Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Di
Terminal Cicaheum
Aku berdiri
menghadap ke barat. Membungkuk. Entah berapa bus yang keluar masuk. Aku belum
masuk ke terminal, sedang menunggu si Manis. Ia janji akan mengantarku di
terminal ini, di tempat aku berdiri ini. Bus jurusan Merak Banten telah banyak
yang lewat di hadapanku. Dari mulai Bima Suci aku tak menghentikannya. Karena
di samping dekat pintu tertulis dengan cetak miring “Executive class” Fas: AC,
Toilet, video, audio, smoking area, dll. Membuat kakiku tak mau melangkah
sama sekali. Dan yang kedua Arimbi juga sama punya label kelas elite. Aku tahu
benar selera kantongku dan hidupku. Keramat Jati, kelas ekonomi yang lambat
sampai tujuan karena jalurnya bukan tol melaikan jalur puncak. Pemandangan yang
indah, perkampungan yang asri, gadis desa yang hanya makai kain tersangkut di
payudara. Kalau payudaranya kecil kain itu pasti melorot tak mau nyangkut.
Jadi, gadis desa yang ingin memakai pinjung harus berpayudara besar kalau
tidak, siap-siap saja untuk di lihat oleh siapa saja kalau melorot. Edan!
Banyak
sekali alasan aku memilih kelas ekonomi. Pertama,
kelas itu tidak sombong dan lebih merakyat, Kedua,
banyak karakter yang akan kutemui disana, dari orang kaya pelit sampai
orang miskin yang tak membayar ongkos. Ketiga,
kantongku memang sanggupnya membayar kelas ini. ALASAN UTAMA.
Belum juga datang si
Manis.
Tubuhku
semakin membungkuk.
Berat
sekali tas yang menimpa punggungku ini. Semakin lama semakin berat saja.
Bus
lewat lagi.
Asap
mengepul deras ke mukaku.
Calo
itu menanyaiku mau pergi kemana sebenarnya aku ini?
Pedagang
kelontong itu melihatku dari tadi.
Wah…
wanita itu… pasti dia bilang kalau aku ini orang sinting.
Sudah
satu jam setengah aku berdiri disini.
Lewat
lima detik.
Wah…
si Manis datang.
Membawa
kantong plastik terlihat berat
“Masih
lama brangkatnya?”
“Bukan
masih lama berangkatnya, tapi aku sudah lama nunggu kamu disini,”
Ia langsung menggandengku masuk
keterminal. Aku yang mengarahkan gerak kakinya menuju loket bus Keramat Jati.
Setelah urusan tiket selesai aku dan si Manis duduk di ruang tunggu. Ngobrol
sepuasnya. Belum puas juga, bercanda, manja-manjaan, tak ada debat, mumpung
masih ketemu. Besok semua ini hanya tinggal bayangan. Jelas sekali itu.
“Brangkat…Brangkat…”
ujar salah seorang dari loket pembelian karcis. Aku langsung mengangkat
ranselku melewati kepala. Khas pecinta alam mengangkat tas. Persis sekali,
seperti aku ini mau brangkat backpacker. Tapi, perempuan di sampingku yang
menghilangkan itu semua. Mana ada backpacker diantar oleh seorang bidadari
cantik seperti ini.
Aku
telah menginjakkan kaki kananku di pintu bus. Di iringi irama calo yang
berteriak “Ayo..Brangkat…langsung..langsung..” persis seperti dalam sinetron
cinta yang lagi buming-bumingnya sekarang ini. Benar sekali mirip sinetron,
karena tak lama tangan yang menggendol di sebelah kiri menarikku. Aku terturun
kembali hingga sempoyongan, kuda-kudaku tak becus. Tersandar didinding bus.
“Bang,
ingat aku ya…?” mata sayu itu membawa kegundahan yang dalam. Membakar seluruh
jiwa ini. Ia memegang pinggangku yang sangat ramping, kurus mungkin lebih pas.
Aku mengangguk,
“Kamu
juga,” air mata perempuan yang biasa sangat tegar dan jago debat itu mengucur.
Baru kali ini aku melihat ia menangis.
Ia
mencium bibirku… waw! ini bukan di Negara Barat. Timur...
Semua
orang menunduk malu.
Perempuan
yang bilang aku sinting langsung melengos.
Pedagang
kelontong langsung berjalan tak teratur.
Calo
itu hilang di telan bus-bus yang lewat.
Lama
sekali ciuman itu.
Ciuman
terakhir.
Bus pun meraung-raung menghentikan
ciuman manis terakhir ini.
Lepaslah
sudah bibir kami.
Tangannya merogoh kantong depan celana jeansnya. Terkeluar sebuah kotak kecil
bermotif batik.
“Bang,
sekarang kita tunangan. Pakai cincin ini. Jangan sampai lepas sebelum diganti
dengan cincin perkawinan kita nanti,” matanya polos. Cantik nian kali ini
pacarku. Kupakai langsung cincin itu. Pas sekali, entah dimana ia bisa tahu
seberapa ukuran jari manisku. Benar-benar ia kekasihku yang paling mengerti.
Seketika bus berangkat. Aku masuk dan duduk di samping jendela untuk
melambaikan tangan kepada tunanganku. Jauh…. jauh… tikungan… tak tampak lagi….dan … yah…hilang….
Aku
telah bertunangan.
Siang
ini.
Di
terminal Cicaheum.
Bandung.
Secepat
kilat.
Tanpa
Orang tua atau Wali yang mendampingi.
Hanya
Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dan Resita Maulia binti tak tahu… (aku belum pernah menanyakan nama Ayahnya) dan Calo,
perempuan itu, pedagang kelontong.
Mereka
bukan saksi.
Yang tahu, tapi tak
mendengarkan.
***BERSAMBUNG***
No comments:
Post a Comment