Tuesday, October 29, 2013

CERBUNG: Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia (Part 3)

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)

Di Terminal Cicaheum
 
sumber foto: www.bisnis-jabar.com
            Aku berdiri menghadap ke barat. Membungkuk. Entah berapa bus yang keluar masuk. Aku belum masuk ke terminal, sedang menunggu si Manis. Ia janji akan mengantarku di terminal ini, di tempat aku berdiri ini. Bus jurusan Merak Banten telah banyak yang lewat di hadapanku. Dari mulai Bima Suci aku tak menghentikannya. Karena di samping dekat pintu tertulis dengan cetak miring “Executive class”  Fas: AC, Toilet, video, audio, smoking area, dll. Membuat kakiku tak mau melangkah sama sekali. Dan yang kedua Arimbi juga sama punya label kelas elite. Aku tahu benar selera kantongku dan hidupku. Keramat Jati, kelas ekonomi yang lambat sampai tujuan karena jalurnya bukan tol melaikan jalur puncak. Pemandangan yang indah, perkampungan yang asri, gadis desa yang hanya makai kain tersangkut di payudara. Kalau payudaranya kecil kain itu pasti melorot tak mau nyangkut. Jadi, gadis desa yang ingin memakai pinjung harus berpayudara besar kalau tidak, siap-siap saja untuk di lihat oleh siapa saja kalau melorot. Edan!

            Banyak sekali alasan aku memilih kelas ekonomi. Pertama, kelas itu tidak sombong dan lebih merakyat, Kedua, banyak karakter yang akan kutemui disana, dari orang kaya pelit sampai orang miskin yang tak membayar ongkos. Ketiga, kantongku memang sanggupnya membayar kelas ini. ALASAN UTAMA.
           
Belum juga datang si Manis.
            Tubuhku semakin membungkuk.
            Berat sekali tas yang menimpa punggungku ini. Semakin lama semakin berat saja.
            Bus lewat lagi.
            Asap mengepul deras ke mukaku.
            Calo itu menanyaiku mau pergi kemana sebenarnya aku ini?
            Pedagang kelontong itu melihatku dari tadi.
            Wah… wanita itu… pasti dia bilang kalau aku ini orang sinting.
            Sudah satu jam setengah aku berdiri disini.
            Lewat lima detik.
            Wah… si Manis datang.
            Membawa kantong plastik terlihat berat
           
            “Masih lama brangkatnya?”
            “Bukan masih lama berangkatnya, tapi aku sudah lama nunggu kamu disini,”
Ia langsung menggandengku masuk keterminal. Aku yang mengarahkan gerak kakinya menuju loket bus Keramat Jati. Setelah urusan tiket selesai aku dan si Manis duduk di ruang tunggu. Ngobrol sepuasnya. Belum puas juga, bercanda, manja-manjaan, tak ada debat, mumpung masih ketemu. Besok semua ini hanya tinggal bayangan. Jelas sekali itu.
            “Brangkat…Brangkat…” ujar salah seorang dari loket pembelian karcis. Aku langsung mengangkat ranselku melewati kepala. Khas pecinta alam mengangkat tas. Persis sekali, seperti aku ini mau brangkat backpacker. Tapi, perempuan di sampingku yang menghilangkan itu semua. Mana ada backpacker diantar oleh seorang bidadari cantik seperti ini.
            Aku telah menginjakkan kaki kananku di pintu bus. Di iringi irama calo yang berteriak “Ayo..Brangkat…langsung..langsung..” persis seperti dalam sinetron cinta yang lagi buming-bumingnya sekarang ini. Benar sekali mirip sinetron, karena tak lama tangan yang menggendol di sebelah kiri menarikku. Aku terturun kembali hingga sempoyongan, kuda-kudaku tak becus. Tersandar didinding bus.
            “Bang, ingat aku ya…?” mata sayu itu membawa kegundahan yang dalam. Membakar seluruh jiwa ini. Ia memegang pinggangku yang sangat ramping, kurus mungkin lebih pas. Aku mengangguk,
            “Kamu juga,” air mata perempuan yang biasa sangat tegar dan jago debat itu mengucur. Baru kali ini aku melihat ia menangis.

            Ia mencium bibirku… waw! ini bukan di Negara Barat. Timur...
            Semua orang menunduk malu.
            Perempuan yang bilang aku sinting langsung melengos.
            Pedagang kelontong langsung berjalan tak teratur.
            Calo itu hilang di telan bus-bus yang lewat.
            Lama sekali ciuman itu.
            Ciuman terakhir.

Bus pun meraung-raung menghentikan ciuman manis terakhir ini.

            Lepaslah sudah bibir kami.

Tangannya merogoh kantong depan celana jeansnya. Terkeluar sebuah kotak kecil bermotif batik.
            “Bang, sekarang kita tunangan. Pakai cincin ini. Jangan sampai lepas sebelum diganti dengan cincin perkawinan kita nanti,” matanya polos. Cantik nian kali ini pacarku. Kupakai langsung cincin itu. Pas sekali, entah dimana ia bisa tahu seberapa ukuran jari manisku. Benar-benar ia kekasihku yang paling mengerti. Seketika bus berangkat. Aku masuk dan duduk di samping jendela untuk melambaikan tangan kepada tunanganku. Jauh…. jauh… tikungan…  tak tampak lagi….dan … yah…hilang….

            Aku telah bertunangan.
            Siang ini.
            Di terminal Cicaheum.
            Bandung.
            Secepat kilat.
            Tanpa Orang tua atau Wali yang mendampingi.
Hanya Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dan Resita Maulia binti tak tahu… (aku belum pernah menanyakan nama Ayahnya) dan Calo, perempuan itu, pedagang kelontong.
            Mereka bukan saksi.
Yang tahu, tapi tak mendengarkan.
           
***BERSAMBUNG***

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.