Bagian 22
Semua Terjawab
Sekitar jam tujuh malam ia telah melesat
ke sebuah kafe. Sewaktu mereka berdua pacaran mereka biasa kencan disana.
Suasana sejuk menerpa saat di perjalanan. Setelah sampai kafe itu sudah ramai
ia duduk di kursi yang dulu biasa mereka berduan.
Satu
jam berlalu. Ia masih menunggu kedatangan Debi. Beberapa kali ia melihat
lengannya. Satu gelas jus orange menghiasi meja. Satu bungkus rokok dan korek
tergeletak dismping. Asbak telah terisi beberapa puntung. Debi belum juga
datang.
“Apa
dia hanya ngerjain gua ya.....?” tatapannya kosong kearah pintu masuk kafe.
“Eh..belum..belum...
eh... Debi... lama tau... kok dari belakang...?” kaget bercampur kesal dan
bahagia.
“Gua
sih datang dari tadi tapi, gua ngetes elo..dulu. gua duduk di sebelah sono.”
Tunjuk jarinya menunjukkan arah meja disudut kanan. Ivan terlihat kesal.
“Apa
maksud lo..ngetes-ngetes gua. Emang gua cowok apaan...” ia kesal dari tadi ia
sudah begitu marah.
“Gua
dari tadi clingak-clinguk kayak orang bloon. Elo malah nertawaain gue..” Ivan
berdiri meraih rokok yang ada di meja.
“Van....tunggu
dulu ...” Debi menarik tangan Ivan untuk duduk kembali.
“Gua
Cuma mau bilang ... maafin Syerli... dia tak pernah bersalah dalam hubungan
kita dulu. Supaya dia tenang di alam sana.
Kami dari dulu hanya teman. Elo aja yang begitu cemburuan.” Ivan membuka
bungkus rokoknya lagi namun Debi langsung menariknya.
“Elo
masih kayak dulu Van... gua sayang elo...” ucap Debi tulus. Dalam hati Ivan
berpesta fora menghadapi hari bahagia itu.
Ivan
hanya senyum membalas apa yang dikatakan Debi, ia memang sosok cowok yang
sangat hebat mengontrol emosi dan berpura-pura emosi.
Mereka
berjalan menuju tempat parkir. Dekapan mesra mengiringi perjalanan itu. Meski
begitu kencang angin menerpa saat berkendaraan motor, dan suasana Bandung
begitu sejuk. Tak membuat mereka kedinginan.
****
Hari
minggu adalah hari yang membusankan baginya dari dahulu. Dengan sebab-sebab
yang tak masuk akal. “Nggak ada kegiatan,
nggak ada kuliah, main, jalan-jalan juga malas. Mendingan kuliah bisa belajar,
ngumpul atau apa aja yang penting nggak boring,” Itu yang selalu
menyertainya dalam setiap hari minggu tiba.
Terlihat hari ini ia bangun lebih cepat,
mandi dan santai di depan TV. Acara TV memang sekarang mulai kacau. Banyak yang
tidak mendidik, lebih membosankannya lagi cerita percintaan untuk anak-anak
dibawah umur. SD.sangat merusak coba pikirkan sejenak, bagai mana nasib bangsa
jika anak didik kita yang masih belum bisa mencari dan membagi waktu langsung
di cekokin sama senetron mereusak. Ia pindah duduk, masuk kekamar menyalakan
laptopnya. Tak disangka karyanya sudah lumayan banyak. Namun ia masih belum
tahu atas kelebihan dan kekurangan tulisannya itu.
Seorang
loper melemparkan koran tepat menghempas pintu rumahnya. Ia begitu kaget karena
suara yang kencang dari arah sana. Ia keluar untuk mengambil dan akan
membacanya. Ia membuka dari halaman pertama dengan tajuk politik halaman kedua
terus ia baca meski hanya intisarinya saja. Deg.....! di rublik sastra.
Tertulis besar namanya dibawah judul cerpen. Ia meloncat dahsyat sambil
berteriak,
“Yes...Yes....!”
entah apa. Bibi keluar tergopoh-gopoh.
“Ada
apa..?” tanya Bibi sambil membawa selembar lap ditangan kirinya.
“Bi,
tulisan saya di muat,” ucapnya girang. Sambil menggenggam tangannya dan masih
berteriak-teriak kecil.
“Iya,
mana ...?” Bibi mendekat Ivan sambil ingin melihat koran itu. Entah apa
maksudnya, menyenangkan hati Ivan atau memang ia mendukung. Tak jelas.
Akhirnya
semua terjawab apa yang selama ini ia dambakan. Dari pertanyaan saat di
komunitas sampai tugaspun terselesaikan. Tak sia-sia seseorang yang menanyakan
karyanya. Ia menjadi terbakar semangat untuk bisa menjawab pertanyaan itu.
Pepatah mengatakan kalau lautan tenang tak
bisa menciptakan nahkoda yang hebat. Ivan masih senyum-senyum sendiri sambil mengingat-ingat
apa yang dikatakan seseorang padanya dulu.
“Kerja keras akan menuai hasil yang memuaskan,” ia meraih koran itu lagi
untuk melihat cerpen yang terpampang disana, dengan ilustrasi lukisan abstrak.
Ia begitu bangga.
*****
Ivan
dan Debi sering jalan bareng, ketempat-tempat yang dulu pernah mereka datangi
sebagai alat pengingat dari nostalgia mereka dulu. Tidak jarang Debi menanyakan
tentang keseriusan Ivan kali ini, dan begitu pula Ivan juga sering menanyakan
tentang kecintaan Debi padanya. Namun Ivan sering menanyakan kalau Debi banyak
perubahan dan sering menutupi permasalahan mereka berdua.
“Deb,
sepertinya elo banyak nyimpan sesuatu,” ujar Ivan sambil menatap kening Debi
dengan mata yang sungguh banyak menyimpan tanda tanya. Debi terlihat gerogi dan
cemas dari sorot matanya. Dan bibirnya tegetar-getar tak jelas.
“Aku
hanya menyimpan cintamu Van, yang lain itu hanya sekedar ilusi saja. Aku takut
kita pisah lagi seperti dulu.” Debi memegang tangan Ivan erat. Ivan begitu
bahagia mendengar ucapan manis itu. Namun sebenarnya banyak yang ditutupi oleh
Debi.
Kafe
yang disinari oleh lampu-lampu kecil tertempel di dinding. Seakan menyatakan
kalau kesahduan ada pada mereka berdua. Sesaat mereka juga meninggalkan tempat
itu, malam telah berada ditengah-tengah diantara malam yang panjang itu. Dihati
Ivan masih terus bertanya mengapa Debi begitu berubah.
Debi
tak tentu pikirannya. Ia sering mengurung diri dikamar dan menangis sendiri.
Kedua orang tuanya sama sekali tak mengetahui apa yang sedang dialami oleh
Debi. Yang jelas Debi selalu tertutup tetang masalah itu, tak hanya orangtuanya
teman dan kekasihnya juga tak diberitahunya. Namun, hanya kekasihnya dulu yang
mengetahui segalanya. Debi terus seperti itu, setelah ditinggalkan pergi oleh Irza
seorang pengusaha muda. Mereka menjalin hubungan selama lima bulan saat Irza
menjalankan bisnis di Bandung. Padahal Debi tahu kalau Irza telah berumur tidak seperti kekasih-kekasihnya dulu yang
masih sekolah, kuliah.
Kedewasaan
Irza membuat Debi menjadi terkelabui seluruh pikiran dan bagaimanapun Debi
menjadi terhanyut begitu saja. Sedangkan Ivan sendiri tidak pernah tahu semua
tentang kedewasaan. Ia hanya seorang cowok yang berhasrat muda.
From : Debi 00:12:03
Van, ak tkut klu km kan ninggln ak.
Kta nikah yuk Van
Ivan begitu kaget membaca SMS yang tiba-tiba
mengajak nikah.
“Apa
sih maunya dia...?” gumam Ivan sambil mengetik SMS balasan. Didalam benaknya
semakin tidak karuan saja.
To : Debi 00:18:27
Deb, gw semkn pnsaran ma pmkran lo skrng.
Lo kok bgtu
brbah ga sprt dlu, gw msh kul ga mkn klu
gw nkh trus yg
ksh mkn ank kta spa lo jgn gila.
“Sent”
Ivan lalu pergi kedapur untuk menyeduh
kopi hangat. Setelah tiga jam lebih menghadap layar LCD. Ia masih begitu
semangat menulis cerpen. Suara musik dari laptop-nya terdengar bersih
mengalunkan lagu Avril. Ivan masuk sambil mengikuti lirik lagu itu. Kopi yang
ia bawa ditaruh disamping laptop dan ia langsung menikmatinya dengan sebatang
rokok. Dilayar ponselnya terlihat gambar amplop. Ia meranggehnya.
From : Debi 00:19:58
Van, km ga
serius y ma ak? Ak tkut khlngan km lg, ak sngt mncintai km.
To : Debi 00:23:01
Ktika smua cnta
hnya kbut, ak dlintasi hujan dsna
Ktika ak trpuruk
ak bsah
Ak tak mampu
mnyalahkan siapa pun
Tpi, aku tak
lari, ak tak pngecut
Tpi, ak tak
sggup.
“Sent”
Ia meneruskan menghisap rokoknya dan menyeruput
kopi yang terhidang disampingnya.
Sekitar
jam dua ia membaringkan tubuhnya diatas kasur yang terhampar indah menanti
untuk segra ditiduri.
“Halo,
ada apa Deb, kok belum tidur juga jam segini,”
“Aku
rindu ma kamu Van, aku pengen kita cepet nikah.”
“Ya
nggak mungkin lah. Aku masih kuliah kamu sekolah. Terus kita masih terlalu muda
untuk mengurus rumah tangga. Bukan aku nggak serius ma kamu. Kamu itu sekarang
malah seperti kekanak-kanakan. Aku mau tidur.”
“Van,
tunggu. Aku ingin cepet punya keluarga seperti artis-artis muda yuang sudah
berkeluarga,”
“Udah,
ngelindurnya. Aku bosen denger orang mimpi terus menerus,” Ivan langsung menon
aktifkan ponselnya karna sekarang sudah larut malam.
****
Pagi yang indah dengan hiasan awan di langit
dan gunung-gunung yang masih tertutup oleh kabut. Burung-burung berkicau
merayakan terbitnya matahari dan kupu-kupu terbang menghinggapi bunga-bunga
yang manis dengan madu. Namun, kamar Ivan
masih gelap hanya cahaya dari lampu panjar dan suara musik dari radio yang
telah memulai siaran dari pagi tadi.
“Van, bangun udah siang,” Ibunya
membangunkan dari luar namun tak banyak yang dikatakan. Hanya sekedar lewat
saja. Ia mendengar itu tapi, ia meneruskan untuk mimpinya yang begitu pendek.
Ponselnya berdering, ia menjamahnya,
“Ada apa To” ucapnya dengan suara lesu.
“Hari ini ada kuliah nggak Van..? elo
belum bangun ya...?”
“Ah,...udah. ada kuliah nanti jam sepuluh
dua puluh, elo kuliah nggak..?”
“Kuliah lah... sori ya ganggu,”
“Yooi” Anto langsung menutup pembicaraan
singkat itu. Ivan duduk dan mematikan radio kemudian membuka tirai jendelanya.
“Udah siang rupanya,” matanya
terkedip-kedip silau.
“Selamat pagi dunia.” Ucapnya sambil
melihat alam sekitar dengan kesegaran. Tertegun.
Setelah sampai kampus ia menceritakan
semuanya pada Anto kalau kemauan Debi semakin tak karuan. Namun tanggapan Anto
malah meremehkan,
“Itu hanya mengetes elo aja sebenernya, ia
ingin tau seberapa keberanian elo dan keseriusan elo doank,” begitu Anto
memberi saran.
“Jadi, gua harus bilang kalau gua mau
nikah ma dia, gitu...” tanggap Ivan selintas menerjemahkan perkataan Anto.
“Iya... elo berani nggak...?” sambil
menepuk-nepuk pundak Ivan. Sesaat semua terdiam bisu setelah mendengar suara
klakson Gugun yang baru saja melintas. Anto melambai-lambaikan tangan.
Setelah semuanya masuk ke kelas mereka tak
lagi membahas persoalan luar melainkan mata kuliah yang sedang berjalan saat
itu. Namun Anto masih asik dengan ponselnya untuk membalas SMS yang telah
numpuk di memory ponselnya.
***
Malam
yang dipenuhi bintang. Disebuah kafe kecil duduk dua orang manusia. Ivan dan
Debi. Mereka saling pandang seperti tersimpan banyak masalah diantara mereka
berdua. Ia memegang erat tangan Debi dan Debi sendiri seperti tak merasakan
apa-apa, pandangannya kosong namun raut mukanya penuh kekacauan.
Debi
memulai pembicaraan dengan kata demi kata yang masih terdengar sama. Kekalutan
dan kehancuran talah terbentang di lahan luar sana. Bagaikan hutan yang telah
gundul. Tak menyerap air dan udara yang kotor. Bagaikan laut yang tenang dan
penuh limbah. Tak ada ikan yang bisa hidup dan tak dapat diminum airnya.
“Van,
besok kedua orang tuaku mengundang kamu makan malem,” Ivan masih tak menjawab.
Namun ia masih menyeleksi setiap kata yang terkeluar dari mulut kekasihnya itu.
“Aku
ingin kita cepat menikah.” Kata Debi lagi.
“Deb,
gua siap nikah ma elo. Tapi, nggak sekarang. Gua dateng entar malem,” menjamah
jus alfukad yang terserak didepannya dan kemudian ia menyalakan rokok.
***
Hidangan
makan malam telah tersaji indah dengan hiasan dedaunan dan buah-buahan disisi
kirinya. Hanya tinggal menunggu penyantap yang lahap. Suara beel terdengar Debi
dengan wajah ceria lari mencicit menuju pintu untuk menyambut hadirnya pujangga
yang datang membawa sayap dan panah untuk menyelamatkan dirinya dari pembusukan
oleh Irza.
Ivan
masuk digandeng erat oleh Debi sampai di depan kedua orang tuanya. Ivan
berusaha melepaskan genggaman itu namun Debi justu memegangnya lebih erat.
“Malam
Om...Tante...” penuh hormat.
“Malam,
apa kabar Van...kok nggak pernah main kesini lagi sudah lama,” Ibunya menjawab
dengan senyum ramah.
Sebelum
semua acara dimulai mereka saling ngobrol basa-basi dan dia terus dicecer
pertanyaan-pertayaan dari kedua orangtua Debi. Jika semua dicatat dan melalui
moderator seperti dalam diskusi maka terhitunglah seratus terment pertanyaan
dan setiap terment-nya berisikan tiga pertanyaan. Namun ia sebagai panyaji atau
narasumber yang baik berusaha untuk menjawab bagaimanapun sulitnya pertanyaan
itu.
“Yuk,
semuanya kedalam...semuanya telah siap kok,” Debi menyuruh menyantap hidangan
yang ia siapkan sejak sore tadi. Untung ia pernah kursus masak.
Saat
makan berjalan, pertanyaan juga masih terus menyerbu sampai ia tak kuasa
sepertinya menelan hidangan yang sungguh lezat itu. Ia juga mulai berfikir
pertanyaan yang dari tadi ia jawab semuanya berunsur keluarga dan rumah tangga.
“Apa
gua disuruh nikah beneran,” dalam benaknya berdebar-debar. Setelah makan
selesai ia seperti sedang dalam mahkamah agung dan sedang dalam sidang yang
menentukan hidup atau mati.
“Van,
kamu siap menikah kan...?” Ivan seribu gugup dan cengengesan tak karuan.
“Tante,
Oom, saya masih muda. Dan perjalanan saya masih panjang. Dan kawin muda itu
bukan jalan yang pernah aku fikirkan. Aku masih ingin berpetualang mencari
hidup yang lebih baik,” seketika perkataannya langsung dipotong,
“Lho,
itu nggak sesuai sama perkataanmu tadi. Kamu itu tidak mau bertanggung
jawab...!” mukanya memerah, seketika mendengar apa yang dijawab Ivan. Dan
Ibunya juga menambahkan,
“Kamu
segharusnya jentelmen dong, kamu sudah menghamili Debi lalu kamu nggak mau
menikahinya. Kamu lelaki apa. Pokoknya Tante dan Om tidak mau tau kamu harus
nikahi Debi secepatnya.” Debi menangis dan tertunduk kasihan melihat Ivan yang
gugup.
“Saya
pacaran sama Debi baru berjalan satu minggu dan saya belum pernah melakukan
sesuatu apapun padanya. Bagaimana bisa hamil. Meski berandalan seperti ini saya
tidak akan mau bersetubuh di luar nikah, berarti anak Tante dan Om yang menjadi
perek,” kekesalan Ivan begitu melunjak ia langsung lari keluar dari rumah
bangsat itu baginya.
“Keparaaaaaat....!”
ia mengumpat sekuat-kuatnya didepan pagar rumah Debi yang mewah. Debi hanya
bisa lari ke kamar sambil menangis menyesali perbuatannya yang membuat ia hina
dihadapan semua orang.
Suara
kenalpot motornya begitu kencang dengan gas yang keras pula. Ia tidak langsung
pulang, setir motornya menuju ke kafe tempat ia biasa menyendiri dan biasa
mabuk.
Ia
tersandar lemas oleh minuman-minuman yang mengandung kadar al-kohol tinggi.
Ponselnya tak henti-henti berbunyi namun ia hanya melihat dari siapa lalu ia
mematikannya. Ia begitu kesal dengan semuanya, ia terjebak. Kecewa.
“Halo.”
Suara mabuk telah terkeluar saat ia menerima telpon dari Debi.
“Ada
apa perek murahan. Bajingan elo.”
“Van,
Van,” namun telah di matikan ponselnya. Ia terus menenggak minuman itu sampai
ia tak sanggup lagi bergerak, hanya seorang perempuan malam yang terus
mengurusnya sampai ia tertidur dan membawa Ivan ke hotel. Ia juga tak sadar
siapa perempuan itu dan apa maksudnya, padahal Ivan tak pernah berhenti
memaki-maki perempuan itu. Mungkin pikirannya telah berlumur kekesalan dengan
Debi.
Ia
di tinggalkan sediri di kamar hotel kawasan Dago. Namun semua uangnya habis di
bawa oleh perempuan itu. Setelah pagi menjelang ia sadar akan semuanya ia
langsung pulang dengan bertambah kesal dengan seluruh perempuan, kecuali Ibu
dan saudaranya. Dibenaknya masih terdengar umpatan-umpatan memaki perempuan.
Setelah
sore menjelang ia baru sampai rumah. Raut mukanya seperti orang gila karena
semuanya kacau. Ia terus merasa dihantui oleh ucapan kedua orangtua Debi malam itu. Namun ia sekarang ini sudah
sedikit tenang. Ia menerima telpon dari Debi,
“Halo,
perek...ada apa lagi mau ditemani malam ini,” ujar Ivan menghina.
“Van,
aku nggak maksud menjerumuskan kamu, tapi, siapa lagi yang bisa menolong aku.
Cuma kamu yang orang tuaku percaya.”
“Elo
perek, ya wajar kalau elo hamil. Toh, aku nggak akan pernah mau nikah ma lo,
apa lagi nikah... ketemu aja najis,”
“Van,
aku memang orang bejat tapi, aku hilaf dan aku ingin memperbaiki hidupku,”
terdengar sendu tangisan dari sana.
“Sudahlah,
yang jelas aku nggak mau, salam ma ortumu bilang bukan Ivan yang menghamili
aku. Tapi aku ini perek Yah...! dada...mudah-mudahan anak lo lahir bukan cewek
kayak elo,” tut..tut... terdengar suara hubungan yang terputus.
Sesaat
setelah makan malam dirumahnya Ivan langsung tertidur karena badannya terasa
sakit semua dan lelah akibat cairan al-kohol yang menyebar ditubuhnya. Ia
tidur. Tak seperti biasa didepan laptop sampai larut.
***
Pagi-pagi
sekali ia telah bangun dan mandi. Ia seperti berubah dari biasanya. Semua orang
di rumahnya keheran-heranan melihat Ivan bangun pagi. Setelah meminum kopi susu
dan sebatang rokok ia membaca majalah. Masih garuh. Ponselnya berbunyi dibalik
saku celana jeans-nya.
“Nomor
tidak dikenal..dari siapa ya...” ucapnya lirih. Namun ia mengangkat telpon itu.
“Halo...”
“Halo...ini
dengan Ivan..?” tanya penelpon itu.
“Iya,
dari siapa ya ini...?”
“Dari
Om, orang tua Debi,”
“Om,
asal tau saja saya tak pernah berhubungan intim sama Debi. Saya lama putus
dengan dia, sekitar setahun yang lalu. Dan kami pacaran lagi baru seminggu yang
lalu. Jadi, kalau saya menghamili Debi itu hal yang sangat mustahil,”
“Debi
telah tiada. Tadi malam ia bunuh diri di kamarnya,” hati Ivan semakin kacau. Ia
merasa membunuh seseorang.
“Ia bunuh diri karena aku tak mau menikahinya.”
Dalam benaknya berfikir sambil mendengarkan ucapan Om.
“Om
Cuma mau kasih kabar itu saja,” seketika suara itu terputus.
Ia
mengacak-ngacak rambutnya. Garuh tak karuan.
“Kenapa
semua ini harus terjadi...............” merintih batinnya. Lalu ia masuk dan
mengganti pakaian hitam-hitam.
“Mau
kemana Van..?” tanya Ibu sambil menyiapkan sarapan.
“Temen
aku ada yang meninggal Bu...aku pergi dulu,” pamit Ivan sambil memakai jaket.
“Hati-hati,”
ujar Ibu penuh kasih sayang.
Selama
diperjalanan ia terus berpikir,
“Betapa simple hidup ini. Betapa tidak
berartinya hidup ini. Apa aku ini juga tak berarti selama didunia...? mengapa
orang semakin tidak sayang dengan hidupnya sendiri. Siapa yang bisa memberi
kedamaian dalam hidup selain jiwa kita,” berisi penuh inspirasi dalam otaknya
kali ini.
“Wah, ini bisa menjadi novel,” tersenyum
sendiri di balik helm berkaca itu.
“Ah....itu hanya mengambil hikmah dari
semua kejadian,” bantahnya setelah ia berfikir kalau ia tertawa di atas
penderitaan orang lain.
“Nggak...nggak... karena tuhan menciptakan
semua pasti ada manfaatnya,” keramaian dan tangis menghentikan seluruh
pikirannya itu. Busana hitam dan tangisan adalah lambang duka yang terlihat
dari mulai masuk rumah Debi.
Sosok terbujur di tutup oleh kain panjang
adalah kekasihnya kemarin yang sempat membuat ia stres sekejap.
“Aku harus lebih hati-hati untuk menilai
seseorang, tak semua orang yang kukenal baik. Dan dulu itu telah lain dari
sekarang. Dia dulu tak seperti itu,” masih saja hatinya berkata-kata tak karuan.
“Ah..aku harus lupakan semua itu,”
**The End**
Bandung, Sabtu, 22 September
2007
Mulyadi saputra
>>>CERITA LAIN "KLIK"<<<
No comments:
Post a Comment