Friday, June 21, 2013

CERBUNG: Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia (Part 2)

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)



“Aku Mau Pulang Kampung”

            Pulang kampung bagiku suatu dambaan hidup. Berat rinduku pada kampung halaman, sudah melebihi dari berat badanku. Jadi kalau timbang badan, berat badanku sampai seratus dua puluh kilogram. Padahal berat badanku murni hanya lima puluh satu kotor, karena baju dan celana ikut ditimbang, selebihnya itu berat rinduku. Tapi aku teringat kekasihku yang kucinintai ada disini. Dan pasti aku takkan bisa melupakan dia, dia adalah satu-satunya perempuan yang mau menerima aku dari segala macam kekurangan.

Oleh karena itu ikutilah kepulang kampunganku kali ini.
Kalau mau ikut biaya sendiri.
***

Pra Perjalanan

Malam ini mungkin malam terakhir aku berada di Bandung (seperti lagu Roma). Sudah enam tahun aku di kota kembang yang sejuk ini. Sejuk dengan beragam keindahan. Dari mulai aku kerja jadi pedagang kaki lima sampai duduk di bangku kuliahan aku rasakan disini (tidak sejuk). Pahit manisnya kehidupan tepatnya. Esok aku harus pulang kampung. Entah apa yang aku cari. Yang jelas aku telah bosan dengan membawa map dari kantor-ke kantor di Bandung. Aku sudah malu. Malu betul.
Kalau aku berpikir aku akan meniti karir tak sesuai dengan jurusanku, itu bisa saja dan mungkin aku tidak nganggur. Misalnya jadi tukang tambal ban dengan title sarjana, jadi loper Koran dengan pendidikan S1, jadi sopir angkot dengan pengalaman duduk di bangku kuliah selama empat tahun setengah. Tapi aku berpikir dua kali tentang itu. Lima tahun genapnya aku berada di kursi dengan berpegang teori dan praktek tentang jurusan yang kuambil. Tapi kenapa aku harus kerja di lain kemampuanku. Itu sama halnya aku harus mengulang semua dari nol. Harus belajar ulang. Kalau mungkin aku harus mengambil S1 tentang kerjaan yang kupilih itu. Apa ada jurusan tetang tambal ban? Yang ada juga teknik mesin, apa ada jurusan loper koran? Yang ada jurusan cara penulisan berita dalam koran (jurnalistik), apa ada jurusan tentang sopir angkot? Yang ada jurusan sopir pesawat terbang (penerbangan) . Atau sama halnya aku telah membuang hobiku yang telah tertoreh sejak kecil ini. Ah… entahlah…
Masih ingat sebenarnya kata seorang bijak padaku “Sekarang ini kita harus mencari apa yang di butuhkan banyak orang, jangan menunggu orang membutuhkan kita.” Seperti itu katanya. Tapi itu jelas otak-otak kapitalis. Sedangkan aku paling tak suka itu. Benar-benar tak suka. Bagiku kapitalis telah meracuni banyak orang di dunia. Kanapa aku tak membangkitkan gayaku sendiri. Seorang idealis mungkin lebih tepat tertanam di tubuhku. Atau sosialis juga kusuka.
            Kapitalis terkadang banyak benarnya juga. Ia jelas-jelas memikirkan hidup yang lebih baik. Sedangkan idealis terlalu ramah lingkungan. Artinya ia lebih condong terhadap sosial. Sedangkan hidup ini perlu kemakmuran. Apa orang idealis itu tak makmur? Entah…. Aku juga masih belum paham betul tentang pemikiran yang berat-berat ringan seperti ini. Aku hanya ingin dilihat normal oleh mahluk di bumi. Baik itu kapitalis atau idealis aku tak peduli.
            Ransel besarku telah berdiri tegap disampingku. Warnanya semakin menantang bila mataku mendelik[1] kearahnya. Namun satu barang pun belum kumasukkan ke perutnya yang lapar. Masih kosong, hanya udara yang menyesak disana. Padahal ia sanggup menelan seluruh barangku yang ada. Dari baju, celana, kaos kali, kaos dalam, celana dalampun ia sanggup menelannya. Kalau aku pikir-pikir mau menelan celana dalam, apalagi bukan milikku. Cuuh… muntah dibuatnya.
            Masih kulirik-lirik sedikit bajuku, tertumpuk di lemari plastik yang kubeli dari hasil jualan boneka di lapangan depan kantor gubernur Jawa Barat. Lapangan Gasibu. Setiap pagi minggu aku selalu teriak-teriak menawarkan barang daganganku. “Bonekanya….yang boneka..boneka…Buaya..buaya… lumba…lumba…. Yang sayang anak…yang sayang cucu… yang sayang… yang sayang siapa saja….” Memang boneka yang kujual berbentuk binatang, hampir semua. Lumba-lumba, buaya, kucing, tikus, kelinci, kura-kura,…ah… masih banyak lagi pokoknya.
            Semuanya telah terjejer rapi disana. Oleh-oleh untuk orang tuaku juga telah tercenuk di sampingku hasil pembelian si Manis. Lengkaplah sudah semuanya. Hanya tinggal masukkan saja rasanya sangat berat sekali tangan ini. Rasanya aku tak sanggup meninggalkan keindahan kota yang mengajariku tentang kesendirian dan kemandirian sesungguhnya ini. Begitu menarik kota ini untuk di tinggalkan. Bayangkan saja, berapa temanku yang baik-baik harus kulewatkan kebersamaannya. Kami pernah membangun sebuah komunitas sastra yang kecil tapi menggelitik. ruangsunyi. Itu nama komunitas itu. Tanpa sepasi, dan tak memakai huruf capital didepannya. Entah mengapa, aku juga tak pernah mempertanyakan. ruangsunyi itu kami bentuk dari kesamaan saja. Sama-sama melarat, sama-sama gila, bahkan sinting juga sama mungkin. Sunyi katanya, tapi kalau sudah ngumpul ributnya melebihi dari ibu-ibu satu RT sedang ngrumpi, padahal anggotanya hanya empat orang. Membaca sajak yang tak tahu jam telah menunjukkan pukul tiga subuh. Atau ajang balas pantun yang mengalahkan balas suara srigala dari hutan satu ke hutan yang lain saat bulan purnama muncul. Srigala mau kawin.

            Esok aku harus tinggalkan semua kenangan yang indah-indah itu.

            Tapi bagaimana dengan si Manis? Aku terlalu mencintainya. Sepertinya yang membuat baju-bajuku tak mau masuk kedalam ransel gagah-berani itu karena masalah satu ini. Cinta memang susah dikendalikan, diatur, bahkan dinasehati tak mau nurut.
            Rasanya aku tak bakalan sanggup pergi kalau ingat dia.
            Tadi ia menangis tersendu-sendu saat aku katakan aku mau pulang kampung dan mungkin tak kan menginjakkan kaki lagi kesini. Ia sepertinya menangis bahagia karena tak lagi debat denganku masalah kucing tetangga yang kurus. Masalah kenapa becak pengemudianya di belakang, dan masalah aku yang tak pernah menanyakan asal-usulnya. Keluarga melaratkah? Keluarga berdarah birukah? Atau keluarga gelandangan? Aku lebih tidak mujur nasibnya dibanding dia.
            “Suatu saat kalau kita emang jodoh pasti akan bersatu,” kata-kata ini kukutip dari tips-tips menjadi play boy yang baik hati. Dan kata-kata ini sepertinya telah teruji, banyak yang menggunakannya. Kali ini aku mencoba jadi pria kebanyakan itu. Rasanya Tuhan lebih adil menentukan jodoh, takdir dan kehendaknya lebih mulia. Kuingat lagi, dulu aku pernah debat dengannya masalah takdir.
            “Takdir itu murni dari Tuhan,” ujarnya kaku dengan mata mbelalak[2] kearah keningku yang mengkerut. Kubantah dengan teoriku,
            “Manusia diciptakan dengan takdir yang sama semua, Tuhan itu Maha Adil. Tak mungkin ia menciptakan manusia berbeda takdir. Namun, manusianya yang akan mengulik hidupnya. Misal, aku ditakdirkan jadi orang kaya, semua orang juga ditakdirkan jadi orang kaya, tapi usaha kita itu yang paling penting. Jadi, ketika tidak berusaha maka ya…tak kaya. Bila berusaha dengan gigih maka kita akan kaya.” Bagiku itu teori yang sangat relevan sekali pada saat dunia dilanda krisis kepercayaan sekarang ini. Namun, perbedaan kepercayaan kami berdua menjadi keserasian yang ideal. Itulah kami berdua. Setiap masalah kami selesaikan dengan gaya Negara sekarang. Negara yang menggembor-nggemborkan demokrasi namun prakteknya nihil. Nihil. Dalam hubungan kami berdua demokrasi sangat kami junjung. Makan bareng saja selalu belandaskan demokrasi. Lucu juga jadinya.
            Aku pemeluk agama islam sedangkan dia pemeluk agama Kristen tapi kami tak pernah mempermasalahkan semua itu. Kita berdua telah memegang erat pasal 29 ayat 1 dan ayat 2. Kebebasan beragama.
            Besok ia janji mau mengantarku di terminal Cicaheum. Tak jauh dari tempat tinggalku. Sebenarnya kalau dari rumahnya jauh sekali. Harus tiga kali ganti angkot. Jauh bukan?... Aku sudah bilang tak usah mengantarku, cukup dengan doa saja. Dia malah marah-marah, bahkan mengeluarkan dua teori tentang kebersamaan. Teori cinta dari dari berbagai tokoh dunia. Wah… mumet.
            Perbedaan kami bukan cuma kepercayaan. Tapi juga jurusan, pemikiran sampai dengan hobi. Gila, entah apa yang membuat kami bisa terpaut dalam suatu ikatan emosi. Disana pula aku lebih menikmati indahnya kalau kami berdua sedang tidak bersama. Artinya semakin tenang otakku tanpa debat dan alat penguras otak tak beroprasi. Kadang-kadang aku kangen juga jika telah dua minggu tak bertemu. Rindu ejekannya yang kutelan mentah-mentah saat ia menghina pendapatku. Huh.. sakit hati juga. Seketika hilang saat ia mengecup keningku, dan pipiku, juga bibirku. Berganti saja dengan kenikmatan.
           
Lap….!
            Aku tertidur.
            Masih tetap.
            Belum ada satu barangpun yang termuat dalam ransel hijau tua itu.
           
            “Bang, ingat ya… lima tahun dari sekarang kita akan menikah….”
            “Pas tanggal 21 Juli…”
            “Bang, kalau ada salah satu dari kita berdua yang lupa maka Tuhan kita yang akan mengingatkan…. Sekaligus memberikan hukuman…”
            “Jadi kita janji bukan atas nama cinta saja… tapi atas nama Tuhan kita masing-masing….”
            “Aku yang akan datang ke kampung Abang…”
            “Kalau Abang tak datang lagi ke Bandung…”
Wahhhh….!

            Aku begitu tersentak. Duduk dan langsung kuraih air mineral yang tersipu di samping aku terbaring. Jelas sekali suara itu… suara Resita. Suaranya yang merdu sedang berbisik dikupingku. Membisikan janji yang belum pernah kami diskusikan sebelumnya. Demokrasi!!!
            Kutatap lagi ransel yang tak pernah segan meledekku. Ia masih berdiri tegap disana seperti body guard. Menatap semua orang dengan melihatkan ketangguhannya. Mirip sekali. Tapi, mirip juga dengan orang gila yang cengengesan di tepi jalan. Tak pernah takut siapa saja yang ia tertawakan. Presiden kek, polisi kek, preman kek, banci kek, pak lurah, pak RT, Ustadz, Biksu, Pendeta, bahkan dukun santet dan Nenek sihir pun dia tak takut.. Ah, pokoknya siapa saja ia tak pernah takut.
             Mulai kumasukan satu demi satu barang-barang yang tertumpuk. Kumulai dari pakian untuk paling bawah, banyak juga rupanya. Hampir setengah isi dari ranselku. Kumasuklkan kaki kiri untuk menginjak-injak supaya lebih padat dan muat banyak. Aku tak banyak membawa pulang buku-buku bekas kuliah dulu. Sebagian telah kujual di pedagang buku bekas. Untuk tambahan ongkos pulang. Terbilang sudah biasa dikalangan mahasiswa peristiwa seperti ini. Tradisi tak baik. Selesai kuliah maka jual habis buku. Tak haram kata guruku dulu. Cuma tak baik. Pamali.
            Sejenak aku istirahat dan berbaring menghadap ke selatan. Kutatap dinding kamar yang retak-retak dan bercat kusam. Masih dua belas hari lagi aku diusir dari kosan ini. sempat terfikir diotakku untuk mengambil kembalian uang dua belas hari itu. Tapi gila, mungkin aku di beri jurus tanpa nama oleh Ibu kos, terkenal dengan julukan Ibu super bising. Geli aku mengingatnya.
            Poster-poster terbentang dan tersenyum masam. Bahkan salah satu poster ilmuan terkenal mengejekku setiap waktu. Baru pulang kuliah, pulang pacaran, bahkan aku tidurpun dia tak pernah henti mengejekku. Ia poster Albert Einstein, lidahnya menjulur, mungkin kena bahan kimia hasil temuannya sendiri. Tapi aku kagum padanya, makanya aku pajang posternya di kamar.
            Satu lagi poster group musik luar yang dulu pernah melambung. Ia selalu menghiburku dengan seni tarik suara dan seni tato di tubuhnya. Seni lukis tubuh yang memenuhi seluruh area badan. Mungkin di kemaluannya juga ada tatonya. Uh… tak pernah aku membayangkan orang yang mau melukis dibagian situ. Sepertinya konyol kalau tukang tatonya sama jenis. Kalau lawan jenis mungkin tak apa. Tetap saja tak terpikir oleh otakku. Dia Blink 182.
            Aku bukan sok britis atau melupakan tokoh dalam negeri. Satu poster yang aku kagumi dari pihak local. Tangannya terangkat keatas dengan merentang. Dia seorang budayawan yang terkenal. Cak Nun, atau nama lengkapnya Emha Ainun Najib. Foto itu belum kutemui di pasaran, jadi aku print sendiri. Tak besar tapi cukup untuk perwakilan tokoh Indonesia yang aku salutkan.
***


[1] Melotot
[2] Mata yang melebar tapi bukan melotot
 

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.