Di Tepi
Pantai
![]() |
Foto: @mulyadi_saputra |
Dua sosok manusia
tercenuk di pasir. Beralaskan ponco (Jas Hujan) warna hitam, segelas kopi
(gelas dari bambu) bertangkai, dan beberapa batang rokok (berbeda merk) harga
murahan, tapi kami tidak melakukan seperti halnya lagu Jamrud ‘telat tiga bulan’ karena kami sama-sama
pria. Obrolan hangat mengunci kami untuk
tidak pergi dari tempat yang deras dengan deburan angin. Suara ombak
adalah soundtrack yang indah dari tepi pantai. Desiran pasir sebagai soundbite,
suara bising di luar sana menjadi pengecoh. Mau berpihak pada kami atau kafe
yang ada disana. Itulah pilihan yang harus di jawab sebelum kami dan kafe itu
lenyap ditelan malam. Ternyata banyak yang berpihak pada kafe. Kami tak punya daftar menu malam ini…
Sebenarnya kami berada
disana bertiga. Aku, Ivan, dan Hadi. Namun Hadi lebih tak mujur untuk menikmati
malam indah yang mungkin akan dinikmati entah kapan lagi. Ia buru-buru tidur
karena kantuknya telah menyerang. Biasa kami sebut dia PELOR (nempel molor),
sebutan tak enak di cerna telinga. Dia santai saja.
Pantai ini telah
membawa Indonesia tercemar ke Negara-negara lain. Membuat Negara Indonesia
lebih terpandang dari segi pariwisata. Tapi disana pula Negara ini tercemari
oleh virus-virus bawaan bule. Kalau dari segi mode, tanpa ada pantai ini juga
dapat merasuk, melalui media atau melalui mulut ke mulut. Tapi virus ini sangat
bahaya, virus yang tak mungkin menular dari berbicara saja (virus Flu), tak
dapat merasuk hanya dengan membuka program (virus komputer). Virus itu mirip
dengan HIV, tapi tidak mematikan, hanya system penularannya hampir mirip,
melalui hubungan seksual. Penyakit ini tak dapat disembuhkan. Virus itu
menyerang laki-laki dan perempuan. Tunggu beberapa bulan setelah terinfeksi,
nyata dan wujud hasil virus itu. Kulit putih, meski di jemur hanya berubah
merah. Rambut pirang, di cat hitampun tiga hari kemudian akan terlihat tumbuh
barunya pirang lagi, itu namanya ALBINO. Virus dari BULE. Ketipu!!!
Aku bilang sekali lagi.
Kami berdua duduk bukan sekedar menikmati suhu pantai. Tapi, obrolan kami lebih
dari itu. Obrolan yang mengungkit tentang Nasionalisme, sosialisme, kaderisme,
sampai wanitanisme. Wajar!
Tertawa, itulah
tambahan yang membuat kami lupa diri. Berbaring untuk meluruskan otot-otot. Dan
mengenyut rokok semakin enak saja. Malam yang terus beringsut tak membuat kami
tersadar. Aku bertanya Ivan menjawab, Ivan bertanya dan aku…
“Kalau selesai kuliah
ntar lu mau kemana? Trus mau kerja apa?”
Aku masih diam tak menjawab. Ada-ada
saja temanku ini, menanyakan hal yang tersulit. Bahkan SANGAT TERSULIT SEKALI.
(kutulis dengan huruf capital agar mengintonasikan lebih sulit)
“Hah..” tegasnya lagi.
Aku
mulai berpikir kencang.
Sekencang
angin yang meniup api rokokku.
Sederas
ombak yang serta merta membantai pelipis pantai.
Sesadis
kantuk yang menyerang Hadi.
Itu
yang dapat kugambarkan.
Kalau
aku menjawabnya mungkin angin akan berhenti, ombak pun berhenti, desiran pasir
pun berhenti. Berhenti grak!
^^>BERSAMBUNG<^^
No comments:
Post a Comment