Wednesday, January 23, 2013

Secangkir Kopi Untukmu

Oleh: Mulyadi Saputra
 


Secangkir kopi hangat selalu menyertai disetiap diskusi pendek. Tanpa kopi diskusi takkan berjalan dengan normal. Kata-kata itu selalu muncul untuk memulai perkumpulan atau duduk bareng sambil diskusi. Empat pria itu selalu kumpul disetiap selesai kuliah (mata kuliah) atau jam-jam kosong dan juga sewaktu malas masuk dengan mata kuliah hari itu. Mereka sering menyebutnya sebagai matakuliah ketiga.
Duduk, nongkrong, ngobrol, diskusi, canda, tawa, ide, solusi, muncul disebuah kantin umum di depan fakultas disalah satu perguruan tinggi pinggiran tempat mereka kuliah. Begitu juga kopi sebagai teman sejati yang mengiringi pembincangan asik hari itu. Mungkin tidak asing lagi dikalangan muda jika berkumpul terus minum kopi. Jangan salah obrolan warung kopi atau kantin lebih banyak diserap oleh otak dari pada belajar di dalam kelas dengan suasana yang formal (tapi ingat ini tidak berlaku untuk semua orang). Mungkin itu dikarnakan kita bebas ketika berpendapat tanpa malu. Kita sekeritis mungkin mengungkapkan pandangan tanpa harus segan dan siapapun akan boleh ikut alias terbuka. Bisa minum kopi, merokok dan bercandapun tidak salah dan dimarahin.
Dani, Restu, Yadi, Yoko. Sosok lajang
yang selalu mengisi meja paling belakang kantin. Dengan segelas kopi hideung yang di seruput oleh empat mulut. Diskusi kecil mulai berjalan, kesepakatan terjadi di meja yang berhias gelas bening yang berisi cairan hitam dan berampas. Sedikit pahit. Sedikit manis. Juga terlalu sedikit untuk dinikmati berempat. Terus mengamati jalannya waktu yang sedikit berpihak.
***
Sinar Matahari pancarkan cahaya pagi yang cerah. Empat sosok perjaka bertemu dan membuka janji yang diawali dengan ucapan Yadi.
“Sob…. Ntar kumpul di tempat biasa” nyerocos Dani berikutnya.
“Ya…Tu… selepas mata kuliah selesai” Tu, adalah panggilan si Restu. Restu tak hanya diam mendengar ajakan teman akrabnya.
“Em…Boleh-boleh…Tunggu aja..” dan Yoko yang masih diam saja tanpa mengatakan sesuatu. Mereka masuk kelasnmya masing-masing dan Restu yang berlainan sendiri kelasnya diantara mereka berempat.
***
Yadi, Dani, Yoko. Mereka telah lebih dulu keluar dari kelasnya. Mereka langsung menuju sasaran yang telah dijanjikan tadi pagi. Yaitu tempat biasa (KANTIN). Yadi langsung duduk di kursi yang berbentuk persegi panjang, disusul Yoko dan selanjutnya Dani sambil meletakkan tas yang terlihat berat, entah apa isinya.
“Pesan Yad..!” ucap Dani seraya menyuruh Yadi untuk memesan segelas kopi.
“Ia..Ah...!” seru Yoko untuk memantapkan. Yadi pun berjalan menuju Ibu yang menjual kopi. Sambil berjalan Yadi bergumam sendiri.
“Benar-benar tidak sabar sepertinya untuk menghirup kopi, anak-anak itu” sesampainya Yadi dihadapan sang Ibu.
“Bu…Biasa..!” lain pula biasa pada kata ini, yaitu artinya kopi hideung  karena mereka terbiasa memesan kopi setiap mereka duduk di kantin. Ibu, sangpenjual kopi menjawab dengan pandangannya yang khas dan senyumnya yang seperti dipaksa.
“Kopi hideung…?” ia menjawab pertanyaan sang Ibu sambil berjalan menuju tampat duduk.
“Ya..Bu..!” dia pun langsung beradaptasi dengan perbincangan antara Dani dan Yoko yang sepertinya baru pengantar, sambil mengapaskan bokong di kursi. Tak lama kemudian kopi pun datang lebih dulu dari pada Restu yang ditunggu saat itu.
            Percakapan telah dimulai. Topik perbincangan selalu ada meski tiap hari mereka kumpul dan ngobrol di situ. Dani, mulai membuka percakapan tentang kegiatan yang akan mereka jalani bersama. Restu belum juga keluar dari kelasnya.
“Sepertinya Restu  asik belajar saat itu” fikir mereka.
            Dani, Yoko dan Yadi terus melanjutkan pembicaraannya yang seperti tidak begitu serius karena sering tampak mereka tertawa dan senyum terkadang hanya mengangguk-anggukkan kepala diantara mereka bertiga.
            Yadi yang mempunyai karakter nyeleneh alias jarang serius dalam setiap obrolan ­atawa banyak ketawa. Dani, yang mempunyai tampang serius dan mempunyai otak jitu, tapi sedikit jarang nyambung, begitu pula Yoko yang sedikit malas kuliah, tapi suka bicara bla...bla...bla... Terus menghantarkan pada pokok pembicaraan yang jelas.
            Seorang cowok datang yang mempunyai perawakan tinggi dan langsung melemparkan sebuah senyuman yang khas. Menyambar di meja tempat tiga orang itu nongkrong.
            “Hai … Serius banget..?” Restu nyeplos sambil memasang tubuhnya di kursi dan meja kebersamaan. Seraya Dani langsung menawari Restu kopi.
            “Kopi Tu…!”
            “Ehm…” Restu yang menjawab sambil mengkomat-kamitkan lidah melewati bibirnya. Diteruskan dengan Yadi yang hanya mendorong gelas yang beralaskan piring kecil ditengah-tengah meja.
            “Lagi ngobrolin apaan kayaknya serius banget” tanya Restu seakan-akan mendesak untuk secepatnya ia bisa ikut nyambung dalam obrolan. Yadi mencoba menjelaskan dan Dani turut berpartisipasi untuk lebih jelas lagi karena ditambah dengan argumen-argumen yang jitu-jitu tentunya.
***
            Tak lama Restu mulai angkat bicara setelah ia lebih dulu mengangkat gelas yang berisikan kopi untuk dinikmati dan sebagai penjernih pikiran bagi kalangan remaja seperti empat orang itu.
            Sruputan demi sruputan terus bergilir dari mulut kemulut untuk menikmati segelas kopi hideung. Tanpa mereka sadari kopi yang mereka hadapi saat itu terus berkurang sedikit demi sedikit dengan langkah yang pasti. Namun sama sekali tidak berpengaruh dengan diskusi yang berjalan meski terkadang diantara mereka berempat terus memandangi gelas.
            Receh mulai keluar dari saku celana Yadi yang berjumlah enam ratus, bermaksud mencari tambahan membayar segelas penghantar jalannya otak. Dani, Restu, dan Yoko juga ikut merogoh-rogoh kantong bin saku. Recehpun terkumpul dengan berbagai nominal yang tertera di logam alias koin penebus.
            Angin sepoy berhembus. Daun-daun bergoyang seakan menertawakan kegiatan yang dilakukan tiga cowok ganteng-ganteng menghitung receh. Dunia nyengir. Kursi meja putih dan kantin itulah yang ikut menyaksikan. Mereka berempat tertawa geli. Seketika daun jatuh dan arloji pun terus berputar menelan waktu dan terkadang mengingatkan mereka, supaya tidak terlarut dengan diskusi.
***
            Sepasi obrolan berlalu dengan seberkas cahaya terang yang hilang dalam kedipan mata yang singkat. Tawa sungging terlihat dari wajah Yadi yang mengagumi sosok cahaya terang selintas. Tak ketinggalan Restu dan Dani yang memuji dan Yoko yang lain sendiri ia mencoba meredakan keterlenaan teman-temannya. Dan terkadang sela-sela waktu seperti itu ada karena hadirnya teman-teman diantara kempatnya, seketika menyambar bagaikan petir dan gunturanya di ibaratkan sapaan-sapaannya.
            Hadi, Irfan dan lainnya juga sering terlibat dalam kelompok pencandu kopi kantin itu. Mereka juga sering terlibat dalam diskusi yang mengasikkan. Mereka juga gemar berdiskusi. Seiring dengan itu pula cerita lucu yang menjadi kegemaran untuk menghilangkan kesetresan yang melanda. Tawa bahak dan komentar pun melayang seraya dengan mengagumi cerita lucu yang keluar dari ide masing-masing pihak.
***
            Bergulir terus waktu dengan semakin menyusutkan cairan hitam didalam gelas. Dengan beriringnya waktu mereka terus mengganti dan berpindah alias berganti topik-topik baru yang terkadang nyangkut diotak dan terkadang  hanya  celotahan mengisi ruang kantin yang terkadang ramai terkadang sepi.
            Tidak mungkin secangkir kopi takkan habis bila penikmatnya terus menghirup dengan hati dan sepenuh jiwa. Para penikmat mulai resah dengan keadaan itu seakan-akan kebersamaan mereka tinggal sedikit seperti yang dilambangkan dalam gelas yang dihadapinya. Restu angkat bicara,
“Waduh...kopi mulai terasa euy...!” Yoko yang hanya senyum dan
menyambutnya dengan ceplosan.
“Kopi gayem aja.. Ha..ha..ha..” Tambah Dani
“Ia..Tu..”.Seruputan-seruputan terus beriring meskipun hanya membasahi bibir mereka saja.
***
            Hanyutan waktu menelan beribu masalah dalam suasana kantin kampus. Obrolan yang tak terhitung jumlah kosa katanya telah terlontar dari pita suara empat insan kaum Adam. Dari mulai yang layak di diskusikan sampai celotehan dan perkataan pedas mengiring waktu sampai dengan bergantinya topik bahasan.
            Matahari mulai condong ke arah barat dan jarum jam pun mulai terlewat dari angka yang besar alias sudah siang. Secangkir cairan pembawa kedamai pun telah habis memasuki kerongkongan menuju lambung diteruskan oleh darah menuju otak bermaksud menjernihkan pikiran mereka.
            Orang lain telah bergeser dan pindah dari tempat duduknya berpuluh kali sedangkan mereka baru ingin pindah dari lapisan pantat. Disitu mulai berangsur sepi. Recehan yang   mumbruk di meja mulai dilihat. Dani menyuruh Yadi membayar
            “Yadi… Bayar kopinya…” sambil ia menoleh melihat tas hitam yang dipakainya.
            “Ya…!” jawab yadi sambil memungut receh yang mumbruk diatas meja untuk menebus. Restu pun mengambil tasnya yang tergeletak disamping Yoko. Yadi yang juga meranggeh tas dan jaketnya sambil berjalannya menuju tempat pembayaran kopi.
            Langkah kaki mereka bertiga mualai berangsur pindah dari kursi dan terlihat turun kejalan aspal hitam. Sorotan matahari juga menerpa kulit mareka. Sebentar kantin itu langsung sepi dan senyap dengan ditinggalkan oleh empat orang tersebut.
***
Suatu hari mereka ingin sekali mengikuti bedah buku di suatu kampus. Mereka satu sama lain menyetujui semua yang telah mereka rencanakan. Tepat pada hari sabtu waktu itu. Memang mereka sangat menyukai diskusi dan apalagi itu bedah buku yang bagi mereka suatu pengetahuan yang sangat bagus mengikuti itu. Wawasan coy. Baginya buku adalah sebuah guru yang kapan saja bisa mengajarkan tentang apa saja. Buku juga telah menyelamatkan berapan juta jiwa dari keterpurukan pengetahuan.
Hari yang mereka tentukan telah sampai. Nanti jam sembilan bedah buku itu dimulainya. Namun mereka punya kesepakatan kalau berangkatnya lewat kampus dulu. Yadi lebih datang terlebih dahulu diantara mereka berempat, ia menunggu di depan fakultas sendirian ditemani sebuah koran harian. Sedangkan Dani menyusul namun tempat ia menunggunya berbeda, ia menunggu di sebuah teras tempat kreasi seni kampus. Restupun datang selanjutnya, berbeda pula tempat ia menunggu. Ia menunggu di bawah pohon tempat mereka sering jumpa disana. Sedangkan Yoko yang kebingungan mencari mereka. Dia bolak-balik mengelilingi kampus namun ia tidak melihat sama sekali diantara mereka.
Mereka saling bosan dengan menunggunya. Marah-marah dalam hati mereka berempat. Saling menuding masalah dan saling menjelekkan. Yadi yang meresa bahwa anak-anak itu sangat membosankan. Begitu pula Dani yang berfikir bahwa mereka telah dibohongi. Restu pun merasa kalau dia itu dikerjain sedangkan Yoko yang benar-benar marah dengan tidak jelasnya informasi mereka semua. Mereka saling tidak mempunyai ponsel sangat susah sekali menghubungi mereka.
Restu menelpon Yadi ke rumahnya, tapi apa yang didapat malah kata orang yang dirumahnya Yadi telah pergi. Yadi juga menghubungi Restu ke rumah tapi jawabannya sama. Sangat kebingungan sekali mereka semua.
“Ngapain kemarin tidak di tentukan tempat kumpulnya sih...!” Perkataan itu yang menyelimuti benak-benak diantara mereka semua. Emosi mereka pun mulai membakar karna hari yang panas dan didukung dengan kebosanan menunggu. Menunggu dan saling menunggu akhirnya mereka  tidak jadi semua mengikuti bedah buku yang seperinya sangat mengasikkan sekali. Mereka satu persatu pulang dengan kekesalan hati semu.
Esok harinya mereka bertemu pada saat jam kuliah dan disana juga mereka saling menyalahkan. Mereka saling melimpahkan  emosi. Mereka juga akhirnya terlibat perseturuan dan diantara mereka berempatpun terjadi pertengkaran kecil. Merekapun tidak saling menegur.
Dalam benak mereka semua  temennya itu adalah brengsek dan kurang ajar. Setelah kejadian itu merekapun tidak pernah lagi kumpul apalagi diskusi dan duduk dikantin minum kopi hideng. Itu semua telah menjadi sejarah dan kenangan masa lalu. Yang seakan akan terus menghantui benak mereka setiap melewati kantin.  Sering sekali Ibu penjual kopi itu menyuruhnya untuk singgah dan minum kopi bareng seperti yang dulu.
***
Namun keegoisan masing-masing tidak ada yang mau meminta maaf dan tidak ada satupun yang ingin kebersamaan itu terjalin lagi karena mereka selalu menoleh kebelakang dan bercermin dengan kisah yang dulu. Kesalah pahaman seperti itu sebenarnya sangat fatal. Namun mereka tidak ada satupun yang pernah berfikir tentang itu.
Mereka merasa sangat setres. Saling mengurung dikamar apa bila mereka selesai kuliah, langsung pulanglah tujuan utamanya. Restu yang hanya di depan Note Booknya setiap hari. Begitu pula Yadi yang terus di depan Komputer entah apa yang dia kerjakan. Paling-paling main game, dan yang lainnya seperti Yoko dan Dani juga tidak begitu jauh pekerjaannya setelah mereka semua bubar.
Yadi yang sering kali minum kopi di kantin, hanya melamun dan terlihat kusut mukanya tidak seperti dulu. Benaknya berkata sendiri.
“Coba aja aku bisa memperbaiki hibungan ini pasti akan lebih asik dan lebih tidak membosankan seperti sekarang ini.” mungkin semua orang heran karena biasanya ribut, asik tertawa dan diskusi tapi sekarang sendiri. Mereka saling memikir apa yang membawa mereka menjadi seperti ini. Sebenarnya dalam hati mereka ingin sekali seperti yang dulu. Terkadang selintas dimatanya terlihat bayangan seperti mereka sedang kumpul bareng dan diskusi. Dalam kesadarannya ia langsung memukulkan tangannya dengan genggaman yang sangat erat terhempas di meja itu.
Kesadaran bahwa mereka hanya salah paham telah terfikir dari benak mereka berempat. Namun tidak ada satupun yang mau mengalah. Suatu saat mereka bertemu dalam suatu diskusi bedah buku di kampus, mereka hanya saling menatap dan ingat masalalu, seakan ingin sekali menegur. Belum juga mereka saling menegur. Tidak lama dari itu terlihat Yadi dan Dani bertemu disuatu kerja kelompok yang mengerjakan tugas dari salah satu Dosen. Yadi yang menyapa Dani terlebih dahulu itupun sangat terpaksa sekali.
“Dan....Gimana kabarnya..?” tanya Yadi dengan sedikit gugup dan malu.
“Baik..!” Jawabnya singkat dengan sedikit senyuman, dan diteruskan dengan pertanyaan balik,
Kamu gimana..?” seakan mereka telah kembali seperti dulu. Mereka terus ngobrol seperti orang kesurupan yang tidak pernah ngobrol selama puluhan tahun. Mereka saling menanyakan tentang sahabatnya Restu dan Yoko. Esoknyapun mereka membuat undangan untuk minum kopi hideung bareng di tempat biasa. Datanglah semua. Kumpul kembali seperti yang dulu. Dunia bahagia saat itu, begitu pula langit yang langsung membuka mendung yang menutupi, mereka semua tersenyum.
***
Bandung, Maret 2007


                      >>>Baca-baca artikel "Klik"<<<

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.