“Aku
Mau Pulang Kampung”
Pulang kampung
bagiku suatu dambaan hidup. Berat rinduku pada kampung halaman, sudah melebihi
dari berat badanku. Jadi kalau timbang badan, berat badanku sampai seratus dua
puluh kilogram. Padahal berat badanku murni hanya lima puluh satu kotor, karena
baju dan celana ikut ditimbang, selebihnya itu berat rinduku. Tapi aku teringat
kekasihku yang kucinintai ada disini. Dan pasti aku takkan bisa melupakan dia,
dia adalah satu-satunya perempuan yang mau menerima aku dari segala macam
kekurangan.
Oleh karena itu ikutilah kepulang
kampunganku kali ini.
Kalau mau ikut biaya sendiri.
***
Pra
Perjalanan
Malam ini mungkin malam
terakhir aku berada di Bandung (seperti lagu Roma). Sudah enam tahun aku di
kota kembang yang sejuk ini. Sejuk dengan beragam keindahan. Dari mulai aku
kerja jadi pedagang kaki lima sampai duduk di bangku kuliahan aku rasakan
disini (tidak sejuk). Pahit manisnya kehidupan tepatnya. Esok aku harus pulang
kampung. Entah apa yang aku cari. Yang jelas aku telah bosan dengan membawa map
dari kantor-ke kantor di Bandung. Aku sudah malu. Malu betul.
Kalau aku berpikir aku
akan meniti karir tak sesuai dengan jurusanku, itu bisa saja dan mungkin aku
tidak nganggur. Misalnya jadi tukang tambal ban dengan title sarjana, jadi
loper Koran dengan pendidikan S1, jadi sopir angkot dengan pengalaman duduk di
bangku kuliah selama empat tahun setengah. Tapi aku berpikir dua kali tentang
itu. Lima tahun genapnya aku berada di kursi dengan berpegang teori dan praktek
tentang jurusan yang kuambil. Tapi kenapa aku harus kerja di lain kemampuanku.
Itu sama halnya aku harus mengulang semua dari nol. Harus belajar ulang. Kalau
mungkin aku harus mengambil S1 tentang kerjaan yang kupilih itu. Apa ada
jurusan tetang tambal ban? Yang ada juga teknik mesin, apa ada jurusan loper
koran? Yang ada jurusan cara penulisan berita dalam koran (jurnalistik), apa
ada jurusan tentang sopir angkot? Yang ada jurusan sopir pesawat terbang
(penerbangan) . Atau sama halnya aku telah membuang hobiku yang telah tertoreh
sejak kecil ini. Ah… entahlah…
Masih ingat sebenarnya
kata seorang bijak padaku “Sekarang ini kita harus mencari apa yang di butuhkan
banyak orang, jangan menunggu orang membutuhkan kita.” Seperti itu katanya.
Tapi itu jelas otak-otak kapitalis. Sedangkan aku paling tak suka itu.
Benar-benar tak suka. Bagiku kapitalis telah meracuni banyak orang di dunia.
Kanapa aku tak membangkitkan gayaku sendiri. Seorang idealis mungkin lebih
tepat tertanam di tubuhku. Atau sosialis juga kusuka.
Kapitalis
terkadang banyak benarnya juga. Ia jelas-jelas memikirkan hidup yang lebih
baik. Sedangkan idealis terlalu ramah lingkungan. Artinya ia lebih condong
terhadap sosial. Sedangkan hidup ini perlu kemakmuran. Apa orang idealis itu
tak makmur? Entah…. Aku juga masih belum paham betul tentang pemikiran yang
berat-berat ringan seperti ini. Aku hanya ingin dilihat normal oleh mahluk di
bumi. Baik itu kapitalis atau idealis aku tak peduli.
Ransel
besarku telah berdiri tegap disampingku. Warnanya semakin menantang bila mataku
mendelik[1]
kearahnya. Namun satu barang pun belum kumasukkan ke perutnya yang lapar. Masih
kosong, hanya udara yang menyesak disana. Padahal ia sanggup menelan seluruh
barangku yang ada. Dari baju, celana, kaos kali, kaos dalam, celana dalampun ia
sanggup menelannya. Kalau aku pikir-pikir mau menelan celana dalam, apalagi
bukan milikku. Cuuh… muntah dibuatnya.
Masih
kulirik-lirik sedikit bajuku, tertumpuk di lemari plastik yang kubeli dari
hasil jualan boneka di lapangan depan kantor gubernur Jawa Barat. Lapangan
Gasibu. Setiap pagi minggu aku selalu teriak-teriak menawarkan barang
daganganku. “Bonekanya….yang boneka..boneka…Buaya..buaya… lumba…lumba…. Yang
sayang anak…yang sayang cucu… yang sayang… yang sayang siapa saja….” Memang
boneka yang kujual berbentuk binatang, hampir semua. Lumba-lumba, buaya,
kucing, tikus, kelinci, kura-kura,…ah… masih banyak lagi pokoknya.
Semuanya
telah terjejer rapi disana. Oleh-oleh untuk orang tuaku juga telah tercenuk di
sampingku hasil pembelian si Manis. Lengkaplah sudah semuanya. Hanya tinggal
masukkan saja rasanya sangat berat sekali tangan ini. Rasanya aku tak sanggup
meninggalkan keindahan kota yang mengajariku tentang kesendirian dan
kemandirian sesungguhnya ini. Begitu menarik kota ini untuk di tinggalkan. Bayangkan
saja, berapa temanku yang baik-baik harus kulewatkan kebersamaannya. Kami
pernah membangun sebuah komunitas sastra yang kecil tapi menggelitik.
ruangsunyi. Itu nama komunitas itu. Tanpa sepasi, dan tak memakai huruf capital
didepannya. Entah mengapa, aku juga tak pernah mempertanyakan. ruangsunyi itu
kami bentuk dari kesamaan saja. Sama-sama melarat, sama-sama gila, bahkan
sinting juga sama mungkin. Sunyi katanya, tapi kalau sudah ngumpul ributnya
melebihi dari ibu-ibu satu RT sedang ngrumpi, padahal anggotanya hanya empat
orang. Membaca sajak yang tak tahu jam telah menunjukkan pukul tiga subuh. Atau
ajang balas pantun yang mengalahkan balas suara srigala dari hutan satu ke
hutan yang lain saat bulan purnama muncul. Srigala mau kawin.
Esok
aku harus tinggalkan semua kenangan yang indah-indah itu.
Tapi
bagaimana dengan si Manis? Aku terlalu mencintainya. Sepertinya yang membuat
baju-bajuku tak mau masuk kedalam ransel gagah-berani itu karena masalah satu
ini. Cinta memang susah dikendalikan, diatur, bahkan dinasehati tak mau nurut.
Rasanya
aku tak bakalan sanggup pergi kalau ingat dia.
Tadi
ia menangis tersendu-sendu saat aku katakan aku mau pulang kampung dan mungkin
tak kan menginjakkan kaki lagi
kesini. Ia sepertinya menangis bahagia karena tak lagi debat denganku masalah
kucing tetangga yang kurus. Masalah kenapa becak pengemudianya di belakang, dan
masalah aku yang tak pernah menanyakan asal-usulnya. Keluarga melaratkah?
Keluarga berdarah birukah? Atau keluarga gelandangan? Aku lebih tidak mujur
nasibnya dibanding dia.
“Suatu
saat kalau kita emang jodoh pasti akan bersatu,” kata-kata ini kukutip dari
tips-tips menjadi play boy yang baik
hati. Dan kata-kata ini sepertinya telah teruji, banyak yang menggunakannya.
Kali ini aku mencoba jadi pria kebanyakan itu. Rasanya Tuhan lebih adil
menentukan jodoh, takdir dan kehendaknya lebih mulia. Kuingat lagi, dulu aku
pernah debat dengannya masalah takdir.
“Takdir
itu murni dari Tuhan,” ujarnya kaku dengan mata mbelalak[2]
kearah keningku yang mengkerut. Kubantah dengan teoriku,
“Manusia
diciptakan dengan takdir yang sama semua, Tuhan itu Maha Adil. Tak mungkin ia
menciptakan manusia berbeda takdir. Namun, manusianya yang akan mengulik
hidupnya. Misal, aku ditakdirkan jadi orang kaya, semua orang juga ditakdirkan
jadi orang kaya, tapi usaha kita itu yang paling penting. Jadi, ketika tidak
berusaha maka ya…tak kaya. Bila berusaha dengan gigih maka kita akan kaya.”
Bagiku itu teori yang sangat relevan sekali pada saat dunia dilanda krisis
kepercayaan sekarang ini. Namun, perbedaan kepercayaan kami berdua menjadi
keserasian yang ideal. Itulah kami berdua. Setiap masalah kami selesaikan
dengan gaya Negara sekarang. Negara yang menggembor-nggemborkan demokrasi namun
prakteknya nihil. Nihil. Dalam hubungan kami berdua demokrasi sangat kami
junjung. Makan bareng saja selalu belandaskan demokrasi. Lucu juga jadinya.
Aku
pemeluk agama islam sedangkan dia pemeluk agama Kristen tapi kami tak pernah
mempermasalahkan semua itu. Kita berdua telah memegang erat pasal 29 ayat 1 dan
ayat 2. Kebebasan beragama.
Besok
ia janji mau mengantarku di terminal Cicaheum. Tak jauh dari tempat tinggalku.
Sebenarnya kalau dari rumahnya jauh sekali. Harus tiga kali ganti angkot. Jauh
bukan?... Aku sudah bilang tak usah mengantarku, cukup dengan doa saja. Dia
malah marah-marah, bahkan mengeluarkan dua teori tentang kebersamaan. Teori
cinta dari dari berbagai tokoh dunia. Wah… mumet.
Perbedaan
kami bukan cuma kepercayaan. Tapi juga jurusan, pemikiran sampai dengan hobi.
Gila, entah apa yang membuat kami bisa terpaut dalam suatu ikatan emosi. Disana
pula aku lebih menikmati indahnya kalau kami berdua sedang tidak bersama.
Artinya semakin tenang otakku tanpa debat dan alat penguras otak tak beroprasi.
Kadang-kadang aku kangen juga jika telah dua minggu tak bertemu. Rindu
ejekannya yang kutelan mentah-mentah saat ia menghina pendapatku. Huh.. sakit
hati juga. Seketika hilang saat ia mengecup keningku, dan pipiku, juga bibirku.
Berganti saja dengan kenikmatan.
Lap….!
Aku
tertidur.
Masih
tetap.
Belum
ada satu barangpun yang termuat dalam ransel hijau tua itu.
“Bang,
ingat ya… lima tahun dari sekarang kita akan menikah….”
“Pas
tanggal 21 Juli…”
“Bang,
kalau ada salah satu dari kita berdua yang lupa maka Tuhan kita yang akan
mengingatkan…. Sekaligus memberikan hukuman…”
“Jadi
kita janji bukan atas nama cinta saja… tapi atas nama Tuhan kita
masing-masing….”
“Aku
yang akan datang ke kampung Abang…”
“Kalau
Abang tak datang lagi ke Bandung…”
Wahhhh….!
Aku
begitu tersentak. Duduk dan langsung kuraih air mineral yang tersipu di samping
aku terbaring. Jelas sekali suara itu… suara Resita. Suaranya yang merdu sedang
berbisik dikupingku. Membisikan janji yang belum pernah kami diskusikan
sebelumnya. Demokrasi!!!
Kutatap
lagi ransel yang tak pernah segan meledekku. Ia masih berdiri tegap disana
seperti body guard. Menatap semua
orang dengan melihatkan ketangguhannya. Mirip sekali. Tapi, mirip juga dengan
orang gila yang cengengesan di tepi jalan. Tak pernah takut siapa saja yang ia
tertawakan. Presiden kek, polisi kek, preman kek, banci kek, pak
lurah, pak RT, Ustadz, Biksu, Pendeta, bahkan dukun santet dan Nenek sihir pun
dia tak takut.. Ah, pokoknya siapa saja ia tak pernah takut.
Mulai kumasukan satu demi satu barang-barang
yang tertumpuk. Kumulai dari pakian untuk paling bawah, banyak juga rupanya.
Hampir setengah isi dari ranselku. Kumasuklkan kaki kiri untuk menginjak-injak
supaya lebih padat dan muat banyak. Aku tak banyak membawa pulang buku-buku
bekas kuliah dulu. Sebagian telah kujual di pedagang buku bekas. Untuk tambahan
ongkos pulang. Terbilang sudah biasa dikalangan mahasiswa peristiwa seperti
ini. Tradisi tak baik. Selesai kuliah maka jual habis buku. Tak haram kata
guruku dulu. Cuma tak baik. Pamali.
Sejenak
aku istirahat dan berbaring menghadap ke selatan. Kutatap dinding kamar yang
retak-retak dan bercat kusam. Masih dua belas hari lagi aku diusir dari kosan
ini. sempat terfikir diotakku untuk mengambil kembalian uang dua belas hari
itu. Tapi gila, mungkin aku di beri jurus tanpa nama oleh Ibu kos, terkenal
dengan julukan Ibu super bising. Geli aku mengingatnya.
Poster-poster
terbentang dan tersenyum masam. Bahkan salah satu poster ilmuan terkenal
mengejekku setiap waktu. Baru pulang kuliah, pulang pacaran, bahkan aku
tidurpun dia tak pernah henti mengejekku. Ia poster Albert Einstein, lidahnya
menjulur, mungkin kena bahan kimia hasil temuannya sendiri. Tapi aku kagum
padanya, makanya aku pajang posternya di kamar.
Satu
lagi poster group musik luar yang dulu pernah melambung. Ia selalu menghiburku
dengan seni tarik suara dan seni tato di tubuhnya. Seni lukis tubuh yang
memenuhi seluruh area badan. Mungkin di kemaluannya juga ada tatonya. Uh… tak
pernah aku membayangkan orang yang mau melukis dibagian situ. Sepertinya konyol
kalau tukang tatonya sama jenis. Kalau lawan jenis mungkin tak apa. Tetap saja
tak terpikir oleh otakku. Dia Blink 182.
Aku
bukan sok britis atau melupakan tokoh dalam negeri. Satu poster yang aku kagumi
dari pihak local. Tangannya terangkat keatas dengan merentang. Dia seorang
budayawan yang terkenal. Cak Nun, atau nama lengkapnya Emha Ainun Najib. Foto
itu belum kutemui di pasaran, jadi aku print sendiri. Tak besar tapi cukup
untuk perwakilan tokoh Indonesia yang aku salutkan.
***
No comments:
Post a Comment