Bagian 21
Jalan terakhir
Gemericik
hujan menyertai malam yang gelap. Ivan masih saja duduk sendiri di depan
terasnya. Rokok dan kopi menemani dimeja seblah kanannya. Sebentar-sebentar ia
meneguk kopi hangat dan menghisap rokoknya dalam-dalam. Dunia semakin butek.
Suara gemuruh hujan semakin kencang, Guntur bersahut-sahutan, kelat
mengadu-ngadu.
Ivan
masih saja disana tanpa berubah posisi. Buku-buku disampingnya hanya sebagai
hiasan tak dibacanya. Entah ia sedang memikirkan apa.
“Van,
masuk kedalam sini...nanti masuk angin lho.....” Ibu memanggilpun tak
dihiraukannya. Ia kembali menyulut rokok. Tak lama kemudian adiknya keluar,
“Kak...lagi
mikirin apa sih....pacar ya....?” ledek Resti sambil tertawa-tawa. Ivan masih
saja tak menghiraukan. “Kak....kok diem aja sih....” kembali adiknya bersandar
dibahunya. Ia merasa kecewa karena ledekannya tak dihiraukan. Ivan berdiri dan
memunguti buku, rokok dan kopi.
“Ayo
...masuk...” ajak Ivan sambil memegang kepala Resti. Ia langsung menuju
kamarnya dan adiknya berhenti dipangkuan Ibu di sofa, mereka sedang ngobrol
dengan Ayah. Setelah sampai kamar ia duduk kembali dikursi meja belajarnya. Ia
menyalakan rokok lagi, pikiranya melayang tak tentu. Ia ingat Sari dan ia juga
begitu sayang sebenarnya dengan Debi. Namun terlintas sejenak ada bayangan
Syerli. Entahlah....
Debi
adalah pacarnya yang paling lama. Dan ia putus karena salah paham dan Sari juga
pacarnya yang membuat dia sadar akan arti kehidupan. Sari terlalu mencintainya
sehingga ia merasa selalu diatur dan kontrol. Ia tak suka itu.
Ia juga ingat saat di lokasi pemotretan
tadi. Ada dua orang cewek minta tanda tangan padanya. Ia mencandai dua cewek
tersebut. Mereka tertawa cekikikan. Saling tukar nomor ponsel dan berkenalan.
Dua cewek itu Mimin dan Tazkia. Ivan seperti menaruh perhatian langsung pada
salah satu cewek itu, entah Mimin atau Tazkia. Tapi, kedua-duanya langsung
pergi. Sambil mengatakan,
“Kami tak begitu tertarik sama kamu.
Abisnya kamu play boy sih... kalau gantengnya sih boleh tapi, play boynya
....enggak deh....!” mereka tertawa kegelian sambil pergi meninggalkan Ivan.
semua kru, dari kameramen sampai pengamat sekalipun tertawa.
“Itu namanya udah ketemu apesnya tau...”
seloroh Mas Roy.
“Belum.....Mas Roy ...tunggu aja waktunya
gua bergerak.” Ivan membela , ia tak mau terus dilecehkan.
“Udah-udah jangan terlalu ngotot bo....
mendingan ma gue aja,” sahut make upnya di balik tenda tempat bernaung sambil
cekikikan tertawa. Ivan kesal ia langsung berbaring di tikar pandan. Suasana
menjadi sedikit tegang.
Ivan sadar dari lamunannya ia mengambil
sebuah buku hariannya. Buku itu telah dipenuhi coretan-coretan hari suntuk dan
hari berinspirasi. Ia membuka lembar demi lembarnya. Buku itu memang sangat
tebal sekali. Melebihi tebal kamus Jhon Lenon. Sampai dipertengahan ia berhenti
disatu lembar, ada foto seorang cewe sedang tersenyum. Mukanya putih berseri.
Keturunan China.
Ivan mengusap-usap foto itu. “Ngapain sih..kita harus putus dulu...?” dalam
benaknya merintih. Kemudian ia membuka terus lembaran demi lembaran. Ada sebuah
puisi karya almarhum Syerli,
Diantara Mahkamah Cinta
Aku
pecundang.....
Merayap
di dinding-dinding prahara..
Menatap
lubang-lubang mahkota
Aku
di sini bimbang.....
Diantara
mahkamah cinta.
Aku
berdiri menatap hampa
Aku
menjadi bingung.....
Mengapa
hakim berdusta
Untuk
menyidang aku dan dia
Jadi
siapa...?
Yang
menjadi saksi atau terdakwa...
By, Syerli.
Ivan termangu. Tanganya menyangga di dagu. Apa
yang sedang ia pikirkan, semua telah terjadi....
****
Ia
berangkat kuliah sengaja lewat depan sekolahan Debi, ia merasa rindu dengan
perempuan berkulit putih keturunan China peranakan. Ia pun mampir di kantin
sekolah itu, memesan segelas jus jeruk. Lalu ia menyulut rokoknya. Dalam
hatinya sangat berharap bisa bertemu dengan Debi, namun sampai jam Istirahat
selesai tak juga Debi memijakkan kakinya di kantin. Ia langsung ke kampus.
Seperti
tak bosan setelah pulang kuliah ia juga lewat depan rumah Debi, disana hanya
terlihat baju-baju tergantung. Ia tak mampir. Berulang-ulang kali ia berusaha
menghubungi telpon genggamnya namun sama sekali tak pernah terjawab. Hanya
suara mesin yang mengatakan,
“Maaf..
nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan, mohon
hubungi beberapa saat lagi,” lalu ia menekan tombol exit. Ia mencoba SMS namun
tidak satupun yang terkirim. “Apa mungkin ini karma bagiku.” pikirannya
gaduh.
Esoknya
ia kembali mendatangi sekolahan Debi. Disana terlihat Debi sedang bercanda
dengan salah satu temannya. Ia mendekat dan meminta Debi untuk ngomong berdua.
Debi menolak.
“Nanti
malam gua tunggu di kafe biasa.” Seru Debi meninggalkan Ivan. a berjalan menunduk melewati beberapa
kerumun siswa SMA dan satpam yang memandangnya sangar.
Suara
motornya meninggalkan sekolahan itu. Ia langsung pergi menuju kampus tercinta.
Disana ada Gugun dan Anto sedang berdiri. Ivan langsung mendekat dan memberi
salam pada kedua temanya itu.
“Kenapa
lagi elo...?” Gugun seperti meledek.
“Gua
lagi pusing Bro’....” sambil bersandar di dinding beton dekat parkiran. Tumbur Anto
ingin memberi semangat.
“Gugun
aja yang baru putus dengan Nania nggak sepusing elo...” mereka berdua tertawa
Ivan pun ikut menertawakan Gugun.
Gugun
putus karena mereka selalu bertengkar disamping berlainan pendapat mereka juga
mempunyai latar kehidupan yang berbeda. Gugun memutuskan untuk pisah supaya
mereka lebih bisa tenang dan lebih dewasa untuk menghadapi sesuatu.
“Itu
Gugun, gua lain Bro’... kayaknya jalan terakhir gua, yaitu Debi. Gua pengen
jadian lagi ma dia, dari pada gua jomblo ber abad-abad,” semua tertawa
melecehkannya. Sama sekali ia tak peduli. Pantas kalau dengar kata pepatah
“Biarkan anjing menggong-gong kafila tetap berlalu,” tepat sekali pepatah itu
bila dilontarkan padanya. Gugun tersentak hatinya untuk mengingat Nania. Lalu
ia terdiam setelah ketawa terhambur di udara.
“Ada
apa Gun..?” Anto menepuk punggungnya.
“Dia
ingat sama mantannya,” sahut Ivan menebak. Mereka tertawa lagi.
**BERSAMBUNG**
>>>CERITA LAIN "KLIK"<<<
No comments:
Post a Comment