Oleh: Mulyadi Saputra
Secangkir
kopi hangat selalu menyertai disetiap diskusi pendek. Tanpa kopi diskusi takkan
berjalan dengan normal. Kata-kata itu selalu muncul untuk memulai perkumpulan
atau duduk bareng sambil diskusi. Empat pria itu selalu kumpul disetiap selesai
kuliah (mata kuliah) atau jam-jam kosong dan juga sewaktu malas masuk dengan
mata kuliah hari itu. Mereka sering menyebutnya sebagai matakuliah ketiga.
Duduk,
nongkrong, ngobrol, diskusi, canda, tawa, ide, solusi, muncul disebuah kantin
umum di depan fakultas disalah satu perguruan tinggi pinggiran tempat mereka
kuliah. Begitu juga kopi sebagai teman sejati yang mengiringi pembincangan asik
hari itu. Mungkin tidak asing lagi dikalangan muda jika berkumpul terus minum
kopi. Jangan salah obrolan warung kopi atau kantin lebih banyak diserap oleh
otak dari pada belajar di dalam kelas dengan suasana yang formal (tapi ingat
ini tidak berlaku untuk semua orang). Mungkin itu dikarnakan kita bebas ketika
berpendapat tanpa malu. Kita sekeritis mungkin mengungkapkan pandangan tanpa
harus segan dan siapapun akan boleh ikut alias terbuka. Bisa minum kopi,
merokok dan bercandapun tidak salah dan dimarahin.
Dani,
Restu, Yadi, Yoko. Sosok lajang
yang selalu mengisi meja paling belakang
kantin. Dengan segelas kopi hideung yang di seruput oleh empat mulut. Diskusi kecil mulai berjalan, kesepakatan
terjadi di meja yang berhias gelas bening yang berisi cairan hitam dan berampas.
Sedikit pahit. Sedikit manis. Juga terlalu sedikit untuk dinikmati berempat.
Terus mengamati jalannya waktu yang sedikit berpihak.
***
Sinar Matahari pancarkan cahaya pagi yang
cerah. Empat sosok perjaka bertemu dan membuka janji yang diawali dengan ucapan
Yadi.
“Sob…. Ntar kumpul di tempat biasa” nyerocos Dani berikutnya.
“Ya…Tu… selepas mata kuliah selesai” Tu,
adalah panggilan si Restu. Restu
tak hanya diam mendengar ajakan teman akrabnya.
“Em…Boleh-boleh…Tunggu aja..” dan Yoko
yang masih diam saja tanpa mengatakan sesuatu. Mereka masuk kelasnmya
masing-masing dan Restu yang berlainan sendiri kelasnya diantara mereka
berempat.
***
Yadi, Dani, Yoko. Mereka telah lebih dulu
keluar dari kelasnya. Mereka langsung menuju sasaran yang telah dijanjikan tadi
pagi. Yaitu tempat biasa (KANTIN). Yadi langsung duduk di kursi yang berbentuk
persegi panjang, disusul Yoko dan selanjutnya Dani sambil meletakkan tas yang
terlihat berat, entah apa isinya.
“Pesan Yad..!” ucap Dani seraya menyuruh
Yadi untuk memesan segelas kopi.
“Ia..Ah...!” seru Yoko untuk memantapkan. Yadi pun berjalan
menuju Ibu yang menjual kopi. Sambil berjalan Yadi bergumam sendiri.
“Benar-benar tidak sabar sepertinya untuk
menghirup kopi, anak-anak itu” sesampainya Yadi dihadapan sang Ibu.
“Bu…Biasa..!” lain pula biasa pada kata
ini, yaitu artinya kopi hideung karena mereka terbiasa memesan kopi setiap
mereka duduk di kantin. Ibu,
sangpenjual kopi menjawab dengan pandangannya yang khas dan senyumnya yang
seperti dipaksa.
“Kopi hideung…?”
ia menjawab pertanyaan sang Ibu sambil berjalan menuju tampat duduk.
“Ya..Bu..!” dia pun langsung beradaptasi
dengan perbincangan antara Dani dan Yoko yang sepertinya baru pengantar, sambil
mengapaskan bokong di kursi. Tak lama kemudian kopi pun datang lebih dulu dari
pada Restu yang ditunggu saat itu.
Percakapan
telah dimulai. Topik perbincangan selalu ada meski tiap hari mereka kumpul dan
ngobrol di situ. Dani, mulai membuka percakapan tentang kegiatan yang akan
mereka jalani bersama. Restu belum juga keluar dari kelasnya.
“Sepertinya Restu asik belajar saat itu” fikir mereka.
Dani,
Yoko dan Yadi terus melanjutkan pembicaraannya yang seperti tidak begitu serius
karena sering tampak mereka tertawa dan senyum terkadang hanya
mengangguk-anggukkan kepala diantara mereka bertiga.
Yadi
yang mempunyai karakter nyeleneh
alias jarang serius dalam setiap obrolan atawa
banyak ketawa. Dani, yang mempunyai tampang serius dan mempunyai otak jitu,
tapi sedikit jarang nyambung, begitu pula Yoko yang sedikit malas kuliah, tapi
suka bicara bla...bla...bla... Terus menghantarkan pada pokok pembicaraan yang
jelas.
Seorang
cowok datang yang mempunyai perawakan tinggi dan langsung melemparkan sebuah
senyuman yang khas. Menyambar di meja tempat tiga orang itu nongkrong.
“Hai
… Serius banget..?” Restu nyeplos
sambil memasang tubuhnya di kursi dan meja kebersamaan. Seraya Dani langsung
menawari Restu kopi.
“Kopi
Tu…!”
“Ehm…”
Restu yang menjawab sambil mengkomat-kamitkan lidah melewati bibirnya. Diteruskan
dengan Yadi yang hanya mendorong gelas yang beralaskan piring kecil
ditengah-tengah meja.
“Lagi ngobrolin apaan kayaknya
serius banget” tanya Restu seakan-akan mendesak untuk secepatnya ia bisa ikut
nyambung dalam obrolan. Yadi mencoba menjelaskan dan Dani turut berpartisipasi
untuk lebih jelas lagi karena ditambah dengan argumen-argumen yang jitu-jitu
tentunya.
***
Tak lama Restu mulai angkat bicara
setelah ia lebih dulu mengangkat gelas yang berisikan kopi untuk dinikmati dan
sebagai penjernih pikiran bagi kalangan remaja seperti empat orang itu.
Sruputan
demi sruputan terus bergilir dari
mulut kemulut untuk menikmati segelas kopi hideung.
Tanpa mereka sadari kopi yang mereka hadapi saat itu terus berkurang sedikit
demi sedikit dengan langkah yang pasti. Namun sama sekali tidak berpengaruh
dengan diskusi yang berjalan meski terkadang diantara mereka berempat terus
memandangi gelas.
Receh
mulai keluar dari saku celana Yadi yang berjumlah enam ratus, bermaksud mencari
tambahan membayar segelas penghantar jalannya otak. Dani, Restu, dan Yoko juga ikut merogoh-rogoh kantong bin saku. Recehpun
terkumpul dengan berbagai nominal yang tertera di logam alias koin penebus.
Angin
sepoy berhembus. Daun-daun bergoyang seakan menertawakan kegiatan yang
dilakukan tiga cowok ganteng-ganteng menghitung receh. Dunia nyengir. Kursi meja putih dan kantin itulah
yang ikut menyaksikan. Mereka berempat tertawa geli. Seketika daun jatuh dan
arloji pun terus berputar menelan waktu dan terkadang mengingatkan mereka,
supaya tidak terlarut dengan diskusi.
***
Sepasi
obrolan berlalu dengan seberkas cahaya terang yang hilang dalam kedipan mata
yang singkat. Tawa sungging terlihat dari wajah Yadi yang mengagumi sosok cahaya
terang selintas. Tak ketinggalan Restu dan Dani yang memuji dan Yoko yang lain
sendiri ia mencoba meredakan keterlenaan teman-temannya. Dan terkadang sela-sela
waktu seperti itu ada karena hadirnya teman-teman diantara kempatnya, seketika
menyambar bagaikan petir dan gunturanya di ibaratkan sapaan-sapaannya.
Hadi,
Irfan dan lainnya juga sering terlibat dalam kelompok pencandu kopi kantin itu.
Mereka juga sering terlibat dalam diskusi yang mengasikkan. Mereka juga gemar
berdiskusi. Seiring dengan itu pula cerita lucu yang menjadi kegemaran untuk
menghilangkan kesetresan yang melanda. Tawa bahak dan komentar pun melayang
seraya dengan mengagumi cerita lucu yang keluar dari ide masing-masing pihak.
***
Bergulir
terus waktu dengan semakin menyusutkan cairan hitam didalam gelas. Dengan
beriringnya waktu mereka terus mengganti dan berpindah alias berganti
topik-topik baru yang terkadang nyangkut diotak dan terkadang hanya celotahan mengisi ruang kantin yang
terkadang ramai terkadang sepi.
Tidak
mungkin secangkir kopi takkan habis bila penikmatnya terus menghirup dengan
hati dan sepenuh jiwa. Para penikmat mulai resah dengan keadaan itu seakan-akan
kebersamaan mereka tinggal sedikit seperti yang dilambangkan dalam gelas yang
dihadapinya. Restu angkat bicara,
“Waduh...kopi mulai terasa euy...!” Yoko
yang hanya senyum dan
menyambutnya dengan ceplosan.
“Kopi gayem aja.. Ha..ha..ha..” Tambah
Dani
“Ia..Tu..”.Seruputan-seruputan terus
beriring meskipun hanya membasahi bibir mereka saja.
***
Hanyutan
waktu menelan beribu masalah dalam suasana kantin kampus. Obrolan yang tak
terhitung jumlah kosa katanya telah terlontar dari pita suara
empat insan kaum Adam. Dari mulai yang layak di diskusikan sampai celotehan dan perkataan pedas mengiring
waktu sampai dengan bergantinya topik bahasan.
Matahari
mulai condong ke arah barat dan jarum jam pun mulai terlewat dari angka yang
besar alias sudah siang. Secangkir cairan pembawa kedamai pun telah habis
memasuki kerongkongan menuju lambung diteruskan oleh darah menuju otak
bermaksud menjernihkan pikiran mereka.
Orang
lain telah bergeser dan pindah dari tempat duduknya berpuluh kali sedangkan
mereka baru ingin pindah dari lapisan pantat. Disitu mulai berangsur sepi.
Recehan yang mumbruk di meja mulai
dilihat. Dani menyuruh Yadi membayar
“Yadi…
Bayar kopinya…” sambil ia menoleh melihat tas hitam yang dipakainya.
“Ya…!”
jawab yadi sambil memungut receh yang mumbruk diatas meja untuk menebus. Restu
pun mengambil tasnya yang tergeletak disamping Yoko. Yadi yang juga meranggeh tas dan jaketnya sambil
berjalannya menuju tempat pembayaran kopi.
Langkah
kaki mereka bertiga mualai berangsur pindah dari kursi dan terlihat turun
kejalan aspal hitam. Sorotan matahari juga menerpa kulit mareka. Sebentar kantin itu langsung sepi dan
senyap dengan ditinggalkan oleh empat orang tersebut.
***
Suatu hari mereka ingin sekali mengikuti
bedah buku di suatu kampus. Mereka satu sama lain menyetujui semua yang telah
mereka rencanakan. Tepat pada hari sabtu waktu itu. Memang mereka sangat
menyukai diskusi dan apalagi itu bedah buku yang bagi mereka suatu pengetahuan
yang sangat bagus mengikuti itu. Wawasan coy. Baginya buku adalah sebuah guru
yang kapan saja bisa mengajarkan tentang apa saja. Buku juga telah
menyelamatkan berapan juta jiwa dari keterpurukan pengetahuan.
Hari yang mereka tentukan telah sampai.
Nanti jam sembilan bedah buku itu dimulainya. Namun mereka punya kesepakatan
kalau berangkatnya lewat kampus dulu. Yadi lebih datang terlebih dahulu
diantara mereka berempat, ia menunggu di depan fakultas sendirian ditemani
sebuah koran harian. Sedangkan Dani menyusul namun tempat ia menunggunya
berbeda, ia menunggu di sebuah teras tempat kreasi seni kampus. Restupun datang
selanjutnya, berbeda pula tempat ia menunggu. Ia menunggu di bawah pohon tempat
mereka sering jumpa disana. Sedangkan Yoko yang kebingungan mencari mereka. Dia
bolak-balik mengelilingi kampus namun ia tidak melihat sama sekali diantara
mereka.
Mereka saling bosan dengan menunggunya. Marah-marah dalam hati mereka berempat. Saling
menuding masalah dan saling menjelekkan. Yadi yang meresa bahwa anak-anak itu
sangat membosankan. Begitu pula Dani yang berfikir bahwa mereka telah
dibohongi. Restu pun merasa kalau dia itu dikerjain sedangkan Yoko yang
benar-benar marah dengan tidak jelasnya informasi mereka semua. Mereka saling
tidak mempunyai ponsel sangat susah sekali menghubungi mereka.
Restu menelpon Yadi ke rumahnya, tapi apa
yang didapat malah kata orang yang dirumahnya Yadi telah pergi. Yadi juga
menghubungi Restu ke rumah tapi jawabannya sama. Sangat kebingungan sekali mereka semua.
“Ngapain kemarin tidak di tentukan tempat
kumpulnya sih...!” Perkataan itu yang menyelimuti benak-benak diantara mereka
semua. Emosi mereka pun mulai membakar karna hari yang panas dan didukung
dengan kebosanan menunggu. Menunggu dan saling menunggu akhirnya mereka tidak jadi semua mengikuti bedah buku yang
seperinya sangat mengasikkan sekali. Mereka satu persatu pulang dengan
kekesalan hati semu.
Esok harinya mereka bertemu pada saat jam
kuliah dan disana juga mereka saling menyalahkan. Mereka saling
melimpahkan emosi. Mereka juga akhirnya
terlibat perseturuan dan diantara mereka berempatpun terjadi pertengkaran kecil.
Merekapun tidak saling menegur.
Dalam benak mereka semua temennya itu adalah brengsek dan kurang ajar.
Setelah kejadian itu merekapun tidak pernah lagi kumpul apalagi diskusi dan
duduk dikantin minum kopi hideng. Itu
semua telah menjadi sejarah dan kenangan masa lalu. Yang seakan akan terus
menghantui benak mereka setiap melewati kantin. Sering sekali Ibu penjual kopi itu menyuruhnya
untuk singgah dan minum kopi bareng seperti yang dulu.
***
Namun keegoisan masing-masing tidak ada
yang mau meminta maaf dan tidak ada satupun yang ingin kebersamaan itu terjalin
lagi karena mereka selalu menoleh kebelakang dan bercermin dengan kisah yang
dulu. Kesalah pahaman seperti itu sebenarnya sangat fatal. Namun mereka tidak
ada satupun yang pernah berfikir tentang itu.
Mereka merasa sangat setres. Saling
mengurung dikamar apa bila mereka selesai kuliah, langsung pulanglah tujuan
utamanya. Restu yang hanya di depan Note Booknya setiap hari. Begitu pula Yadi
yang terus di depan Komputer entah apa yang dia kerjakan. Paling-paling main
game, dan yang lainnya seperti Yoko dan Dani juga tidak begitu jauh
pekerjaannya setelah mereka semua bubar.
Yadi yang sering kali minum kopi di
kantin, hanya melamun dan terlihat kusut mukanya tidak seperti dulu. Benaknya
berkata sendiri.
“Coba aja aku bisa memperbaiki hibungan
ini pasti akan lebih asik dan lebih tidak membosankan seperti sekarang ini.” mungkin
semua orang heran karena biasanya ribut, asik tertawa dan diskusi tapi sekarang
sendiri. Mereka saling memikir apa yang membawa mereka menjadi seperti ini.
Sebenarnya dalam hati mereka ingin sekali seperti yang dulu. Terkadang selintas
dimatanya terlihat bayangan seperti mereka sedang kumpul bareng dan diskusi.
Dalam kesadarannya ia langsung memukulkan tangannya dengan genggaman yang
sangat erat terhempas di meja itu.
Kesadaran bahwa mereka hanya salah paham
telah terfikir dari benak mereka berempat. Namun tidak ada satupun yang mau
mengalah. Suatu saat mereka bertemu dalam suatu diskusi bedah buku di kampus,
mereka hanya saling menatap dan ingat masalalu, seakan ingin sekali menegur.
Belum juga mereka saling menegur. Tidak lama dari itu terlihat Yadi dan Dani
bertemu disuatu kerja kelompok yang mengerjakan tugas dari salah satu Dosen.
Yadi yang menyapa Dani terlebih dahulu itupun sangat terpaksa sekali.
“Dan....Gimana kabarnya..?” tanya Yadi
dengan sedikit gugup dan malu.
“Baik..!” Jawabnya singkat dengan sedikit
senyuman, dan diteruskan dengan pertanyaan balik,
“Kamu gimana..?” seakan mereka telah kembali seperti dulu. Mereka terus
ngobrol seperti orang kesurupan yang tidak pernah ngobrol selama puluhan tahun.
Mereka saling menanyakan tentang sahabatnya Restu dan Yoko. Esoknyapun mereka
membuat undangan untuk minum kopi hideung
bareng di tempat biasa. Datanglah semua. Kumpul kembali seperti yang dulu.
Dunia bahagia saat itu, begitu pula langit yang langsung membuka mendung yang
menutupi, mereka semua tersenyum.
***
Bandung, Maret
2007
No comments:
Post a Comment