Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Dalam
Bus, Bandung—Merak
Irama ban
berputar menjadi pengiring lamunanku. Ditambah klakson yang berbunyi seperti
terompet jadi mirip musik ska, sedangkan goyangan akibat jalan tak rata mirip
orang sedang berdansa. Wah… romantis sekali pokoknya. Seorang bertopi duduk di
sampingku tak menghiraukan kenikmatanku sama sekali. Kenikmatan tiada tanding.
Mengingat pertunanganku tiga belas menit yang lalu. Mengingat manisnya calon
istriku, meski tidak tahu kapan kami akan nikah. Mengingat ciuman tadi yang
lama sampai seluruh bibirku basah kuyup seperti kucing kejebur di belanga yang
penuh minyak habis menggoreng ikan asin. Mataku melirik ke sekantong plastik
makanan yang dibelikan si Manis, takkan habis kutelan sampai di depan pintu
rumah nanti. Pisang jemur, dodol garut, tempe goreng renyah, biscuit roma, satu
yang kurang. Peuyeum. (Bukan peuyeumpuan) Tapi, makanan khas Bandung, yang
terbuat dari ubi yang dibusukkan dan di lumuri ragi.
“Mau
kemana Mas?” buyar semua yang ada diotak. Sekonyong-konyong orang itu
tersenyum-senyum menggoda.
“Em..mau
ke Merak,” ujarku gugup terkejut.