Tuesday, April 23, 2013

Cerbung : Perempuan Setengah Hati 22

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)



Bagian 22 
Semua Terjawab
Sekitar jam tujuh malam ia telah melesat ke sebuah kafe. Sewaktu mereka berdua pacaran mereka biasa kencan disana. Suasana sejuk menerpa saat di perjalanan. Setelah sampai kafe itu sudah ramai ia duduk di kursi yang dulu biasa mereka berduan.
            Satu jam berlalu. Ia masih menunggu kedatangan Debi. Beberapa kali ia melihat lengannya. Satu gelas jus orange menghiasi meja. Satu bungkus rokok dan korek tergeletak dismping. Asbak telah terisi beberapa puntung. Debi belum juga datang.
            “Apa dia hanya ngerjain gua ya.....?” tatapannya kosong kearah pintu masuk kafe.
            “Hai.....udah lama...?” Debi menyapa dari belakang.
            “Eh..belum..belum... eh... Debi... lama tau... kok dari belakang...?” kaget bercampur kesal dan bahagia.
            “Gua sih datang dari tadi tapi, gua ngetes elo..dulu. gua duduk di sebelah sono.” Tunjuk jarinya menunjukkan arah meja disudut kanan. Ivan terlihat kesal.
            “Apa maksud lo..ngetes-ngetes gua. Emang gua cowok apaan...” ia kesal dari tadi ia sudah begitu marah.
            “Gua dari tadi clingak-clinguk kayak orang bloon. Elo malah nertawaain gue..” Ivan berdiri meraih rokok yang ada di meja.
            “Van....tunggu dulu ...” Debi menarik tangan Ivan untuk duduk kembali.
            “Gua Cuma mau bilang ... maafin Syerli... dia tak pernah bersalah dalam hubungan kita dulu. Supaya dia tenang di alam sana.  Kami dari dulu hanya teman. Elo aja yang begitu cemburuan.” Ivan membuka bungkus rokoknya lagi namun Debi langsung menariknya.
            “Elo masih kayak dulu Van... gua sayang elo...” ucap Debi tulus. Dalam hati Ivan berpesta fora menghadapi hari bahagia itu.
            Ivan hanya senyum membalas apa yang dikatakan Debi, ia memang sosok cowok yang sangat hebat mengontrol emosi dan berpura-pura emosi.
            Mereka berjalan menuju tempat parkir. Dekapan mesra mengiringi perjalanan itu. Meski begitu kencang angin menerpa saat berkendaraan motor, dan suasana Bandung begitu sejuk. Tak membuat mereka kedinginan.
****
            Hari minggu adalah hari yang membusankan baginya dari dahulu. Dengan sebab-sebab yang tak masuk akal. “Nggak ada kegiatan, nggak ada kuliah, main, jalan-jalan juga malas. Mendingan kuliah bisa belajar, ngumpul atau apa aja yang penting nggak boring,” Itu yang selalu menyertainya dalam setiap hari minggu tiba.
Terlihat hari ini ia bangun lebih cepat, mandi dan santai di depan TV. Acara TV memang sekarang mulai kacau. Banyak yang tidak mendidik, lebih membosankannya lagi cerita percintaan untuk anak-anak dibawah umur. SD.sangat merusak coba pikirkan sejenak, bagai mana nasib bangsa jika anak didik kita yang masih belum bisa mencari dan membagi waktu langsung di cekokin sama senetron mereusak. Ia pindah duduk, masuk kekamar menyalakan laptopnya. Tak disangka karyanya sudah lumayan banyak. Namun ia masih belum tahu atas kelebihan dan kekurangan tulisannya itu.
            Seorang loper melemparkan koran tepat menghempas pintu rumahnya. Ia begitu kaget karena suara yang kencang dari arah sana. Ia keluar untuk mengambil dan akan membacanya. Ia membuka dari halaman pertama dengan tajuk politik halaman kedua terus ia baca meski hanya intisarinya saja. Deg.....! di rublik sastra. Tertulis besar namanya dibawah judul cerpen. Ia meloncat dahsyat sambil berteriak,
            “Yes...Yes....!” entah apa. Bibi keluar tergopoh-gopoh.
            “Ada apa..?” tanya Bibi sambil membawa selembar lap ditangan kirinya.
            “Bi, tulisan saya di muat,” ucapnya girang. Sambil menggenggam tangannya dan masih berteriak-teriak kecil.
            “Iya, mana ...?” Bibi mendekat Ivan sambil ingin melihat koran itu. Entah apa maksudnya, menyenangkan hati Ivan atau memang ia mendukung. Tak jelas.
            Akhirnya semua terjawab apa yang selama ini ia dambakan. Dari pertanyaan saat di komunitas sampai tugaspun terselesaikan. Tak sia-sia seseorang yang menanyakan karyanya. Ia menjadi terbakar semangat untuk bisa menjawab pertanyaan itu.
Pepatah mengatakan kalau lautan tenang tak bisa menciptakan nahkoda yang hebat. Ivan masih senyum-senyum sendiri sambil mengingat-ingat apa yang dikatakan seseorang padanya dulu. “Kerja keras akan menuai hasil yang memuaskan,” ia meraih koran itu lagi untuk melihat cerpen yang terpampang disana, dengan ilustrasi lukisan abstrak. Ia begitu bangga.
*****
            Ivan dan Debi sering jalan bareng, ketempat-tempat yang dulu pernah mereka datangi sebagai alat pengingat dari nostalgia mereka dulu. Tidak jarang Debi menanyakan tentang keseriusan Ivan kali ini, dan begitu pula Ivan juga sering menanyakan tentang kecintaan Debi padanya. Namun Ivan sering menanyakan kalau Debi banyak perubahan dan sering menutupi permasalahan mereka berdua.
            “Deb, sepertinya elo banyak nyimpan sesuatu,” ujar Ivan sambil menatap kening Debi dengan mata yang sungguh banyak menyimpan tanda tanya. Debi terlihat gerogi dan cemas dari sorot matanya. Dan bibirnya tegetar-getar tak jelas.
            “Aku hanya menyimpan cintamu Van, yang lain itu hanya sekedar ilusi saja. Aku takut kita pisah lagi seperti dulu.” Debi memegang tangan Ivan erat. Ivan begitu bahagia mendengar ucapan manis itu. Namun sebenarnya banyak yang ditutupi oleh Debi.
            Kafe yang disinari oleh lampu-lampu kecil tertempel di dinding. Seakan menyatakan kalau kesahduan ada pada mereka berdua. Sesaat mereka juga meninggalkan tempat itu, malam telah berada ditengah-tengah diantara malam yang panjang itu. Dihati Ivan masih terus bertanya mengapa Debi begitu berubah.
            Debi tak tentu pikirannya. Ia sering mengurung diri dikamar dan menangis sendiri. Kedua orang tuanya sama sekali tak mengetahui apa yang sedang dialami oleh Debi. Yang jelas Debi selalu tertutup tetang masalah itu, tak hanya orangtuanya teman dan kekasihnya juga tak diberitahunya. Namun, hanya kekasihnya dulu yang mengetahui segalanya. Debi terus seperti itu, setelah ditinggalkan pergi oleh Irza seorang pengusaha muda. Mereka menjalin hubungan selama lima bulan saat Irza menjalankan bisnis di Bandung. Padahal Debi tahu kalau Irza telah berumur  tidak seperti kekasih-kekasihnya dulu yang masih sekolah, kuliah.
            Kedewasaan Irza membuat Debi menjadi terkelabui seluruh pikiran dan bagaimanapun Debi menjadi terhanyut begitu saja. Sedangkan Ivan sendiri tidak pernah tahu semua tentang kedewasaan. Ia hanya seorang cowok yang berhasrat muda.
            From : Debi             00:12:03
     Van, ak tkut klu km kan ninggln ak.
     Kta nikah yuk Van
Ivan begitu kaget membaca SMS yang tiba-tiba mengajak nikah.
            “Apa sih maunya dia...?” gumam Ivan sambil mengetik SMS balasan. Didalam benaknya semakin tidak karuan saja.
            To   : Debi                  00:18:27
     Deb, gw semkn pnsaran ma pmkran lo skrng.
Lo kok bgtu brbah ga sprt dlu, gw msh kul ga mkn klu
gw nkh trus yg ksh mkn ank kta spa lo jgn gila. 

“Sent”

Ivan lalu pergi kedapur untuk menyeduh kopi hangat. Setelah tiga jam lebih menghadap layar LCD. Ia masih begitu semangat menulis cerpen. Suara musik dari laptop-nya terdengar bersih mengalunkan lagu Avril. Ivan masuk sambil mengikuti lirik lagu itu. Kopi yang ia bawa ditaruh disamping laptop dan ia langsung menikmatinya dengan sebatang rokok. Dilayar ponselnya terlihat gambar amplop. Ia meranggehnya.
            From : Debi                 00:19:58
Van, km ga serius y ma ak? Ak tkut khlngan km lg, ak sngt mncintai km.

To   : Debi                  00:23:01
Ktika smua cnta hnya kbut, ak dlintasi hujan dsna
Ktika ak trpuruk ak bsah
Ak tak mampu mnyalahkan siapa pun
Tpi, aku tak lari, ak tak pngecut
Tpi, ak tak sggup.

          “Sent”
Ia meneruskan menghisap rokoknya dan menyeruput kopi yang terhidang disampingnya.
            Sekitar jam dua ia membaringkan tubuhnya diatas kasur yang terhampar indah menanti untuk segra ditiduri.
            “Halo, ada apa Deb, kok belum tidur juga jam segini,”
            “Aku rindu ma kamu Van, aku pengen kita cepet nikah.”
            “Ya nggak mungkin lah. Aku masih kuliah kamu sekolah. Terus kita masih terlalu muda untuk mengurus rumah tangga. Bukan aku nggak serius ma kamu. Kamu itu sekarang malah seperti kekanak-kanakan. Aku mau tidur.”
            “Van, tunggu. Aku ingin cepet punya keluarga seperti artis-artis muda yuang sudah berkeluarga,”
            “Udah, ngelindurnya. Aku bosen denger orang mimpi terus menerus,” Ivan langsung menon aktifkan ponselnya karna sekarang sudah larut malam.
****
Pagi yang indah dengan hiasan awan di langit dan gunung-gunung yang masih tertutup oleh kabut. Burung-burung berkicau merayakan terbitnya matahari dan kupu-kupu terbang menghinggapi bunga-bunga yang  manis dengan madu. Namun, kamar Ivan masih gelap hanya cahaya dari lampu panjar dan suara musik dari radio yang telah memulai siaran dari pagi tadi.
“Van, bangun udah siang,” Ibunya membangunkan dari luar namun tak banyak yang dikatakan. Hanya sekedar lewat saja. Ia mendengar itu tapi, ia meneruskan untuk mimpinya yang begitu pendek. Ponselnya berdering, ia menjamahnya,
“Ada apa To” ucapnya dengan suara lesu.
“Hari ini ada kuliah nggak Van..? elo belum bangun ya...?”
“Ah,...udah. ada kuliah nanti jam sepuluh dua puluh, elo kuliah nggak..?”
“Kuliah lah... sori ya ganggu,”
“Yooi” Anto langsung menutup pembicaraan singkat itu. Ivan duduk dan mematikan radio kemudian membuka tirai jendelanya.
“Udah siang rupanya,” matanya terkedip-kedip silau.
“Selamat pagi dunia.” Ucapnya sambil melihat alam sekitar dengan kesegaran. Tertegun.
Setelah sampai kampus ia menceritakan semuanya pada Anto kalau kemauan Debi semakin tak karuan. Namun tanggapan Anto malah meremehkan,
“Itu hanya mengetes elo aja sebenernya, ia ingin tau seberapa keberanian elo dan keseriusan elo doank,” begitu Anto memberi saran.
“Jadi, gua harus bilang kalau gua mau nikah ma dia, gitu...” tanggap Ivan selintas menerjemahkan perkataan Anto.
“Iya... elo berani nggak...?” sambil menepuk-nepuk pundak Ivan. Sesaat semua terdiam bisu setelah mendengar suara klakson Gugun yang baru saja melintas. Anto melambai-lambaikan tangan.
Setelah semuanya masuk ke kelas mereka tak lagi membahas persoalan luar melainkan mata kuliah yang sedang berjalan saat itu. Namun Anto masih asik dengan ponselnya untuk membalas SMS yang telah numpuk di memory ponselnya.
***
            Malam yang dipenuhi bintang. Disebuah kafe kecil duduk dua orang manusia. Ivan dan Debi. Mereka saling pandang seperti tersimpan banyak masalah diantara mereka berdua. Ia memegang erat tangan Debi dan Debi sendiri seperti tak merasakan apa-apa, pandangannya kosong namun raut mukanya penuh kekacauan.
            Debi memulai pembicaraan dengan kata demi kata yang masih terdengar sama. Kekalutan dan kehancuran talah terbentang di lahan luar sana. Bagaikan hutan yang telah gundul. Tak menyerap air dan udara yang kotor. Bagaikan laut yang tenang dan penuh limbah. Tak ada ikan yang bisa hidup dan tak dapat diminum airnya.
            “Van, besok kedua orang tuaku mengundang kamu makan malem,” Ivan masih tak menjawab. Namun ia masih menyeleksi setiap kata yang terkeluar dari mulut kekasihnya itu.
            “Aku ingin kita cepat menikah.” Kata Debi lagi.
            “Deb, gua siap nikah ma elo. Tapi, nggak sekarang. Gua dateng entar malem,” menjamah jus alfukad yang terserak didepannya dan kemudian ia menyalakan rokok.
***
            Hidangan makan malam telah tersaji indah dengan hiasan dedaunan dan buah-buahan disisi kirinya. Hanya tinggal menunggu penyantap yang lahap. Suara beel terdengar Debi dengan wajah ceria lari mencicit menuju pintu untuk menyambut hadirnya pujangga yang datang membawa sayap dan panah untuk menyelamatkan dirinya dari pembusukan oleh Irza.
            Ivan masuk digandeng erat oleh Debi sampai di depan kedua orang tuanya. Ivan berusaha melepaskan genggaman itu namun Debi justu memegangnya lebih erat.
            “Malam Om...Tante...” penuh hormat.
            “Malam, apa kabar Van...kok nggak pernah main kesini lagi sudah lama,” Ibunya menjawab dengan senyum ramah.
            Sebelum semua acara dimulai mereka saling ngobrol basa-basi dan dia terus dicecer pertanyaan-pertayaan dari kedua orangtua Debi. Jika semua dicatat dan melalui moderator seperti dalam diskusi maka terhitunglah seratus terment pertanyaan dan setiap terment-nya berisikan tiga pertanyaan. Namun ia sebagai panyaji atau narasumber yang baik berusaha untuk menjawab bagaimanapun sulitnya pertanyaan itu.
            “Yuk, semuanya kedalam...semuanya telah siap kok,” Debi menyuruh menyantap hidangan yang ia siapkan sejak sore tadi. Untung ia pernah kursus masak.
            Saat makan berjalan, pertanyaan juga masih terus menyerbu sampai ia tak kuasa sepertinya menelan hidangan yang sungguh lezat itu. Ia juga mulai berfikir pertanyaan yang dari tadi ia jawab semuanya berunsur keluarga dan rumah tangga.
            “Apa gua disuruh nikah beneran,” dalam benaknya berdebar-debar. Setelah makan selesai ia seperti sedang dalam mahkamah agung dan sedang dalam sidang yang menentukan hidup atau mati.
            “Van, kamu siap menikah kan...?” Ivan seribu gugup dan cengengesan tak karuan.
            “Tante, Oom, saya masih muda. Dan perjalanan saya masih panjang. Dan kawin muda itu bukan jalan yang pernah aku fikirkan. Aku masih ingin berpetualang mencari hidup yang lebih baik,” seketika perkataannya langsung dipotong,
            “Lho, itu nggak sesuai sama perkataanmu tadi. Kamu itu tidak mau bertanggung jawab...!” mukanya memerah, seketika mendengar apa yang dijawab Ivan. Dan Ibunya juga menambahkan,
            “Kamu segharusnya jentelmen dong, kamu sudah menghamili Debi lalu kamu nggak mau menikahinya. Kamu lelaki apa. Pokoknya Tante dan Om tidak mau tau kamu harus nikahi Debi secepatnya.” Debi menangis dan tertunduk kasihan melihat Ivan yang gugup.
            “Saya pacaran sama Debi baru berjalan satu minggu dan saya belum pernah melakukan sesuatu apapun padanya. Bagaimana bisa hamil. Meski berandalan seperti ini saya tidak akan mau bersetubuh di luar nikah, berarti anak Tante dan Om yang menjadi perek,” kekesalan Ivan begitu melunjak ia langsung lari keluar dari rumah bangsat itu baginya.
            “Keparaaaaaat....!” ia mengumpat sekuat-kuatnya didepan pagar rumah Debi yang mewah. Debi hanya bisa lari ke kamar sambil menangis menyesali perbuatannya yang membuat ia hina dihadapan semua orang.
            Suara kenalpot motornya begitu kencang dengan gas yang keras pula. Ia tidak langsung pulang, setir motornya menuju ke kafe tempat ia biasa menyendiri dan biasa mabuk.
            Ia tersandar lemas oleh minuman-minuman yang mengandung kadar al-kohol tinggi. Ponselnya tak henti-henti berbunyi namun ia hanya melihat dari siapa lalu ia mematikannya. Ia begitu kesal dengan semuanya, ia terjebak. Kecewa.
            “Halo.” Suara mabuk telah terkeluar saat ia menerima telpon dari Debi.
            “Ada apa perek murahan. Bajingan elo.”
            “Van, Van,” namun telah di matikan ponselnya. Ia terus menenggak minuman itu sampai ia tak sanggup lagi bergerak, hanya seorang perempuan malam yang terus mengurusnya sampai ia tertidur dan membawa Ivan ke hotel. Ia juga tak sadar siapa perempuan itu dan apa maksudnya, padahal Ivan tak pernah berhenti memaki-maki perempuan itu. Mungkin pikirannya telah berlumur kekesalan dengan Debi.
            Ia di tinggalkan sediri di kamar hotel kawasan Dago. Namun semua uangnya habis di bawa oleh perempuan itu. Setelah pagi menjelang ia sadar akan semuanya ia langsung pulang dengan bertambah kesal dengan seluruh perempuan, kecuali Ibu dan saudaranya. Dibenaknya masih terdengar umpatan-umpatan memaki perempuan.
            Setelah sore menjelang ia baru sampai rumah. Raut mukanya seperti orang gila karena semuanya kacau. Ia terus merasa dihantui oleh ucapan kedua orangtua Debi  malam itu. Namun ia sekarang ini sudah sedikit tenang. Ia menerima telpon dari Debi,
            “Halo, perek...ada apa lagi mau ditemani malam ini,” ujar Ivan menghina.
            “Van, aku nggak maksud menjerumuskan kamu, tapi, siapa lagi yang bisa menolong aku. Cuma kamu yang orang tuaku percaya.”
            “Elo perek, ya wajar kalau elo hamil. Toh, aku nggak akan pernah mau nikah ma lo, apa lagi nikah... ketemu aja najis,”
            “Van, aku memang orang bejat tapi, aku hilaf dan aku ingin memperbaiki hidupku,” terdengar sendu tangisan dari sana.
            “Sudahlah, yang jelas aku nggak mau, salam ma ortumu bilang bukan Ivan yang menghamili aku. Tapi aku ini perek Yah...! dada...mudah-mudahan anak lo lahir bukan cewek kayak elo,” tut..tut... terdengar suara hubungan yang terputus.
            Sesaat setelah makan malam dirumahnya Ivan langsung tertidur karena badannya terasa sakit semua dan lelah akibat cairan al-kohol yang menyebar ditubuhnya. Ia tidur. Tak seperti biasa didepan laptop sampai larut.
***
            Pagi-pagi sekali ia telah bangun dan mandi. Ia seperti berubah dari biasanya. Semua orang di rumahnya keheran-heranan melihat Ivan bangun pagi. Setelah meminum kopi susu dan sebatang rokok ia membaca majalah. Masih garuh. Ponselnya berbunyi dibalik saku celana jeans-nya.
            “Nomor tidak dikenal..dari siapa ya...” ucapnya lirih. Namun ia mengangkat telpon itu.
            “Halo...”
            “Halo...ini dengan Ivan..?” tanya penelpon itu.
            “Iya, dari siapa ya ini...?”
            “Dari Om, orang tua Debi,”
            “Om, asal tau saja saya tak pernah berhubungan intim sama Debi. Saya lama putus dengan dia, sekitar setahun yang lalu. Dan kami pacaran lagi baru seminggu yang lalu. Jadi, kalau saya menghamili Debi itu hal yang sangat mustahil,”
            “Debi telah tiada. Tadi malam ia bunuh diri di kamarnya,” hati Ivan semakin kacau. Ia merasa membunuh seseorang.
“Ia bunuh diri karena aku tak mau menikahinya.” Dalam benaknya berfikir sambil mendengarkan ucapan Om.
            “Om Cuma mau kasih kabar itu saja,” seketika suara itu terputus.
            Ia mengacak-ngacak rambutnya. Garuh tak karuan.
            “Kenapa semua ini harus terjadi...............” merintih batinnya. Lalu ia masuk dan mengganti pakaian hitam-hitam.
            “Mau kemana Van..?” tanya Ibu sambil menyiapkan sarapan.
            “Temen aku ada yang meninggal Bu...aku pergi dulu,” pamit Ivan sambil memakai jaket.
            “Hati-hati,” ujar Ibu penuh kasih sayang.
            Selama diperjalanan ia terus berpikir,
“Betapa simple hidup ini. Betapa tidak berartinya hidup ini. Apa aku ini juga tak berarti selama didunia...? mengapa orang semakin tidak sayang dengan hidupnya sendiri. Siapa yang bisa memberi kedamaian dalam hidup selain jiwa kita,” berisi penuh inspirasi dalam otaknya kali ini.
“Wah, ini bisa menjadi novel,” tersenyum sendiri di balik helm berkaca itu.
“Ah....itu hanya mengambil hikmah dari semua kejadian,” bantahnya setelah ia berfikir kalau ia tertawa di atas penderitaan orang lain.
“Nggak...nggak... karena tuhan menciptakan semua pasti ada manfaatnya,” keramaian dan tangis menghentikan seluruh pikirannya itu. Busana hitam dan tangisan adalah lambang duka yang terlihat dari mulai masuk rumah Debi.
Sosok terbujur di tutup oleh kain panjang adalah kekasihnya kemarin yang sempat membuat ia stres sekejap.
“Aku harus lebih hati-hati untuk menilai seseorang, tak semua orang yang kukenal baik. Dan dulu itu telah lain dari sekarang. Dia dulu tak seperti itu,” masih saja hatinya berkata-kata tak karuan.
“Ah..aku harus lupakan semua itu,”
**The End**

 
Bandung, Sabtu, 22 September 2007

               Mulyadi saputra
 
      >>>CERITA LAIN "KLIK"<<<

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.