perkataan Yadi yang pedih “Aku suka kalau ternyata bekasku masih ada yang mau,” muak sekali ia dengan kata-kata itu.
Setidaknya ia akan tahu kalau ternyata dunianya kini telah diketahui oleh banyak teman dan sahabatnya. Ia juga ingat kalau profesi modelnya itu hanya sementara, jika ia nanti sudah melampaui batas umur maka ia takkan mendapat kontrak atau job lagi. Begitu pula kisah asmaranya.

From : Mas Dodi 17:36:04
Van, ada Job mau ga..? tgl 19 mggu dpn.
Loncing produk. Bls skrng

Tersenyum manis ia membaca SMS dari mantan manajernya dulu. Ia sangat baik sekali namun ia sedikit kewanita-wanitaan. Dari sikap, gaya jalan dan kesukaan.

To :Mas Dodi 17:40:16
Boleh....Gw lg nyantai. Atur aja.

”Sent”
Beberapa minggu terakhir ini ia sangat luang sekali. Jobnya sangat sepi dan adapun ia sering menolak karena bentrok dengan kuliah. Ia rajin kuliah baginya semua itu hanya sampingan dan yang paling utama kuliah kecuali itu mendukung repotasinya nanti. Ia sering mengatakan pada teman-temanya “Kuliah itu nomor satu, kalau yang lain itu hanya sebagai pengisi waktu luang.”
****
Beberapa hari ia tidak pernah jumpa dengan Emma. Ia sibuk dan Ivan pun sering bercumbu pada laptopnya. Ia ingin buktikan apa yang dikatakan seseorang saat diskusi. Malam ini ia ada janji dengan anak-anak di tempat biasa nongkrong. Mereka ingin kumpul bareng.
Yadi menemui Emma sepertinya mereka masih saling cinta hanya kegoisan yang membuat mereka seperti itu. Mereka saling menyudutkan satu sama lain, tak hanya Yadi.
“Gua sayang banget ma elo, tapi ngapain lo begitu tega nyakitin perasaan gua dengan cara lo yang seperti itu.” Ucapannya begitu lemah. Emma hanya bisa menangis dan tak sanggup ia memberi alasan apapun. Ia juga sangat sayang. Namun ia juga sakit hati karena ia diputuskan tanpa alasan yang jelas.
“Yad, coba kamu pikir. kamu putusin aku tak jelas alasannya. Aku tak pernah buat kamu sakit hati atau aku selingkuh. Aku berbuat seperti ini, hanya ingin kamu sadar. Aku juga begitu sayang dengan kamu.” Mereka semua luluh seketika dan mereka kembali terlarut. Namun setatus mereka tak jelas.Ivan sedang minum Bir disebuah kafe dengan teman-temannya. Ia juga kesal dengan dirinya sendiri.
Sungguh menakjubkan. Yadi adalah cowok yang sangat pantang diduakan namun kini terlihat beda sekali. Emma kekasih Ivan juga kekasihnya yang tak jelas hubungan mereka. Namun Ivan sendiri tak mengetahui persis. Namun ia terus jalan dengan Heni, Heni sebenarnya perempuan yang tabah dengan perbuatan Ivan yang semaunya. Beberapa kali ia telah diledek dan disakiti laki-laki buaya itu.
“Van, kamu bisa nggak hanya mencintai aku.” Itulah harapan Heni selama ia berhubungan dengan Ivan. Ia hanya pelampiasan kegelisahan Ivan. Tak hayal jika Heni juga berusaha untuk mencari cowok yang lebih bisa menghargainya. Ia terlalu mencintai Ivan.
Sabtu malam ia jalan-jalan dengan Heni utuk mengintari kota dan sebagai pengisi weekendnya. Ia sengaja tidak jalan dengan Emma karena dia yang meminta. Katanya dia ingin pergi kerumah saudaranya bersama orangtuanya. “Entahlah.” Hati Ivan membantah kaku. Mereka berhenti disebuah rumah makan padang tempat diasa ia makan. Diparkiran ia melihat mobil dengan plat D 1403 CW.ia kenal sekali mobil itu. Ia tidak jadi turun dari mobil. Sepertinya ia menunggu pemilik mobil itu.
“Kenapa kita nggak turun Van,..?” Heni penasaran. Ivan hanya diam saja, malah menyulut rokok. Heni semakin tidak mengerti.
“Entar dulu. Kalau udah rada sepi.” Tutupinya. Namun dari gelagatnya sangat kelihatan sekali kalau ia sedang menunggu sesuatu.
Ternyata.....! Yadi tengah menggandeng seorang wanita dengan mesra. “Dia Emma..” teriak dalam hati Ivan. Namun ia langsung menutup kaca mobilnya. Setelah semua lenyap ia mengajak Heni turun. Sambil makan ia begitu kesal. Sangat kesal. Langsung ia mengirim SMS,

To : Emma 20:07:10
Acara kel. Nya dmna sih..? udh slsai blm...? kpn plang nya. Ksh tau ya...? lz

“Sent”

ia teruskan kembali makan. Heni seperti sangat merasakan keganjalan cowok disampingnya itu.
“Ada apa sih ... kok terlihat gelisah gitu... kamu sakit ya..?” Hani menunjukkan kalau ia adalah perempuan yang sangat perhatian. Benaknya yang tak karuan. Ia masih menimang-nimang telphon genggamnya. Dan tangan kanannya masih memegang sendok. Tatapan Heni begitu tajam menembus relung kalbu Ivan. ia tahu kalau cowoknya sedang menyimpan sesuatu tetang yang lain darinya.
From : Emma 20:14:06
Di Garut. Blm slsai. Mungkin bsok ak plang. Kangen ya...tahan dong sayang...! ak jg kngen.
Langsung dibalasnya SMs dari Emma,
To : Emma 20:16:18
Gw tau lo bohong. Lo skrang lg sm Yadi, iya kan..? jgn bhongi ak. Brengsek...!

“Sent”
Ia langsung mengantar Heni pulang setelah selesai makan. Ia sangat kacau pikirannya. Namun beberapa kali SMS masuk dari Emma tak ia balas sampai telpon darinya juga tak pernah ia angkat.
Sesampainya di rumah ia langsung masuk ke kamar dan menyalakan laptop. Pasti ia akan lebih seru menulisnya karna telah mendapat inspirasi yang banyak. Tapi, malah bengong menatap layar LCD. Entah apa yang sedang ia fikirkan. Pasti tak jauh dari Emma dan Heni. Lalu ia langsung menggapai ponselnya dan melihat SMS berbagai alasan dari Emma. Namun semuanya jelas.

To : Emma 20:59:41
Elo pilih gua atau Yadi. Kau jangan jadi pelacur cinta.

“Sent”
Sungguh singkat tapi pedih.
Malam itu jam setengah sebelas, Yadi menelponnya.
“Van, gua minta maaf, bukan maksud gua untuk ngelakuin ini semua. Tapi ini hanya karena kehilafan,” Yadi terlihat gugup.
“Yad, lo jangan jadi seperti itu dong...nyantai aja lagi. Gua pacaran dengan dia juga nggak serius. Lagian dia kan masih milik bersama,” tewa-tawa kecil mengiringi setiap kata yang terkeluar dari mulutnya. “Pokoknya kita hajar aja tu cewek,” Tambah lagi Ivan. Namun dalam hati kecilnya tetap pedih.
“Anak orang tu..Boy..” tumbur Yadi juga tertawa terbahak-bahak. Hubungan ponsel mereka terputus dan Ivan langsung melanjutkan ketikannya.
Kemudian Mbak Popy kembali menelpon ia menawarkan pada Ivan untuk menjadi modelnya dalam Fashion Show. Kali ini Rancangan terbaru Mbak Popy. Ragu Ivan menjawab, soalnya ia pernah punya kisah buruk dengan Mbak Popy dulu. Namun ia juga tidak mau mengecewakan tawaran itu, lagi pula ia punya waktu banyak untuk bisa menampilkan kebolehannya di atas panggung dan kilau Bliz kamera.
Ia terbaring dan menatap lampu kecil yang berputar terus, ia juga sesekali menatap fotonya berukuran besar saat cat walk. Dan poster Rolling Stons berhadapan dengan Gun N’ Roses. Sungguh sangar sekali pistol dan bunga. Setelah mengintari semua sudut kamar, ia melihat foto di atas meja dengan bingkai kayu yang diukir-ukir, siapa disana yang terpampang...? fotonya saat masih kecil. Umur satu tahun setengah, dan di sampingnya Umur tiga tahun dan foto keluarga. Ia tersenyum-senyum lalu ia mengusap-usapnya dengan tisue. Berdebu.
****

Emma. Dia sangat bingung atas tawaran Ivan pilih dia atau Yadi yang telah menemani hidupnya lama. Kebingungan. Memilih Yadi ia sangat tidak enak hati dengan Ivan karena kebaikan dan telah membuatnya tegar. Namun jika ia memilih Ivan, ia belum tahu banyak tetangnya dan ia benar mencintainya atau ia hanya memanfaatkan dia saja. Atau tak kupilih diantara mereka “Berarti aku jomblo dong,” Tersenyum kecut di depan cermin. “Kalau aku pilih salah satu diantara mereka, sama saja aku menghancurkan hubungan persahabatan mereka,” Tak hanya itu yang ia fikirkan.
Saat sore menjelang ia sengaja lewat rumah Yadi. Kebetulan rumah mereka tidak terlalu jauh hanya melewati perempatan jalan terus lurus sekitar dua kilo meter sudah ketemu. Didepan rumah Yadi ada mobil Ivan parkir disana, ia tercengang apa yang mereka lakukan...? tanda tanya yang cukup menakjubkan.
“Apa mereka bertengkar ya...?” gumamnya dalam hati. “Ah tapi tak mungkin, paling ia menyelesaikan kesalah pahaman mereka,” Ia tersenyum sendiri. Suara tawa dan canda terdengar nyaring sekali. Tawa Ivan ngakak dan Yadi juga begitu. Bingung Emma dibuatnya. “Sepertinya mereka gembira sekali,” Penasaran Emma dibuatnya, ia mencari sumber suara yang masih samar-samar terdengar.
Di teras rupanya. Ivan duduk tepat berhadapan dengan Yadi. Dan di meja terdapat gelas minuman warna hijau-hijau keputihan seperti warna daun muda. Mereka asik menikmati rokok dan Yadi memutar-mutar ponselnya. Emma sengaja turun dari mobil untuk mendengar apa yang mereka rencanakan. Ia masuk pekarangan tetangga Yadi. Namun tak terdengar juga terhalang tembok.
Namun samar-samar ia mendengar sedang membicarakannya. Ia tertawa kecil.
“Rupanya cowok itu telah termakan oleh biusku,” Ucap Emma dalam hati. Begitu konsentrasi, ia nguping di sana, sama sekali tidak takut kalau dikira maling atau yang lainnya. Ia santai saja.
“Bodoh...bodoh...!! ha..ha..ha....” kencang sekali suara itu terdengar. Ia penasaran yang dibilang bodoh oleh mereka itu siapa...? apa Emma. Itulah penasaran yang bisa membuat orang yang telah mati bangkit lagi. Arwah penasaran.
“Tapi tak ada orang mati yang jadi hantu.” Bantah hatinya sendiri. Ia curiga kalau yang dibilang bodoh itu dirinya. Lebih konsentrasi lagi.
“Dasar cewek.... mereka itu tidak mikir kalau kita sebenarnya hanya manfaatin,” Diserang tawa kedua insan yang sedang bahagia itu. Berantakan tak karuan hatinya. Ia benar-benar kecewa dengan kedua cowok yang pernah bercumbu padanya itu. Ia langsung berlari menuju mobilnya dan di dalam mobil ia teriak-teriak tak karuan.
“Brengsek.....brengsek...!!” ia memukul-mukul setir dan pahanya sendiri. Tak sadar ia memukul klakson dengan kencang.
“Thiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt” kencang sekali terdengar ia sama sekali tak sadar kalau itu akan mengundang orang untuk melihat.
Yadi langsung lari karena ia ingat mobilnya didepan dengan bunyi alarm seperti itu. Ivan juga menyusul karena mobilnya tak dikunci ganda. Setelah sampai pintu pagar meluncur mobil dengan nomor polisi D 1403 CW warna biru dongker.
“Deg.... itu kan mobil Emma,” dalam hati Yadi. “Nggapain dia disini terus Cuma ngelakson doang...apa untungny,.” Ngerutu-ngerutu tak tentu.
“Siapa Yad,... nggak tau mobilnya sih mobil Emma tapi nggak tau siapa...” terangkan Yadi.
“Hah,....Emma ngapain dia kesini Cuma pamer klakson,” Asal nyeplos saja mulut Ivan. “klakson baru apa...?” tawa mereka riang. “Yad coba lo telpon dia,” Ucap Ivan saat berjalan menuju tempat duduknya tadi. Yadi tanpa banyak tanya dan komentar ia langsung menekan nomor tujuan.
Beberapa kali tak diangkat oleh Emma. Sampai mereka bosan.
“Dia tahu mungkin rencana kita. Dan gua ada di rumah elo.” Tumbur Yadi.
“Mungkin, dia tadi mau mampir tapi ada elo, jadi dia terlanjur malu.” Tawa kecil dari Ivan.
****
Tujuh kali pusing kepala Emma saat ini. Rupanya kedua cowok yang ia segani dan ia selalu merasa gerogi kalau di depan mereka itu adalah cowok-cowok penggombal semua, fikirnya keras.
“Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan...?” rintih Emma sambil meremas-remas rambutnya. Kepalanya seperti mau meledak. Granat di dalamnya. Dalam hatinya habis-habisan memaki Ivan dan Yadi, sangat kecewa sekali ia padanya.
“Benar apa yang aku pikirkan kemarin. Aku harus memilih jomblo, mereka semua brengsek.” Tertunduk dan langsung masuk keakamar, bersandar di kursi. Menatar langit-langit kamar dengan hiasan bintang-bintang dari plestik made in Cina.
****






























Bagian 14
Kontrak
Bajunya lusuh dan kusam, duduk di sebuah trotoar jalan. Itulah yang ia pandang sore itu setelah pulang dari rumah Yadi. Tak difikirkan sama sekali, ia langsung saja menyelip dua motor di depannya. Saat di perjalanan ponselnya bergetar-getar. Entah dari siapa, tak juga diangkatnya. Setelah sampai dirumah baru ia lihat.
“Dua panggilan tak terjawab dari Mas Dodi”. Gumamnya pelan. “Gua harus telpon dia kayak penting,” Tombol-tombol di telphon genggam, itulah sasarannya.
“Halo...Mas Dodi apa kabar...?” suaranya sangat semangat sekali. “Ada apa Mas tadi kok mis kol- mis kol. Tapi, gua lagi di jalan jadi nggak sempet ngangkat.” Tanpa ada waktu senggang untuk memberi peluang bicara pada Mas Dodi.
“Gini Van, kamu jadi kan ..? yang saya bilang kemarin...?” pelan Mas Dodi jelaskan.
“Iya...Mas jadi...! emang kenapa gitu Mas..?”
“Cuma ngasih tahu aja kalau besok siang acaranya,” terlihat serius mukanya mendengar kata demi kata dari Mas Dodi.
“Oh....Gitu,....Ya udah Mas ya...Da..da...!”
“Yuuuk...” Ia menekan salah satu tombol lagi untuk menghentikan pembicaraan mereka. Langsung ia masuk ke kamar.
“Kak...Kak Ivan.. bantu aku dong kerjain PR...” Resti adiknya sedikit centil tapi manis dan baik.
“Entar,...Mau mandi dulu...” Ivan membanting pintu kamarnya.
“Janji ya....” seru Resti gembira. Soalnya ia susah sekali bertemu dengannya.
Gugun siap-siap mau pergi ke rumah Ivan ia mau mengerjakan tugas kuliahnya. Besok harus dikumpulkan. Dengan sarung tangan dan helm menutup kepalanya ia langsung meluncur deras menembus sel-sel angin yang terbentang diseluruh alam. Benturan-benturan angin dinginpun bukan lagi halangan baginya untuk sampai di rumah Ivan secepat mungkin.
Setiap kali lampu merah ia berhenti dan kembali menekan gasnya jika lampu telah mulai berwarna kuning dan kemudian hijau. Jaketnya melambai-lambai bagaikan sayap malaikat yang sedang terbang mengontrol semua kegiatan manusia di bumi. Tak hayal hanya setengah jam ia sampai di rumah Ivan.
Tangannya langsung menekan Bell yang tersedia diatas kiri pintu. Buru-buru Adiknya membukakan pintu setelah diperintah oleh Ivan.
“Mau kesiapa Mas...?” tanya adiknya tenang.
“Ivan ada...?” tatapan langsung kearah kamar Ivan yang terlihat dari luar terang.
“Ada tapi, ...dia sedang ngerjain PR aku...” ucapnya lugu dan jujur sekali. Ia sepertinya sangat takut sekali kalau PR yang dikasih oleh Bu guru tak terselesaikan.
“Siapa....?” teriak Ivan dari kamar.
“Temen Kakak.” Sahut Resti keras.
“Suruh masuk...” kemudian Adiknya mempersilahkan Gugun masuk dan duduk di sofa.
“Tunggu sebentar ya bang...mau minum apa...?” Adiknya bersikap sopan sekali. Tidak seperti biasa, bila menerima tamu-tamu Kakaknya.
“Apa aja deh...!” jawab Gugun sambil meletakkan pantatnya pelan-pelan di atas Sofa warna cream. Empuk sekali.
“Eh ...elo Gun...Tumben Nih bisa nyampek sini...?” tawa wereka berdua mengumbar diseluruh sela-sela rumah sampai kesudut-sudut ruangan sekalipun.
“Gua belum ngerjain tugas Bro’, elo udah belum...?” tegang sekali wajah Gugun saat itu.
“Udah lah....gua rajin, jadi lo mau minta failnya ..nih...?” tersenyum-senyum Gugun atas tebakan Ivan yang tak meleset sedikit pun.
“Tadinya sih mau ngerjain bareng-bareng tapi, kalau elo udah gua ngopi aja. Biar nanti gua edit.”
“Yuk kita ke kamar aja...” ajak Ivan sambil mengangkat minuman yang di buatkan oleh adiknya tadi.
“Kak...udah selesai belum PRku...?”
“Udah..Udah. ambil tu di meja...” sambil menuju kamar yang terpenuhi oleh poster-poster.
“Kamar lo kacau gini Van.” Caci Gugun melihat kotor dan penuh sekar asli dari rokoknya setiap hari. Gugun adalah cowok rajin dan pembersih sangat heran kalau dunia Ivan yang modis ternyata jorok.
“Ah..biasa cowok ..” jawabnya santai tanpa ada rasa malu. Mereka terus ngobrol dan Gugun terbiasa curhat dengannya sejak dulu. Sampai jam 11 mereka masih bercakap-cakap.
“Tidur sini aja Gun...” Ivan menawari. Namun Gugun terlihat memikirkan atas tawaran Ivan itu. “Udah malem. Ngapain juga, istri juga belum punya.” Tambah Ivan meledek. Gugun tersenyum-senyum seperti setuju.
****
Sinar matahari siang telah tepecah-pecah dan terpantul menembus kamarnya yang berhadapan pas dengan arah terbitnya. Gugun terbangun dan langsung menuju kamar mandi namun Ivan masih begitu nyenyak tidurnya. Tadi malam ia didepan layar LCDnya sampai jam tiga sedangkan Gugun tak sanggup mengikuti mata Ivan.
Setelah Gugun keluar dari kamar mandi tangannya basah dan ia menciprat-cipratkan kemuka Ivan. Ia terbangun dengan muka kusut dan mata yang merah.
“Jam berapa Gun...?” tanya Ivan malas.
“Jam sembilan.” Dengan singkat gugun menjawab. “kuliah nggak lo...? jam sepuluh masuk Van...” teruskan Gugun seraya memberi tahu alias mengingatkan. Ivan pun langsung bangkit dan menarik handuk.
“Elo nggak mandi Gun..” Gugun tetap di depan cermin memperhatikan mukanya sendiri. Ia seakan-akan bosan melihat dirinya sendiri.
“Entar ah....” kemudian ia memakai bajunya yang tersampir di atas tumpukan baju Ivan lainnya. Ia langsung menyalakan musik dari winamp. Tidak keras namun jelas itu lagu ROLLING STONES bait-bait lagunya seperti ini,
................
As I sit by the fire
Of your warm desire
I've got the blues for you, yeah

Every night you've been away
I've sat down and I have prayed
That you're safe in the arms of a guy
Who will bring you alive
Won't drag you down with abuse
……………

Lagu ini pernah mengingatkan Gugun saat ia berada dirumah Pacarnya mau putus. Dari kamar kakak pacarnya terdengat lagu ini.
“Elo dapet undangan show hari ini nggak Gun...?” sambil mengeringkan rambutnya yang baru saja di kramas.
“Dari Mas Dodi kan..?” Ivan mengangguk-anggukkan kepala. “Dapet.” Gugun duduk di Kasur sambil memegan sebuah novel debutan.
****
Setelah pulang kuliah ia langsung pulang ke rumah dan menyusun peralatan untuk show nanti malam. Begitu sibuk ia mempersiapkan semuanya, biasanya ia kerjakan semuanya malam sebelum acara namun tadi malam ia lupa karena ada gugun dan ia juga sangat asik dengan laptopnya. Sangat beda sekali minggu terakhir ini, ia menjadi begitu mencintai Laptop. Setiap waktu luangnya ia curahkan terhadap laptop alias Note Book.
“Ah ada yang ketinggalan lagi.” Setelah ia sampai di pintu.
Sesampainya di lokasi, di sana Cuma dia yang ditunggu, semuanya telah duduk manis di depan cermin. Begitu ia datang semua tercengang melihat tampangnya yang berantakan.
“Elo udah mandi apa belom...?” ledek Gugun.
“Brengsek lo..emang gua kambing.” Ia duduk di dekat Dian dan teman-temannya di kursi hias.
“Cepetan keruang ganti acara sebentar lagi di mulai.” Kata Ronal sebagai make up hari itu.
Show telah dimulai dengan lenggokan dan cara mereka saat parade, catwolk, pouse, saat melakukan steep. Sangat indah sekali. Tepuk tangan mengiringi mereka kilat bliz kamera juga menjadi suguhan mereka. Para designer terus menyeleksi dan melirik kanan kiri dari mereka yang terjejer di pentas. Mereka orang-orang yang cocok untuk menjadi model mereka setelah mereka mempunyai rancangan-rancangan baru. Tidak hanya designer saja namun para lelaki pengusaha yang masih mencari pasangan hidup juga lirik sana lirik sini. Cewek-cewek ABG yang teriak-teriak tak karuan juga membuat semakin semangat saat berpouse.
Setelah selesai acara mereka langsung menuju keruang ganti. Cewek-cewek begitu ribut. Ivan menelusup masuk dan keluar dengan hati-hati. Tiba-tiba Tante Rine memanggilnya kencang
“Van, sini dulu....!” Ivan terputar kepalanya mencari arah dan asal muasal suara panggilan namanya itu.
“Iya..ada apa tante...?” berbalik ia menuju ke sana.
“Gini kami sedang mencari model untuk kafer majalah, kamu bisa kan...?” dengan sopan sekali ia berkata.
“Oh bisa...bisa...” ujar Ivan berkali-kali. “kapan pemotretannya Tante...?” tanyanya kembali seperti mengharapkan.
“Nanti kita atur. Kita bicara di ruangan sana aja. Disini bising banget,” Berjalan beriringan seperti anak dan Ibu. “Disana pihak majalahnya udah nungguin. Kalau cocok kita langsung tanda tangan kontrak.” Perjelas kembali ucapan-ucapannya yang tadi terlihat semrawut.
Di sana duduk seorang perempuan seumuran Tante Rine.
“Kenalin ini Ivan.” Tante Rine memberitahukan kepada Tante Jesca sedang duduk tersipu. Anggun sekali. Ivan terlihat kikuk di depan perempuan itu.
“Oke...saya setuju,” Dan diteruskan dengan perjanjian dan kesepakatan kontrak yang menjadi acuan atau landasan atas kerjasama mereka nanti.
****




















Bagian 15
Fens Club
Majalah besar pastinya ingin dikagumi oleh pembaca dan akan memberikan perubahan baik secara langsung atau tidak langsung, itulah harapan mereka sebagai media. Apalagi media itu adalah media remaja, di mana para anak muda untuk memperoleh informasi tentang model, gaya hidup dan penampilan mereka. Tak hayal jika majalah akan mencari model untuk mengisi pada suatu kolom atau rubliknya adalah seorang model yang disukai dan dikagumi banyak orang.
Hari ini Ivan datang ke lokasi pemotretan kebetulan di pantai background yang di minati oleh fotografernya. Suasana pantai memang sangatlah menarik dengan hempasan ombak. Pasir-pasir putih yang terus melekat pada telapak kaki dan ribuan bintang laut yang terdampar oleh kencangnya terpaan ombak. Bebatuan yang mencerminkan gejala alam, karang yang membuat begitu bervariasinya alam kita. Turis-turis pun tak pernah melupakan pantai-pantai di Indonesia yang pernah mereka datangi. Begitu bangga menjadi warga negara yang mempunyai keindahan alam. Jika kita tak mau merawatnya sangat disayangkan sekali. Namun tidak sedikit pabrik-pabrik membuang limbahnya ke dalam laut.
Ia sampai di lokasi langsung disambut meriah oleh fotografer dan make upnya. Namun ia tak ragu dan tak gerogi sama sekali meski mereka baru saling mengenal, keakraban mereka sudah tak terkalahkan dari yang sudah kenal selama satu tahun. Ivan memang orang yang mudah akrab bila berteman dan dia sangat bisa menghargai lawan bicara atau teman bekerja dan kliennya.
Saat pemotretan berlangsung tawa, canda juga terus mengiringi mereka dari mulai kesalahan dalam berpouse sampai dengan tempat mereka yang tak setrategispun menjadi bahan. Ia terlihat risih selama disana. Oleh prilaku sang make up , sebentar-sebentar ia terus dirapihkan, seperti aktor film.
“Mas jangan sering-sering dong...” tawa renyahnya membuat mereka terundang membuka bibirnya untuk tertawa. Namun logat dan gelagat Make up menjadi ia tak pernah marah, kewanita-wanitaan.
Setelah pemotretan selesai ia ngobrol-ngobrol sebentar untuk menghilangkan kejenuhan dan capek. Mereka saling bertanya latar belakang sampai pengalaman mereka di dunianya masing-masing. Tak salah jika Ivan menceritakan tunggang- langgangnya di dunia model dan perkuliahan. Sedangkan fotografer itupun menceritakan pengalaman dari mulai lahir sampai menjadi sekarang ini, bila saja di tulis maka akan menjadi sebuah biografi yang kurang lebih panjangnya empat sampai lima ratus halaman. Tak mau mengalah Rendi juga menceritakan pengalamannya sehingga gelogatnya seperti wanita.
Snak dan minuman dingin yang menjadi pengiring obrolan itu. Berkali-kali Ivan menyeruput minuman itu dan mengambil biskuit yang terserak, rokok menjadi penutup. Kebulan asap mengapung dan tertiup oleh kencangnya terpaan angin pantai.
Ivan pulang bersama-sama mereka, hanya saja Ivan mengendarai motor. Padahal sebelumnya mereka telah menyuruh Ivan ke studio dulu dan kemudian berangkat bareng kelokasi, Ivan memilih berangkat sendiri ke sana menggunakan motor karena mobil andalannya sedang dirawat di bengkel. Sangat jauh sebenarnya dari rumahnya, sekitar dua jam bila tidak terjebak macet di jalan.
Sampai rumah sekitar jam tujuh malam. Ia langsung mandi dan kemudian tidur. Capeknya tidak kepalang. Ia tidak ingat kalau ia ada janji dengan teman-temanya untuk ngumpul di kawasan Dago pusat kota. Deru-deru mempi menjelma, mengusik dan meradang disetiap detik di mimpinya.
****
Pagi yang ceria. Embun dan angin yang sejuk menusuk dan menepis disetiap eroni-eroni. Ia bangun dan menekuk-nekuk tubuhnya. Serasa pegal-pegal di seluruh persendian dan tulangnya. Kemarin ia begitu penat sehingga badannya menjadi sasaran utama. Tertunduk pulas di hadapan cermin menatap raut mukanya yang asli. Tanpa make up. Kemudian ia berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka dan sikat gigi. Tidak mandi. Biasa ia mandi bila ia akan berangkat kesuatu tempat atau ke pesta saja tapi, kalau dirumah ia bisa sampai tengah hari.
Kopi hitam dan sepotong roti panggang menemaninya di teras samping kamar. Sebungkus rokok dan korek api itulah pembangun semangat pagi baginya. Kemudian ia berdiri dan bersandar di tiang kayu penyangga genteng. Melamun. Sepertinya ia telah terbawa oleh arus para seniman dan sastrawan yang kebanyakan dari mereka melamun dan berkarya. Inspirasi itulah yang mereka cari dan mereka akan mengorek sedalam-dalam mungkin jika menemukannya. Ia membalikkan badan, masuk ke kamar. Laptop yang duduk rapi diatas mejanya menjadi tujuan utama. Kemudian ia memboyong keteras bersama carger dan kabel-kabel. Ia mendapat Inspirasi.
Menusun kabel dan mencolok-colokan ke terminal listrik itu adalah kerjaannya setiap waktu. Di kosan temen di kelas dan membaca di perpustakaanpun itu yang ia kerjakan. Tak salah jika di bilang sebagai kutu laptop. Ia pernah membaca sebuah sebuah buku tentang kebebasan (Road to the freedom) mengatakan, “Jika kita terikat pada sesuatu alat elektronik itu berarti kita bisa dibilang telah tidak mempunyai kebebasan lagi,” Ia tidak peduli rupanya.
“Jika perbuatan itu menimbulkan karya dan kita tidak merasa kehilangan atau tertindas itulah kebebasan,” Mengerutu saat ia teringat akan buku itu. Padal Ivan sangat banyak mengeruk pengetahuan dari buku itu. Dari mulai kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat dan sebagainya.
Kini ia telah menyalakan laptopnya. Dan menulis kata-kata yang tergambar semua di dalam pikirannya. Ia ingat kalau tiga hari lagi foto-fotonya kemarin akan terbit. Ia tersenyum sendiri mengingat saat di pantai kemarin ada sekerumun pemuda yang sedang memainkan gitar dan menyanyikan lagu Jamrud “Telat tiga bulan” begitu sesuai dengan suasana pantai dan pasirnya.
Gugun datang bersama pacarnya Nania. Pasangan itu sungguh awet sekali.
“Wah...lagi sibuk Van....” Gugun sekarang sudah biasa dirumah Ivan. Ia langsung masuk dan menemui Ivan diteras. Sebelumnya ia tanya dengan pembantu Ivan dan menunjukkan kalau Ivan ada di sana.
“Gimana pemotretan kemarin...? Asik nggak...?” Nania tersenyum-senyum melihat pacarnya. Rambutnya acak-acakan memang hasil rebonding tapi kalau acak-acakan seperti banguntidur. Jadi tidak rapi juga.
“Lumayan, elo ada perlu apa kesini, biasanya ada tugas nih...?” tebak Ivan sambil menyulut rokok.
“Nggak...mau main aja, asik dong honoriumnya. Gede ya...?” tawa Gugun meledek.
“Mudah-mudahan aja nggak ngecewain.” Mereka terus terlarut dengan obrolan-obrolannya tentang pemotretan, fashion, dan seputar dunia model.
****
Ivan permisi keluar saat perkuliahan.
“Halo...” padahal ia paling tidak suka ada orang yang menelponnya saat jam pelajaran alias jam kuliah.
“Ini siapa...?” singkat saja.
“Nanti telpon lagi aja aku masih kuliah.” tumbur saja saat penelpon tak dikenal itu mulai bergerak untuk bicara. Dalam hatinya ngomel-ngomel “Kirain penting nggak taunya iseng. Pantes dari tadi mis col-mis col terus,”
Ia sama sekali tidak ingat kalau hari ini majalah itu terbit. Di sana identitasnya semua dicantumkan dari mulai nomor Hand Phone sampai dengan kesukaan dan cita-cita dicantumkan. Biasanya tertulis kalau mau menghubungi dipersilahkan.
Sepulang kuliah ia mampir di perpustakaan dan menyalakan laptop. Disana jaringan internet gratis tersedia. Cuma tinggal menyambungkan saja. Meskipun loudingnya lama tapi justru mengasikkan. Saat ia membuka e-mail, bertumpuk-tumpuk pesan yang belum di baca. Ada yang menanyakan setatus percintaan, sampai dengan mengajak ketemu, dan makan. Ia masih heran sendiri.
“Kok banyak banget sih yang kirim imel ke gua, dari mana mereka dapat alamat emailnya. Terus, yang mis kol ke Hp gua juga banyak banget. Resek ...” hatinya jengkel sekali.
Kemudian ia menerima telpon,
“Halo...Tante Jesca...ada apa..nih...?.” kemudian ia berjalan keluar dari perpustakaan. Di dalam perpustakaan dilarang berisik apa lagi menerima telpon. Nada dering saja harus di pelankan kalau perlu hanya getaran. Mengganggu bagi mereka yang sedang konsentrasi membaca. Itulah alasan utamanya.
“Van udah saya kirim honornya ke nomor rekening kamu. Dan majalahnya sudah dikirim lewat pos, ke alamat rumah kamu.” Jelaskannya.
“Udah terbit ya..? pantesan dari tadi, banyak banget yang miskol gua, terus imel gua juga penuh.” tumbur Ivan ceria. Tante Jesca pun diam saja dan langsung mengakhiri pembicaran singkat mereka.
Syerly juga turut mengirim e-mail dengan ucapan-ucapan kekaguman dan memuji. Lalu Ivan membalasnya dengan satu jawaban ke seluruh alamat e-mail yang masuk. Sangat singkat sekali tulisan di di kolom e-mailnya “Terima kasih atas pujian, dukungan, komentar, saran dan partisipasi kalian semua. Saya sangat bangga sekali bisa mengenal kalian meski hanya lewat e-mail. Saya hanya kasih saran “Buat aja fens club.” Ha...ha...” tulisnya dengan ramah. Ia juga tersenyum-senyum sendiri.
Ivan juga membalas bagi yang kirim SMS namun lebih singkat lagi. “Kalau mau puas lewat e-mail.” Dan yang menelpon ia menganjurkan membuat fens club. Para fensnya semua tertawa cekikikan saat membaca e-mail, SMS dan mendengar jawaban melalui telpon.
Satu jam ia di perpustakaan. Kemudian ia beranjak pergi meninggalkan termpat penuh ilmu itu dan menuju ketempat tongkrongan mereka biasa. Kantin. Tapi di sana hanya ada Manto, Sonni dan dua temannya yang lain.
“Gugun mana...To’...?” sangat khas sekali saat ia memanggil nama Manto. Dengan akhiran seperti mentok. To’. Bukan huruf K.
“Biasa. Gugun pemalas banget. Katanya sih sibuk. Tapi yang jelas dia males kuliah Van,” mereka semua tertawa cekakakan seperti mendengar atau sedang menonton pelawak. Ivan duduk di sebelah Sonni,
“Dian gimana kabarnya Son...?” basa-basinya sungguh membuat orang teringat masa lalu. Padahal ia tahu kalau mereka sedang ada masalah. Merekapun ngobrol dan saling menanyakan satu sama lain.
****

























Bagian 16
Fivety – Fivety

Hari ini kosong blong, tak ada kuliah dan kegiatan. Jadwal show sedang sepi, dia kurang informasi,. Mungkin karena dia seorang model Free Lance, jadi harus benar-benar peka terhadap informasi dan mengejarnya jika ada suara-suara tentang dunia model atau slentang-slenting dari teman-temannya. Entah itu acara fashion atau lounching atau pameran suatu produk.
Dulu dia pernah terikat dengan sebuah Ijensi namun ia keluar karena potongan dari pihak Ijensi sangat besar. Honor yang tidak seberapa dipotong hingga tiga puluh sampai dengan lima puluh persen. Siapa yang tidak kecewa. Ada juga segi positifnya, kalau di ijensi, tak pernah sibuk mencari informasi atau mengejar dan mendaftarkan diri, atau mencari lowongan. Cukup di rumah menunggu panggilan dari pihak Ijensi, mereka yang mencari dan menawarkan. Dalam kehidupan ini tentu ada dua pilihan dan dua sifat. Positif dan negatif. Enak dan susah. Rugi dan untung.
Bila tidak tergabung di Ijensi maka, kita akan mendapat keuntungan. Tidak terkena potongan paling-paling hanya pajak.itu adalah hal yang wajib bagi WNI yang mempunyai penghasilan untuk menambah kesehteraan dalam pembangunan negara tentunya. Hanya berkisar antara lima persen kebawah. Sepenuhnya honor itu milik kita. Sebagai kebalikan dari Ijensi, bila free lance harus jeli dan peka terhadap info model. Mencari sendiri.
Ivan sedang memikirkan tawaran dari salah satu Ijensi yang menghubunginya kemarin. Ijensi itu tertarik setelah ia melihat Ivan menjadi model dalam majalah ternama. Ia belum menjawab atas tawarannya, perlu berpikir panjang untuk menimbang dan memilih.
Ia juga tidak punya manajer. Semua urusan ia selesaikan sendiri, dari jadwal, honor sampai dengan tetek bengeknya.banyak keuntungan yang bisa didapat. Mungkin dari kesiapan sampai kesanggupan dan tawar-menawarharga.
****
Ijensi baginya hanya sebagai batu lompatan untuk mengenal para disigner dan teman-teman seprofesi. Karena dia lebih suka bebas. Banyak temannya yang memberi solusi,
“Udah...dari pada elo pusing-pusing mendingan lo kayak gue, ikut dan tergabung di Ijensi. Mudah Van.” Deni yang mempunyai usul seperti itu. Namun Gugun lain halnya ia malah setuju kalau free lance. Karna ia juga free lance,
“Van, enakan free len, nggak banyak tetek bengek.”
Ivan masih saja terdiam jika temannya memberi usulan dan tanggapan atau saran sekalipun.
“Ah, Ijensi atau free len sama aja. Sama-sama ada untungnya dan ada ruginya.” Santai sekali ucapannya. Tak terlihat memihak sama sekali. Kebetulan ia juga banyak kenal dengan disegner. Kemarin saja Mbak Novi sudah memesannya,
“Kalau ntar desain-desainanku sudah layak dipromosikan, elo modelnya ya...?” tangannya merangkul-rangkul pundaknya. Mbak Novi memang seperti kakanya sendiri. Dialah yang memberi pengarahan dan jalan hidup sebagai model. Tak salah lagi kalau Mbak Novi sebagai pahlawannya dambaannya. Ia sering memberi nasehat dan pengarahan.
Ivan minta pertimbangan kepadanya tentang Ijensi. Namun dia tidak memberi keputusan yang jelas. Menyuruh atau melarang, dia hanya memberikan pengertian bahwa diantara Ijensi dan free lance itu sama saja fivety-fivety. Ivan manggut-manggut paham.
Sedikit yang Ivan simpulkan, yaitu ia masuk disebuah Ijensi. Ia tak lagi memikirkan materi yang ia dapat. Melainkan popularitas. Di ijensi itu juga menyalurkan bakat akting alias main flim. Itulah harapannya yang terpendam.
****















Bagian 17
Semalam Ini.
Hari yang kelabu. Ivan masih saja sendiri, seperti tak ada yang menyibukkan dan disibukkan, hanya di rumah saja.
“Hari ini hari sabtu lagi” ucapnya gelisah sambil menggaruk-garuk kepala. Kata banyak orang “Malam minggu adalah malam panjang tapi, orang lebih suka menyebutnya week end sedikit Britis dan mungkin lebih keren dan mempunyai makna sendiri. Memang malam minggu mempunyai keistimewaan tersendiri, disamping besok siangnya hari libur juga mempunyai momen penting bagi para remaja. Namun tak habis pikir jika hari minggunya libur dan hari-hari biasa juga libur alias tak ada kegiatan apa malam minggu masih punya keistimewan bagi orang tersebut...? Atau seseorang tersebut dari jam tujuh malam minggu ia sudah tidur, apa malam minggu itu malam panjang...? Pikirannya tertumbur dengan tawaran diner dari salah seorang fensnya. Kebetulan malam ini ia tak ada acara. Ia sekarang jomblo.

To : Fens 11:34:24

Jd ga ...ngdet nya...? klau jd gw jmpt. Krm almt lo. Ok. lez.

“Sent”
Terlihat dari SMSnya ia sangat mengharapkan bisa ketemu. Sebagai pengisi kekosongan atau memang ia sanggup merenggut hati Ivan, tidak susah untuk mendapatkan Ivan, ia bukan tipe cowok pemilih. Bukan juga murahan.

From : Fens 12:04:56
Sorri ya...bru bsa bls. Gw lg bljr. Yg bner mau jmput ...? tp jgn kcwa ya. Ni almt gw, jl. Moh.toha, sblm tol no. 405c. Dpn rmh da grsi. Pgr nya wrna kuning tmbok, rndh. Da phn cmra. Gw tggu, klu ga thu tlp aja, biar gw yg jmpt. BLS

Sangat panjang sekali SMS darinya. Dua halaman. Ivan tercengang,
“Hah...Moamad Toha, itu kan deket rumah Gugun terus rumah Syerly juga deket sana. Bisa berabe kalau gua jemput dia. Ketemu Gugun atau Syerli. Mampus Gua. Kalau dia cantik sih ga apa-apa. Tapi kok gua nggak pernah liat cewek di dekat rumah Gugun. Padahal gua sering main di rumah dia. Apa dia Syerli, dia cuma ngerjain gua. Kan rumahnya deket pintu tol juga. Atau Gugun. Ah....pusing. gua bilang aja nggak tau biar dia yang jemput.” Ivan jadi penasaran bercampur kesal. Tingkahnya jadi kalut. Ia hanya menimang-nimang ponselnya, dari tangan kiri ketangan kanan dan akhirnya ia mengetik SMS lagi,

To : Fens 12:15:33
Gw ga tau rmh & almt lo. Lo aja yg jmput gw. Almt gw da di mjlah. Gw tggu.

“Sent”
Tak pantas sekali ia membalas SMS yang sebegitu panjang. Hanya dengan beberapa kata saja.
Ivan mencuci motor. Jarang sekali motor itu terkena air kecuali hujah. Penuh debu sampai tak terlihat lagi kalau motor itu baru satu tahun, seperti sudah lima tahun. Merk dan tulisan-tulisan di motor itu tak dapat dibaca lagi. Kupingnya tersumpal oleh hendset dari MP4 yang baru ia beli setelah menerima honor dari Tante Jesca, mulutnya komat-kamit, seperti sedah bernyanyi mengikuti lagu. Tak lain lagu itu adalah lagu Cranberries.

Pretty eyes, pretty eyes
Not a cloud in my day
Not a cloud in my way
Angel eyes, no disguise
No pretention is here
No pretention, no fear

Don't leave me calling
Don't leave me falling
Don't leave me calling
Don't leave me falling

Stay awhile, stay awhile
I will tell you my mind
I will tell you my mind
****
Ivan telah siap-siap, sudah mandi, wangi dan memakai pakaian rapi dan necis. Ia duduk di sofa ruang tamu. Sambil membaca koran harian sore. Yang memang sudah langganan. Ia menunggu fensnya, janjinya mau jemput tapi tidak tahu jam berapa. Sudah setengah jam ia menunggu tak juga datang. Ia pindah keruang keluarga dan kemudian ia menyalakan TV. Menonton acara info selebritis alias infotaiment. Namun Bibi tiba-tba berteriak hardik,
“Mas Ivan....ada tamu...nih....” kencang sekali.
“Iya..iya Bi...” ia pun menekan tombol power untuk mematikan TV. Lalu berjalan menemui tamunya.
“Hai.....” lo yang SMS itu...? siapa namanya..?” Ivan mengulurkan tangan sebagai sambutan yang amat ramah darinya.
“Allin,” cewek itu terlihat kikuk.
“Ayo ...silahkan duduk. Mau minum apa...? jeruk..alfukad atau anggur...?” tatapannya tepat di mata Allin. Ia semakin tak beraturan.
“Apa aja deh...” Allin juga memberanikan diri untuk menatap jelas wajah Ivan yang penuh senyum dari tadi.
“Nyantai aja jangan malu-malu,” sindir Ivan melihat tingkah Allin yang serba salah. Allin tidak begitu cantik hanya seksi dan manis. Dengan rok selutut di padu dengan jaket jeans warna biru dongker dan kaos kuning semakin menarik. Namun tidak begitu metching dengan kulitnya.
“Silahkan di minum” sesaat setelah Bibi menurunkan gelas ke meja. Ivan terus mengintrogasi Allin sampai keakar-akarnya. Dari sekolah sampai kegiatan sehari-hari telah ditanyakan. Mulai dari Ayah sampai ke Eyangnya menjadi topik pembicaraan. Allin memang pendiam. Ia hanya sebagai penjawab sejati.
Ivan langsung mengajak berangkat sekarang. Sebelum Ayah dan Ibunya pulang. Kacau. Mereka bisa mengintrogasi habis-habisan. Ivan seperti dalam sidang, Ivan sebagai Terdakwa atau saksi. Allin yang menyetir meluncur deras menumbur-ngin-angin santai. Maklum mobil baru. Ivan seperti tuan agun sedang duduk manis di belakang sopir. Geli melihatnya.
Allin anak seorang pejabat pemerintahan. Jadi wajar saja mobilnya baru dan harganya juga mahal. Entah kemana tujuan mereka. Ivan juga terus saja. Ia sedikit menghilangkan pikirannya yang mengira dan menuduh Allin sebagai seorang jelmaan dari teman-temannya yang jahil. Bukan syerli juga bukan Gugun yang iseng. Sosok gadis pendiam.
****
Ivan kehabisan kata. Dari tadi hanya dia yang mencari bahan dengan sambutan ia atau tidak. Membosankan sekali baginya. Topik dan jurus penggombalpun terlah habis. Hanya bisa membuat Allin senyum dan manggut-manggut. Ivan memilih diam.
Entah kemana tujuan allin masih terus saja meluncur dari jalan Moh. Toha terus sekarang di jalan Sunda. Terdiam sebentar masuk lagi kejalan Riau, belok kekiri ia masuk di jalan Ir. Juanda terus lari dengan perlahan. Jalan sedang macet. Tidak menghalangi niatnya terus naik keatas, melewati bawah jembatan layang terus keatas. Dago pakar rupanya.
Mereka turun, duduk disebuah meja yang setrategis dan enak. Udaranya sejuk dihempas angin sepoy. Jus menjadi lawan duduk mereka. Ivan diam saja.
“Kok diam...bukannya dari tadi ...” kali ini Allin meledeknya.
“Iya lo mau bilang kalau gua dari tadi nggak ada berhentinya ngomong. Abisnya elo pendiem banget. Gua jadi kehabisan kata” memotong penbicaraan itu adalah keahliannya untuk menaklukkan musuh dan membalikan fakta.
Mentari sore terkatup-katup untuk meninggalkan mereka. Hanya cahaya menguning membias di awan seblah barat. Ivan menyalakan rokok untuk menghilangkan kejenuhan.
“Gue manggil lo gimana...?” tanya Allin hati-hati.
“Nama aja, biar simpel dan lebih akrab,” kelepas-kelepus menghisap rokok dan menghirup minuman. Namun Allin tak kalah ia mengeluarkan rokok menthol dan menyalakan juga. Deg.... Ivan begitu terkejut “cewek pendiam seperti itu gaul juga.” Pikirnya keras.
“Kenapa elo nggak suka ya cewe merokok.” Tanggap Allin penuh tatapan.
“Nggak..nggak hanya terkejut orang kayak elo pendiemnya tau juga dengan rokok.” Tatap Ivan sangat kosong kearah pohon besar nan rimbun. Burung-burung gereja berterbangan menuju kesarang. Kupu-kupu sesekali menghinggap ke bunga-bunga di taman.
Allin menghisap rokoknya dalam-dalam. Mereka kini terlihat akrab sekali. Allin mulai banyak biacara meski tidak seperti teman-teman Ivan yang lain. Ivan begitu menghargainya sehingga mereka tidak saling tersinggung. Tawa canda kecilpun terus menyelimuti mereka.
Lilin kecil menyala di tengah-tengah meja. Redup, samar, dan Romantis sekali. Ivan jadi ingat Debi, Sari, Heni dan pacar-pacarnya yang dulu. Tangan mereka tergenggam rapat di samping lilin.
Ivan pindah duduk. Memberikan kehangatan pada suasana yang dingin. Jaket hitamnya ia lepas, lalu di tempelkan kebadan Allin. Begitu mesra, perhatian, dan baik. Pikir Allin dalam hati. Allin bersandar di bahunya, kecupan-kecupan kecil dari Ivan. Bunyi jangkrik. Suara alunan musik mellow. Seperti dunia milik mereka sendiri.
Setelah senja menyingsing kafe itu dipenuhi oleh pemuda dan orang-orang tua yang sedang refresing atau sekedar numpang duduk. Tapi, mereka berdua masih berdekapan. Mungkin banyak orang yang tersenyum melihat tingkah mereka berdua. Seketika Allin mengajak ke sebuah tempat yang digandrungi anak muda. Dengan lampu yang gerlapan dan suara musik yang kencang dan manusia campur aduk. Diskotek.
Tanpa basa basi Allin langsung memutar arah setirnya kesana. Mungkin telah terbisa. Rokok ditangan kanannya masih menyala dan sesekali ia menghisapnya dalam-dalam.
Sekonyong-konyong. Ia langsung memesan sebotol bir dari seorang pelayan. Tak ia sangka Allin juga meminumnya santai. Tergeleng-geleng hatinya. Canda tawa mereka tak terkalahkan oleh musik disco dan teriakan pengunjung lainnya.
Dem...dem...dem dedem..! keras benar musiknya. Tegukan demi tegukan menghaantarnya dalam dunia bayang-bayang. Allin terus menyeruput dari gelas penuh kebahagiaan. Allin mengajak Ivan dansa. Namun Ivan tak pernah sama sekali berdansa seperti itu. Biasanya ia hanya sekedar minum bir dan bercanda. Dalam keadaan tak terkendali ia berdansa. Namun orang-orang disampingnya sebenarnya tertawa. Dansanya lucu, keras, kejang, kaku. Kakinya terlipat-lipat tak tentu. Tangnnya pun sama. Banyak sekali orang yang menertwakannya. Sampai mereka berhenti. Semua melihatnya dan terkikik-kikik. Ivan merasa kalau dia di tertawakan. Ia langsung marah-marah dan memaki-maki mereka. Namun ada yang tidak terima,
“Elo mau ngajak ribut disini...” seorang lelaki bertubuh gelap. Ivan dalam keadaan pembrani. Ia langsung mendorong pundak lelaki itu. Baku hantam terjadi dengan keras ivan tersungkur. Setiap ia melayangkan tinjuan selalu tak tepat. Namun sekali hantam dari lelaki itu, remuk pipinya. Allin teriak-teriak melerai namun lelaki itu masih tak puas, ia mengangkat kerah baju Ivan lalu menghantamnya di perut. Ivan muntah air. Semua yang ia minum tadi keluar. Teriakan Allin bercampur tangis mengundang satpam dengan segera. Mereka disuruh bubar para penontonpun duduk di meja masing-masing.
Allin masih terisak-isak sambil merangkul idolanya masuk kemobil. Dibantu oleh satpam. Allin menyetir dengan hati-hati sekali. Ivan tersandar lemah. Ia mabuk. Tujuan Allin satu-satunya adalah hotel. Memutari kota mencari hotel yang setrategis.
Sampai ditempat parkir ia masih melihat Ivan dengan penuh kasihan.
“Van, maafin gue ya....? kalau gue nggak ngajakin elo dansa pasti nggak akan terjadi hal seperti ini.” Ucapnya penuh kesalahan. Ia keluar untuk mengurus administrasi. Ivan masih didalam mobil ia sepertinya tertidur.
Dibantu satpam ia menggotong Ivan ke kamar 208. kemudian di baringkan diatas kasur. Allin begitu menyesali perbuatannya. Ia duduk di kursi depan cermin sambil membuka bondu dan asesoris yang ia pakai. Ia mengambil air panas dan sapu tangan untuk mengompres memar di pipi Ivan. ia membuka baju Ivan yang penuh dengan muntahan. Mulutnya bau bir, sama mereka berdua.
Allin tertidur di pelukan Ivan. capek sekali spertinya. Sendal hak tingginya saja belum sempat ia lepas.
****
Ivan begitu kaget. Kenapa ia bisa tidur dipeluk oleh Allin. Apa yang sudah diperbuat Allin padanya. Terus mukanya yang terasa nyeri, butek sekali ia bangun badannya sakit semua. Ia langsung meloncatkan kepala. Allin begitu terkejut.
“Elo udah apain gua,...?” wajahnya sangar dan penuh amarah. Ia langsung menarik tangan Allin keras. “Elo ngajak gua minum bir terus elo manfaatin gua saat gua mabuk,” tak sempat sama sekali Allin memberi penjelasan padanya. Ia begitu marah ia langsung menampar pipi Allin dengan keras.
“Van...Ivan....gue bukan cewek yang seburuk elo kira,” ia teriak-teriak memanggil Ivan. namun sama sekali tak diabaikan. Ivan langsung pergi dengan bantingan pintu kamar yang keras.
“Brengsek lo..!” ucap Ivan kesal.
Allin hanya bisa menangis menahan seluruh sakit hatinya. Perbuatan baiknya dari tadi malam tak satupun terbalas dengan madu.
“Itu semua gara-gara minuman jahat itu,” suaranya penuh tangisan. Air matanya terus menggenangi pipinya. ia merasa sebagai wanita kotor oleh idolanya sendiri.
Ivan dengan buru-buru langsung mencari taksi. Dalam perjalanan ia begitu menaruh kekesalan dengan orang yang baru ia kenal kemarin itu. Ia merasa begitu cepat mempercayai seorang perempuan yang belum ia tahu asal-muasalnya.
Sesampainya di rumah ia terus mengingat-ingat apa yang telah terjadi tadi malam. Namun ia tak ingat, hanya minum bir, tertawa dan merokok. Kemudian ia bercermin.
“Kenapa pipi gue memar ya...?” terus badan gue sakit semua. Kemudian ia ingat kalau dia berdansa dan ia ditertawai oleh banyak orang.
“Oh ...iya gua mabuk dan berantem dengan salah seorang pengunjung disana,” tapi selepas itu ia sama sekali tak ingat. Tak tahu kenapa ia bisa di hotel dan bajunya terbuka, terus Allin tidur di pelukannya.
****

















Bagian 18
Sejuta Masalah
Syerly duduk di teras depan rumahnya, ia termenung dan sedikit murung. Wajahnya tersirat sejuta masalah yang menekan disetiap hari sepi mengguncang jiwanya. Ivanlah yang sangat tahu bagaimana keadaannya sekarang ini, ia sering menceritakan dengan nada sedih. Ivan sama sekali tak mampu memberikan saran atau apapun kepadanya. Ia sering bercerita tentang cintanya yang tak kunjung terjawab oleh derasnya angin yang meniup dunia asmara. Ia juga tak pernah berusaha mengungkapkan perasaannya itu.
Ivan termangu mengingat Syerly. Dalam keadaan seperti itu ia tetap tegar, tetapi Ivan sedikit tidak suka dengannya. Ketidak terus terangan, akan terus mengusung hati kecilnya kedalam jurang ketidak jelasan. Sesering mungkin Ivan berkata padanya tentang itu namun, ia hanya tersenyum tidak labil seperti menahan sesuatu yang selama ini selalu menerpa benaknya untuk selalu tidak jujur dalam hati nurani. Sedikit yang Ivan ketahui, cintanya kepada Gugun yang tak sanggup ia utarakan itu adalah sebuah penyiksaan besar terhadap perih batin.
Gugun seketika lewat didepannya seperti angin yang membawa bau surga baginya. Namun sapa kecilpun tak juga terlihat dari Gugun dan dia hanya lontarkan senyuman yang tak terlihat oleh Gugun pujaan hatinya itu. Rasa senangpun bergelimpangan dalam hati Syerli yang begitu mendambakan sosok Gugun mengetuk bibir untuk senyum padanya.
Pagi itu Gugun keluar untuk membeli sesuatu di warung samping rumahnya. Hanya melewati beberapa rumah saja untuk sampai ke sana. Sedangkan rumah Syerli di depan warung itu. Namun sosok Gugun yang tak pernah menoleh kesamping, telah terlihat dari cinta Syerli yang tidak pernah ia mengerti. Tidak lama kemudian Syerli berangkat menuju pertempuran dahsyat yang tergeletak dalam dinding sekolah.
Hanya senyum jika mengingat betapa Gugun yang terlihat tak pernah mengerti keadaan mentari yang muncul pagi itu. Gugun sangat mencintai Nania. Aku juga tahu kalau sebenarnya Nania juga sangat menyayangi Gugun dengan tampangnya yang sangat menarik perhatian para bidadari.
*****
Di perempatan jalan ia melihat banyak orang yang hilir mudik. Berangkat pulang atau pergi sekolah. Banyak juga yang sedang berdekapan di motor dan jalan gandengan. Syerli terdiam melamun.
“Andai saja ia telah aku miliki pasti yang mengantarku dan menjemputku adalah dia,” suara klakson mobil dibelakangnya begitu kencang hingga menggugahnya untuk segra menginjak pedal gas. Lalu ia terus menelusuri sepanjang jalan Mohammad Toha. Lalu ia masuk ke jalan masuk kejalan-jalan yang berkelok-kelok. Kemudian tembuslah kejalan Dewi Sartika. Sedikit lagi ia sampai kesekolahan yang ia tuju.
Teman-teman sekelasnya menyapa dengan riang. Namun ia masih saja teringat akan sosok Gugun yang baru melintas di hadapannya. Tak lama sang Guru masuk untuk memberikan pelajaran yang telah terjadwal. Ia masih tertunduk tak memperhatikan. Diantara teman akrabnya menanyakan keadaannya, apakah dia sakit atau ada masalah. Namun ia hanya menggelengkan kepala pertanda ia tak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada perasaannya. Gersang sekali sekolahannya. Tumbuh-tumbuhan berguguran seperti merasakan penderitaannya. Kolam ikanpun surut, rumput-rumputpun mengering.
Jam istirahat siang menggema. Ia pergi kekantin. Duduk, melamun. Teman-temannya tak mempu mendeskripsikan permasalahan yang ia alami itu. Tak juga teman sebangku.
Ivan kemudian muncul-tiba-tiba. Biasanya Ivan selalu memberi tahu sebelumnya bila ingin datang kesokolahan. Ia juga Alumni SMA itu. Tak salah dan tak sungkan bila ia masih sering main kesana, sebab kantin itu adalah tempat nongkrongnya dulu.
“Ivan....kok nggak bilang kalau mau kesini...?” dengan semangat Syerli menyambut kehadiran orang mengerti penderitaan batinnya.
“Suprize....!!!” ketawa mereka membuat riuh kantin semakin merebak. Debi juga ada di tempat itu. Hanya sedikit jauh. Namun tatapannya terus kearah Ivan. kecurigaannya dulu semakin jelas kalau antara dia dan Ivan putus, karena Syerli yang merebutnya. Ivan hanya sebentar, kebetulan ia sedang lewat, sekalian ia mampir dan mereka berdua juga telah lama sekali tidak ngobrol dan mendengar curhatan Syerli.
Setelah masuk kekelas pandangan Debi begitu sinis dengannya. Sama sekali ia tak menghiraukan. Kata demi kata ia dengar dari mulut Debi,
“Dulu kami itu temenan tapi, dia itu penghianat. Cowok gue direbut. Katanya temen sih. Tapi, ia tega nusuk gue dari belakang,” begitu keras suaranya sampai terkatup-katup telinganya mendengar. Ia sangat tersinggung sekali di bilang merebut pacar temen. Ia berbalik arah menghadap Debi.
“Eh..Deb, elo kalau ngomong jangan sembarangan... siapa yang ngerebut cowok lo... gue temenan dengan dia sudah lama. Sebelum elo pacaran dengan dia, gue juga udah temenan.” Mukanya memerah, emosinya menyala-nyala bagai bara api yang tertiup oleh angin.
“Siapa lagi.... yang ngomongin elo... gue ngobrol sama dia, bukan elo. Kalau elo tersinggung berarti elo ngerasa.” Ia berdiri, tangannya gemas. Ingin sekali ia mengobrak-abrik isi mulutnya. Teriakan dan ejekanpun terkumpul sudah di ruangan itu. Semua memojokkannya. Tatapan siswa di kelas itu semua melecehkan dan membenarkan ucapan Debi.
“Mau lo apa sih...? elo nyesel putus ma dia....? elo ngaca dong... supaya elo itu nyadar,” semakin perih ucapan-ucapan yang terlontar. Isi kelas itu terdiam. Mereka juga bingung mana yang benar mana yang salah diantara mereka berdua. Syerli atau Debi.
Teman-teman Debi begitu mengandalkan. Sedangkan dia sama sekali tak mempunyai dukungan meski yang tak memihak diantara mereka juga banyak. Ia tertunduk lesu. Memalingkan muka dan kemudian ia duduk. Olok-olokan telah reda dengan datangnya seorang guru.
****
Bell begitu nyaring terdengar. Treeeeeeng...! Treeeeeng....! Treeeeng! Begitulah kedengarannya. Suara sorak soray terdengar dari setiap kelas, mereka riang sekali kalau saat yang ia tunggu-tunggu tiba. Syerli masih membereskan buku-buku yang acak-acakan di bangku. Teman-tamannya langsung padakeluar Debi lewat dengan kesal melihat tampangnya geram.
“Entar dijemput sama cowok elo ya Deb...?” singgung teman Debi atas suruhannya sendiri. Namun Syerli tetap diam. Capek meladini mereka. Padahal dulu mereka itu teman akrab, bahkan Debi sampai jadian dengan Ivan atas jomblangan Syerli. Sindiran-sindiran panas terus terlontar. Emosinya terlonjak juga akhirnya ia langsung pergi meninggalkan kelas dan masuk mobil. Meluncur saja.
Arah setirnya tertuju kearah rumah Ivan. apa Ivan datang tadi menyuruhnya kerumah..? setirnya kencang, jalan tidak macet rumah Ivan sedah dekat. Ivan masih asik dengan kelincinya di pekarangan. Namun ia sangat paham kalau dengungan mesin mobil itu pasti Syerli. Ia melepas kelincinya dan menuju kesana.
“Udah pulang Syer....?” basa-basinya singkat.
“Kalau pulang pasti gue udah ganti baju...!” Ivan ketawa ceki-kikan, maksud pulang bagi Ivan adalah pulang sekolah. Salang tanggap.
“Ya...udah lah....masuk apa mau ngobrol di teras aja. Atau di taman..? terus mau minum apa..?” begitu istimewa Syerli duduk dihadapan Ivan rupanya. Apa mereka benar-benar pacaran..?
“Minumnya apa aja deh yang penting dingin. Kayaknya di taman aja biar lebih santai, nggak panas kan...?” Ivan tak menjawab ia langsung menunjukkan tempat yang strategis bitaman dan kemudian masuk untuk mengambil minuman.
Syerli banyak cerita tentang kisahnya di rumah dan di sekolahan tadi, Ivan begitu emosi melihat ulah Debi yang kelewatan. Ia juga cerita tentang Gugun dan timbal baliknyapun sama. Ivan banyak sekali menceritakan kisah dan cerita yang ia alami kemarin dan lusa. Ivan juga bilang kalau dia sekarang mendapat tawaran untuk menjadi bintang iklan, dari suatu produk dalam negri. Ucapan selamatpun terlontar dari Syerli.
Ijensi yang mempertemukan Ivan kepada keuntungan. Iklan. Bukan hal mudah untuk memasuki dunia akting. Penjiwaan dan karakter seseorang adalah modal utama.
****

















Bagian 19
Pulau Bali
Keuntungan tak pernah ingkar. Siapa yang tidak tahu dengan pulau Dewata, wisata dan budayanya yang mengasikkan. Pantai dan tempat klasik ada di sana. Di dunia juga mengenal pulau itu. Indonesia sangat bangga sekali punya wilayah itu. Sepertinya aset terbesar. Penduduknya yang teguh dengan adat, sepertinya turis yang keluar masuk tak nampak merubah mereka.
Ivan mendapat job kesana. Awal keberuntungan berpihak padanya, tidak sedikit teman-temanya yang mendambakan untuk bisa mendapat kesempatan kesana dengan gratis. Baru beberapa tahun ia di Ijensi tawaran pembuatatan iklanpun didapat. Ia mengiyakan tanpa berfikir panjang. Mungkin inilah tangga yang harus ia lewati, mulai dari iklan dan kemudian beranjak naik terus. Gigih adalah modalnya. Ia pernah mengatakan “Jika kita sanggup berjuang dengan gigih maka keberuntungan pasti berpihak dan hasilnya pasti memuaskan.”
Ia berangkat menggunakan pesawat Garuda. Dengan krunya. Dari fotografer sampai make up. Canda tawa riang diantara mereka setelah menginjakkan kaki di Bali. Kemudian mereka naik taksi menuju hotel tempat mereka berteduh selama beberapa hari. Padahal ia sedang sedang disibukkan dengan ujian semester kelima saat ini. Baginya kesempatan seperti ini susah didapat. Ia tak mau menyanyiakan kesempatan ini.
Malam itu ia tidur dengan cepat karena esok ia akan syuting pagi-pagi sekali saat matahari mulai menampakkan wajahnya. Pantai. Siapa yang tak tergiur dengan keindahan kota Bali pada pagi hari.
Bang Firman membangunkannya tengah malam. Ia mengetuk-ngetuk pitu kamarnya, ia terbangun dengan tergesa-gesa, ia mengucek-ngucek matanya.
“Ada apa Bang...?” suaranya pelan seperti ia tak mau diganggu.
“Udah tidur Van...?” senyum Bang Firman sambil berjalan masuk kamarnya. “Udah, emang ada apa malam-malam begini Bang....?” tanyanya kembali dengan nada menekan. Ia penasaran sekali.
“Nggak ada, Abang nggak bisa tidur Van, kamu maukan temanin Abang.” Pintanya dengan logat memaksa.
“Sori Bang. Bukannya aku nggak mau. Tapi, besok kan kita harus bangun pagi, kita Syuting Bang. Lagi pula aku capek banget, aku mau istirahat.” Menolak dengan halus itulah cara Ivan. ia sangat ramah sekali.
Bang Firman begitu memaksa ia tetap tak mau pergi dari kamar Ivan. entah apa maunya. Ivan membiarkan saja, ia tidur. Tak menghiraukan, lalu Bang Firman mengotak-ngatik laptopnya dan menyalakan winam dengan lagu-lagu mellow. Ivan tertidur. Bang Firman masih asik dengan laptop, namun matanya melirik-lirik ketubuh Ivan yang tergelimpang dengan piama warna putih dan bintang-bintang kecil menjadi corak bahannya.
Bang Firman merabahkan tubuhnya tepat disamping Ivan. ivan tak sadar sama sekali ketika tangan Bang FIrman gerayapan di tubuhnya. Setelah merasa geli ia terbangun kaget.
“Bang...Apa-apaan sih. Brengsek...! keluar nggak...kalau nggak gua teriak biar semua orang bangun.” Acam Ivan kesal melihat Lightingnya berbuat tak senonoh.
“Gua ini cowok Bang. Gua bukan Homo atau Gay. Pokoknya kalau Abang gak keluar juga Gua akan teriak sekencang-kencangnya supaya satpam datang.” Suaranya keras.
“Van, kamu jangan salah sangka, gua nggak akan berbuat-apa-apa sama kamu.” Terangkanya gemetar setelah tujuannya gagal.
“Pokoknya keluar.” Tangan Ivan menunjuk kearah pintu dan kemudian ia mendorong badan yang gendut itu.
“Brengsek...” umpatnya sambil membanting pintu kencang. Ia kembali merabahkan badannya. Namun kali ini ia emosi jadi, sangat susah dibawa tidur keadaan seperti itu.
****
Ivan memakai baju adat Bali dengan salah satu model wanita asal Jakarta. Membawa sebuah piring besar berisi sesajen. Itulah bayangan akting yang akan ia perankan.
Alarm Hpnya berbunyi untuk membangunkannya dari mimpi buruk yang menerpanya tadi malam. Wajahnya kusut. Cemberut. Ia masih kesal dengan peristiwa tadi malam. Ia mengambil handuk dan mandi. Setelah selesai ia mendengar suara panggilan dari luar. “Itu pasti kru yang mengiraku belum bangun” dalam hatinya mengira-ngira. Lalu ia membukakan pintu.
“Sudah siap..? kalau sudah kita langsung berangkat.” Namun ia memendam keberengsekan Bang Firman, tanpa menceritakan pada siapapun. Saat Syuting berjalan Ivan tidak mandang wajah lighting sama sekali. Ia muak sekali sepertinya.
Syuting selesai siang. Semua hasil aktingnya diacungi jempol oleh kameramen, sutradara dan seluruh kru.
“Pagi besok kita syuting lagi,” ujar kameramen memberi tahu Ivan. ia jalan- jalan dengan Mbak Tiara dan Risa, model asal Jakarta itu. Dan salah satu diantara mereka ada orang asli Bali, ia sebagai penunjuk arah. Ia telah di sediakan oleh pihak Hotel meski honornya tetap dari pengunjung, tanpa masuk di administrasi.
Memori ponselnya sampai penuh untuk mengngambil foto-foto indah. Baginya kota itu semuanya punya hak untuk di abadikan. Begitu pula Risa tak bosan-bosanya memandangi alam yang penuh dengan kereativitas. “Pantes turis-turis itu betah disini.” Hatinya berbisik-bisik.
Mereka berempat pulang setelah malam menggoda. Angin laut yang begitu dingin menusuk kekulit mereka. Kalau dituruti sampai pagi lagi juga belum puas untuk menikmati alam Bali.
****
Selesai Syuting ia langsung pulang ke Bandung. Ia tak mau pulang bareng. kru masih pulang besok. Mereka masih ingin jalan-jalan dulu. Ia ingat yang ia tinggalkan adalah ujian semester bukan ujian biasa atau sekedar kuis. Tiga hari ia tak mengikuti ujian.
Bang Firman tak berani satu katapun memberi ucapan kepada Ivan. paling di maki-maki Ivan. ia naik pesawat langsung ke Bandung. Tidak seperti berangkatnya kemarin, harus lewat jakarta dahulu. Saat di Air port ia linglung sendirian mondar-mandir tak jelas. Namun tanpa basa-basi ia langsung menuju ke pesawat.
Jam lima sore ia telah sampai Bandung. Ia langsung pulang kerumah. Namun ia menelpon Gugun untuk menanyakan ujian yang ia tinggal kemarin. Gugun juga tidak tau menau tentang urusan itu, ia hanya memberi tahu mata kuliah yang diujikan besok.
Sebelum tidur ia teringat dengan Sari. Ia seperti merindukannya. Namun ia tersenyum sendiri dan tak lama ia terlelap dengan kecapeannya. Memburu pada mimpi-mimpi panjang. Seluruh badannya serasa tercabik-cabik. Seperti mimi saja antara Bandung dan Bali.
Ibunya masuk kekamar untuk mendengarkan cerita dari Ivan tentang Bali, namun ia telah tertidur pulas. Ibunya menutup pintunya rapat-rapat. Ia juga tahu kalau anak kesayangannya itu sedang kepenatan.
“Kak Ivan udah tidur...?” tanya adiknya kepada Ibu yang barusan keluar dari kamar siganteng. Ibunya hanya mengangguk dan merangkul pundak adiknya itu menuju kamar.
“Besok kamu sekolah, cepat tidur.” Nasehat Ibu singkat.
“Tapi Ibu, bilangin sama kak Ivan kalau aku besok diantar dia,” pintanya manja sambil berjalan menuju kamar.
****
Syerli menelpon Ivan untuk meminta oleh-oleh dari Bali. Namun malam itu tak aktif Hpnya. “Ah...Besok aja....” Gumamnya sendiri. Lalu Syerli keluar dari kamar, ia duduk sendiri di depan rumahnya. Berharap pujaan hatinya sedang memperlihatkannya. Namun ia tunggu-tunggu tak juga kelihatan. Rumah Gugun begitu terang.
Jam sepuluh telah menerpanya, ia masih melamun sendiri. Kemudian Ayahnya keluar.
“Eli.....entar masuk angin lho....” Ayahnya memang memanggil dengan suara lembut dan bahasa yang enak didengar. “Eli” itu panggilan Syerli yang sangat khas dari ayahnya. Ibunya memanggil selayaknya orang lain “Syer”.
“Iya Yah, sebentar lagi,” sahutnya pelan. Belum juga ia beranjak dari kursi itu.
Malam yang mencekam dengan hembusan angin yang sejuk. Daun-daun menggigil, rumput-rumputpun meringkuk. Tikus, jangkrik semua terdiam di sarangnya masing-masing. Langit yang kelabu, tanpa bintang, tanpa bulan. Mendung tergopoh-gopoh menutupi langit. Mau hujan. Syerli berdiri sejenak, terus masuk kerumah. Ibu sedang menunggunya.
“Ada masalah apa Syer..? cerita dong ...kalau ada apa-apa,” tatapan Ibu tercurah kasih sayang yang begitu dalam untuknya.
“Nggak ada kok Bu...Cuma lagi pengen sendirian aja,” ia terlalu menutupi semuanya. Ia takut itu akan menjadi beban banyak orang. Sebenarnya itu kesalahan Syerli yang besar. Ia selalu tak mau terus terang terhadap sesuatu permasalahan. Ia masuk dan duduk disamping Ibunya sambil menyadar dan memeluk.
“Kalau ada masalah cirita dong sama Ibu, jangan malu-malu. Anggap saja Ibu teman sebayamu, yang sering kamu ajak curhat,” dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, bicara dari hati-kehati memang sudah kebiasaan para perempuan di dunia ini.
****
Ia ingin pergi ke Jakarta hari ini. Setelah dua hari ia menunggu honor yang mau dikirim lewat rekeningnya tak juga masuk. Ia sedikit kesal sebab teman-temannya minta diteraktir. Ia menjawab apa adanya namun mereka tetap saja tak percaya. Traktir temen, itu adalah kebiasaan Ivan saat mendapat honor besar.
Sebelum berangkat ia menelpon Sari, berharap ia bisa ketemu dan menemaninya jalan-jalan.
“Halo, bisa bicara dengan Sari...?” bicaranya sopan.
“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa ya....?” suara yang khas telah terdengar di telinganya.
“Ini dari polda, kami mencari anda, sebagai terdakwa dalam kasus peredaran narkoba.” Ucap Ivan serius barharap Sari akan terkejut.
“Iya Pak Ivan saya akan kesana secepatnya...ha..ha..ha....” tawa Sari meledak-ledak. Ia paham sekali suara Ivan dan candanya juga telah ia kuasai.
“Eh ...ketauan,” Ivan juga tertawa sejadi-jadinya. “Masih inget ma gua nih...” Ivan menghentikan tawanya.
“Inget dong....kan gue kangen banget ma elo Van,” Sari langsung terdiam sepertinya ia kelepasan.
“Oke...tunggu ya di sana. Kalau gua ke Jakarta hari ini, elo bisa temenin gua jalan-jalan ga..?” suaranya sangat serius, Ivan masih mengatur siasat dalam pikirannya.
“Bisa banget, beneran elo mau ke sini..?” jelaskan lagi Sari dengan gembira.
“Kalau Nggak ada halangan,” sahut Ivan santai. “eh udah dulu ya... tunggu aja..? Nanti setelah nyampek gua telpon lagi, oke...!”
“Oke...!” jawab Sari begitu ceria. Sebelum mengakhiri hubungan lewat jaringan itu. Memang sekarang jarak di seluruh dunia ini semakin dekat saja. Kapanpun kita bisa menggunakan telpon untuk bisa ngobrol dengan saudara, teman, musuk sekalipun. Kita patut menghargai penemunya yang telah begitu berjasa bagi pngguna dan pencandu telpon.
****
Sari begitu bahagia mendengar apa yang diucapkan Ivan tadi. Apa yang dulu ia takuti ternyata hanya sebuah ilusi saja. Mereka putus baik-baik jadi ketika pertemuan berpihak pada mereka, juga baik-baik. Tapi ada satu hal yang tak pernah bisa dipungkiri olehnya adalah, cintanya begitu dalam sehingga ia sangat takut tak dapat memilikinya lagi seperti dulu. Sampai sekarang saja cintanya terus bersemayam dihatinya. Setelah Ivan meminta dia untuk menemaninya jalan-jalan, hatinya serasa mendapatkan cintanya kembali. Perasaannya menjadi tak tentu arah. Ia ingin Ivan mencintainya lagi.
Ia sengaja tak masuk kuliah. Menunggu Ivan baginya lebih dari segalanya. Ia terus-menerus menimang-nimang ponselnya. Ia sangat berharap sekali Ivan sesegra mungkin berada dihadapannya, ia juga begitu mengumpulkan kata-kata untuk menyambut kedatangan Ivan. kemudian ia SMS ke Ivan untuk menanyakan kedatangan kendaraan yang ia tumpangi.
Ivan menerima dengan senyum dan ia menjawab, dengan logat tak menghiraukan. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan dalam SMS itu, ia menanyakan cowok baru Sari, Kuliah, sampai hubungan dalam keluarganya. Tetap saja Sari senang meski SMSnya tak pernah dijawab nyambung.
Bandung ke Jakarta. Memang terlihat sangat dekat. Tetangga kata banyak orang. Padahal perjalanan kesana memerlukan waktu dua Jam setengah. Terkadang sampai Tiga jam karena di Jakartanya macet tak karuan. Disana sulitnya berkendaraan darat.
Sari buru-buru membuka pintu mobil dan mengeluarkan dari garasinya. Meluncur dengan kencang menuju tempat yang diberitahukan Ivan tadi saat di telpon. Dijalan ia tak konsentrasi dengan baik ia begitu merindukan lelaki idamannya itu. Sedangkan Ivan duduk santai diruang tunggu. Disana banyak orang yang lalu lalang dan ada juga yang duduk seperti menunggu penjemput sepertinya ada juga yang sengaja bersantai untuk melepas lelah sambil minum air mineral.
Sari lari tergopoh-gopoh menuju ruang tunggu. Namun ia menatap arah kiri ternyata kosong. Hatinya mulai merasa kecewa. Ia menatap seblah kanan juga tak ada Ivan di sana. “Apa Ivan membohongiku,” dalamhatinya ragu. Ia berbalik arah dan menuju pintu keluar barang kali Ivan telah keluar. Disana juga tidak ada.
Ponselnya berdering, tak ia hiraukan setelah ia sadar ia angkat ternyata dari Dewi yang menanyakan tugas. Ia kesal tak karuan ia menjawab pertanyaan Dewi.
Ivan sengaja memperhatikan dari arah yang berlawanan. Ia hanya ingin tahu apa Sari begitu menginginkan dia hadir. Kemudian ia berlari mendekati Sari dan memukul bahunya dari belakang. Sari teriak histeris, lalu Sari memukul-mukul bapundak Ivan dengan manja, ia merasa kalau telah dikerjain. Mereka bercanda selama diperjalanan menuju tempat yang ditunjukkan Ivan. namun Sari menyinggahkan mobilya di depan Restouran Jepang. Tanpa basi-basi mereka langsung memesan apa yang menjadi kesukaan mereka berdua. Ivan menceritakan kalau dia baru pulang dari Bali. Saripun terkagum-kagum, ia memberikan ucapan selamat dengan senyum merekah dari bibir tipisnya.
Setelah makan selesai merekapun langsung melanjutkan ketujuan semula kontor Ijensi. Ivan masuk dengan sopan, disana ada Tata Rias dan kameramen, Bang Firman juga ada duduk di samping pot bunga. Sari menggandeng tangan kiri Ivan erat. Semua meledek dan sorak sorai menyambut kedatangan Ivan dan pasangannya yang serasi.
“Van, yang baru nih...?” ucap seorang Mas Budi, kameramennya.
“Ivan hnya mengacungkan jempul kirinya sambil mengelilingi salam kepada mereka semua. Sari menguntutui dari belakang.
“Kapan nikah Van,...?” Mas Budi sambil mengacungkan tangan untuk salaman.
“Tunggu aja ...” Katanya pelan. Sari tertawa cenge-ngesan tak tentu. “Mudah-mudahan apa yang dikatakan Ivan itu benar terjadi.” Doa Sari dalam hati.
Ivan masuk keruangan administrasi untuk mengurus honornya. Dan Sari duduk diruang tunggu bergabung dengan teman-teman Ivan tadi. Mereka menguhujamkan beribu pertanyaan tentang hubungan mereka sampai aktivitasnya. Namun Sari enggan mengaku seorang model dulunya karena ia telah lama sekali tak bergelut disana. Ia hanya bilang kalau ia seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta yang tidak terlalu terkenal. Ia mengambil jurusan ekonomi perbankan.
Tak lama Ivan keluar dan mengajak Sari untuk pergi. Mereka berpamitan dengan semuanya disana. Bang Firman tertunduk malu menatap Ivan, padahal Ivan biasa saja dan mengulurkan tangan dengan santai dihadapan Bang Firman.
“Van, gue undangannya,” ujar temanya yang lain waktu meledek. Semnyum simpul dari bibir Sari sepertinya telah mewakili Ivan dan jawabannya semua.
“Elo langsung ke Bandung lagi Van,” Mbak Risa keluar dari ruangannya.
“Eh..Mbak Risa, nggak tau nanti, sekarang sih mau jalan-jalan dulu. Kalau lama di Jakartanya mampir kerumah. Ivan mengangguk-anggukkan kepala pertanda setuju. Mereka pun sejenak telah menghilang dari kantor yang sangat mengesalkan bagi Ivan. “Benar-benar keterlalua, honor gua di potong seenaknya. Ah ...Resiko. ” Dalam hatinya mengerutu sendiri. Dan terkadang menentang.
Sari tak mau banyak kata dia hanya sesekali menanyakan hubungan mereka kenapa harus berakhir. Ivan tak mau menjawab dengan detil ia merasa banyak bersalah bila ingat itu semua.
*****






























Bagian 20
ULTAH
Ulang tahunnya tinggal beberapa hari lagi. Ivan semakin bingung, tapi sepertinya ia harus merayakan ulang tahunnya ini sebagai rasa ungkapan kebahagiaan, dengan pertambahan umur. Ia sangat berharap untuk bisa lebih memaknai hidup dengan lebih berarti dari sisa umurnya ini. Namun disisi lain ia sedikit bimbang dengan pendapatnya tadi, ULTAH adalah berkurangnya umur, kok harus dirayakan dengan pesta dan penuh kebahagiaan, seharusnya menangis dengan semakin sedikitnya umur yang dimiliki.
Undangan telah disebar hari ini. Semua temannya diundang, dari yang jauh sampai yang sebegitu dekat. Ia begitu semangat sekali tadi pagi sampai sedemikian penat terasa. Memutari, mengelilingi, singgah di mana tempat kumpulnya teman dan sahabat. Ada yang dititip jika tidak ketemu atau orangnya tidak ada, ada juga yang langsung dengan orang yang dituju.
Ia duduk sejenak menghilangkan semua yang telah mengelabui dirinya seharian ini. “Mudah-mudahan seluruh temanku bisa hadir pada pesta ulang tahunku besok.” Bisiknya dalam hati saat menghayakkan acara peniupan lilin dan pemotongan kue. Namun sedikit sedih siapa yang ingin kuberi irisan kue setelah Ibuku dan Ayahku.
“Apa harus kukasih kepada Syerli..? Ah..enggak..enggak..!” tegas Ivan dalam kegelisahan. Rencana yang matang telah tersusun rapi di dalam benaknya. Dari mulai acara Band kecil Manto sampai acara pelampiasan Jiwa. Seperti yang telah di usulkan Syerli supaya ada pembacaan puisi. Ivan ingin sekali tampil beda saat ulang tahun nanti.
Dari pagi ia telah sibuk mendesain ruangan untuk acara nanti malam. Dari ruangan yang ingin terlihat romantis sampai berkeinginan dunia teman-temanya terhanyut seketika mereka masuk. Beberapa pendekor handal telah ia kerahkan. Yang pasti mereka jago dekorasi. Tanpa basa-basi mereka langsung sibuk merancang ruangan yang besar itu menjadi sebuah istana Raja dan Surga bagi penikmat alam maya.
Siang tiba Ivan tidur sebagai modal untuk malam nanti agar ia bisa lebih fress dan ceria dalam suasana penuh kebahagiaan bersama teman-temannya. Ia juga mulai menyusun kata-kata untuk menyambut tamu undangan. Tidurpun ia terus teringat akan sekenario yang harus membuat ia lebih percaya diri. Mimpinya juga tak jauh dari acara ulang tahun. Dan kemudian terbngun setelah sore menjelang. Badannya kembali bugar. Buru-buru mandi dan siap-siap untuk semua yang diperlukannya.
****
Kini tibalah masa itu. Ia duduk sendiri di kursi depan. Sepertinya ia menunggu para tamu yang telah ia undang. Tak lama terlihat sosok Sonny dengan Dian, mereka berdua begitu erat bergandengan. Ia menyambut dengan salam dan kemudian mempersilahkan duduk, terus menawari mereka minuman yang telah tersedia di pojok kiri ruangan. Menyusul kemudian Manto bersama Karin turun dari motornya, begitu pula teman-temannya yang lain. Sepertinya ia menunggu seseorang, entah Gugun yang belum terlihat batang hidungnya atau Syerli yang janji untuk mengisi sebuah puisi dalam acara nanti. Entahlah.
“Hei…Pa kabar..?” Syeri tak lama muncul seraya menepuk punggungnya. Ivan sedikit kaget dengan bentakannya.
“Gugun udah datang belum..?” ia bertanya dengan penuh senyum. Ivan dengan sedikit cemas menjawab,
“Belum, mungkin sebentar lagi,” terlebih lagi bila Gugun datang bersama Nania. Telah ia pikir dalam-dalam tentang bagaimana perasaan Syerli jika ia melihat keadaan seperti itu. Perih.
“Aku haus nih…” ujarnya yang terkesan manja. Ivan hanya mengacungkan tangan kearah tempat minuman yang telah disediakan sebelumnya. Ivan masih mondar-mandir tak tentu. Dalam benaknya terus berdoa agar Gugun tak memancing keributan dengan Syerli. Ia malu kalau acaranya akan kacau.
Para designer terkenalpun turut meramaikan acara ulang tahunya. Teman-teman saat di Bali datang satu rombongan. Sari juga turut hadir meski hanya melalui telpon. Sebenarnya ia ingin memberikan irisan kue yang ketiga untuknya. Ivan terlihat tertawa ria saat menyambut para tamu undangan. Ia bangga sekali acara ulang tahunnya kali ini di hadiri orang-orang istimewa dan terkenal.
Seorang cowok datang dengan langkah pasti memarkirkan motornya di halaman. Menyetandarkan motor. Kemudian membuka jaket dan menyimpannya dibagasi motor.
“Eh..Dateng juga rupanya…gua kirain lo nggak bakalan dateng bo’..” ujar Ivan dengan logat canda.
“Pasti datenglah… Udah dateng semua ya..?” tanyanya dengan keadaan yang sedikit tergesa-gesa.
“Kira-kira begitu. Kok sendirian ..? mana Nania kok nggak diajak,” Jawabnya penuh keceriaan, dan disambung dengan pertanyaan basa-basi yang sebenarnya sangat ia harapkan Gugun datang sendiri seperti sekarang. Ivan langsung menarik tangannya agar masuk ke dalam. Manto mulai siap-siap dengan group Bandnya untuk melantunkan lagu pada acara puncaknya nanti. Tidak lama kemudian seluruh keluarganya keluar, pertanda acara ini siap dimulai. Ia terlihat sedikit gugup, mukanya memerah, mondar-mandir tak karuan sepertinya ia tak sanggup menatap keramaian.
Syerli duduk didepan teman sejawatnya menikmati segelas minuman. Raka yang di tunjuk sebagai MC sudah siap tinggal menunggu instruksi dari Ivan sebagai tuan rumah. Ia menyuruhnya untuk segra memandu acara, Ivan duduk di sofa bersama keluarganya dan didampingi adik kesayangan.
Ulang tahunnya yang ke 20 ini sangat meriah sekali dibanding ulangtahun sebelumnya. Lantunan lagu selamat ulang tahun telah berkumandang dengan serentak. Diteruskan dengan pemotongan kue yang berjalan dengan lancarnya. Ucapan selamat terus teriring dari seluruh tamu, kado-kado terlihat menumpuk entah dari siapa saja ia juga sudah lupa, jika tak ada tulisan di balik kado-kado itu ia takkan tahu pemberinya siapa. Kini hanya tinggal acara puncak alias acara anak mudanya. Dimulai dengan sumbangan dua buah lagu dari Manto. Ia sedikit termangu dengan lagu Jamrud yang berjudul Selamat Ulang Tahun. Begitu banyak yang menyumbangkan lagu-lagu.
Tidak lama kemudian Syerli mulai bingung, bolak-balik, kanan-kiri di sebelah Raka, ia berusaha tenang. Ia meminta agar segera memanggilnya untuk membaca puisi. Ia takut kalau Gugun pulang sebelum ia membacakan pusinya.
“Kini saatnya Syerli ingin membacakan sebuah puisi. Marilah kita dengarkan bersama.” Raka dengan penuh semangat memanggilnya. Dengan lemah Syerli menampakkan bayangan yang sedikit remang-remang. Tercengang Gugun menatapnya ia sangat heran sekali, “Kok tetangga gua bisa ada di acara ini.....” Pikir Gugun tak habis.
“Apa ia saudaranya Ivan ya..?” benak Gugun bertanya sendiri.
Dengan ucapan selamat pada pihak keluarga dan yang berulang tahun, untuk pembuka puisinya. Dilanjutkan dengan persembahannya.
“Puisi ini aku persembahkan untuk orang yang sangat aku cintai namun ia tak pernah mengerti rasaku. Ia bukan hanya dekat dalam hati namun juga ia dekat dalam raga.” Suaranya sedikit serak-serak, lembut dan mencerminkan kesedihan. Gugun tercengang, ia sangat memperhatikan perempuan yang sedang berdiri tegap sambil memegang sebuah teks.

“Sebuah Harapan”
“Apakah yang terjadi pada diriku
Semua tanpamu….?
Bayangan bersamamu
Bercumbu lalui hari yang hampa
Semua hanyalah harapan
Bayangan untuk bersama
Lalui hari dengan cerita
Tak bisa terlukiskan
Luapan hati terus peka terhadapmu
Taukah kamu..?
Bayangmu selalu hadir
Dikegelapan, wajahmu selalu menerangiku
Taukah kamu..?
aku sangat sanyang kamu”
Tepuk tangan mengiringi turunya Syerli dari tempat itu. Ivan memang mencintai karya sastra, ia juga sedikit kagum betapa Syerli sangat mencintai Gugun yang tak kunjung terbalas.
Syerli mulai mendekati Gugun. ia sedang memegang segelas minuman di sebelah kirinya. Sepertinya ia ingin mengucapkan kerautan jiwanya terhadap pemikiran kalut untuk Gugun. Ia langsung memegang tangan Gugun dan menariknya keluar untuk berbicara sebentar tentang perasaan yang hampir menyekik semua persendian batin dan akan mengoyak-ngoyak jantung. Gugun begitu terkejut sekali dengan keadaan seperti ini. “Sewaktu di rumah, cewek ini tak pernah menegurku memang sering memandangiku. Tapi, apa yang mau ia bicarakan denganku,” mulai berperasangka Gugun mengingat puisi yang dibacakannya tadi.
Sesampainya di tempat yang sepi ia mulai membuka selimut hatinya untuk ia tutupkan semua kepada sosok lelaki yang sedang berdiri didepannya. Ia menatap mata Gugun dengan rasa kasih sayang. Gugun menjadi kikuk menatap wajah Syerli. Ia merasa buntu pikirannya.
“Sebenarnya aku sudah sangat lama sekali memendam rasa ini. Yang tak sanggup untuk mengutarakannya. Aku selalu memerhatikanmu meski harus secara kegelapan.” Ucapanya dengan sangat serius sekali.
“Tahukah kamu Gun..?. aku memendam rasa ini telah lama sekali .” Tercengang Gugun dengan keheranannya.
“Aku sekarang ingin membuka tabir hatiku, aku sayang kamu Gun.” Ucapnya penuh harapan. Namun Gugun hanya gugup dan tak mampu mengatakan apa-apa. Ia tak tahu apa yang seharusnya dan sebaiknya untuk menghadapi masalah ini.
“Kamu sepertinya terlambat Syer…Aku sekarang sudah punya pacar.” Tegas Gugun dengan penuh kebimbangan. Namun Syerli terus menekannya, semakin keruh hati Gugun, terkeluar dari tingkahnya yang tak terkontrol. Ia sebentar-sebentar mengacak-ngacak rambutnya. Namun ia tetap pada pendiriannya yang tidak semudah itu menerima cinta-cinta yang asing.
Syerli diselimuti kekecewaan langsung beranjak pergi dari hadapan Gugun. Terlihat lemah dan lesu dari raut wajahnya, matanya terlihat berkaca-kaca. Begitu pula Gugun, berjalan lambat menuju kursi tempat ia duduk tadi. Syerli mengambil tas kecilnya di meja sebelah kiri dan langsung mendekati Ivan seraya berpamit.
Ivan tak mampu menanyakan sesuatu dan ia sangat tahu kalau jawabannya juga sama yang tersimpan di otaknya.
Terlihat kalut dari jalannya yang tak beraturan melangkah menuju tempat parkir mobilnya. Melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya. “Syerli…Syerli…” dalam benak Ivan keheran-heranan. Diperjalanan ia juga terus kepikiran tentang jawaban Gugun, baginya kehidupan ini serba tidak adil. Pikirannya sampai kemana-mana dan sampai ia tak lagi konsentrasi menyetir mobilnya.
****
Gugun langsung mendekati Ivan sambil menanyakan tentang hubungannya dengan Syerli.
“Syerli kok bisa hadir dalam acara ini...sih Van..?” tanya Gugun cemas ia juga tidak merasa nyaman bila Syerli adalah saudara Ivan. “pastinya Ivan akan menjadi jauh denganku bila ia tahu kalau aku menolak Syerli mentah-mentah,” batin Gugun terguncang habis-habisan seperti gempa yang mempunyai kekuatan 9 sampai dengan 10 Sekala Rihter.
Ivan menerangkan dengan sedetil-detil mungkin sampai akhirnya Gugun mengangguk-anggukkan kepala pertanda ia paham dengan apa yang dibicarakan. Merka tertawa setelah Gugun mengatakan ketidak nyamanannya telah menolak Syerli. Ia juga terus bercerita yang dikatakan Syerli dengannya namun sama sekali Ivan tak memberi tanggapan dan arahan. Ia juga merasa takut akan mengecewakan kedua belah pihak. Gugun dan Syerli adalah teman akrab dia. Pendirian itu tak bisa terubah lagi.
Para tamu undanganpun satu persatu mulai berpamitan. Begitu pula Gugun yang beranjak pulang dengan sedikit bimbang hatinya. Tetapi ia tidak mau terlarut dalam suasana seperti itu ia anggap itu sebagai angin lalu yang tak menyisakan bekas di dalam benaknya. Rumah yang tadinya riuh kini serasa sepi kembali lampu-lampu mulai di matikan satu demi satu. Ia juga langsung beranjak menuju kamar untuk istirahat. Sehari semalam ini ia sangat sedikit sekali waktu untuk istirahat. Badannya serasa patah-patah dan telah tertekuk, tertindih, terlipat sangat penat sekali, badan Ivan tidak begitu tahan dengan kepenatan. Ia juga merasa takut dengan efek kepenatan berlebihan.
****
Gugun telah sampai rumahnya langsung masuk dengan langkah pasti dan tak mengingat-ingat yang baru saja dialami. Ia juga tidak sebegitu heran, sudah sering kali peristiwa seperti itu terjadi pada dirinya.
“Tok….Tok…Tok…” suara itu terdengar dari pintu rumah Gugun. Ia sangat heran malam-malam seperti ini masih ada yang bertamu. Ia menunggu Orangtuanya membuka, namun tak juga kunjung berangkat membuka pintu. Sampai berulang-ulang kali suara ketukan itu. Akhirnya Gugun yang mengalah meski sedikit malas.
“Syer…Ada apa malem-malem begini…?” Tanya Gugun malas, ia telah bosan mendengar ucapan dari Syerli sebenarnya. Kembali Syerli mengutarakan dengan sangat detil di hadapannya. Ia pun mempersilahkan duduk di kursi teras rumahnya. Namun Gugun dengan malas menjawab. Ia hanya menyatukan jawaban sebagaimana yang ia utarakan saat berada di pesta tadi.
Panjang lebar ia bercerita tantang cintanya terhadap Gugun. Malam yang semakin dingin dan semakin larut, ia pun berangsur mengakhiri dan pamitan untuk pulang. Gugun langsung mempersilahkan apa yang kehendaki Syerli. Ia masuk kerumah dan menuju kamar untuk tidur setelah kantuk menjebak matanya. Tak juga kunjung terlelap Gugun di atas kasur empuk itu, ia terus kepikiran sebegitu Syerli mencintainya.
*****
Malam panjang telah Ivan lalui dengan tidur yang nyenyak tanpa di masuki oleh mimpi buruk kembang tidur. Tidak bagi Gugun, ia terus gelisah dan teringat akan sosok Syerli yang membuatnya sedikit bimbang dan ragu atas jawabannya seakan membuatnya putus asa. Sampai tidurpun melibatkan Syerli dalam mimipinya. Semakin gelisah Gugun sesekali ia terjaga dan mengambil air minum agar lebih tenang dan tidak terlalu tertekan. Kemudian ia duduk dan melihat jam, ia merasa jarum jam tak pernah berganti dari angka-angka itu. Suara burung malam dan jangkrik berteriak kencang seperti telah menertawakannya. Ia berbaring kembali dan menarik selimut. Cuaca Bandung berubah menjadi seperti kuburan. Dingin menusuk-nusuk hingga dari pori-pori sampai tulang-belulang. Bulu romapun berdiri menahan gigil.
****
Suara keramaian membangunkan Gugun dari tidurnya pagi itu.
“Eaaah….” Gugun memuriat pagi yang dingin menusuk kulit sampai ke dalam peredaran darahpun seperti lambat.
“Ada acara apa sih.. ? kok ramai banget tetangga itu,” dalam hati Gugun yang ingin segera tahu apa yang dilakukan mereka. Ia langsung beranjak ke ruang keluarga bermaksud ingin menanyakan pada Ibunya. Tapi, di sana tiada ada seorangpun.
“Pada kemana lagi sepi gini rumah,” rasa kesalnya menjadi ia berbicara sendiri dalam kepenasarannya.
“Ah...Bodo...ah..” sambil ia menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan mandi. Setelah mandi ia biasa duduk di depan teras untuk menghirup udara pagi yang segar. Namun ketika ia membuka pintu terlihat banyak orang yang memakai busana hitam-hitam seperti melayat. Tepat di rumah Syerli.
“Siapa yang meninggal ya..?” hati penasarannya mulai bertanya-tanya. Ia langsung mendekati seseorang yang ingin pergi melayat.
“Pak...Pak..Siapa yang meninggal ya..?” tanyanya dengan nada yang sangat polos.
”Syerli ... Anaknya Pak Herman itu,” jelaskan sang Bapak padanya. Ia mendengar perkataan itu sangat terkejut dan seperti sok.
”Pak meninggalnya bunuh diri ya..?” tebaknya dengan firasat bahwa tadi malam ia ngobrol sampai setengah dua belas bersamanya dan Syerli pulang dengan hati yang hancur.
Ivan sama sekali tidak tahu, ia malah belum bangun karena sangat nyenyak sekali dan disertai capek. Ponselnya berdering dan tentunya membangunkan Ivan dari mimpi indah pada pagi ini. Ia lihat nama dari layar ponsel, ternyata dari Gugun.
”Ada apa Gun..?” tanyanya langsung tanpa hallo terlebih dahulu.
”Tahu nggak Van Syerli meninggal,” dengan kerasnya Gugun mengatakan dan sedikit terlihat bersalah. Ivan begitu terkejut luluh lantak, ngedrob, pagi belum apa-apa langsung disuguhi berita duka.
”Kamu nggak canda kan..?” tanya lagi Ivan berusaha memastikan, dengan terburu-buru. Dan ia menjelaskan dengan sangat detil, seperti ia alami pagi itu. Tapi yang lebih membuat ia penasaran lagi Gugun belum tahu meninggalnya karena apa. Tapi ia berperasangka sama dengan Gugun yaitu bunuh diri. ia sejenak termenung di atas kasur. Langsung beranjak mandi dan siap-siap berangkat melayat ke rumahnya.
Gugun terus mencari tahu akan penyebab kematian Syerli itu. Namun setelah ia tahu ia semakin tergoncang dan merasa sangat mustahil sekali itu terjadi. Ia malah menjadi bengong dan merasa bersalahnya begitu bertambah.
Ivan datang dengan sedih langsung menuju Gugun yang terlihat sibuk di rumah Syerli, sepertinya ia ingin menebus kesalahannya. Setelah ia melihat Ivan, ia langsung keluar dan menghampiri. Tanpa banyak kata ia langsung saja menceritakan semua.
“Van... ia meninggal tabrakan” Ivan terbelalak matanya ia juga merasa bersalah karena kalau dia tidak pergi acaranya pasti ini tidak terjadi. Hati kecil Ivan membantah dahsyat ia mengatakan kalau itu sudah takdir.
“Katanya sih... sempat di bawa ke rumah sakit oleh warga sekitar tapi, tubuhnya udah remuk,” Gugun tertunduk, namun Ivan menekan supaya meneruskan ceritanya. “Ia tabrakan pas di simpang empat Lewi Panjang, ia baru keluar dari Jalan Kopo dan belok kanan ke jalan Sukarno Hatta, ia mau pulang sepertinya, pas di perempatan Lewi Panjang lampu merah menyala, ia ragu untuk mengerem mobilnya, ia langsungkan saja. Sebelum sampai pertengahan dari arah Jalan Cibaduyut lampu sudah Hijau, mereka melepas gasnya masing-masing. Syerli berusaha mengerem dengan paksa, setirnya tergelincir karena ban dalam keadaan berputar kencang. Ia menabrak pos polisi seblah kiri jalan.” Ivan mengangguk-angguk.
“Pantes Gun, tadi gua lihat pos polisi itu jadi ancur. Terus..terus... kok elo bisa tahu kalau dia begitu gimana..?” Ivan mencecer Gugun untuk terus bercerita.
“Itu menurut para polisi saat melakukan uji coba dan identifikasi. Menurut para saksi mata sih, gitu,” Gugun menatap kearah kain kafan tergeluntung dan berisikan orang yang mencintainya. “Yang lebih aku nggak pahamnya lagi Van...Syerli itu pulang dari pesta di rumah elo sekitar jam 09.00. terus ke rumah gua sekitar jam 10.00. Tapi, dia tabrakan pada saat pulang pesta itu. Terus yang ngobrol sama gua tadi malam itu siapa...? Van...?” tanda tanya besar dalam benak Gugun dan benak Ivan, mereka merasa itu sepertinya sang arwah yang penasaran. Bulu kudu semua merinding taktentu, Ivan mengkirik-kirikkan bahunya. Gugun menunduk bersalah.
“Dia ngapaian ke rumah lo....?” tanya Ivan untuk menghilangkan suasana itu.
“Dia hanya memperjelas semua yang ia katakan ma gua. Dia juga tanyain apa yang dikatakan gua itu tak dapat dirubah. Itu aja...dan yang lainnya.” Gugun menjelaskan dengan santai. Tapi kembali ia mengingat tadi malam itu ia tak merasa takut merinding atau hawa-hawa lain dari tubuh Syerli.
****
”Selamat jalan Syerli malang, kau harus pergi dengan kekalutan. Aku tak pernah bisa berbuat apa-apa untuk kehidupanmu dulu.” kata itu menghantar perjalanan ke pemakaman. Ivan berjalan lambat dengan Gugun. Ia meneteskan air matanya.
Kini Syerli telah pergi untuk mengarungi dunianya di surga.
”Ser...Maafin aku..!!!. aku telah mengecewakanmu” Gugun yang meratap menyesali perkataanya, semua terdiam, Ivan menarik Gugun untuk segera pulang. Gugun terus terlarut dalam kesedihan seakan-akan dialah yang paling bersalah seutuhnya.
*****









Bagian 21
Jalan terakhir
Gemericik hujan menyertai malam yang gelap. Ivan masih saja duduk sendiri di depan terasnya. Rokok dan kopi menemani dimeja seblah kanannya. Sebentar-sebentar ia meneguk kopi hangat dan menghisap rokoknya dalam-dalam. Dunia semakin butek. Suara gemuruh hujan semakin kencang, Guntur bersahut-sahutan, kelat mengadu-ngadu.
Ivan masih saja disana tanpa berubah posisi. Buku-buku disampingnya hanya sebagai hiasan tak dibacanya. Entah ia sedang memikirkan apa.
“Van, masuk kedalam sini...nanti masuk angin lho.....” Ibu memanggilpun tak dihiraukannya. Ia kembali menyulut rokok. Tak lama kemudian adiknya keluar,
“Kak...lagi mikirin apa sih....pacar ya....?” ledek Resti sambil tertawa-tawa. Ivan masih saja tak menghiraukan. “Kak....kok diem aja sih....” kembali adiknya bersandar dibahunya. Ia merasa kecewa karena ledekannya tak dihiraukan. Ivan berdiri dan memunguti buku, rokok dan kopi.
“Ayo ...masuk...” ajak Ivan sambil memegang kepala Resti. Ia langsung menuju kamarnya dan adiknya berhenti dipangkuan Ibu di sofa, mereka sedang ngobrol dengan Ayah. Setelah sampai kamar ia duduk kembali dikursi meja belajarnya. Ia menyalakan rokok lagi, pikiranya melayang tak tentu. Ia ingat Sari dan ia juga begitu sayang sebenarnya dengan Debi. Namun terlintas sejenak ada bayangan Syerli. Entahlah....
Debi adalah pacarnya yang paling lama. Dan ia putus karena salah paham dan Sari juga pacarnya yang membuat dia sadar akan arti kehidupan. Sari terlalu mencintainya sehingga ia merasa selalu diatur dan kontrol. Ia tak suka itu.
Ia juga ingat saat di lokasi pemotretan tadi. Ada dua orang cewek minta tanda tangan padanya. Ia mencandai dua cewek tersebut. Mereka tertawa cekikikan. Saling tukar nomor ponsel dan berkenalan. Dua cewek itu Mimin dan Tazkia. Ivan seperti menaruh perhatian langsung pada salah satu cewek itu, entah Mimin atau Tazkia. Tapi, kedua-duanya langsung pergi. Sambil mengatakan,
“Kami tak begitu tertarik sama kamu. Abisnya kamu play boy sih... kalau gantengnya sih boleh tapi, play boynya ....enggak deh....!” mereka tertawa kegelian sambil pergi meninggalkan Ivan. semua kru, dari kameramen sampai pengamat sekalipun tertawa.
“Itu namanya udah ketemu apesnya tau...” seloroh Mas Roy.
“Belum.....Mas Roy ...tunggu aja waktunya gua bergerak.” Ivan membela , ia tak mau terus dilecehkan.
“Udah-udah jangan terlalu ngotot bo.... mendingan ma gue aja,” sahut make upnya di balik tenda tempat bernaung sambil cekikikan tertawa. Ivan kesal ia langsung berbaring di tikar pandan. Suasana menjadi sedikit tegang.
Ivan sadar dari lamunannya ia mengambil sebuah buku hariannya. Buku itu telah dipenuhi coretan-coretan hari suntuk dan hari berinspirasi. Ia membuka lembar demi lembarnya. Buku itu memang sangat tebal sekali. Melebihi tebal kamus Jhon Lenon. Sampai dipertengahan ia berhenti disatu lembar, ada foto seorang cewe sedang tersenyum. Mukanya putih berseri. Keturunan China.
Ivan mengusap-usap foto itu. “Ngapain sih..kita harus putus dulu...?” dalam benaknya merintih. Kemudian ia membuka terus lembaran demi lembaran. Ada sebuah puisi karya almarhum Syerli,

Diantara Mahkamah Cinta

Aku pecundang.....
Merayap di dinding-dinding prahara..
Menatap lubang-lubang mahkota

Aku di sini bimbang.....
Diantara mahkamah cinta.
Aku berdiri menatap hampa

Aku menjadi bingung.....
Mengapa hakim berdusta
Untuk menyidang aku dan dia
Jadi siapa...?
Yang menjadi saksi atau terdakwa...
By, Syerli.

Ivan termangu. Tanganya menyangga di dagu. Apa yang sedang ia pikirkan, semua telah terjadi....
****
Ia berangkat kuliah sengaja lewat depan sekolahan Debi, ia merasa rindu dengan perempuan berkulit putih keturunan China peranakan. Ia pun mampir di kantin sekolah itu, memesan segelas jus jeruk. Lalu ia menyulut rokoknya. Dalam hatinya sangat berharap bisa bertemu dengan Debi, namun sampai jam Istirahat selesai tak juga Debi memijakkan kakinya di kantin. Ia langsung ke kampus.
Seperti tak bosan setelah pulang kuliah ia juga lewat depan rumah Debi, disana hanya terlihat baju-baju tergantung. Ia tak mampir. Berulang-ulang kali ia berusaha menghubungi telpon genggamnya namun sama sekali tak pernah terjawab. Hanya suara mesin yang mengatakan,
“Maaf.. nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan, mohon hubungi beberapa saat lagi,” lalu ia menekan tombol exit. Ia mencoba SMS namun tidak satupun yang terkirim. “Apa mungkin ini karma bagiku.” pikirannya gaduh.
Esoknya ia kembali mendatangi sekolahan Debi. Disana terlihat Debi sedang bercanda dengan salah satu temannya. Ia mendekat dan meminta Debi untuk ngomong berdua. Debi menolak.
“Nanti malam gua tunggu di kafe biasa.” Seru Debi meninggalkan Ivan. a berjalan menunduk melewati beberapa kerumun siswa SMA dan satpam yang memandangnya sangar.
Suara motornya meninggalkan sekolahan itu. Ia langsung pergi menuju kampus tercinta. Disana ada Gugun dan Manto sedang berdiri. Ivan langsung mendekat dan memberi salam pada kedua temanya itu.
“Kenapa lagi elo...?” Gugun seperti meledek.
“Gua lagi pusing Bro’....” sambil bersandar di dinding beton dekat parkiran. Tumbur Manto ingin memberi semangat.
“Gugun aja yang baru putus dengan Nania nggak sepusing elo...” mereka berdua tertawa Ivan pun ikut menertawakan Gugun.
Gugun putus karena mereka selalu bertengkar disamping berlainan pendapat mereka juga mempunyai latar kehidupan yang berbeda. Gugun memutuskan untuk pisah supaya mereka lebih bisa tenang dan lebih dewasa untuk menghadapi sesuatu.
“Itu Gugun, gua lain Bro’... kayaknya jalan terakhir gua, yaitu Debi. Gua pengen jadian lagi ma dia, dari pada gua jomblo ber abad-abad,” semua tertawa melecehkannya. Sama sekali ia tak peduli. Pantas kalau dengar kata pepatah “Biarkan anjing menggong-gong kafila tetap berlalu,” tepat sekali pepatah itu bila dilontarkan padanya. Gugun tersentak hatinya untuk mengingat Nania. Lalu ia terdiam setelah ketawa terhambur di udara.
“Ada apa Gun..?” Manto menepuk punggungnya.
“Dia ingat sama mantannya,” sahut Ivan menebak. Mereka tertawa lagi.
****





























Bagian 22
Semua Terjawab
Sekitar jam tujuh malam ia telah melesat ke sebuah kafe. Sewaktu mereka berdua pacaran mereka biasa kencan disana. Suasana sejuk menerpa saat di perjalanan. Setelah sampai kafe itu sudah ramai ia duduk di kursi yang dulu biasa mereka berduan.
Satu jam berlalu. Ia masih menunggu kedatangan Debi. Beberapa kali ia melihat lengannya. Satu gelas jus orange menghiasi meja. Satu bungkus rokok dan korek tergeletak dismping. Asbak telah terisi beberapa puntung. Debi belum juga datang.
“Apa dia hanya ngerjain gua ya.....?” tatapannya kosong kearah pintu masuk kafe.
“Hai.....udah lama...?” Debi menyapa dari belakang.
“Eh..belum..belum... eh... Debi... lama tau... kok dari belakang...?” kaget bercampur kesal dan bahagia.
“Gua sih datang dari tadi tapi, gua ngetes elo..dulu. gua duduk di sebelah sono.” Tunjuk jarinya menunjukkan arah meja disudut kanan. Ivan terlihat kesal.
“Apa maksud lo..ngetes-ngetes gua. Emang gua cowok apaan...” ia kesal dari tadi ia sudah begitu marah.
“Gua dari tadi clingak-clinguk kayak orang bloon. Elo malah nertawaain gue..” Ivan berdiri meraih rokok yang ada di meja.
“Van....tunggu dulu ...” Debi menarik tangan Ivan untuk duduk kembali.
“Gua Cuma mau bilang ... maafin Syerli... dia tak pernah bersalah dalam hubungan kita dulu. Supaya dia tenang di alam sana. Kami dari dulu hanya teman. Elo aja yang begitu cemburuan.” Ivan membuka bungkus rokoknya lagi namun Debi langsung menariknya.
“Elo masih kayak dulu Van... gua sayang elo...” ucap Debi tulus. Dalam hati Ivan berpesta fora menghadapi hari bahagia itu.
Ivan hanya senyum membalas apa yang dikatakan Debi, ia memang sosok cowok yang sangat hebat mengontrol emosi dan berpura-pura emosi.
Mereka berjalan menuju tempat parkir. Dekapan mesra mengiringi perjalanan itu. Meski begitu kencang angin menerpa saat berkendaraan motor, dan suasana Bandung begitu sejuk. Tak membuat mereka kedinginan.
****
Hari minggu adalah hari yang membusankan baginya dari dahulu. Dengan sebab-sebab yang tak masuk akal. “Nggak ada kegiatan, nggak ada kuliah, main, jalan-jalan juga malas. Mendingan kuliah bisa belajar, ngumpul atau apa aja yang penting nggak boring,” Itu yang selalu menyertainya dalam setiap hari minggu tiba.
Terlihat hari ini ia bangun lebih cepat, mandi dan santai di depan TV. Acara TV memang sekarang mulai kacau. Banyak yang tidak mendidik, lebih membosankannya lagi cerita percintaan untuk anak-anak dibawah umur. SD.sangat merusak coba pikirkan sejenak, bagai mana nasib bangsa jika anak didik kita yang masih belum bisa mencari dan membagi waktu langsung di cekokin sama senetron mereusak. Ia pindah duduk, masuk kekamar menyalakan laptopnya. Tak disangka karyanya sudah lumayan banyak. Namun ia masih belum tahu atas kelebihan dan kekurangan tulisannya itu.
Seorang loper melemparkan koran tepat menghempas pintu rumahnya. Ia begitu kaget karena suara yang kencang dari arah sana. Ia keluar untuk mengambil dan akan membacanya. Ia membuka dari halaman pertama dengan tajuk politik halaman kedua terus ia baca meski hanya intisarinya saja. Deg.....! di rublik sastra. Tertulis besar namanya dibawah judul cerpen. Ia meloncat dahsyat sambil berteriak,
“Yes...Yes....!” entah apa. Bibi keluar tergopoh-gopoh.
“Ada apa..?” tanya Bibi sambil membawa selembar lap ditangan kirinya.
“Bi, tulisan saya di muat,” ucapnya girang. Sambil menggenggam tangannya dan masih berteriak-teriak kecil.
“Iya, mana ...?” Bibi mendekat Ivan sambil ingin melihat koran itu. Entah apa maksudnya, menyenangkan hati Ivan atau memang ia mendukung. Tak jelas.
Akhirnya semua terjawab apa yang selama ini ia dambakan. Dari pertanyaan saat di komunitas sampai tugaspun terselesaikan. Tak sia-sia seseorang yang menanyakan karyanya. Ia menjadi terbakar semangat untuk bisa menjawab pertanyaan itu.
Pepatah mengatakan kalau lautan tenang tak bisa menciptakan nahkoda yang hebat. Ivan masih senyum-senyum sendiri sambil mengingat-ingat apa yang dikatakan seseorang padanya dulu. “Kerja keras akan menuai hasil yang memuaskan,” ia meraih koran itu lagi untuk melihat cerpen yang terpampang disana, dengan ilustrasi lukisan abstrak. Ia begitu bangga.
*****
Ivan dan Debi sering jalan bareng, ketempat-tempat yang dulu pernah mereka datangi sebagai alat pengingat dari nostalgia mereka dulu. Tidak jarang Debi menanyakan tentang keseriusan Ivan kali ini, dan begitu pula Ivan juga sering menanyakan tentang kecintaan Debi padanya. Namun Ivan sering menanyakan kalau Debi banyak perubahan dan sering menutupi permasalahan mereka berdua.
“Deb, sepertinya elo banyak nyimpan sesuatu,” ujar Ivan sambil menatap kening Debi dengan mata yang sungguh banyak menyimpan tanda tanya. Debi terlihat gerogi dan cemas dari sorot matanya. Dan bibirnya tegetar-getar tak jelas.
“Aku hanya menyimpan cintamu Van, yang lain itu hanya sekedar ilusi saja. Aku takut kita pisah lagi seperti dulu.” Debi memegang tangan Ivan erat. Ivan begitu bahagia mendengar ucapan manis itu. Namun sebenarnya banyak yang ditutupi oleh Debi.
Kafe yang disinari oleh lampu-lampu kecil tertempel di dinding. Seakan menyatakan kalau kesahduan ada pada mereka berdua. Sesaat mereka juga meninggalkan tempat itu, malam telah berada ditengah-tengah diantara malam yang panjang itu. Dihati Ivan masih terus bertanya mengapa Debi begitu berubah.
Debi tak tentu pikirannya. Ia sering mengurung diri dikamar dan menangis sendiri. Kedua orang tuanya sama sekali tak mengetahui apa yang sedang dialami oleh Debi. Yang jelas Debi selalu tertutup tetang masalah itu, tak hanya orangtuanya teman dan kekasihnya juga tak diberitahunya. Namun, hanya kekasihnya dulu yang mengetahui segalanya. Debi terus seperti itu, setelah ditinggalkan pergi oleh Irza seorang pengusaha muda. Mereka menjalin hubungan selama lima bulan saat Irza menjalankan bisnis di Bandung. Padahal Debi tahu kalau Irza telah berumur tidak seperti kekasih-kekasihnya dulu yang masih sekolah, kuliah.
Kedewasaan Irza membuat Debi menjadi terkelabui seluruh pikiran dan bagaimanapun Debi menjadi terhanyut begitu saja. Sedangkan Ivan sendiri tidak pernah tahu semua tentang kedewasaan. Ia hanya seorang cowok yang berhasrat muda.
From : Debi 00:12:03
Van, ak tkut klu km kan ninggln ak.
Kta nikah yuk Van
Ivan begitu kaget membaca SMS yang tiba-tiba mengajak nikah.
“Apa sih maunya dia...?” gumam Ivan sambil mengetik SMS balasan. Didalam benaknya semakin tidak karuan saja.
To : Debi 00:18:27
Deb, gw semkn pnsaran ma pmkran lo skrng.
Lo kok bgtu brbah ga sprt dlu, gw msh kul ga mkn klu
gw nkh trus yg ksh mkn ank kta spa lo jgn gila.

“Sent”

Ivan lalu pergi kedapur untuk menyeduh kopi hangat. Setelah tiga jam lebih menghadap layar LCD. Ia masih begitu semangat menulis cerpen. Suara musik dari laptop-nya terdengar bersih mengalunkan lagu Avril. Ivan masuk sambil mengikuti lirik lagu itu. Kopi yang ia bawa ditaruh disamping laptop dan ia langsung menikmatinya dengan sebatang rokok. Dilayar ponselnya terlihat gambar amplop. Ia meranggehnya.
From : Debi 00:19:58
Van, km ga serius y ma ak? Ak tkut khlngan km lg, ak sngt mncintai km.

To : Debi 00:23:01
Ktika smua cnta hnya kbut, ak dlintasi hujan dsna
Ktika ak trpuruk ak bsah
Ak tak mampu mnyalahkan siapa pun
Tpi, aku tak lari, ak tak pngecut
Tpi, ak tak sggup.

“Sent”
Ia meneruskan menghisap rokoknya dan menyeruput kopi yang terhidang disampingnya.
Sekitar jam dua ia membaringkan tubuhnya diatas kasur yang terhampar indah menanti untuk segra ditiduri.
“Halo, ada apa Deb, kok belum tidur juga jam segini,”
“Aku rindu ma kamu Van, aku pengen kita cepet nikah.”
“Ya nggak mungkin lah. Aku masih kuliah kamu sekolah. Terus kita masih terlalu muda untuk mengurus rumah tangga. Bukan aku nggak serius ma kamu. Kamu itu sekarang malah seperti kekanak-kanakan. Aku mau tidur.”
“Van, tunggu. Aku ingin cepet punya keluarga seperti artis-artis muda yuang sudah berkeluarga,”
“Udah, ngelindurnya. Aku bosen denger orang mimpi terus menerus,” Ivan langsung menon aktifkan ponselnya karna sekarang sudah larut malam.
****
Pagi yang indah dengan hiasan awan di langit dan gunung-gunung yang masih tertutup oleh kabut. Burung-burung berkicau merayakan terbitnya matahari dan kupu-kupu terbang menghinggapi bunga-bunga yang manis dengan madu. Namun, kamar Ivan masih gelap hanya cahaya dari lampu panjar dan suara musik dari radio yang telah memulai siaran dari pagi tadi.
“Van, bangun udah siang,” Ibunya membangunkan dari luar namun tak banyak yang dikatakan. Hanya sekedar lewat saja. Ia mendengar itu tapi, ia meneruskan untuk mimpinya yang begitu pendek. Ponselnya berdering, ia menjamahnya,
“Ada apa To” ucapnya dengan suara lesu.
“Hari ini ada kuliah nggak Van..? elo belum bangun ya...?”
“Ah,...udah. ada kuliah nanti jam sepuluh dua puluh, elo kuliah nggak..?”
“Kuliah lah... sori ya ganggu,”
“Yooi” Manto langsung menutup pembicaraan singkat itu. Ivan duduk dan mematikan radio kemudian membuka tirai jendelanya.
“Udah siang rupanya,” matanya terkedip-kedip silau.
“Selamat pagi dunia.” Ucapnya sambil melihat alam sekitar dengan kesegaran. Tertegun.
Setelah sampai kampus ia menceritakan semuanya pada Manto kalau kemauan Debi semakin tak karuan. Namun tanggapan Manto malah meremehkan,
“Itu hanya mengetes elo aja sebenernya, ia ingin tau seberapa keberanian elo dan keseriusan elo doank,” begitu Manto memberi saran.
“Jadi, gua harus bilang kalau gua mau nikah ma dia, gitu...” tanggap Ivan selintas menerjemahkan perkataan Manto.
“Iya... elo berani nggak...?” sambil menepuk-nepuk pundak Ivan. Sesaat semua terdiam bisu setelah mendengar suara klakson Gugun yang baru saja melintas. Manto melambai-lambaikan tangan.
Setelah semuanya masuk ke kelas mereka tak lagi membahas persoalan luar melainkan mata kuliah yang sedang berjalan saat itu. Namun Manto masih asik dengan ponselnya untuk membalas SMS yang telah numpuk di memory ponselnya.
***
Malam yang dipenuhi bintang. Disebuah kafe kecil duduk dua orang manusia. Ivan dan Debi. Mereka saling pandang seperti tersimpan banyak masalah diantara mereka berdua. Ia memegang erat tangan Debi dan Debi sendiri seperti tak merasakan apa-apa, pandangannya kosong namun raut mukanya penuh kekacauan.
Debi memulai pembicaraan dengan kata demi kata yang masih terdengar sama. Kekalutan dan kehancuran talah terbentang di lahan luar sana. Bagaikan hutan yang telah gundul. Tak menyerap air dan udara yang kotor. Bagaikan laut yang tenang dan penuh limbah. Tak ada ikan yang bisa hidup dan tak dapat diminum airnya.
“Van, besok kedua orang tuaku mengundang kamu makan malem,” Ivan masih tak menjawab. Namun ia masih menyeleksi setiap kata yang terkeluar dari mulut kekasihnya itu.
“Aku ingin kita cepat menikah.” Kata Debi lagi.
“Deb, gua siap nikah ma elo. Tapi, nggak sekarang. Gua dateng entar malem,” menjamah jus alfukad yang terserak didepannya dan kemudian ia menyalakan rokok.
***
Hidangan makan malam telah tersaji indah dengan hiasan dedaunan dan buah-buahan disisi kirinya. Hanya tinggal menunggu penyantap yang lahap. Suara beel terdengar Debi dengan wajah ceria lari mencicit menuju pintu untuk menyambut hadirnya pujangga yang datang membawa sayap dan panah untuk menyelamatkan dirinya dari pembusukan oleh Irza.
Ivan masuk digandeng erat oleh Debi sampai di depan kedua orang tuanya. Ivan berusaha melepaskan genggaman itu namun Debi justu memegangnya lebih erat.
“Malam Om...Tante...” penuh hormat.
“Malam, apa kabar Van...kok nggak pernah main kesini lagi sudah lama,” Ibunya menjawab dengan senyum ramah.
Sebelum semua acara dimulai mereka saling ngobrol basa-basi dan dia terus dicecer pertanyaan-pertayaan dari kedua orangtua Debi. Jika semua dicatat dan melalui moderator seperti dalam diskusi maka terhitunglah seratus terment pertanyaan dan setiap terment-nya berisikan tiga pertanyaan. Namun ia sebagai panyaji atau narasumber yang baik berusaha untuk menjawab bagaimanapun sulitnya pertanyaan itu.
“Yuk, semuanya kedalam...semuanya telah siap kok,” Debi menyuruh menyantap hidangan yang ia siapkan sejak sore tadi. Untung ia pernah kursus masak.
Saat makan berjalan, pertanyaan juga masih terus menyerbu sampai ia tak kuasa sepertinya menelan hidangan yang sungguh lezat itu. Ia juga mulai berfikir pertanyaan yang dari tadi ia jawab semuanya berunsur keluarga dan rumah tangga.
“Apa gua disuruh nikah beneran,” dalam benaknya berdebar-debar. Setelah makan selesai ia seperti sedang dalam mahkamah agung dan sedang dalam sidang yang menentukan hidup atau mati.
“Van, kamu siap menikah kan...?” Ivan seribu gugup dan cengengesan tak karuan.
“Tante, Oom, saya masih muda. Dan perjalanan saya masih panjang. Dan kawin muda itu bukan jalan yang pernah aku fikirkan. Aku masih ingin berpetualang mencari hidup yang lebih baik,” seketika perkataannya langsung dipotong,
“Lho, itu nggak sesuai sama perkataanmu tadi. Kamu itu tidak mau bertanggung jawab...!” mukanya memerah, seketika mendengar apa yang dijawab Ivan. Dan Ibunya juga menambahkan,
“Kamu segharusnya jentelmen dong, kamu sudah menghamili Debi lalu kamu nggak mau menikahinya. Kamu lelaki apa. Pokoknya Tante dan Om tidak mau tau kamu harus nikahi Debi secepatnya.” Debi menangis dan tertunduk kasihan melihat Ivan yang gugup.
“Saya pacaran sama Debi baru berjalan satu minggu dan saya belum pernah melakukan sesuatu apapun padanya. Bagaimana bisa hamil. Meski berandalan seperti ini saya tidak akan mau bersetubuh di luar nikah, berarti anak Tante dan Om yang menjadi perek,” kekesalan Ivan begitu melunjak ia langsung lari keluar dari rumah bangsat itu baginya.
“Keparaaaaaat....!” ia mengumpat sekuat-kuatnya didepan pagar rumah Debi yang mewah. Debi hanya bisa lari ke kamar sambil menangis menyesali perbuatannya yang membuat ia hina dihadapan semua orang.
Suara kenalpot motornya begitu kencang dengan gas yang keras pula. Ia tidak langsung pulang, setir motornya menuju ke kafe tempat ia biasa menyendiri dan biasa mabuk.
Ia tersandar lemas oleh minuman-minuman yang mengandung kadar al-kohol tinggi. Ponselnya tak henti-henti berbunyi namun ia hanya melihat dari siapa lalu ia mematikannya. Ia begitu kesal dengan semuanya, ia terjebak. Kecewa.
“Halo.” Suara mabuk telah terkeluar saat ia menerima telpon dari Debi.
“Ada apa perek murahan. Bajingan elo.”
“Van, Van,” namun telah di matikan ponselnya. Ia terus menenggak minuman itu sampai ia tak sanggup lagi bergerak, hanya seorang perempuan malam yang terus mengurusnya sampai ia tertidur dan membawa Ivan ke hotel. Ia juga tak sadar siapa perempuan itu dan apa maksudnya, padahal Ivan tak pernah berhenti memaki-maki perempuan itu. Mungkin pikirannya telah berlumur kekesalan dengan Debi.
Ia di tinggalkan sediri di kamar hotel kawasan Dago. Namun semua uangnya habis di bawa oleh perempuan itu. Setelah pagi menjelang ia sadar akan semuanya ia langsung pulang dengan bertambah kesal dengan seluruh perempuan, kecuali Ibu dan saudaranya. Dibenaknya masih terdengar umpatan-umpatan memaki perempuan.
Setelah sore menjelang ia baru sampai rumah. Raut mukanya seperti orang gila karena semuanya kacau. Ia terus merasa dihantui oleh ucapan kedua orangtua Debi malam itu. Namun ia sekarang ini sudah sedikit tenang. Ia menerima telpon dari Debi,
“Halo, perek...ada apa lagi mau ditemani malam ini,” ujar Ivan menghina.
“Van, aku nggak maksud menjerumuskan kamu, tapi, siapa lagi yang bisa menolong aku. Cuma kamu yang orang tuaku percaya.”
“Elo perek, ya wajar kalau elo hamil. Toh, aku nggak akan pernah mau nikah ma lo, apa lagi nikah... ketemu aja najis,”
“Van, aku memang orang bejat tapi, aku hilaf dan aku ingin memperbaiki hidupku,” terdengar sendu tangisan dari sana.
“Sudahlah, yang jelas aku nggak mau, salam ma ortumu bilang bukan Ivan yang menghamili aku. Tapi aku ini perek Yah...! dada...mudah-mudahan anak lo lahir bukan cewek kayak elo,” tut..tut... terdengar suara hubungan yang terputus.
Sesaat setelah makan malam dirumahnya Ivan langsung tertidur karena badannya terasa sakit semua dan lelah akibat cairan al-kohol yang menyebar ditubuhnya. Ia tidur. Tak seperti biasa didepan laptop sampai larut.
***
Pagi-pagi sekali ia telah bangun dan mandi. Ia seperti berubah dari biasanya. Semua orang di rumahnya keheran-heranan melihat Ivan bangun pagi. Setelah meminum kopi susu dan sebatang rokok ia membaca majalah. Masih garuh. Ponselnya berbunyi dibalik saku celana jeans-nya.
“Nomor tidak dikenal..dari siapa ya...” ucapnya lirih. Namun ia mengangkat telpon itu.
“Halo...”
“Halo...ini dengan Ivan..?” tanya penelpon itu.
“Iya, dari siapa ya ini...?”
“Dari Om, orang tua Debi,”
“Om, asal tau saja saya tak pernah berhubungan intim sama Debi. Saya lama putus dengan dia, sekitar setahun yang lalu. Dan kami pacaran lagi baru seminggu yang lalu. Jadi, kalau saya menghamili Debi itu hal yang sangat mustahil,”
“Debi telah tiada. Tadi malam ia bunuh diri di kamarnya,” hati Ivan semakin kacau. Ia merasa membunuh seseorang.
“Ia bunuh diri karena aku tak mau menikahinya.” Dalam benaknya berfikir sambil mendengarkan ucapan Om.
“Om Cuma mau kasih kabar itu saja,” seketika suara itu terputus.
Ia mengacak-ngacak rambutnya. Garuh tak karuan.
“Kenapa semua ini harus terjadi...............” merintih batinnya. Lalu ia masuk dan mengganti pakaian hitam-hitam.
“Mau kemana Van..?” tanya Ibu sambil menyiapkan sarapan.
“Temen aku ada yang meninggal Bu...aku pergi dulu,” pamit Ivan sambil memakai jaket.
“Hati-hati,” ujar Ibu penuh kasih sayang.
Selama diperjalanan ia terus berpikir,
“Betapa simple hidup ini. Betapa tidak berartinya hidup ini. Apa aku ini juga tak berarti selama didunia...? mengapa orang semakin tidak sayang dengan hidupnya sendiri. Siapa yang bisa memberi kedamaian dalam hidup selain jiwa kita,” berisi penuh inspirasi dalam otaknya kali ini.
“Wah, ini bisa menjadi novel,” tersenyum sendiri di balik helm berkaca itu.
“Ah....itu hanya mengambil hikmah dari semua kejadian,” bantahnya setelah ia berfikir kalau ia tertawa di atas penderitaan orang lain.
“Nggak...nggak... karena tuhan menciptakan semua pasti ada manfaatnya,” keramaian dan tangis menghentikan seluruh pikirannya itu. Busana hitam dan tangisan adalah lambang duka yang terlihat dari mulai masuk rumah Debi.
Sosok terbujur di tutup oleh kain panjang adalah kekasihnya kemarin yang sempat membuat ia stres sekejap.
“Aku harus lebih hati-hati untuk menilai seseorang, tak semua orang yang kukenal baik. Dan dulu itu telah lain dari sekarang. Dia dulu tak seperti itu,” masih saja hatinya berkata-kata tak karuan.
“Ah..aku harus lupakan semua itu,”
*****


Bandung, Sabtu, 22 September 2007
Mulyadi saputra (Moel)

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.