Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Dalam
Bus, Bandung—Merak
Irama ban
berputar menjadi pengiring lamunanku. Ditambah klakson yang berbunyi seperti
terompet jadi mirip musik ska, sedangkan goyangan akibat jalan tak rata mirip
orang sedang berdansa. Wah… romantis sekali pokoknya. Seorang bertopi duduk di
sampingku tak menghiraukan kenikmatanku sama sekali. Kenikmatan tiada tanding.
Mengingat pertunanganku tiga belas menit yang lalu. Mengingat manisnya calon
istriku, meski tidak tahu kapan kami akan nikah. Mengingat ciuman tadi yang
lama sampai seluruh bibirku basah kuyup seperti kucing kejebur di belanga yang
penuh minyak habis menggoreng ikan asin. Mataku melirik ke sekantong plastik
makanan yang dibelikan si Manis, takkan habis kutelan sampai di depan pintu
rumah nanti. Pisang jemur, dodol garut, tempe goreng renyah, biscuit roma, satu
yang kurang. Peuyeum. (Bukan peuyeumpuan) Tapi, makanan khas Bandung, yang
terbuat dari ubi yang dibusukkan dan di lumuri ragi.
“Mau
kemana Mas?” buyar semua yang ada diotak. Sekonyong-konyong orang itu
tersenyum-senyum menggoda.
“Em..mau
ke Merak,” ujarku gugup terkejut.
“Sama
dong…” ia melepas topinya. “Wah.. panas sekarang Bandung ya Mas?”
Aku
tahu persis ini sebenarnya pertanyaan basa-basi yang tak perlu kujawab dengan
kata-kata, cukup mengangguk juga beres tapi,
“Emang
sih… sekarang terasa banget… akibat hutan banyak yang gundul. Apa lagi sekarang
ini pohon-pohon di tepi jalan tak tahu penyebabnya langsung mati dan itu tidak
hanya satu, hampir sepanjang jalan Cibaduyut, Mohammad Toha, dan jalan-jalan
yang lain juga pada mati,” napasku terengah “ Entah oknum siapa, teganya meraih
untung sedikit tapi merugikan semuanya, nggak punya otak kayaknya,”
“Bener
tuh Mas, kemarin saya lihat di jalan Dago juga di tebang, padahal kan Mas pohon tumbuh dan besar hingga
ia benar berfungsi menyerap air membutuhkan waktu yang tidak pendek, eh.. malah
pohon yang telah berfungsi dengan bagus dipotong. Kurang ajar banget, gimana
nggak lapisan ozon makin gede aja bolongnya…” ia pun tersendat “Wacana tentang
globalworming aja yang di gembor-gemborin tapi prakteknya masih kecil banget.
Tingkat kesadaran warga Indonesia memang lemah ya Mas?” lagi-lagi ia bertanya
padaku. Benar-benar tak kujawab kali ini. “Pencinta Alam sendiri sudah tunggang
langgang menyemarakan penghijauan, sampai-sampai ada suatu organisasi
penghijauan segala, tapi baguslah berarti ada yang tanggap dengan masalah ini,”
tambahnya lagi. Aku mulai serius, kayaknya orang ini cocok menjadi teman
ngobrolku selama beberapa jam kemudian. Kuganti kali ini,
“Mas
Meraknya mau kemana? Mau langsung nyebrang ke Lampung?” tanyaku balik
basa-basi.
“Enggak,
rumah saya emang di Merak.”
“Asli
Merak Mas?”
“Enggak…dulu saya asli tinggal di
Bandung, tapi saya dapet istri orang sana. Aku intip-intip buka usaha disana
sepertinya lebih strategis, saya coba saja, jadi saja saya netap
disana…he..he…” ia tertawa lepas, aku tak mengimbanginya tertawa. Bagiku itu
tak lucu. Masih banyak di negri ini yang dapat kutertawakan, bahkan lebih lucu
dari pelawak srimulat atau acara extravaganza.
“Oh…”
rupanya orang bertopi yang kini telah dilepasnya ini sudah berkeluarga. “Buka
usaha apa Mas?”
“Ah..
biasa…he…he…he…” tawanya “Cuma meneruskan hobi saja,” ah…orang ini
berbelit-belit, mungkin saja ia sebenarnya berbohong kalau punya usaha disana…
tuh kelihatan dari cara jawabnya saja tersendat seperti disuruh mengarang oleh
guru bahasa Indonesia saat di SD dulu. Aku kesal juga, kuhantam dengan canda,
“Oh..buka
usaha penerusan hobi…” bego sekali aku rupanya…
“Bukan
begitu,” ralatnya “Saya hobi di bidang fotografi, ya saya buka saja disana
studio foto… yach…hitung-hitung hobi yang bisa meneruskan hidup gitulah…” aku
pun termanggut-manggut kemaluan.
“Dulu
kuliah ngambil jurusan apa Mas?” tanyaku penasaran, sedikit-sedikit aku pengen mengerti
tentang penghitungan ASA, diafragma, rana dan istilah lain dalam fotografi. Aku
pernah menelan mentah-mentah matakuliah itu selama dua semester. Tapi, jujur
aku tak menguasai praktek.
“Wah…saya
belajar otodidak, saya tak pernah kuliah, bahkan SMA saja saya tak sampai
lulus,” senyum kecutnya mulai tumbuh. Aku seperti sedang mengintrogasi
seseorang yang telah berbuat kesalahan kepadaku, seperti copet yang ketahuan
nyolong barangku dan kucecer dengan pertanyaan supaya dia mengakui perbuatanya
dan mengembalikan barang itu padaku.
Aku
manggut-manggut lagi, pertanda aku paham dan memaklumi. “Wah...tapi saya salut
dengan orang seperti Mas, saya aja yang kuliah diberi pelajaran tentang
fotografi nggak bisa-bisa,”
“Ah…
Mas aja yang kurang PD, ntar kalau buka sendiri studio foto pasti langsung
timbul semua,” ujarnya yakin. Aku tergeleng-geleng.
“Atau nanti
setelah Mas punya jam terbang yang padat akan tertuntut sendiri keahlian itu,
saya aja dulu modal berani aja buka studio itu. Kalau hitung-hitung orang
komplen ke studio saya sudah tak terhitung, saya hadapi aja. Nggak nyerah, toh
semua pekerjaan punya resikonya masing-masing. Nggak ada pekerjaan yang nggak
ada resikonya,” gila orang ini, tak lulus SMA tapi ngomongnya dalam!
He…he…dalam penerapan sehari-hari mungkin...
Obrolan
kami semakin seru saja, sampai waktu telah merenggut kami bebrapa jam dengan
obrolan seputar fotografi saja. Belum yang lainnya. Dingin Puncak telah
mengdengus kulit ini. Deburannya membuat seluruh bulu kudu berdiri. Hah… tahu
rasa orang bertopi ini, tadi dia bilang Bandung panas sekarang dingin yang kau
singgung telah datang. Sayang tidak wilayah Bandung lagi, tak apa yang penting
Jawa Barat.
Aku
merapatkan jendela slot disampingku. Namun tak pas sekali, antara bangku depan
dan bangku-ku. Tak lama perempuan yang duduk di depanku membukanya lagi, dingin
menggigit lagi. Kututup lagi, dibukanya lagi. Oh… baru tahu sekarang, orang tua
disampingnya sedang merokok, pasti dia tak tahan dengan kepulan asapnya.
Maklumlah bus ekonomi. Merokok di dalam halal hukumnya, hanya tahu diri saja.
Aku sudah kesal juga, buka-tutup-buka-tutup. Kunyalakan juga rokok murahanku.
Baunya melebihi rokok sesajen yang bau kemenyan. Tahu rasa kau….
Orang
bertopi disampingku juga tak mau kalah, setelah kutawari rokok punyaku menolak,
ia juga mengeluarkan sebungkus rokok dan menyalakannya juga. Gila! bus kami
mirip langkau[1].
Semakin lebar jendelanya terbuka, aku pun semakin kedinginan. Wanita itu
semakin sesak.
Kumulai
lagi pembicaraan,
“Mas,
pakai kamera digital atau manual?”
“Dulu
sih saya pakai yang manual tapi sekarang-sekarang saya pakai kamera digital,
saya kan sering ikut seminar-seminar
fotografi, semuanya yang di bahas kamera digital apa saya nggak pusing,”
ujarnya tangkas. Kembali aku mengangguk-angguk. “Meski pakai kamera digital
saya jarang menggunakan auto focus,”
“Kenapa
Mas?”
“Hasilnya
lebih memuaskan, kita bisa memilih foto seperti apa yang kita inginkan, terus
hasilnya sesuai. Kalau pakai auto focus kan
kita yang diatur sama kamera, padahal kita yang mau moto, kok… dia yang
ngatur fotografer kan nggak lucu itu.
Yang jelas ada kepuasan tersendiri.” aku manggut-manggut lagi. Dasar tak punya
ide selain manggut-manggut tak ada lagi yang kuperbuat. Tapi aku telah mirip
penguji dulu sewaktu sidang sekripsi.
“Kalau
di kuliahan yang dipelajari tentang fotografi, yang manual atau yang digital?
Pasti yang digital kan?” pertanyaannya telah ia jawab sendiri, seperti tidak
percaya padaku, bertanya sendiri di jawab sendiri. Sebenarnya ia tak bermaksud
seperti itu, biar kujelaskan maksudnya: Bapak bertopi itu menanyakan suatu hal,
lalu dijawab sendiri, itu artinya ia ingin dipandang lebih mengerti oleh lawan
bicaranya. Penjelasan ini sebenarnya tak perlu, karena kalian sebenarnya sudah
tahu. Iya kan!!!
“Digital
sih… tapi kami juga sedikit banyak juga diberi tahu tentang yang manual.”
Ucapku datar tanpa ada tanda baca yang meninggi atau suaraku yang meliuk-liuk
seperti penyanyi dangdut dalam audisi.
“Sekarang
ini sudah nggak musimnya lagi membahas yang manual,” tambahnya lagi. Aku
manggut-manggut lagi, aku sendiri telah bosan dengan gerakanku ini
manggut-manggut. Manggut-manggut. Ah…
“Ribet
banget kalau harus pakai film, terus nyucinya lagi pokoknya biaya tinggi, terus
belum tahu hasilnya, jadi atau enggak,”
“Tapi
jangan salah lho… ada asiknya juga pakai yang manual itu. Kita diajari
kepercayaan yang tinggi. Sekali kita jepret itu filling kita kuat kalau
jepretan tadi punya hasil yang bagus. Terus pakai film itu hasilnya lebih
jernih dari pada yang digital kalau dibandingkan dan dalam penghitungannya
pas.” Kali ini aku di bantahnya mentah-mentah. Tapi aku santai saja, dia juga
pakai yang digital.
Pembicaraan
kami tentang fotografi semakin larut saja. Bahasan kami pun semakin melebar
hingga objek foto yang manarik, persoalan lensa, soal bagaimana membersihkan
lensa, dan merawat kamera agar awet, sampai dengan teknik-teknik yang belum ada
bukunya akhirnya terkeluar dari orang bertopi disampingku itu.
Ia
menyalakan rokonya lagi.
Aku
kedinginan lagi.
Wanita
itu sesak lagi.
Benar-benar
aku tak percaya kalau dia SMA saja tak tamat. Pengetahuannya tentang fotografi
begitu dalam. Kalau orang bilang JAGO FOTO gitulah. Kalaupun dia mau mengaku
lulusan Akademi Fotgrafi Indonesia aku juga percaya, meski tak ada.
“Dalam
pengaturan diafragma, itu cuma satu kuncinya. Kita harus tahu benar aturan
kerja angkanya. 1 – 1,2 – 1,4- dan seterusnya sampai 11 dan ada yang lebih
banyak lagi, tergantung kameranya. Begitu kan? Kalau saya cuma satu yang
diingat semakin kecil angka diafragma, berarti semakin besar cahayanya yang
masuk. Jadi mengingatnya kecil lawannya besar dan sebaliknya. Gitu aja… gimana
kalau pelajaran di kuliahan?”
“Iya…iya
sama…. Mas,”
“Sebenarnya
dalam prakteknya sama saja, toh kamera digital juga ada bukaan lensa, dan dia
juga perlu pencahayaan. Kalau nggak… untuk apa ada lighting….he..he…” senyumnya
bukan berarti meremehkan aku. Tapi ia berfikir lagi sedikit banyak ia sudah
merasa lebih pintar dari pada yang di suapi dengan teori sampai kenyang
sepertiku, tapi ini aku. INI AKU. Aku memang lemah dalam foto-memfoto…. He…yang
lain juga lemah.
“Mas,
kok bisa paham banget dengan teori…teori fotografi sih,… biasanya kalau orang
hanya belajar dengan otodidak kan
kurang paham dengan teori dan bahkan banyak orang otodidak nggak percaya dengan
teori Mas,” aku mengujinya,
“Itu
sebenarnya yang salah, otodidak yang bagaimana dulu…iya kan? Otodidak yang tak percaya dengan teori itu otodidak buta
huruf, karena belajarnya yang otodidak itu tak lepas dari pengetahuannya dari
teman atau rekan seprofesinya. Nah disana pula sebenarnya teman dan rekannya
itu telah mengetahui tentang teori. Cuma cara penyampaiannya saja tidak kaku
seperti buku, mudah dipahami. Dan disana pula orang yang belajar otodidak itu
tak paham bila ada orang lain mengutarakan teori yang sama dengan bahasa yang
berbeda,” wah…Ini orang seperti dosenku benaran.
“Saya
dulu juga begitu, setelah saya sering ikut seminar fotografi, baca-baca buku
tentang fotografi, dan pelatihan-pelatihan fotografi, baru saya paham, semua
teori fotografi atau teori-teori ilmu lain sebenarnya sama saja dari tahun
ketahun, paling-paling beda tipis,” hatiku bergumam, “Tetap aja ada bedanya tipis juga,”
Ia
membeli tahu sumedang.
Menawariku.
Aku
makan.
Dia
merokok lagi.
Aku
minum.
Wanita
itu sesak lagi.
Aku
kedinginan lagi.
Akhirnya
aku mencabut rokok yang ditawarkan oleh orang bertopi itu. Kusulut juga,
semakin sesak bus itu. Untung lelaki disamping perempuan itu tak menyalakan
rokonya juga.
Benar
sekali alasanku naik bus kelas merakyat ini. Aku telah menemukan alasan kedua,
karena sekarang yang aku ajak diskusi sepanjang jalan ini benar-benar tak
terduga sebelumnya. Dia benar-benar jago dalam fotografi. Bahkan aku yang di
cekoki di bangku kuliah saja mengangkat tangan. Menyerah dan tak berkutik
dengan SMA tak lulus. Sebelum aku meraih bungkusan plastic terang TAHU
SUMEDANG,
“Buka
setudio sudah berapa lama Mas?”
“Wah,
sudah lama. Sejak tahun delapan tujuh saya sudah mulai ikut-ikutan teman saya
yang punya studio foto. Tapi bukan kerja dengannya, aku hanya mencuri ilmu saja
darinya. Setelah itu saya coba beranikan diri jadi fotografer keliling, yang
mangkal di Alun-Alun. Lumayan disana saya gabung dengan teman-teman seprofesi
yang masih amatiran. Tiga tahun jadi tukang foto keliling saya coba buka
kecil-kecilan studio foto dengan beberapa temanku, juga sama denganku. Tukang
foto keliling,
“Nah
disana pula saya mulai benar-benar mendalami yang namanya fotografi. Sampai
akhirnya saya dapet istri orang Merak, dan saya coba buka di sana. Waktu di
Bandung saya buka di daerah Cimindi, kawasan Cimahi”
“Lama
nggak Mas, buka disana?”
“Lumayan
sih, untuk memperdalam ilmu mah,
kurang lebih dua tahun. Ini saya kan
baru pulang dari sana, saya masih sering bolak-balik kesana kemari, biasa cari
ilmu yang baru dan cari barang-barang yang nggak ada di Merak,”
“Soalnya
di Serang itu belum lengkap banget, nggak kayak Bandung, sekalian sih dari pada
ke Jakarta hampir sama jauhnya, tapi mendingan ke Bandung sekalian jenguk Orang
tua,” senyumnya terkuak, mesam-mesem, jari jemarinya memutar-mutar batang
rokok, hanya setengah lagi menuju puntung.
Suasana
malam tanpa terasa telah merenggut kami dalam larutnya diskusi dan obrolan
hangat. Dinginpun tak terasa. Berpuluh-puluh kota kecil terlewatipun tak sadar.
Dari Bandung, Cimahi, Cianjur, Puncak, Sukabumi dan kota lainnyapun tak kami
sadari. Meski sesering mungkin mataku menatap keluar, tetap saja tak menikmati
indahnya kota-kota kecil itu. Apa lagi setelah seluruh alam mulai gelap. Tak
satupun dapat kulihat apa lagi menikmati, selain obrolan bersamanya. Aku juga
tak mengingat kejadian di terminal tadi. Perpisahan dengan orang yang kucinta.
Perpisahan yang tak tahu kapan akan bertemu kembali. Seminggu sebelum aku
memutuskan untuk pulang ke negeri tumpah darahku, aku pernah bilang, “Aku
sangat sedih bila harus benar-benar
pisah denganmu Manis,” ucapku murung. Tapi ia menjawab dengan santai, “Dari
manapun alasannya, tetap saja yang paling sedih itu orang yang ditinggalkan
Bang, belum pernah ada orang yang meninggalkan pergi, dia yang malah bunuh
diri. Kebanyakan itu orang yang ditinggalkan yang bunuh diri,” nada bicaranya
datar dan tegar. Mungkin aku sebenarnya yang cengeng.
Irama
kernyitan ban mengalun, suara rem angin memenuhi telinga. Namun, sama sekali
tak mengganggu obrolan kami yang semakin memuncak. Meski perutku seperti suara
selokan sehabis hujan, mungkin kebanyakan mengunyah cabai saat makan tahu
sumedang tadi. Kalau kata temen-temenku sewaktu kuliah dulu orang yang makanan
itu tak ikhlas jadi perut tak ridho. Itu tak baik, punya prasangka buruk kepada
orang yang telah berbuat baik pada kita. Itu namanya tidak bersyukur. Sama
halnya ketika Tuhan memberikan panas kita memurka-murka “Wah panas banget,
gila!” atau di beri hujan “Gila ni hujan, nggak berhenti-berhenti…” padahal
semua itu karena kasih sayang Tuhan kepada umatNya. Dimana rasa syukur kita?
Dimana rasa terimakasih kita padaNya?
Masih
saja perutku berbunyi golakan air mendidih, “Gawat kalau sampai aku pengen buang air besar, bisa lebih sesak dari
asap rokok ini,” otakku tak bekerja normal lagi, pinggangku
bergoyang-goyang seperti sedang mendengarkan lagu Rock and Roll, mengikuti rasa
sakit yang semakin menggerus jeroan. Entah lambung atau ususku yang terasa
begitu nyeri. Nyeri sekali seperti disayat oleh bambu yang di iris tipis. “Mana aku nggak tahu kapan berhentinya Bus
ini lagi!” ucapku dalam hati.
Orang bertopi
disampingku masih terus ngoceh.
Perutku
semakin sakit.
Wanita di depanku sepertinya ketawa
jingkrak-jingkrak kalau melihat aku seperti ini. Gembira sekali. Aku tak tahan
lagi, suara angin lepas dari pantatku, Tuuuuuuuttt!
Bau…
Bau…. Kabel kebakar.
Untung
saja tidak banyak orang yang mendengar itu…
Yang
merasakan baunya banyak.
Isi
bus mulai sibuk
Orang
bertopi disampingku itu tersenyum,
“Masuk
angin ya?”
“Sepertinya
iya…” aku tersenyum-senyum malu, mukaku seperti copot dari bundaran kepalaku.
Hilang terbang dibawa oleh angin itu. Kentut.
Perempuan
itu menoleh kebelakang, pas mukaku yang pertama ia tatap. Pasti ia mencari
kentut itu, ingin sekali aku menanyakan padanya, “Mau lagi Teh? Atau enak ya Teh?” tapi batinku telah marah-marah
menyangkal otak konyolku.
Kentut itu sama sekali tak menghentikan
ocehan orang bertopi itu, sepertinya ia makin seru. Karena baru dapat pasokan
bahan bakar baru. Sedangkan aku sudah tak begitu konsen menanggapi obrolan yang
tadinya aku semangat betul. Perutku masih sakit, itu kendala utama yang membuat
tak konsen sepenuhnya. Padahal kini ucapannya semakin bermutu, hampir menyaingi
Paneth, Norman Harrison dan tokoh local Dudi Sugandi. Tetap saja tanganku memegang
pinggang menahan nyeri yang semakin beringas menghantam seluruh isi perut.
Bus
membelok, tak lama kemudia berhenti. Kepalaku langsung menongol keluar jendela.
“Oh...istirahat rupanya…” Hatiku
girang sekali. Aku langsung loncat keluar dan memburu toilet yang di sediakan
rumah makan itu. Seorang pelayan menunjukkan arah menuju tempat pembuangan
hajat yang kucintai. Tanpa dia aku bisa mampus. Kutuntaskan segala yang
mengganjal di perut. Kegiatan yang sangat asik untuk melamun ialah saat dalam
toilet. Jujur saja. Tak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan ditempat itu.
Baca buku, bukunya tak ada, sms-an tak punya Hp, ya… menghayal atau melamun
yang tak perlu teknologi atau alat bantu lainnya. Mau mikirpun malas karena
benturan sakit membuat otak susah bergerak.
Setelah
keluar dari WC aku menuju tempat berkerumunnya banyak orang, rupanya
orang-orang itu sedang menikmati kolak jahe. Aku hanya menatap saja, kondisi
keuanganku sungguh tipis. Lebih tipis daripada irisan jahe yang terkungkum
dalam mangkuk yang tertumpang di lengan orang-orang itu. Diantara banyak orang
itu kudapati orang bertopi yang sedari tadi memanggil-manggil. Ia menawariku.
Aku pun mendekat dan di pesankan olehnya semangkuk KOLAK JAHE HANGAT. Cocok
sekali memang. Malam yang dingin di lebur dengan hangat jahe, pedas-pedas
nyaman.
Kolak
jahe habis
Bus
berangkat
Bus perlahan-lahan
meninggalkan rumah makan di kawasan Gerem, yang lebih anehnya lagi, bus itu
berhenti sudah dekat dengan Pelabuhan Merak. Bahkan Gerem itu memiliki tulisan pengikut,
yaitu Merak. Berarti ini telah masuk dan sedikit lagi akan berhenti di puncak
cerita. Puncak cerita dalam bus Kramat Jati tujuan Bandung – Merak. Lihat saja.
Aku
mengambil posisi masih sama dengan tadi sebelum aku menderita dipanggang api
yang membara sehingga seluruh isi perut menggolak. Mendidih dan berbuih,
seperti yang aku keluarkan di toilet rumah makan tadi. Pantas saja perut tak
karu-karuan. Wong, didalamnya di
rebus.
***BERSAMBUNG***
No comments:
Post a Comment