Pagi
pun begitu dingin dengan embun yang menutupi jarak pandang dan kesejukan
menembus keseluruh tubuh. Ivan duduk di teras belakang sambil menikmati
indahnya pagi dengan sebatang rokok Malboro.
Seraya Ibu memanggil, mengajak sarapan bareng dengan Ayah yang sebentar
lagi akan berangkat ke kantor. Ia beranjak dengan menjelentikkan rokok dari
jemarinya.
Ayah
senyum menyapa pagi dengan lembut. Ivan pun membalas dengan duduk pas di kursi
lipat. Ayah hanya diam mengambil sepotong roti dan menampalkan keju di atasnya.
“Van...Ayah
mau ngomong dengan kamu. Kamu boleh punya
Bagian 1
Jejak
“Van, elo yang bener dong.... kita temenan
bukan sekarang-sekarang aja, dari dulu Van...! gua nggak seneng dengan cara elo
ngomong,” Ucap Andi setelah jengkel karena ia merasa diremehkan Ivan. Mulutnya
telah kecut untuk memuntahkan kata-kata panas itu. Harga diri bukan bagaimana
orang menginjak harkat martabat saja, tapi juga bagaimana orang meremehkan kita
seakan-akan kita seorang yang menerima keajaiban alam untuk menolong. Mustahil.
Tuhan memang Maha Penyayang, tapi ia takkan menurunkan pertolongan dari langit
seperti jaman dahulu. Mukjizat katanya.
“An...An....elo
jangan sensitif gitu dong...Gua cuma canda lagi...” cengkal Ivan membela
dirinya.
“Ah...Gua
bosen ngomong ma elo....” Andi seraya pergi meninggalkan Ivan begitu saja. Ivan
menarik-narik tangannya namun ia malah menampik dan diperlihatkan
kejengkelannya. Raut mukanya sangar.
“Ah....resek
elo
Ardi adalah sosok orang
yang terkenal jeniusnya. Suatu hari ia sakit parah dan dirawat di rumah sakit.
Ia telah merasa kalau umurnya tidak lama lagi. Pada saat istri dan anaknya
berkumpul ia berwasiat,
“Nanti kalau datang waktu Bapak di ambil oleh Allah,
kuburkan Bapak dengan kain kafan yang sudah jelek saja.” Ucap Ardi
tersengal-sengal… seluruh orang yang berada disitu terharu dan menangis….
Tibalah hari dimana
Allah mencabut nyawa Ardi… seluruh keluarga
Oleh: Mulyadi Saputra
Secangkir
kopi hangat selalu menyertai disetiap diskusi pendek. Tanpa kopi diskusi takkan
berjalan dengan normal. Kata-kata itu selalu muncul untuk memulai perkumpulan
atau duduk bareng sambil diskusi. Empat pria itu selalu kumpul disetiap selesai
kuliah (mata kuliah) atau jam-jam kosong dan juga sewaktu malas masuk dengan
mata kuliah hari itu. Mereka sering menyebutnya sebagai matakuliah ketiga.
Duduk,
nongkrong, ngobrol, diskusi, canda, tawa, ide, solusi, muncul disebuah kantin
umum di depan fakultas disalah satu perguruan tinggi pinggiran tempat mereka
kuliah. Begitu juga kopi sebagai teman sejati yang mengiringi pembincangan asik
hari itu. Mungkin tidak asing lagi dikalangan muda jika berkumpul terus minum
kopi. Jangan salah obrolan warung kopi atau kantin lebih banyak diserap oleh
otak dari pada belajar di dalam kelas dengan suasana yang formal (tapi ingat
ini tidak berlaku untuk semua orang). Mungkin itu dikarnakan kita bebas ketika
berpendapat tanpa malu. Kita sekeritis mungkin mengungkapkan pandangan tanpa
harus segan dan siapapun akan boleh ikut alias terbuka. Bisa minum kopi,
merokok dan bercandapun tidak salah dan dimarahin.
Dani,
Restu, Yadi, Yoko. Sosok lajang
Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Saat Udin ingin pergi merantau ke
Jakarta Ibunya membekali pesan yang akan jadi tumpuan hidup di kampung orang
bagi dia.
Ucapan itu yang terdengar
di telinganya pagi itu.
“Din…hati-hati di sana. Raihlah cita-citamu.
Jadilah orang yang berguna.” ia bersalaman dan mencium tangan Ibunya. Sunarti
sangat sedih sekali karena dia adalah anak semata wayang. Ibunya berbisik
sedikit terputus dengan isakan tangis kecil yang tak kuat lagi ia tahan.
“
Oh…Tuhan berilah anakku keselamatan, jadikan ia
Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Dosen malas ini ngajar disuatu kampus negeri yang sebenarnya banyak banget mahasiswanya dosen itu bersetatus honorer dan ia ingin dapet gaji aja tapi bermalas-malasan ngajar. Dia tidak sama sekali memikirkan mahasiswanya yang sebenarnya sangat membutuhkan pengajaran sebagaimana mereka belajar dengan dosen-dosen lain.
Pada siang itu seluruh mahasiswa di Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi, menunggu dosennya masing-masing. Mereka berada dikelasnya juga menunggu dosen. Tapi, dijurusan Akuntansi yang paling lambat dosennya masuk. Mereka penasaran dengan dosen
Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Siapa
sangka kehidupan seorang paranormal itu cuma berakhir disini. Ia yang dulu
sibuk dengan berbagai tugas menyembuhkan penyakit kronis dengan bantuan sesajen
yang terus berasap kemenyan di pojok kamarnya yang redup remang. Hilir mudik pasien dengan membawa sesyaratan
datang memohon dan menghamba. Sulista itu mati dengan tragis di bawah pohon
dekat rumahnya. Semua orang terkejut mendengar berita kematian itu, namun
Darwoto adik kandungnya sendiri hanya masam muka.
Darwoto
terkenal tak pernah mempercayai hasil kerja Kakaknya, ia malah bilang ”Tak ada yang maha penyembuh