Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
“Din…hati-hati di sana. Raihlah cita-citamu.
Jadilah orang yang berguna.” ia bersalaman dan mencium tangan Ibunya. Sunarti
sangat sedih sekali karena dia adalah anak semata wayang. Ibunya berbisik
sedikit terputus dengan isakan tangis kecil yang tak kuat lagi ia tahan.
“
Oh…Tuhan berilah anakku keselamatan, jadikan ia
orang yang berguna nantinya, kabulkanlah apa yang tersirat di benaknya.” saat itu sang Ibu meneteskan air mata dan mengenai kepala Udin.
orang yang berguna nantinya, kabulkanlah apa yang tersirat di benaknya.” saat itu sang Ibu meneteskan air mata dan mengenai kepala Udin.
“Ibu jangan pernah pikirkan bagaimana aku
hidup di sana. Doakan Udin semoga kerasan disana. Doakan juga agar aku sukses
dan tak kecewakan Ibu” Ibu hanya menganggukkan kepala.
“Itu
pasti terus Ibu laksanakan” seraya Sang Ibu mengelus kepala Udin pertanda
sebegitu sayangnya ia pada Udin.
Langkah
kakinya tanpa ragu terus berjalan tanpa menoleh kebelakang. Ia harus terhanyut
dengan dinginnya pagi dan tetes embun yang sejuk. Ia pun terus berjalan, namun
air matanya menetes tanpa disadari, kaki Udin pun bergetar seakan tidak kuat
untuk melangkah meski tadinya begitu tegar. Hatinya serasa tidak tega
meninggalkan Ibunya sendirian dirumah, lagi pula rumahnya, sedikit jauh dari
tetangga, kekhawatiran Udin sangat membebani perasaan meskipun ibunya pernah berkata.
“Jangan
fikirkan Ibu bagaimana disini, tetapi fikirkan bagaimana kamu bisa merubah
kehidupan kamu.” Sepertinya perkataan itu tidak bisa menenangkan hatinya, meskipun
ia mempunyai hati yang keras seperti batu dan pantang menyerah serta tak pernah
sedih.
Sang
Ibu terus melihat kepergian anaknya sampai termakan oleh tebalnya embun pada
pagi itu. Setelah kepergian Udin, sang Ibu selalu sedih dan menangis teringat
anak tercinta dan nasibnya di kampung orang. Begitu pula Udin selama di
perjalanan ia juga selalu menangis dan merasa bayangan ibunyalah yang duduk di
depan kursinya. Kerap sekali ia memanggil orang tersebut dengan panggilan.
“Bu”
Dan orang itu menjawabnya,
“Ada apa Nak..?” dan ia kembali bertanya
pada Udin, “Kamu akan merantau ya…?” tanya lagi orang itu. Udin menjawab dengan nada sedih.
“Ya
Bu, tapi aku baru pertama kalinya pisah dari Ibuku, terus Ibuku hanya tinggal
sendiri disana Bu…” Ibu itu berkata lagi padanya.
“Yang
tabah dalam menghadapi cobaan, pasti kamu akan sukses” disela-sela perkataan Ibu itu ia bergumam lirih dan berulang ulang
kali.
“Amin….Amin…Amin” mereka terus ngobrol sepanjang
perjalanan, namun Ibu itu berhenti di Bandar Lampung, karena ia memang
bertujuan ke sana. Kini ia harus sendiri lagi. Ia terus sedih dan sekali-kali
tetesan air matanya masih terlihat di pipinya.
***
Sunarti
selalu sendiri disetiap waktu dan setiap hari-harinya, ia selalu teringat akan
keadaan Udin. Memang cinta seorang Ibu tiada bandingnya meski itu tidak
terlihat dan hanya bisa dirasakan. Sunarti ingat saat ia memarahi, saat
permintaan Udin yang tak ia turuti pada waktu mereka masih bersama-sama. Canda
dan tawanya yang membuat Sunarti terus gelisah dan membayangi mimpi buruk
setiap malam.
***
Sebelumnya
Udin sekolah SMA di pinggiran kota Riau. Setiap pagi ia berangkat
kesekolah, tanpa rasa malas dan rasa
jenuh meski harus berjalan sekitar dua kilo meter dari rumahnya. Sejuk dan
dinginnya udara pagi dan panas matahari siang juga selalu mengiringi saat Udin
berangkat dan pulang dari sekolahnya. Tetapi memang watak Udin yang pantang
menyerah, maka ia sangat semangat sekali untuk mengukir ilmu di sana, baginya
itu suatu tantangan yang sangat menarik.
Ibunya
terkadang mengantar sampai depan rumah saat ia mau berangkat karena
kebiasaannya yang pamit sambil mencium tangan, membuat Ibunya terpanggil untuk
selalu mengantar. Memang dari dulu Ibunya sangat sayang dengannya dan ia adalah
satu-satunya harapan sang Ibu karena Ayahnya telah Meninggal sejak ia dalam kandungan. Udin
setiap pagi selalu dibekali dengan ucapan ibu.
“Din…baik-baik
di sekolah belajar dengan benar.” itu adalah bekal yang selalu dibawa setiap
mau berangkat sekolah, karena kalau bekal uang hanya kadang-kadang meski ada
juga palingan cukup untuk membeli tiga tahu pada saat itu, air minumlah yang
selalu tak lupa ia bawa dari rumah. Tapi ia tak pernah merasa terbebani dengan
gaya hidup yang dia anut karena dia anak seorang janda miskin yang hanya
mempunyai pekerjaan tukang buat kue dan dititipkan kewarung-warung di sekitar
kampungnya.
***
Semenjak
kelas dua SMA ia mulai nakal dan bergaul tidak karuan karena ia sudah berani
bolos sekolah yang terpengaruh dengan teman-temannya dan disana ia hanya
bersenang-senang seperti merokok, dan lain-lainnya. Sama sekali ia tak
membayangkan betapa Ibunya sangat mengharapkan ia belajar dengan serius.
Sepertinya itu tidak seberapa karena ia pun telah punya pacar dan ia selalu
jalan-jalan terus tak pernah memikirkan pelajaran dan sekolah meski dahulu ia
rajin baca buku rajin belajar dan jarang bermain diluar, baginya itu tidak
bermakna dan tak mengandung ilmu.Tapi, sekarang semua telah berbeda, kini ia
tidak pernah ingat akan kata-kata Ibunya dan juga bagaimana Ibunya mencarikan
uang untuk membayar SSP, membanting tulang untuk memenuhi itu semua.
Setelah
lama kelamaan ia pun sadar karena sebentar lagi UN dan dia harus belajar dengan
rajin supaya lulus nantinya, seperti harapan sang Ibu. Mulai dari itu pula ia
dianggap sombong oleh teman-temannya karena tak pernah bermain bersama mereka
dan akhirnya ia pun disebut penghianat. Anggapan-anggapan seperti itu tak
membuat ia kembali kejalan sesat, tetapi ia tetap tegar dan ia berusaha untuk
merubah segala kegiatan yang baginya sebuah penghianatan terhadap Ibunya.
Sampai akhirnya ia tak punya teman dan ia selalu dirumah membantu Ibunya
membuat kue dan mengantarkan ke warung-warung langganan. Kegiatan seperti itu
ia lakukan dengan Ibunya pada pukul empat subuh, dan mengantarkannya sambil ia
berangkat sekolah dan mengambilnya pada sore hari.
Sampailah waktu dia UN. Ia pun lulus dengan
nilai yang sangat Ibunya dambakan.
“Mungkin
Tuhan mendengar doa saya dan doa anak saya.” gumam Ibunya dalam hati seraya
berterimakasih.“Terima kasih Tuhan telah
mengabulkan doa kami.” Rasa syukur Ibunya tercurah saat ia selesai solat. Udin sangat gembira
sekali karna ia telah bisa membuat Ibunya senang dan tertawa.
***
Setahun
lamanya Udin pergi dari kampung halamannya. Sang Ibu terus menanti kabar
anaknya tercinta itu. Tapi sepertinya Udin tak pernah ingat lagi akan keadaan
Ibunya. Dalam pikiran sang Ibu.
“Mungkin
Udin telah hidup mewah atau ia tak ada uang lagi yang sisa untuk kirim surat.” sangat
bermacam-macam sekali perasangka yang ada dalam benak sang Ibu yang sangat
merindukan anak tersayangnya. Seperti yang dikatakan Plato bahwa rindu merupakan aktivitas jiwa yang
kosong. Sedangkan Aristoteles berkata bahwa rindu adalah sebagai akibat dari
butanya perasaan yang bersangkutan dari melihat kekurangan yang ada dalam diri orang
yang dicintainya. Namun, Al-Jahizh lain pula rindu adalah konsekuensi dari
cinta yang berlebihan. Tak mengerti juga sepertinya sang Ibu dengan pendapat
tokoh itu. Karena ia tidak pernah baca buku, bahkan ia tidak bisa baca tulis
latin melainkan Arab Melayu.
Gunjingan warga kampung mulai terdengar karena
melihat Sunarti semakin kurus dan semakin terlihat tua, bertambah pula bebannya
dengan gunjingan-gunjingan yang tidak nyaman di telinga. Sunarti selalu
tampakkan ketegaran bila ia bersama warga kampung, untuk memperlihatkan
bahwasanya ia tidak sedih dan selalu gembira. Sepertinya warga kampung tidak
bisa dibohongi dengan tingkahnya, gunjingan demi gunjingan selalu sampai di
telinganya.
“Makanya
kalau punya anak jangan di suruh kerja jauh-jauh.” tambah warga kampung yang
lainnya. “Kalau sudah jauh, apa lagi dia sekarang sudah enak enggak bakalan
lagi dia ingat sama Ibunya.” tambahan-tambahan seperti pupuk yang membuat
semakin berfariasinya gunjingan itu. “Apa lagi sama orang di kampung, sedangkan
dengan Ibunya saja tidak ingat...” ia semakin sakit hati dan tertekan dengan
perkataan-perkataan itu dan Sunarti juga terkadang sempat berfikir.
“Apakah yang dikatakan orang kampung itu
benar...?” Kebimbangan Sunarti hanya terjawab bila anaknya pulang.
“Kapan
Udin akan pulang...?” Pertanyaan yang selalu muncul difikirannya sebagai sosok Ibu yang terkena Virus
kerinduan.
***
Lima
tahun kemudian. Sunarti terus menanti tanpa ada rasa bosan sedikitpun, meski
tanpa ada sedikitpun burung yang membawa kabar tentang Udin. Sungguh sangat
malang sekali nasib sang Ibu itu yang merindukan seseorang tanpa balas
sepertinya. Ia terus berdoa untuk keselamatan anaknya.
“Tuhan
lindungi anakku jauhkan dari segala dosa-dosa, berikan kesehatan dan ketegaran
supaya ia sukses.Begitu pula aku yang selau menantinya disini dan berikan pula
padanya ingatan tentang aku supaya ia memberi kahabar dan ia ingin pulang dalam
waktu dekat ini karena aku sudah sangat merindukannya.” Sunarti terus berdoa
setiap ia selesai solat dan setiap kali ia ingat dengan Udin.
***
Udin
sebenarnya juga selalu ingat akan ibunya tetapi, apa mau dikata keadaan yang
sebegitu rumit dan sebegitu susahnya hidup di kota metropolitan. Untuk makan sehari-hari saja ia sangat
sulit apalagi harus mengirim surat atau pulang kampung. Berbagai pekerjaan ia
coba dari pengamen, buruh, kuli bangunan sampai calo terminal, dan sekarang ia
kerja di sebuah perusahaan. Ia sangat syukur sekali dengan pekerjaan yang
sekarang ia jalani meski sebenarnya ia seorang bawahan yang selalu disuruh-suruh
terus dan di omeli itu adalah sarapan paginya.
Udin
mulai mempunyai keinginan untuk kirim surat dengan ibunya karna ia juga sangat
merindukan Ibunya. Malam itu pula ia membuat surat, setelah selesai ia
memasukkan ke amplop. Ia pun mencari alamat yang pernah ia catat sebelum berangkat merantau dulu. Ternyata tidak ketemu
alamat itu sampai akhirnya ia bongkar semuanya dokumen-dokumen yang ada, tetapi
tak ada hasil juga. Ia berkata sendiri pada saat kebingungan.
“Apa
alamat itu tercecer saat aku masih tak punya rumah dulu ya..?” kebingungan Udin
membawanya tidak tidur semalam penuh. Tak juga alamat itu ia temukan. Hanya
mendapat hasil ngantuk pada saat jam kerja dan ia pun mendapat omelan dari
atasannya.
***
Setelah
beberapa bulan kemudian ia naik pangkat alias naik jabatan, beribu syukur
selalu ia panjatkan karena ia memang sangat sadar kalau itu adalah sebagian
dari kasih sayang Tuhan kepada hambanya. Merangkaknya jabatan Udin tak lagi
lambat tetapi meluncur seperti roket karena tidak lama dari itu ia naik pangkat
lagi. Ia selalu di percaya karena dengan
kejujuran, ketekunan kerja dan disiplin serta ia yang tak kenal lelah meski itu
bukan pekerjaannya ia selalu mencoba membantu semampunya. Atasan yang
melihatnya sangat terkesan dan dianggap Udin sanggup untuk mengemban
tugas-tugas yang mereka berikan.
Setelah
lama kelamaan ia berpikiran kalau ia merasa tidak sempurna jika selalu
sendirian dan ia pun merasa kalau begini terus siapa yang memperhatikan dia.
Dan ia pun berkeinginan untuk menikah, tetapi ia tak kan lakukan itu tanpa dilihat dan disaksikan oleh sang Ibu yang
tercinta, oleh karena itu Udin mulai berencana untuk pulang kampung dan mengajak calon istri,
karena Udin ingin menikah disana jika sang Ibu merestui mereka berdua. Ibunya
dulu pernah berkata
“Din...jika
kau menikah Ibu ingin sekali yang mendampingi dan kau mencari istri yang baik,
terus bisa mengerti kamu dan Ibu.” dengan kata itu pula Udin ingin pulang sesegera
mungkin tapi ia takut dan cemas kalau Ibunya telah tiada. Ia juga pernah
berjanji pada dirinya sendiri,
“Aku
tak kan menikah dengan seseorang yang tidak di restui oleh ibu.” Udin pun selalu
ingat perkataan itu, baginya sang ibu adalah seorang yang sanggup menjadi dewan
juri dalam hidupnya.
Siang ini Udin diangkat sebagai kepala
Supervisior di perusahan tempat ia berkerja. Karir Udin pun benar-benar meluncur cepat seperti
roket, berawala Sales Marketing dan terus naik sampai dengan sekarang ini, Udin
pun selalu sadar kalau ini tidak pernah lepas dari kasih sayang Allah terhadap
Umatnya dan terkabulnya doa dia dan doa Ibunya. Karna dia tahu persis bahwa
Ibunya lah yang terus mendoakan dalam suasana apa pun dan ia pun yakin kalau
Ibunya masih ada dan ia mulai ingin pulang dalam waktu dekat ini. Keyakinan itu
timbul saat dia merasakan bahwa sentuhan hangat sang Ibu selalu hadir di setiap
waktu. Malam itu juga dia bermimpi, dalam mimpinya ia bertemu dengan seorang
Ibu yang menangis di balik pohon, Udin pun mendekati ibu-ibu tersebut.
“Ada
apa Bu... kok menangis..?” tanya
Udin disambung dengan pertanyaan selanjutnya. “Ibu sedang sakit ya..?” Ia bertanya
semakin mendesak sang Ibu menjawab dengan sedetail mungkin.
“Ibu lapar..?” Dengan wajah sedih pula. Ia pun
menjawab.
“Aku
tidak sakit dan tidak lapar aku hanya rindukan anakku yang telah pergi” Udin
pun langsung terjaga, sesaat dia langsung berfikir bahwasanya Ibunya sangat
merindukan dia seperti seorang Ibu yang didalam mimpinya itu dan ia langsung
mencuci muka (wudlu) dan melaksanakan solat tahajud. Ia merasa kalau sebenarnya
itu adalah ratapan Ibunya yang sangat merindukan dia, begitu pula dia yang
sangat merindukan Ibunya juga.
Calon
istri Udin itu bernama Amelia yang sebenarnya takut untuk bertemu dengan calon
martuanya karna Udin telah banyak cerita tentang dia dan ibunya. Ia takut kalau
saja orang tua Udin tidak menyetujui mereka berdua maka mereka akan gagal
menikah dan yang pasti Ia akan sangat kecewa karena ia juga sangat mencintai
Udin. Dia kagum karena Udin selalu tegar dalam menghadapi semua rintangan yang
dilaluinya tanpa harus meratap.
Sampailah
waktunya Udin pulang kampung sesuai yang Ibunya harapkan. Bersamaan dengan itu
pula Sunarti sakit keras dan selalu menyebut-nyebut nama Udin sampai-sampai
orang di kampung itu semua bingung, mereka ingin menghubungi Udin, tetapi
mereka semua tidak tahu ia ada dimana dan harus menghubungi siapa juga tidak
ada yang mengetahui keberadaan Udin.
“Memang
Udin telah lupa dengan Ibunya.” Seorang warga pun menjawab dengan remehnya.
“Biasa...!”
Tambahnya dengan hati yang kesal. “Kalau orang sudah enak itu pasti lupa
seperti kata pepatah itu.....Kacang lupa dengan kulitnya....Ha..ha..ha...” Perkataan itu keluar dari mulut warga
karena mereka sangat kecewa sekali dengan Udin. Mereka adalah warga kampung
yang menunggu saat Sunarti sakit.
Dalam perjalanan Udin sangat gelisah dan ingin
sekali cepat-cepat sampai kekampung. Ia merasa perjalanan itu sangat lambat
sekali seakan-akan pesawat yang ia tumpangi itu sebuah becak yang
terhenti-henti dan melewati jalan yang macet. Amelia terus menasehati Udin,
melihat kekasihnya begitu gelisah.
“Bang...yang
sabar, tenanglah, Ibu pasti tidak apa-apa kok, pasti semua akan baik-baik
saja.” Ia meyakinkannya dengan pelukan mesra dan sesekali ia menyandarkan
kepalanya di bahu Udin sambil mengelus-ngelus punggung kekasihnya. Namun
kegelisahan dan kecemasan Udin seperti tidak terobati dengan pelukan dan elusan
Amelia, Udin selalu bertanya-tanya dalam hati.
“Bagaimana
keadaan Ibuku...?”
***
Kampung
yang ia tuju sudah dekat. Ia sedikit lupa dan bingung dengan jalan-jalan yang
berubah, ia baru sadar kalau sebenarnya ia telah meninggalkan kampung sangat
lama sekali. Ia bingung sekali dan ia pun memutuskan untuk bertanya tetapi hari
itu sangat sepi, ia terus berjalan beriringan dengan Amelia sampai akhirnya ia
bertemu seorang pemuda dan ia pun bertanya dengan orang itu.
“Mas..Mas..tau
rumahnya Bu Sunarti ga’...?” padahal yang dia tanya itu adalah orang yang baru
pulang dari menjenguk Ibunya , jawabnya dengan tatapan tajam kearah kedua orang
itu.
“Ini ...rumahnya.” jawab Iwan.
“Makasih...Mas.” sahut dengan tergesa-gesa.Tanya Iwan
dalam benaknya sendiri.
“Sepetinya
aku pernah bertemu dan melihat orang itu, tapi siapa ya...?. Kalau istrinya
perasaan aku belum pernah ketemu.... cantik banget lagi..?” Iwan adalah salah satu teman kecil Udin, dulu mereka
sering bermain bersama. Terus bertanya-tanya dalam benak Iwan. Perasangka demi
perasangka mulai keluar dari dalam hati.
“Apa
dia orang kampung sebelah ya..?.Atau dia seorang dokter yang mendengar ada
orang sakit disini terus ia datang untuk
menolongnya,... atau dia Udin...? Atau
dia saudaranya yang dari Tanjung Balai..” beribu pertanyaan tentang udin
didalam benaknya namun tak satu pun yang terjawab dan ia pun memutuskan tidak
jadi pulang alias ia kembali lagi kerumah Sunarti untuk memastikan sebenarnya
sepasang manusia itu siapa.
Sesampainya
disana Udin langsung teriak
“Ibu...ini
Udin pulang..!” Ia lari dan tanpa ia sadar melepas sepatunya langsung saja ia masuk
kamar kecil tempat Ibunya terbaring selama sakit. Setelah ia masuk, ia sangat
heran Ibunya telah dikerumuni banyak orang dan ia masuk dan langsung memeluknya
sambil teriak histeris seperti orang yang kesurupan yang tak kenal akan orang
yang nimbrung sebegitu banyak
“Ibu.....!
Maafin Udin Bu...!”.Mendengar teriakan itu sang Ibu yang tadinya lemah tidak mampu
berbicara dan langsung berkata seperti memaksakan kehendak karena suaranya
terputus-putus seakan tali pita suaranya sudah rusak dan terbelit-belit.
“Udin....Ibu sangat rindu sama kamu...!” mereka
berdua menangis dan Ibunya seakan-akan langsung sehat setelah bertemu dengan
anak kesayangannya. Semua warga yang menunggu heran dan calon istri Udin pun
hanya terdiam dan terpaku menatap kedua insan yang sedang berpelukan itu.
***
Udin dan Ibunya terus ngobrol sebagai pelepas
rindunya. Dia pun tidak begitu memperdulikan Amelia. Ia cerita tentang bagaimana
dia di Jakarta dan hiruk pikuknya yang seperti akan hidup dan akan mati itu.
Begitu pula Ibunya yang terus bertanya dan bercerita bagaimana ia hidup saat di tinggal pergi anaknya dan
jungkir balik ia bertahan untuk dapat bertemu dengan dia. Begitu seterusnya
sampai malam hari dan tengah malam terjelang dengan kerinduan yang tercurahkan.
Amelia
semakin terpojok. Ia serasa menjadi orang yang sangat asing diantara Ibu dan
calon suaminya. Malam itu dia duduk sendiri di depan rumah yang dipenuhi dengan
kegelapan.Ia terus berfikir, ia juga semakin bingung dengan keterpojokannya.
“Apa
sebenarnya Ibu itu tidak suka denganku.” fikirnya selintas dengan sedikit
kegelisahan dalam jiwa. ”Abang sepertinya sudah tak sayang lagi denganku. Kalau dia sayang pasti temanin aku
sekarang ini.” gumamnya dalam hati seperti akan menangis alias ngondok-ngondok. Rindu dengan Jakarta
juga seperti umpan kemelud dalam jiwa Amelia. ”Mendingan aku pulang ke Jakarta.
Atau ...” Seiring tetesan air mata pertama jatuh dari mata yang sayu dan
mengalir di pipinya yang lebut seperti tisu. Jika saja ada cowok lewat malam
itu pasti ia akan mampir, karna tidak tega melihat cewek secantik itu dibiarkan
menangis dan sedih. Bintang bertaburan seakan ikut merasakan kesedihan yang
dialami sang gadis malam itu.
Datang
Udin mengagetkan dengan memukul bahu sang kekasih tercintanya.
”Hai....melamun aja. Nggak kerasan ya....?
Apa nggak enak tempatnya..?” tanya udin sambil tersenyum dan terus memegang
bahu Amelia yang duduk di depan teras. Amelia sama sekali tidak membuka mulutnya
hanya ia menggelengkan kepala bermaksud menjawab pertanyaan yang super basi
baginya.
”Kok
keluar..? Bukannya...” potong Udin yang sepertinya ia tahu kalau perkataan itu
akan sedikit menyinggung.
”Abang
hanya ingin menyuruh adek masuk. Soalnya udara malam tidak begitu bagus. Ntar masuk angin lagi kan berabe
jadinya.” nasehat Udin sepertinya dituruti olehnnya dengan gerakan kaki yang
melangkah menuju pintu masuk. Tapi sedikit terlihat bahwasanya ada sedikit
kesal yang menyelimuti hatinya.
Sebelum
tidur Amelia melamun dan berhayal andai saja dia pulang sendiri ke Jakarta
tanpa Udin. Rasa putus asa mulai terasa dengan watak dan sifat Udin yang
semakin tidak perhatian dengannya. Memang Udin selalu dengan Ibunya. Mungkin
karena sangking rindunya dan sudah berapa tahun mereka tidak bertemu seperti
sekarang ini.
Namun
ego Amelia selalu muncul, hanya dia
yang ingin dimengerti dan ingin diperhatikan oleh Udin. Akhirnya Amelia tertidur dengan pikiran yang kalut dan
sedikit ada rasa kekesalan.
Subuh-subuh
Amelia bangun yang melebihi paginya dari
Udin dan Ibunya. Tetapi ia tidak keluar dari kamarnya. Dia hanya berfikir untuk
pulang ke Jakarta karena ia berfirasat bahwasanya ia di tolak secara halus oleh
keluarga Udin. Dan dia juga berfikir sebelum ia di tolak dengan kasar lebih
baik dia yang mencoba mengerti semuanya. Ia bangun dan melipati baju terus menyusun rapi di tas. Sambil terus
berfikir yang terjangkau dan yang dialami, sampai ia meneteskan lagi butiran
air mata.
Sinar matahari pancarkan sinarnya pertanda
kalau hari itu telah dimulai. Amelia mulai ancang-ancang untuk pamitan dengan
Udin dan Ibu calon martuanya. Bukanya pintu kamar. Di depan sudah terlihat dua insan yang
ketawa-ketiwi menikmati indahnya kebersamaan. Ia merasa iri karena selama ia
disana tidak pernah menikmati hal seperti itu malah terpojok terus setiap kali.
Dengan bahasa dan lainnya.
Terlihat
Amelia keluar sambil membawa koper/ransel.
”Mau
kemana ..? tanya sang Ibu kepadanya. Ameliah seperti gugup mendengar pertanyaan
itu.
”Sa...Saya
mau pulang ke Jakarta.” jawabnya, tetapi Udin langsung menumbur perkataannya,
”Mau
pulang...? Bukannya kita berangkat kesini bersama maka pulangnya bersama, dong”
tekannya supaya Amelia tidak memaksakan diri. Berdiri Udin sambil mendekati dan
menarik tangannya masuk kedalam kamar lagi. Setelah didalam ia berbicara
panjang lebar dan Amelia pun mengutarakan yang ada dalam hatinya. Udin pun
mencoba menjelaskan dengan sedetail mungkin. Sampai akhirnya Amelia menuruti
omongan kekasihnya, artinya Amelia tidak jadi pulang.
Beberapa
waktu telah terlewati dan Ibu kembali sakit saat Udin berkata mau pergi lagi ke
Jakarta. Ibunya tidak bisa pisah lagi dengannya. Ia mengundur lagi maksud
hatinya itu. Sedangkan Amelia yang terbiasa dengan kehidupan kota Jakarta tentu
saja ia tidak kerasan dengan kehidupan sepi, kumuh, kampungan, banyak
nyamuk, pokoknya membosankan sekali
baginya. Ia sudah tidak sabar lagi untuk pulang. Tetapi ia berfikir dua kali
setelah melihat sang kekasihnya dilanda kesedihan dan kepanikan itu.
Setelah
Ibu sembuh Amelia pun memaksakan diri untuk pulang meski harus bertengkar
telebih dulu dengan Udin. Tetapi akhirnya Udin pun mengizinkannya untuk pulang.
Sedangkan Udin masih terus dikampung menunggu kesembuhan sang Ibu. Terasa sedih
juga rupanya Amelia meninggalkan Udin dalam keadaan seperti itu. Tapi apa boleh
buat ia benar-benar tidak kerasan lagi di sana.
Kini
ibu telah sembuh dan tetapi tetap saja tidak tega untuk meninggalkan Ibunya
sendiri dan sering sakit seperti itu. Ia mencoba mengajak Ibu ikut ke Jakarta
bersamanya.
”Pokoknya
Ibu tetap tidak mau tinggal di Jakarta. Ibu tidak bisa pindah dan meninggalkan
kampung ini.” Ibu terus bertahan dengan perkataannya yang membuat Udin bingun
dan setres sekali. Amelia yang sekarang di Jakarta sangat merindukan Udin,
tetapi merasa kalau sebenarnya Ibu tidak setuju kalau dia menjadi istri dari
anaknya. Meski sang Ibu dan Udin tak pernah berkata seperti itu tetapi ia
melihat sikap mereka semaktu ia disana. Pada hal Udin sangat mencintai Amelia
dan pekerjaannya namun ia juga sangat mencintai Ibunya dan ia merasa telah
banyak membuat dosa dengan Ibunya pada saat ia pergi sangat lama sekali.
Beberapa
kali ia telpon Amelia tetapi jaringan seluler disana sangat jelek sehingga
tidak bisa tersambung. Setiap ia membicarakan keinginannya untuk berangkat ke Jakarta
maka Ibunya langsung sakit dengan tiba-tiba. Ia pun menggagalkan niatnya.
Amelia
merasa Udin sebenarnya tidak mencintainya dengan ia yang masih tetap tidak kembali
ke Jakarta.
Saat-saat sekarang ini Udin pun semakin
setres dan semakin bingung. Dengan keadaannya seperi buah simala kama itu. Ia
berangkat ke Jakarta Maka ia tidak tega dengan Ibunya, bila ia terus bersama
ibunya di kampung bagai mana dengan cintanya maka ia tergolong orang yang
mendustai perasaannya, dan pekerjaannya juga bagaimana. Sampai akhirnya ia
berfikir
”Kalau saja aku sampai menyakiti Ibu
berarti aku durhaka dengannya dan jika ia tidak ada maka aku juga tiada.”
dengan pemikirannya itu pula ia memutuskan kalau ia akan tetap di samping
Ibunya, meski harus kehilangan pekerjaan dan harus kehilangan cintanya. Ia juga
ingat tentang jodoh sudah tertulis sejak kita lahir dan rezeki itu ada
dimana-mana tetapi Ibuku tidak ada dimana-mana hanya satu Ibuku.
*****
Cibaduyut,
2007-07-23
No comments:
Post a Comment