Pelabuhan
Merak
Benar-benar
usai ceritanya. Aku berjalan menuju sebuah gedung besar di tepi pantai Merak.
Pasti gedung milik PT. ASDP, sudah kukira. Soalnya setiap aku turun naik Kapal
Motor (biasa di singkat dengan KM), selalu ada tulisan seperti itu. jadi
kutebak saja. Setelah masuk, rupanya ramai didalamnya orang bergelimpangan.
Bukan orang sakit, bukan pula orang mengungsi seperti di daerah yang terkena
bencana, bukan pula gelandangan. Mereka para musyafir yang ingin melanjutkan
perjalanannya besok setelah matahari mulai tak malu lagi.
Aku
ikut-ikutan berbaring seperti halnya mereka, di berinya aku tikar seperti
matras. Kupakai, tapi ia meminta harga tiga ribu. Oh…baru tahu. Rupanya matras
itu
harus menyewa, bukan tempatnya. Benar-benar uang segalanya.
Aku
masih melinting-linting kertas kecil yang bertuliskan angka-angka. Kertas
sobekan ini diberi oleh orang bertopi dibus tadi. Temanku selama dalam bus yang
kurang lebih delapan jam. Namanya baru kutahu setelah kami berpisah.
Berkenalan, memberi alamat, dan menyuruh singgah. Itu kesan terakhirnya. Tak
seperti si Manis rupanya. Jika ia berlaku seperti si Manis aku pun lari
terbirit-birit, masa laki-laki mencium laki-laki. Aku bukan HOMO.
Namanya
Dicky, ia tak memberi nama panjang saat bersalaman, namun aku memperkenalkan
dengan lengkap sampai dengan nama orang tuaku (pakai BIN seperti orang
mengucapkan ijab kabul pernikahan). Ia tinggal tak jauh dari pelabuhan ini.
Sebenarnya kalau aku mau mampir ada teman kuliahku dulu di daerah ini juga.
Tinggal telpon pasti ia akan jemput aku. Tapi malas ah… merepotkan…
Aku akan nikmati
uang tiga ribu yang kukeluarkan. Uang tiga ribu sangat berarti sekali bagiku.
Coba saja, dulu waktu aku masih jualan boneka, ini sama dengan laku boneka
lumba-lumba besar satu. Untungnya. Boneka lumba-lumba terjual satu memperoleh
laba lima ribu, dipotong uang makan, ongkos pulang pergi dari rumah menuju
Gasibu, uang buang air yang bertarif lima ratus, rokok dan kebutuhan lain yang
mendadak. Hasil bersihnya sekitar dua ribu lima ratus. Jadi, hitung-hitung
belum cukup untuk bayar matras ini.
Kubandingkan
juga saat aku jual kartu ucapan sebelum lebaran, natal, tahun baru atau
valentine, malah harus lebih banyak yang terjual. Satu kartu ucapan aku hanya
mengambil untung dari tuju ratus hingga lima ratus perak perlembar. Belum di
potong tetek bengek seperti diatas. Harus terjual delapan sampai sepuluh lembar
kartu ucapan baru akan terbayar matras kecil persegi empat ini, bila aku tidur
tak meringgkuk maka kakiku akan terlewat dari garis finisnya.
Nyamuk
berterbangan mencari celah-celah kulitku. Kututup rapat-rapat, selain mengusir
dingin angin laut juga untuk mengecohkan drakula kecil yang mengerikan. Nyamuk
sebenarnya contoh yang baik. Ia tak pandang bulu, tak perduli orang miskin yang
harus mengisi pasokan darah dengan mati-matianpun dihisapnya, orang kaya,
jelek, ganteng, cantik, penyakitan, kekar, preman, bangsawan, presiden, pejabat
TNI, PNS, apapun titelnya, ia tak takut untuk menghujamkan jarum suntik yang
ada di ujung kepalanya itu. Jangankan orang cantik dan pejabat, orang pengidap
AIDS atau virus mematikan lainnya saja ia tak takut. Dasar nyamuk tak
pilihkasih.
Orang
mulai ribut….
Sedari
tadi juga ribut.
Aku
yang tak mendengarkan.
Tidur
barangkali.
Aku terbangun
gelabakan. Mirip orang kebakar kumis bukan jenggot, aku tak punya jenggot cuma
kumis yang tipis. Enggan tumbuh mungkin, sebenarnya aku mendambakan punya kumis
baplang seperti dosen bimbingan sekripsiku. Tampak sangar, orang jadi segan,
dan lebih terlihat cowok banget. Selama ini mukaku tak punya rasa seperti itu.
Lebih banyak canda dari pada di segani, terlihat lucu dari pada sangar, lebih
terlihat cowok itu dalam artian bertubuh atletis bukan gayaku seperti
kewanitaan, bertubuh kekar dan dapat membuat para wanita menjadi agresif. Wuh…
Aku
duduk sebentar dan melipat kain yang menjadi selimut tadi. Kupack kembali seluruh barang yang
terkeluar dari persemediannya. Tas hijau tua. Lalu aku pergi mencari toilet
untuk buang air kecil, cuci muka, sikat gigi, pokoknya rutinitas pagi.
Sebelum
masuk ke kapal, aku pandang baik-baik seluruh bagian pantai pelabuhan Merak.
Inilah wajah PULAU JAWA. Sebentar lagi akan kutinggalkan. Meski belum begitu
jelas benar, sedikit tertutup kabut dan remang-remang fajar. Tatapanku itu
kosong, sedih rasanya meninggalkan pulau yang paling canggih seluruh Indonesia.
Di banding pulau di Indonesia yang lain memang Pulau Jawa yang tertinggi
tingkat intlektualnya, kemajuannya, pokoknya ibu kota Indonesia ada di pulau
ini. Tak adil pemerataannya.
***BERSAMBUNG***
No comments:
Post a Comment