Thursday, February 27, 2014

CERBUNG: Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia (Part 6)

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Antara Pulau Jawa dan Sumatra
 
sumber foto: www.wijanarko.net
            Sebentar lagi aku akan ucapkan selamat tinggal Pulau Jawa. Pergantian hari yang mungkin indah mungkin juga mengharukan. Aku ingin pas matahari terbit nanti berada pas ditengah-tengah lautan antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Jadi aku akan membedakan enak di Jawa atau di Sumatra. Itu saja tak lebih.
            Tiket Ferry telah kugenggam di tangan kiri. Tangan kanan menjinjing sebotol air mineral. Aku terus berjalan melewati tangga dan jembatan yang tinggi untuk masuk kedalam pintu Ferry khusus penumpang. Mataku masih terus jelalatan memandang sepuas mungkin Pulau Jawa , sedangkan Pulau Sumatra belum terlihat belang hidungnya.

            Buru-buru aku mencari kursi yang pas untuk menikmati sunrise. Sambil berujar kalau pas di tengah-tengah laut lepas nanti ia muncul maka aku akan berteriak sekuat mungkin. Tak tahu mau teriak apa, yang penting aku teriak. Bisa jadi aku teriak menyebut nama si Manis, atau aku berteriak meracau tak karuan sampai nangis dan suara sampai serak. Paling orang disampingku bilang aku sedang sinting sebentar.
           
            Kapal mulai menjauh.
            Tali temali yang menyatukan kapal dengan dermaga terlepas.
            Pintu masuk kendaraan terangkat. Menutup.
            Aku lambaikan tangan.

Tanganku masih tergerak kanan-kiri. Seperti ada seseorang yang terungut-ungut mengantarku di pelabuhan sana, mulutku tersenyum-senyum, tapi raut mukaku sedih. Orang disampingku mulai berfikir sebentar lagi aku sinting. Aku melihat-lihat kebawah, tak ada rupanya pagi begini si penyelam handal ciptaan alam, dan si penerjun bebas ala entah-brantah, yang di akibatkan oleh koin-koin kenikmatan. Atau lebih di pahami dengan koin duit. Cepek, gopek, atau seceng…. Menyelamlah… terjunlah…
            Tanpa sadar tanganku masih tergoyang-goyang seperti presenter gossip di teve, saat mereka mengucapkan salam perpisahan. Mungkin saja tanganku juga berkata selamat tinggal Pulau Jawa. Tapi di mulutku berkata pelan, “Trimakasih Pulau Jawa…kau telah mengajriku tentang ketidak adilan, kau ciptakan sarjana-sarjana muda yang handal dan tahan banting, namun kau tak memberikan karantina saat para sarjana itu mulai gila, contohnya aku. Aku harus gila dan akan mencemarkan di kampungku yang lugu, tapi apa mau dikata, aku telah tergilas oleh derap sepatumu yang kian beringas  hingga aku tak mampu bertahan lebih lama, dan menjadi benar-benar gila. ”
            Wajahku tetap fokus kearah Pulau Jawa yang kian jauh tertinggal oleh ferry yang kutumpangi. Nama ferry ini Jatra, muat segalanya dari Truk gandeng yang besar sampai kecoa dan semut kecil yang ikut bongkar muat barang.
            Sekali-kali aku menatap kearah air yang biru seperti langit, bergerak-gerak akibat Ferry dan angin yang mengusik istirahatnya. Meriak-riak seperti tarian rica-rica. Melenggok-lenggok seperti perempuan di atas panggung kafe. Asik sekali melihatnya. Hati-hati terjebur…
            Cahaya lamat-lamat mulai muncul dari utuk timur. Pertanda matahari akan segra menampakkan wajahnya setelah semalaman suntuk menghilang. Beralih pandanganku kearah sana. Itulah alasanku tadi malam menginap di pelabuhan. Aku ingin menikmati sunrise. Kata banyak orang matahari itu nikmat saat muncul pagi-pagi dan tenggelam sore-sore. Kalau siang panasnya bukan main.
            “Dunia….! tatap aku yang sedang kalah ini. Kalah dari pertarungan yang kau ciptakan. Sekarang kau tak mau bertanggung jawab. Dunia buka matamu…!” janjiku telah tunai sudah. Meski sekarang aku tak tahu entah sedang berada di tengah-tengah atau masih ditepi. Aku teriak saja, terikan itu muncul seketika, mungkin ilham. Semua orang tersenyum, dan mungkin sebentar lagi akan pindah dari dekatku. Takut aku mengamuk! 
            Aku duduk bersedakap dipagar ferry. Dengan mata membelalak kearah timur, namun otak entah melayang kemana. Sampai-sampai seseorang duduk disampingku sama sekali tak kusadari. Seorang wanita setengah muda, tepatnya berumur sekitar 28-30 tahun. Lebih tua tentunya daripada aku.
            “Wah asik Mas ya… ngeliat matahari yang baru muncul?” aku terkejut dan tak tentu arah gerakan tubuhku. Otakku yang tadinya terbawa arus air laut kini harus menyongsong dengan deras untuk dapat masuk ke kepala lagi.
            “Iya..Mbak…”
            “Mau ke Lampung Mas?”
            “Iya, tapi tujuan utamanya bukan kesana,” aku masih menghadap kearah matahari terbit. Baru setengahnya yang kelihatan. Warnanya orange. Bulat besar tapi setengah lingkaran. “Mbak, mau kemana?”
            “Mau ke Palembang,”
            “Asli Palembang Mbak?”
            “Enggak, saya asli Jakarta, tapi saya sudah lama tinggal disana. Ikut suami dinas disana,” gerakan biasa terkeluar lagi. Manggut-manggut, mungkin sudah ciri khasku, mungkin saja ini penyakit bawaan lahir yang tak bisa disembuhkan. Mau berobat ke Dokter tentang masalah ini, mana mungkin. Apa kata Dokter?
            “Udah berapa lama Mbak?”
            “Udah delapan tahun, sejak kami menikah dulu. Suami saya langsung di pindah tugas kesana. Kalau saya sih pulang pergi, soalnya anak sekolah di Jakarta. Jadi kadang di Palembang kadang di Jakarta. Kalau Mas dari mana?”
            “Oh..saya dari Bandung,”
            “Ikut Bus rombongan?”
            “Nggak, biasalah nembak-nembak supaya lebih irit,” aku tersungging-sungging. Tidak menggeleng atau mengangguk. Kutahan sejenak.
            “Oh…mau nikmati matahari pagi di Kapal Laut ya?” tawa kami pun meledak-ledak. Suara gemuruh mesin ferry pun terkalahkan.
            “Kuliah di Bandung Mas?”
            “Nggak Mbak, udah selesai…” deeg…jantungku mulai berdetak keras sekali. Kalau diruntutkan, ini pasti mau nanyain soal pekerjaanku. Aku tak mau berbohong dengan mengatakan kalau aku sedang bisnis, atau mengatakan sedang penelitian, atau aku nyebrang ke Sumatra ini gara-gara mau nyari kerja (padahal alasan satu ini benar). “Emang suami Mbak kerja apa?” kutabrak dengan pertanyan ini supaya dia tak punya peluang bertanya soal statusku sekarang. Pengangguran atau ….. Aku sedang memikirkan titik-titik ini.
            “Di Perhutani, jadi sering pindah-pindah. Sebentar lagi juga mau pindah lagi ke Aceh,”
            “Wah…makin jauh dong dari anak? Anak di Jakarta dengan siapa Mbak?”
            “Dengan Nenek dan Kakeknya, oya.. sekarang sudah kerja?” benar tebakanku kan! Ia dari tadi mencari celah untuk menanyakan itu. Aku tersenyum-senyum memikirkan bohong apa yang masuk akal jika dilihat dari tampangku yang acak-acakkan, tak pernah cocok kalau duduk di kantoran.
            “Ah…masih nganggur Mbak, sekarang susah banget nyari kerja Mbak,”
            “Emang sih, jaman sekarang nyari pekerjaan seperti mencari mutiara di pantai yang berpasir, susah,” ekspresi mukanya ikut prihatin dengan keadaanku. Mungkin ini jadi modal cerita sebelum tidur dengan suaminya. Suaminya yang meremehkan keadaanku habis-habisan karena aku sorang pengangguran, sedangkan dia membela posisiku mati-matian, suaminya cemburu. Mereka cerai.
            Matahari telah sejengkal tingginya dari permukaan laut, bila di ukur dari depan mataku lalu kurentangkan jariku untuk membentuk jengkal. Dan pas.
            “Sekarang ini mau pulang kampung ceritanya, atau mau jalan-jalan ke Sumatra saja, cari pengalaman mumpung muda? Kan biasanya orang itu muasin waktu muda untuk jalan-jalan mencari pengalaman. Ntar kalau sudah punya istri, apalagi kalau dah punya anak, repotnya minta ampun,”
            “Mau pulang kampung, sekalian ngintip-ngintip peluang kerja di Sumatra,”
            “Oh..bagus lah…berarti ada perjuangan. Hidup itu memang harus gitu, setiap ritme-ritme menpunyai gelombang dan nada yang berbeda. Apa bila kita sanggup memperjuangkan maka kita akan sanggup menggapai apa yang kita inginkan itu. Di dunia ini tidak ada yang tidak mustahil tetapi, tidak ada yang mudah tentunya,” jreeg. Aku ingat kata-kata kakakku yang mirip seperti itu, saat ia memarahiku karena sewaktu ia datang ke kamar koasan, aku sedang tidur. Pagi-pagi pula. Kalau waktu kecil dulu, bila dimarahi pagi-pagi, itu dinamakan dengan “KOPI PAIT”.
            “Iya Mbak, saya setuju itu. Tapi terkadang aku ingat, itu sebenarnya ujian dari Yang Maha Kuasa, Dia punya keajaiban, Dia punya kekuasaan, Dia yang punya segalanya, dan Dia yang menulis scenario hidup kita ini. Bukan kita harus polos dengan takdir, tapi kita harus mencari takdir yang sebenarnya bagi kita, bukan begitu Mbak?”
            “Iya..Iya…betul itu, suatu saat karunia-Nya dan keajaiban-Nya pasti akan terkuak. Dia punya kasih sayang yang serba Maha, jadi tak mustahil bagi-Nya, untuk mengubah kita bila kita bersungguh-sungguh memperjuangkan,”
            Posisi duduknya kini sama denganku, hanya saja dagunya terpangku oleh lipatan tangannya. Aku sesekali menatap wajahnya yang sedikit mirip dengan si Manis, cuma alis saja kok. Mungkin karena aku kangen padanya saja, sehingga semua wanita mirip dengannya.
            Matanya tajam kearah air yang meriak-riak berbusa. Mukanya mulus kuning, rambut sebahunya melambai-lambai diterpa angin laut yang semilir tapi menyejukkan, dengan jaket yang tipis tak terkancing tampak cantik benar wanita ini. Sayang dia sudah bersuami. Apa masih berlaku kata-kata “KUTUNGGU JANDAMU?”
            “Oya, kita sudah ngobrol panjang lebar tapi belum saling kenal,” tangannya mengulur ke depanku,
            “Feliza,”
            “Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh,” tanpa ragu selalu kusebut nama Ayah. Itu suatu kebanggaan yang tak dapat kuutarakan sekarang. Mungkin dalam hatinya tergidik-gidik melihat keanehan cara aku menyebutkan nama sampai selengkap ijazah.
            “Islam ya?”
            “Iya, seratus persen,”
            “Saya Katolik, tapi saya kagum dengan Islam, orangnya baik-baik dan sopan-sopan, kalau masalah yang sering menyebut-nyebut Islam itu sebenarnya masih samar. Entah dia sebenarnya agama apa. Toh, seluruh agama itu tak ada yang menghalalkan kekerasan. Apalagi pembantaian. Ya nggak?”
            “Iya, Mbak. Saya sering risih dengan pengakuan mengatas namakan agama ketika ia bertindak sesuatu yang jelas-jelas melanggar kaedah-kaedah agama. Dulu saya pernah berdiskusi dengan teman saya yang juga Katolik. Dia baik sekali Mbak, katanya gini, pembuat kerusuhan itu sebenarnya orang-orang yang ingin memecah belah bangsa saja. Di bawanya nama agama supaya nantinya ada perang antar agama. Dan disana dia akan berteriak menang ketika semuanya telah hancur. Kita ingin dibuat seperti jaman penjajahan Belanda dengan politik adu domba untuk menghancurkan,”
            “Benar sekali tu, orang sekarang itu sudah kurang kerjaan, jadi macem-macem aja yang dia lakuin. Urusan dilarang atau tidak dalam aturan agama itu nomor sembilan belas, yang jelas ia ingin disebut orang sibuk dulu,” aku tersinggung sedikit sebenarnya, ketika ia menyebut kata “kurang kerjaan” tapi aku pastikan ia tak bermaksud itu. Memang pengangguran itu lebih sensitive. “Yah…mudah-mudahan mereka cepet sadar,”
            “Amin,” lirih sekali suara yang terkeluar. “Orang beragama yang baik itu orang yang saling menghormati antar pemeluk agama, kalau kita saling menghina itu sudah salah besar. Agama adalah masalah kepercayaan, kita tidak bisa memaksa sesorang untuk percaya dengan Tuhan kita. Coba kita pikir sendiri, kita sanggup nggak untuk percaya dengan Tuhan dia? Itu kalau mereka berpikir jernih. Entah mahluk apa yang merasuki pikiran mereka, ulahnya yang tidak manusiawi dan tak kenal belas kasihan. Secara rasio saja bagaimana orang dapat ikut dengannya kalau dirinya sendiri tak mampu untuk jadi contoh,”
            “Iya…Iya…itu kesalahan mereka yang tak mampu lagi memilah mana kebaikan dan mana yang buruk. Sepertinya mereka telah buta dari segala hal,” tawa kami menggelagak, mungkin orang didekat kami mengira kami adalah pasangan yang sedang berlibur menikmati laut seperti dalam film, libur di kapal pesiar. Lalu tenggelam dan pasangan itu mati salah satu atau hanya mereka berdua yang hidup. Seperti  “TITANIC”.
            “Tujuan kamu kemana sebenarnya?”
            “Sambil jalan-jalan sih Mbak, kalau kampungku di Propinsi Riau, tapi bukan di Pekanbarunya, kalau Mbak sendiri Palembang di mananya?”
            “Saya di kota madianya, di perumahan dinas Perhutani. Berarti nanti naik mobil ke Raja Basa dulu ya?”
            “Iya, Mbak. Kalau Mbak?”
            “Saya naik mobil langsung, Jakarta-Palembang,”
            “Dulu kuliah ngambil jurusan apa? Kalau saya dulu kuliah ngambil jurusan Hukum, tapi nggak selesai,”
            “Ngambil jurusan Jurnalistik Mbak, kenapa nggak selesai Mbak, sayang kan?”
            “Iya sih, saya berhenti pas mau KKN, ketumbur sama kawin. Tadinya mau ngelanjutin lagi, tapi suami pindah tugas ke Palembang, jadi aja males. Mendingan ikut suami. Kalau perempuan itu tak sebebas laki-laki, bagaimanapun harus taat dengan suami. Kalau harus ngungkit-ngungkit itu, saya pernah debat habis-habisan dengan suami dulu. Masalah kuliah ini, dan ujung-ujungnya saya bolak-balik dan saya tarik wilayah gender. Setelah saya berfikir kembali, saya dinikahi itu bukan untuk memposisikan diri, tapi saya ingin menjadi istri yang baik,”
            Bayanganku kembali melambung dan tertarik kencang ke Bandung. Di sana ada si Manis sedang mengelap-elap matanya habis manangis teringat aku. Aku juga teringat dia  sedang KKN. Benar atau tidaknya ia sedang mengelap air matanya habis nangis hanya dia dan Tuhan yang tahu. Aku hanya menerka-nerka saja, aku bukan dukun yang dapat membaca jarak jauh. Barusan aku lewat Banten…
            “Emang, wacana Gender belum begitu menghipnotis banyak orang, yang jelas menurut saya perempuan belum siap dengan kesamaan derajat itu. Begitu pula laki-laki juga belum siap untuk di saingi oleh kaum Hawa. Ya…artinya mereka belum sama-sama siap,
            “Tapi, jangan salah lo Mbak, gender adalah suatu yang sangat sensitive. Ada wilayah gender dan ada wilayah kodrat. Gender berbicara mengenai persamaan derajat dibidang keilmuan misalanya, karir, terus dibidang-bidang yang tidak menyalahi kodrat,
            “Terkadang wanita sendiri yang terlalu gender sehingga lupa kodratnya yang sesungguhnya. Sampai tidak mau melahirkan lah, jadi pemain sepak bola dan lainya. Padahal melahirkan itu memang kodrat, dan itu tidak bisa di lakukan seorang laki-laki. Dia lupa sifat maskulinnya, dia lupa kelembutan yang menjadi kodratnya, dia hanya berfikir bahwa dia harus sama dengan laki-laki. Itu gender jadi lupa kodrat alias gender yang keblinger,
            “Padahal lelaki itu sangat memperhatikan perempuan, misalanya seorang suami Mbak, mereka tidak ingin istrinya kerja itu bukan masalah ia tak mau tersaingi, tapi ia ingin istrinya itu lebih nyaman. Eh…kadang-kadang perempaunnya yang malahan nggak karuan,”
“Dan intinya, saya setuju dengan pendapat Mbak tadi, kalau seorang perempuan dinikahi oleh seorang laki-laki bukan untuk memposisikan diri. Tapi, berusahalah untuk jadi istri yang baik dan taat pada suami. Begitu kan?” benar kali ini nafasku hampir habis tersedot oleh seluruh lapisan angin laut… ngomong sendiri…. Gila!
            “Really I'm so happy can talk with you,”[1]
            “Makasih mbak,” tubuhku serasa mengapung terbawa ombak dan terpental-pental seakan-akan sedang naik selancar. Diterpa ombak yang menggulung, aku berteriak kebahagiaan. Baru kali ini aku dapat pujian dan aku merasa tersanjung…
            Peluit ferry mengepung udara dengan kencang sekali. Aku dan dia tak terkejut, malah keasikan menatap air yang jernih. Mungkin saja air itu menggambarkan hatiku sekarang ini. Sesuci dan sejernih air laut yang tercemar …tercemar oleh sampah… orang indonesia tak pernah memikirkan keindahan alam yang semenarik ini.
            “Sudah berapa tahun tinggal di Bandung?”
            “Belum lama kok Mbak, sekitar enam tahunan,”
            “Sering pulang ke Riau?”
            “Baru sekarang, semenjak saya di Bandung, sebenarnya saya kangen pingin pulang dari dulu Mbak, tapi apa mau dikata. Kondisi keuangan yang harus berbagi pada biaya kuliah dan terkadang dapat uang banyak untuk bayar hutang. Jadi, kapan ada sisa untuk pulang kesana. Mahal ongkosnya Mbak,”
            “Sebenarnya semua tindakan kita kalau diniatin dengan sungguh-sungguh pasti ada jalan yang di berikan oleh-Nya,”
            “Iya..tapi banyak hal yang membelokkan niat sungguh-sungguh kita itu Mbak,” berhasil… dia terinfeksi virusku. Ia manggut-manggut seperti aku tadi. Gila, cepat juga reaksinya.
            Tatapanku kosong kearah mukanya, kini lain. Sekarang dia tidak mirip dengan si Manis, tapi lebih mirip dengan Ibuku. Benar seperti Ibuku kalau bicara. Ia berusaha menghormati lawan bicaranya dengan kehati-hatian setiap kalimat yang ia lontarkan. Dicernanya matang lalu baru menghunus melesat langsung kejantung-hati lawan. Memang harus begitu teka-teki dan tak-tik berbicara. Bukan asal nyeplos sepertiku. Bukan asal serodot untuk memperoleh kata “SMART” atau “FUCK”. Pakir dulu dengan berbagai ujian di otak. Saring dulu hingga benar-benar steril dan samapai benar-benar tidak menyinggung orang lain. Setelah lolos dalam ujian otak kanan, kiri, samping, belakang, bawah, atas, (eh…tidak ada ya?) kalimat itu baru sampai garis finis untuk melampiaskan. Bagus kan? baca: bukan seperti menyebutkan nama Amirkan, Syahrulkan, Salmankan.
            Suara peluit berbunyi lagi, kencang dan berulang. Aku dan Feliza masih tercenung di disana, dengan posisi duduk yang tak berubah sama sekali. Tangannya bersedakap dipagar, dagunya mengantuk diatasnya. Sedangkan aku duduk manis, tangan terkepit di sela-sela paha. Lumayan menghangatkan sedikit telapak dan jari tangan. Kami berdua tak memandang kearah berjalannya Ferry, karena kami berdua duduk di lantai dua dan berada di teras belakang. Lebih indah dan lebih leluasa menatap kearah manapun, kecuali kedepan. Mataharipun telah meninggi sekitar dua jengkal bila di ukurnya di depan mukaku. Masih tak menoleh ke depan.
            Peluit berbunyi lagi. Tak lama suara keluar dari pengeras suara yang berada disudut-sudut kapal. Aku tak begitu mendengarkan suara pemberitahuan itu, pikiranku masih asik menulusuri seluruh bagian laut yang terbentang, pulau-pulau kecil yang menggunung. Laut ini katanya terbentuk dari letusan gunung Krakatau beberapa puluh tahun lalu. Maka disana masih ada anak-anak Krakatau yang siap meletus bila Tuhan menghendaki.
            Feliza terjingkrak saat mendengar suara dari speaker itu.
            “Wah..dah nyampek nih… gila nggak terasa sama sekali… keasikan ngobrol sama kamu kayaknya..”
            “Oh..dah nyampe gitu?” aku juga ikut-ikutan terjingkrak, langsung menatap orang di sekitar mulai siap-siap menuruni tangga besi karatan. Aku menolehkan kearah samping, benar rupanya Pelabuhan Bakau Heni telah menyambut dengan mesra. Bangunan-bangunan di pinggir pantai tersusun seperti miniature kampusku dulu yang terpampang bagus di depan gedung rektorat. Tapi lebih indah ini, karena di tepi pantai.
            “Oya..sampai jumpa… kapan-kapan kalau main ke Palembang mampir ke rumah. Tinggal cari perumahan dinas Perhutani, terus tanya aja dengan Satpam nama saya. Dia pasti nganterin sampai depan rumah,” senyum murni yang tak dibuat-buat terkeluar, dia mirip juga dengan dosen pisikologiku dulu, yang masih gadis. Teman-temanku banyak yang naksir padanya. Dia tetap mempertahankan diri sebagai ASDOS (bukan Asal Dosen tetapi Asisten Dosen) turun wibawa kalau harus pacaran dengan mahasiswanya.
            Obrolan kami selama hampir tiga jam lebih itu tak terasa sama sekali. Dari mulai kapal melepas tali sampai kapal ini mengikatnya kembali. Dari aku duduk sendiri hingga sebentar lagi duduk sendiri. Ia mengulurkan tangannya yang lembut menjulur kearah posisiku berdiri. Aku sedikit ragu menjabatnya, aku merasa kurang suka dengan perpisahan kami ini,
            “You smart and nice[2] lagi-lagi aku terbang dengan hidung mengembang seperti balon gas saat selang dari tabung meniup karet lunak mirip kondom itu.
            “Thank’s. Sampai jumpa lagi. Saya juga sangat senang dapat teman ngobrol seperti Mbak,”
           
            Jabat tangan hangat yang lama itu terlepas.
            Ferry berhenti.
            Memendek… memendek…. Dan hilang bayangannya tertelan tangga karat.
            Keparat kau tangga.
            Aku meyesal.
            Menyesal yang bersangatan.
            Aku tak meminta nomor telponnya.
            Aku mengumpat lagi.
***BERSAMBUNG***




[1] Benar-benar aku sangat bahagia dapat berbicara dengan kamu
[2] Kamu cerdas dan manis

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.