Tuesday, February 4, 2014

CERBUNG: Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia (Part 4)

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)

Dalam Bus, Bandung—Merak


            Irama ban berputar menjadi pengiring lamunanku. Ditambah klakson yang berbunyi seperti terompet jadi mirip musik ska, sedangkan goyangan akibat jalan tak rata mirip orang sedang berdansa. Wah… romantis sekali pokoknya. Seorang bertopi duduk di sampingku tak menghiraukan kenikmatanku sama sekali. Kenikmatan tiada tanding. Mengingat pertunanganku tiga belas menit yang lalu. Mengingat manisnya calon istriku, meski tidak tahu kapan kami akan nikah. Mengingat ciuman tadi yang lama sampai seluruh bibirku basah kuyup seperti kucing kejebur di belanga yang penuh minyak habis menggoreng ikan asin. Mataku melirik ke sekantong plastik makanan yang dibelikan si Manis, takkan habis kutelan sampai di depan pintu rumah nanti. Pisang jemur, dodol garut, tempe goreng renyah, biscuit roma, satu yang kurang. Peuyeum. (Bukan peuyeumpuan) Tapi, makanan khas Bandung, yang terbuat dari ubi yang dibusukkan dan di lumuri ragi.
            “Mau kemana Mas?” buyar semua yang ada diotak. Sekonyong-konyong orang itu tersenyum-senyum menggoda.
            “Em..mau ke Merak,” ujarku gugup terkejut.

            “Sama dong…” ia melepas topinya. “Wah.. panas sekarang Bandung ya Mas?”
            Aku tahu persis ini sebenarnya pertanyaan basa-basi yang tak perlu kujawab dengan kata-kata, cukup mengangguk juga beres tapi,
            “Emang sih… sekarang terasa banget… akibat hutan banyak yang gundul. Apa lagi sekarang ini pohon-pohon di tepi jalan tak tahu penyebabnya langsung mati dan itu tidak hanya satu, hampir sepanjang jalan Cibaduyut, Mohammad Toha, dan jalan-jalan yang lain juga pada mati,” napasku terengah “ Entah oknum siapa, teganya meraih untung sedikit tapi merugikan semuanya, nggak punya otak kayaknya,”
            “Bener tuh Mas, kemarin saya lihat di jalan Dago juga di tebang, padahal kan Mas pohon tumbuh dan besar hingga ia benar berfungsi menyerap air membutuhkan waktu yang tidak pendek, eh.. malah pohon yang telah berfungsi dengan bagus dipotong. Kurang ajar banget, gimana nggak lapisan ozon makin gede aja bolongnya…” ia pun tersendat “Wacana tentang globalworming aja yang di gembor-gemborin tapi prakteknya masih kecil banget. Tingkat kesadaran warga Indonesia memang lemah ya Mas?” lagi-lagi ia bertanya padaku. Benar-benar tak kujawab kali ini. “Pencinta Alam sendiri sudah tunggang langgang menyemarakan penghijauan, sampai-sampai ada suatu organisasi penghijauan segala, tapi baguslah berarti ada yang tanggap dengan masalah ini,” tambahnya lagi. Aku mulai serius, kayaknya orang ini cocok menjadi teman ngobrolku selama beberapa jam kemudian. Kuganti kali ini,
            “Mas Meraknya mau kemana? Mau langsung nyebrang ke Lampung?” tanyaku balik basa-basi.
            “Enggak, rumah saya emang di Merak.”
            “Asli Merak Mas?”
            “Enggak…dulu saya asli tinggal di Bandung, tapi saya dapet istri orang sana. Aku intip-intip buka usaha disana sepertinya lebih strategis, saya coba saja, jadi saja saya netap disana…he..he…” ia tertawa lepas, aku tak mengimbanginya tertawa. Bagiku itu tak lucu. Masih banyak di negri ini yang dapat kutertawakan, bahkan lebih lucu dari pelawak srimulat atau acara extravaganza.
            “Oh…” rupanya orang bertopi yang kini telah dilepasnya ini sudah berkeluarga. “Buka usaha apa Mas?”
            “Ah.. biasa…he…he…he…” tawanya “Cuma meneruskan hobi saja,” ah…orang ini berbelit-belit, mungkin saja ia sebenarnya berbohong kalau punya usaha disana… tuh kelihatan dari cara jawabnya saja tersendat seperti disuruh mengarang oleh guru bahasa Indonesia saat di SD dulu. Aku kesal juga, kuhantam dengan canda,
            “Oh..buka usaha penerusan hobi…” bego sekali aku rupanya…
            “Bukan begitu,” ralatnya “Saya hobi di bidang fotografi, ya saya buka saja disana studio foto… yach…hitung-hitung hobi yang bisa meneruskan hidup gitulah…” aku pun termanggut-manggut kemaluan.
            “Dulu kuliah ngambil jurusan apa Mas?” tanyaku penasaran, sedikit-sedikit aku pengen mengerti tentang penghitungan ASA, diafragma, rana dan istilah lain dalam fotografi. Aku pernah menelan mentah-mentah matakuliah itu selama dua semester. Tapi, jujur aku tak menguasai praktek.
            “Wah…saya belajar otodidak, saya tak pernah kuliah, bahkan SMA saja saya tak sampai lulus,” senyum kecutnya mulai tumbuh. Aku seperti sedang mengintrogasi seseorang yang telah berbuat kesalahan kepadaku, seperti copet yang ketahuan nyolong barangku dan kucecer dengan pertanyaan supaya dia mengakui perbuatanya dan mengembalikan barang itu padaku.
            Aku manggut-manggut lagi, pertanda aku paham dan memaklumi. “Wah...tapi saya salut dengan orang seperti Mas, saya aja yang kuliah diberi pelajaran tentang fotografi nggak bisa-bisa,”
            “Ah… Mas aja yang kurang PD, ntar kalau buka sendiri studio foto pasti langsung timbul semua,” ujarnya yakin. Aku tergeleng-geleng.
            “Atau nanti setelah Mas punya jam terbang yang padat akan tertuntut sendiri keahlian itu, saya aja dulu modal berani aja buka studio itu. Kalau hitung-hitung orang komplen ke studio saya sudah tak terhitung, saya hadapi aja. Nggak nyerah, toh semua pekerjaan punya resikonya masing-masing. Nggak ada pekerjaan yang nggak ada resikonya,” gila orang ini, tak lulus SMA tapi ngomongnya dalam! He…he…dalam penerapan sehari-hari mungkin...
            Obrolan kami semakin seru saja, sampai waktu telah merenggut kami bebrapa jam dengan obrolan seputar fotografi saja. Belum yang lainnya. Dingin Puncak telah mengdengus kulit ini. Deburannya membuat seluruh bulu kudu berdiri. Hah… tahu rasa orang bertopi ini, tadi dia bilang Bandung panas sekarang dingin yang kau singgung telah datang. Sayang tidak wilayah Bandung lagi, tak apa yang penting Jawa Barat.
            Aku merapatkan jendela slot disampingku. Namun tak pas sekali, antara bangku depan dan bangku-ku. Tak lama perempuan yang duduk di depanku membukanya lagi, dingin menggigit lagi. Kututup lagi, dibukanya lagi. Oh… baru tahu sekarang, orang tua disampingnya sedang merokok, pasti dia tak tahan dengan kepulan asapnya. Maklumlah bus ekonomi. Merokok di dalam halal hukumnya, hanya tahu diri saja. Aku sudah kesal juga, buka-tutup-buka-tutup. Kunyalakan juga rokok murahanku. Baunya melebihi rokok sesajen yang bau kemenyan. Tahu rasa kau….
            Orang bertopi disampingku juga tak mau kalah, setelah kutawari rokok punyaku menolak, ia juga mengeluarkan sebungkus rokok dan menyalakannya juga. Gila! bus kami mirip langkau[1]. Semakin lebar jendelanya terbuka, aku pun semakin kedinginan. Wanita itu semakin sesak.
            Kumulai lagi pembicaraan,
            “Mas, pakai kamera digital atau manual?”
            “Dulu sih saya pakai yang manual tapi sekarang-sekarang saya pakai kamera digital, saya kan sering ikut seminar-seminar fotografi, semuanya yang di bahas kamera digital apa saya nggak pusing,” ujarnya tangkas. Kembali aku mengangguk-angguk. “Meski pakai kamera digital saya jarang menggunakan auto focus,”
            “Kenapa Mas?”          
            “Hasilnya lebih memuaskan, kita bisa memilih foto seperti apa yang kita inginkan, terus hasilnya sesuai. Kalau pakai auto focus kan kita yang diatur sama kamera, padahal kita yang mau moto, kok… dia yang ngatur fotografer kan nggak lucu itu. Yang jelas ada kepuasan tersendiri.” aku manggut-manggut lagi. Dasar tak punya ide selain manggut-manggut tak ada lagi yang kuperbuat. Tapi aku telah mirip penguji dulu sewaktu sidang sekripsi.
            “Kalau di kuliahan yang dipelajari tentang fotografi, yang manual atau yang digital? Pasti yang digital kan?” pertanyaannya telah ia jawab sendiri, seperti tidak percaya padaku, bertanya sendiri di jawab sendiri. Sebenarnya ia tak bermaksud seperti itu, biar kujelaskan maksudnya: Bapak bertopi itu menanyakan suatu hal, lalu dijawab sendiri, itu artinya ia ingin dipandang lebih mengerti oleh lawan bicaranya. Penjelasan ini sebenarnya tak perlu, karena kalian sebenarnya sudah tahu. Iya kan!!!
            “Digital sih… tapi kami juga sedikit banyak juga diberi tahu tentang yang manual.” Ucapku datar tanpa ada tanda baca yang meninggi atau suaraku yang meliuk-liuk seperti penyanyi dangdut dalam audisi.
            “Sekarang ini sudah nggak musimnya lagi membahas yang manual,” tambahnya lagi. Aku manggut-manggut lagi, aku sendiri telah bosan dengan gerakanku ini manggut-manggut. Manggut-manggut. Ah…
            “Ribet banget kalau harus pakai film, terus nyucinya lagi pokoknya biaya tinggi, terus belum tahu hasilnya, jadi atau enggak,”
            “Tapi jangan salah lho… ada asiknya juga pakai yang manual itu. Kita diajari kepercayaan yang tinggi. Sekali kita jepret itu filling kita kuat kalau jepretan tadi punya hasil yang bagus. Terus pakai film itu hasilnya lebih jernih dari pada yang digital kalau dibandingkan dan dalam penghitungannya pas.” Kali ini aku di bantahnya mentah-mentah. Tapi aku santai saja, dia juga pakai yang digital.
            Pembicaraan kami tentang fotografi semakin larut saja. Bahasan kami pun semakin melebar hingga objek foto yang manarik, persoalan lensa, soal bagaimana membersihkan lensa, dan merawat kamera agar awet, sampai dengan teknik-teknik yang belum ada bukunya akhirnya terkeluar dari orang bertopi disampingku itu.

            Ia menyalakan rokonya lagi.
            Aku kedinginan lagi.
            Wanita itu sesak lagi.

            Benar-benar aku tak percaya kalau dia SMA saja tak tamat. Pengetahuannya tentang fotografi begitu dalam. Kalau orang bilang JAGO FOTO gitulah. Kalaupun dia mau mengaku lulusan Akademi Fotgrafi Indonesia aku juga percaya, meski tak ada.
            “Dalam pengaturan diafragma, itu cuma satu kuncinya. Kita harus tahu benar aturan kerja angkanya. 1 – 1,2 – 1,4- dan seterusnya sampai 11 dan ada yang lebih banyak lagi, tergantung kameranya. Begitu kan? Kalau saya cuma satu yang diingat semakin kecil angka diafragma, berarti semakin besar cahayanya yang masuk. Jadi mengingatnya kecil lawannya besar dan sebaliknya. Gitu aja… gimana kalau pelajaran di kuliahan?”
            “Iya…iya sama…. Mas,”
            “Sebenarnya dalam prakteknya sama saja, toh kamera digital juga ada bukaan lensa, dan dia juga perlu pencahayaan. Kalau nggak… untuk apa ada lighting….he..he…” senyumnya bukan berarti meremehkan aku. Tapi ia berfikir lagi sedikit banyak ia sudah merasa lebih pintar dari pada yang di suapi dengan teori sampai kenyang sepertiku, tapi ini aku. INI AKU. Aku memang lemah dalam foto-memfoto…. He…yang lain juga lemah.
            “Mas, kok bisa paham banget dengan teori…teori fotografi sih,… biasanya kalau orang hanya belajar dengan otodidak kan kurang paham dengan teori dan bahkan banyak orang otodidak nggak percaya dengan teori Mas,” aku mengujinya,
            “Itu sebenarnya yang salah, otodidak yang bagaimana dulu…iya kan? Otodidak yang tak percaya dengan teori itu otodidak buta huruf, karena belajarnya yang otodidak itu tak lepas dari pengetahuannya dari teman atau rekan seprofesinya. Nah disana pula sebenarnya teman dan rekannya itu telah mengetahui tentang teori. Cuma cara penyampaiannya saja tidak kaku seperti buku, mudah dipahami. Dan disana pula orang yang belajar otodidak itu tak paham bila ada orang lain mengutarakan teori yang sama dengan bahasa yang berbeda,” wah…Ini orang seperti dosenku benaran.
            “Saya dulu juga begitu, setelah saya sering ikut seminar fotografi, baca-baca buku tentang fotografi, dan pelatihan-pelatihan fotografi, baru saya paham, semua teori fotografi atau teori-teori ilmu lain sebenarnya sama saja dari tahun ketahun, paling-paling beda tipis,” hatiku bergumam, “Tetap aja ada bedanya tipis juga,”

            Ia membeli tahu sumedang.
            Menawariku.
            Aku makan.
            Dia merokok lagi.
            Aku minum.
            Wanita itu sesak lagi.
            Aku kedinginan lagi.

            Akhirnya aku mencabut rokok yang ditawarkan oleh orang bertopi itu. Kusulut juga, semakin sesak bus itu. Untung lelaki disamping perempuan itu tak menyalakan rokonya juga.
            Benar sekali alasanku naik bus kelas merakyat ini. Aku telah menemukan alasan kedua, karena sekarang yang aku ajak diskusi sepanjang jalan ini benar-benar tak terduga sebelumnya. Dia benar-benar jago dalam fotografi. Bahkan aku yang di cekoki di bangku kuliah saja mengangkat tangan. Menyerah dan tak berkutik dengan SMA tak lulus. Sebelum aku meraih bungkusan plastic terang TAHU SUMEDANG,
            “Buka setudio sudah berapa lama Mas?”
            “Wah, sudah lama. Sejak tahun delapan tujuh saya sudah mulai ikut-ikutan teman saya yang punya studio foto. Tapi bukan kerja dengannya, aku hanya mencuri ilmu saja darinya. Setelah itu saya coba beranikan diri jadi fotografer keliling, yang mangkal di Alun-Alun. Lumayan disana saya gabung dengan teman-teman seprofesi yang masih amatiran. Tiga tahun jadi tukang foto keliling saya coba buka kecil-kecilan studio foto dengan beberapa temanku, juga sama denganku. Tukang foto keliling,
            “Nah disana pula saya mulai benar-benar mendalami yang namanya fotografi. Sampai akhirnya saya dapet istri orang Merak, dan saya coba buka di sana. Waktu di Bandung saya buka di daerah Cimindi, kawasan Cimahi”
            “Lama nggak Mas, buka disana?”
            “Lumayan sih, untuk memperdalam ilmu mah, kurang lebih dua tahun. Ini saya kan baru pulang dari sana, saya masih sering bolak-balik kesana kemari, biasa cari ilmu yang baru dan cari barang-barang yang nggak ada di Merak,”
            “Soalnya di Serang itu belum lengkap banget, nggak kayak Bandung, sekalian sih dari pada ke Jakarta hampir sama jauhnya, tapi mendingan ke Bandung sekalian jenguk Orang tua,” senyumnya terkuak, mesam-mesem, jari jemarinya memutar-mutar batang rokok, hanya setengah lagi menuju puntung.
            Suasana malam tanpa terasa telah merenggut kami dalam larutnya diskusi dan obrolan hangat. Dinginpun tak terasa. Berpuluh-puluh kota kecil terlewatipun tak sadar. Dari Bandung, Cimahi, Cianjur, Puncak, Sukabumi dan kota lainnyapun tak kami sadari. Meski sesering mungkin mataku menatap keluar, tetap saja tak menikmati indahnya kota-kota kecil itu. Apa lagi setelah seluruh alam mulai gelap. Tak satupun dapat kulihat apa lagi menikmati, selain obrolan bersamanya. Aku juga tak mengingat kejadian di terminal tadi. Perpisahan dengan orang yang kucinta. Perpisahan yang tak tahu kapan akan bertemu kembali. Seminggu sebelum aku memutuskan untuk pulang ke negeri tumpah darahku, aku pernah bilang, “Aku sangat sedih bila harus  benar-benar pisah denganmu Manis,” ucapku murung. Tapi ia menjawab dengan santai, “Dari manapun alasannya, tetap saja yang paling sedih itu orang yang ditinggalkan Bang, belum pernah ada orang yang meninggalkan pergi, dia yang malah bunuh diri. Kebanyakan itu orang yang ditinggalkan yang bunuh diri,” nada bicaranya datar dan tegar. Mungkin aku sebenarnya yang cengeng.
            Irama kernyitan ban mengalun, suara rem angin memenuhi telinga. Namun, sama sekali tak mengganggu obrolan kami yang semakin memuncak. Meski perutku seperti suara selokan sehabis hujan, mungkin kebanyakan mengunyah cabai saat makan tahu sumedang tadi. Kalau kata temen-temenku sewaktu kuliah dulu orang yang makanan itu tak ikhlas jadi perut tak ridho. Itu tak baik, punya prasangka buruk kepada orang yang telah berbuat baik pada kita. Itu namanya tidak bersyukur. Sama halnya ketika Tuhan memberikan panas kita memurka-murka “Wah panas banget, gila!” atau di beri hujan “Gila ni hujan, nggak berhenti-berhenti…” padahal semua itu karena kasih sayang Tuhan kepada umatNya. Dimana rasa syukur kita? Dimana rasa terimakasih kita padaNya?
            Masih saja perutku berbunyi golakan air mendidih, “Gawat kalau sampai aku pengen buang air besar, bisa lebih sesak dari asap rokok ini,” otakku tak bekerja normal lagi, pinggangku bergoyang-goyang seperti sedang mendengarkan lagu Rock and Roll, mengikuti rasa sakit yang semakin menggerus jeroan. Entah lambung atau ususku yang terasa begitu nyeri. Nyeri sekali seperti disayat oleh bambu yang di iris tipis. “Mana aku nggak tahu kapan berhentinya Bus ini lagi!” ucapku dalam hati.
           
Orang bertopi disampingku masih terus ngoceh.
            Perutku semakin sakit.
           
Wanita di depanku sepertinya ketawa jingkrak-jingkrak kalau melihat aku seperti ini. Gembira sekali. Aku tak tahan lagi, suara angin lepas dari pantatku, Tuuuuuuuttt!

            Bau…
Bau…. Kabel kebakar.
            Untung saja tidak banyak orang yang mendengar itu…
            Yang merasakan baunya banyak.
            Isi bus mulai sibuk
            Orang bertopi disampingku itu tersenyum,

            “Masuk angin ya?”
            “Sepertinya iya…” aku tersenyum-senyum malu, mukaku seperti copot dari bundaran kepalaku. Hilang terbang dibawa oleh angin itu. Kentut.
            Perempuan itu menoleh kebelakang, pas mukaku yang pertama ia tatap. Pasti ia mencari kentut itu, ingin sekali aku menanyakan padanya, “Mau lagi Teh? Atau enak ya Teh?” tapi batinku telah marah-marah menyangkal otak konyolku.
Kentut itu sama sekali tak menghentikan ocehan orang bertopi itu, sepertinya ia makin seru. Karena baru dapat pasokan bahan bakar baru. Sedangkan aku sudah tak begitu konsen menanggapi obrolan yang tadinya aku semangat betul. Perutku masih sakit, itu kendala utama yang membuat tak konsen sepenuhnya. Padahal kini ucapannya semakin bermutu, hampir menyaingi Paneth, Norman Harrison dan tokoh local Dudi Sugandi. Tetap saja tanganku memegang pinggang menahan nyeri yang semakin beringas menghantam seluruh isi perut.
            Bus membelok, tak lama kemudia berhenti. Kepalaku langsung menongol keluar jendela. “Oh...istirahat rupanya…” Hatiku girang sekali. Aku langsung loncat keluar dan memburu toilet yang di sediakan rumah makan itu. Seorang pelayan menunjukkan arah menuju tempat pembuangan hajat yang kucintai. Tanpa dia aku bisa mampus. Kutuntaskan segala yang mengganjal di perut. Kegiatan yang sangat asik untuk melamun ialah saat dalam toilet. Jujur saja. Tak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan ditempat itu. Baca buku, bukunya tak ada, sms-an tak punya Hp, ya… menghayal atau melamun yang tak perlu teknologi atau alat bantu lainnya. Mau mikirpun malas karena benturan sakit membuat otak susah bergerak.
            Setelah keluar dari WC aku menuju tempat berkerumunnya banyak orang, rupanya orang-orang itu sedang menikmati kolak jahe. Aku hanya menatap saja, kondisi keuanganku sungguh tipis. Lebih tipis daripada irisan jahe yang terkungkum dalam mangkuk yang tertumpang di lengan orang-orang itu. Diantara banyak orang itu kudapati orang bertopi yang sedari tadi memanggil-manggil. Ia menawariku. Aku pun mendekat dan di pesankan olehnya semangkuk KOLAK JAHE HANGAT. Cocok sekali memang. Malam yang dingin di lebur dengan hangat jahe, pedas-pedas nyaman.
           
            Kolak jahe habis
            Bus berangkat
           
Bus perlahan-lahan meninggalkan rumah makan di kawasan Gerem, yang lebih anehnya lagi, bus itu berhenti sudah dekat dengan Pelabuhan Merak. Bahkan Gerem itu memiliki tulisan pengikut, yaitu Merak. Berarti ini telah masuk dan sedikit lagi akan berhenti di puncak cerita. Puncak cerita dalam bus Kramat Jati tujuan Bandung – Merak. Lihat saja.
            Aku mengambil posisi masih sama dengan tadi sebelum aku menderita dipanggang api yang membara sehingga seluruh isi perut menggolak. Mendidih dan berbuih, seperti yang aku keluarkan di toilet rumah makan tadi. Pantas saja perut tak karu-karuan. Wong, didalamnya di rebus.

***BERSAMBUNG***



[1]  Tempat memanggang kelapa untuk mengeringkan sebelum menjadi kopra

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.