Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Antara
Pulau Jawa dan Sumatra
Sebentar
lagi aku akan ucapkan selamat tinggal Pulau Jawa. Pergantian hari yang mungkin
indah mungkin juga mengharukan. Aku ingin pas matahari terbit nanti berada pas
ditengah-tengah lautan antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Jadi aku akan
membedakan enak di Jawa atau di Sumatra. Itu saja tak lebih.
Tiket
Ferry telah kugenggam di tangan kiri. Tangan kanan menjinjing sebotol air
mineral. Aku terus berjalan melewati tangga dan jembatan yang tinggi untuk
masuk kedalam pintu Ferry khusus penumpang. Mataku masih terus jelalatan
memandang sepuas mungkin Pulau Jawa , sedangkan Pulau Sumatra belum terlihat
belang hidungnya.
Buru-buru
aku mencari kursi yang pas untuk menikmati sunrise.
Sambil berujar kalau pas di tengah-tengah laut lepas nanti ia muncul maka aku
akan berteriak sekuat mungkin. Tak tahu mau teriak apa, yang penting aku
teriak. Bisa jadi aku teriak menyebut nama si Manis, atau aku berteriak meracau
tak karuan sampai nangis dan suara sampai serak. Paling orang disampingku
bilang aku sedang sinting sebentar.
Kapal
mulai menjauh.
Tali
temali yang menyatukan kapal dengan dermaga terlepas.
Pintu
masuk kendaraan terangkat. Menutup.
Aku
lambaikan tangan.
Tanganku masih tergerak kanan-kiri.
Seperti ada seseorang yang terungut-ungut mengantarku di pelabuhan sana,
mulutku tersenyum-senyum, tapi raut mukaku sedih. Orang disampingku mulai
berfikir sebentar lagi aku sinting. Aku melihat-lihat kebawah, tak ada rupanya
pagi begini si penyelam handal ciptaan alam, dan si penerjun bebas ala
entah-brantah, yang di akibatkan oleh koin-koin kenikmatan. Atau lebih di
pahami dengan koin duit. Cepek, gopek, atau seceng…. Menyelamlah… terjunlah…
Tanpa
sadar tanganku masih tergoyang-goyang seperti presenter gossip di teve, saat
mereka mengucapkan salam perpisahan. Mungkin saja tanganku juga berkata selamat
tinggal Pulau Jawa. Tapi di mulutku berkata pelan, “Trimakasih Pulau Jawa…kau telah mengajriku tentang ketidak adilan, kau
ciptakan sarjana-sarjana muda yang handal dan tahan banting, namun kau tak
memberikan karantina saat para sarjana itu mulai gila, contohnya aku. Aku harus
gila dan akan mencemarkan di kampungku yang lugu, tapi apa mau dikata, aku
telah tergilas oleh derap sepatumu yang kian beringas hingga aku tak mampu bertahan lebih lama, dan
menjadi benar-benar gila. ”
Wajahku
tetap fokus kearah Pulau Jawa yang kian jauh tertinggal oleh ferry yang
kutumpangi. Nama ferry ini Jatra, muat segalanya dari Truk gandeng yang besar
sampai kecoa dan semut kecil yang ikut bongkar muat barang.
Sekali-kali
aku menatap kearah air yang biru seperti langit, bergerak-gerak akibat Ferry
dan angin yang mengusik istirahatnya. Meriak-riak seperti tarian rica-rica.
Melenggok-lenggok seperti perempuan di atas panggung kafe. Asik sekali
melihatnya. Hati-hati terjebur…
Cahaya
lamat-lamat mulai muncul dari utuk timur. Pertanda matahari akan segra
menampakkan wajahnya setelah semalaman suntuk menghilang. Beralih pandanganku
kearah sana. Itulah alasanku tadi malam menginap di pelabuhan. Aku ingin
menikmati sunrise. Kata banyak orang
matahari itu nikmat saat muncul pagi-pagi dan tenggelam sore-sore. Kalau siang
panasnya bukan main.
“Dunia….!
tatap aku yang sedang kalah ini. Kalah dari pertarungan yang kau ciptakan.
Sekarang kau tak mau bertanggung jawab. Dunia buka matamu…!” janjiku telah
tunai sudah. Meski sekarang aku tak tahu entah sedang berada di tengah-tengah
atau masih ditepi. Aku teriak saja, terikan itu muncul seketika, mungkin ilham. Semua orang tersenyum, dan
mungkin sebentar lagi akan pindah dari dekatku. Takut aku mengamuk!
Aku
duduk bersedakap dipagar ferry. Dengan mata membelalak kearah timur, namun otak
entah melayang kemana. Sampai-sampai seseorang duduk disampingku sama sekali
tak kusadari. Seorang wanita setengah muda, tepatnya berumur sekitar 28-30
tahun. Lebih tua tentunya daripada aku.
“Wah
asik Mas ya… ngeliat matahari yang baru muncul?” aku terkejut dan tak tentu
arah gerakan tubuhku. Otakku yang tadinya terbawa arus air laut kini harus
menyongsong dengan deras untuk dapat masuk ke kepala lagi.
“Iya..Mbak…”
“Mau
ke Lampung Mas?”
“Iya,
tapi tujuan utamanya bukan kesana,” aku masih menghadap kearah matahari terbit.
Baru setengahnya yang kelihatan. Warnanya orange. Bulat besar tapi setengah
lingkaran. “Mbak, mau kemana?”
“Mau
ke Palembang,”
“Asli
Palembang Mbak?”
“Enggak,
saya asli Jakarta, tapi saya sudah lama tinggal disana. Ikut suami dinas
disana,” gerakan biasa terkeluar lagi. Manggut-manggut, mungkin sudah ciri
khasku, mungkin saja ini penyakit bawaan lahir yang tak bisa disembuhkan. Mau
berobat ke Dokter tentang masalah ini, mana mungkin. Apa kata Dokter?
“Udah
berapa lama Mbak?”
“Udah
delapan tahun, sejak kami menikah dulu. Suami saya langsung di pindah tugas
kesana. Kalau saya sih pulang pergi, soalnya anak sekolah di Jakarta. Jadi
kadang di Palembang kadang di Jakarta. Kalau Mas dari mana?”
“Oh..saya
dari Bandung,”
“Ikut
Bus rombongan?”
“Nggak,
biasalah nembak-nembak supaya lebih irit,” aku tersungging-sungging. Tidak
menggeleng atau mengangguk. Kutahan sejenak.
“Oh…mau
nikmati matahari pagi di Kapal Laut ya?” tawa kami pun meledak-ledak. Suara
gemuruh mesin ferry pun terkalahkan.
“Kuliah
di Bandung Mas?”
“Nggak
Mbak, udah selesai…” deeg…jantungku mulai berdetak keras sekali. Kalau
diruntutkan, ini pasti mau nanyain soal pekerjaanku. Aku tak mau berbohong
dengan mengatakan kalau aku sedang bisnis, atau mengatakan sedang penelitian,
atau aku nyebrang ke Sumatra ini gara-gara mau nyari kerja (padahal alasan satu
ini benar). “Emang suami Mbak kerja apa?” kutabrak dengan pertanyan ini supaya
dia tak punya peluang bertanya soal statusku sekarang. Pengangguran atau ….. Aku sedang memikirkan titik-titik ini.
“Di
Perhutani, jadi sering pindah-pindah. Sebentar lagi juga mau pindah lagi ke
Aceh,”
“Wah…makin
jauh dong dari anak? Anak di Jakarta dengan siapa Mbak?”
“Dengan
Nenek dan Kakeknya, oya.. sekarang sudah kerja?” benar tebakanku kan! Ia dari
tadi mencari celah untuk menanyakan itu. Aku tersenyum-senyum memikirkan bohong
apa yang masuk akal jika dilihat dari tampangku yang acak-acakkan, tak pernah
cocok kalau duduk di kantoran.
“Ah…masih
nganggur Mbak, sekarang susah banget nyari kerja Mbak,”
“Emang
sih, jaman sekarang nyari pekerjaan seperti mencari mutiara di pantai yang
berpasir, susah,” ekspresi mukanya ikut prihatin dengan keadaanku. Mungkin ini
jadi modal cerita sebelum tidur dengan suaminya. Suaminya yang meremehkan
keadaanku habis-habisan karena aku sorang pengangguran, sedangkan dia membela
posisiku mati-matian, suaminya cemburu. Mereka cerai.
Matahari
telah sejengkal tingginya dari permukaan laut, bila di ukur dari depan mataku lalu
kurentangkan jariku untuk membentuk jengkal. Dan pas.
“Sekarang
ini mau pulang kampung ceritanya, atau mau jalan-jalan ke Sumatra saja, cari
pengalaman mumpung muda? Kan biasanya
orang itu muasin waktu muda untuk jalan-jalan mencari pengalaman. Ntar kalau
sudah punya istri, apalagi kalau dah punya anak, repotnya minta ampun,”
“Mau
pulang kampung, sekalian ngintip-ngintip peluang kerja di Sumatra,”
“Oh..bagus
lah…berarti ada perjuangan. Hidup itu memang harus gitu, setiap ritme-ritme
menpunyai gelombang dan nada yang berbeda. Apa bila kita sanggup memperjuangkan
maka kita akan sanggup menggapai apa yang kita inginkan itu. Di dunia ini tidak
ada yang tidak mustahil tetapi, tidak ada yang mudah tentunya,” jreeg. Aku
ingat kata-kata kakakku yang mirip seperti itu, saat ia memarahiku karena
sewaktu ia datang ke kamar koasan, aku sedang tidur. Pagi-pagi pula. Kalau
waktu kecil dulu, bila dimarahi pagi-pagi, itu dinamakan dengan “KOPI PAIT”.
“Iya
Mbak, saya setuju itu. Tapi terkadang aku ingat, itu sebenarnya ujian dari Yang
Maha Kuasa, Dia punya keajaiban, Dia punya kekuasaan, Dia yang punya segalanya,
dan Dia yang menulis scenario hidup kita ini. Bukan kita harus polos dengan
takdir, tapi kita harus mencari takdir yang sebenarnya bagi kita, bukan begitu Mbak?”
“Iya..Iya…betul
itu, suatu saat karunia-Nya dan keajaiban-Nya pasti akan terkuak. Dia punya
kasih sayang yang serba Maha, jadi tak mustahil bagi-Nya, untuk mengubah kita
bila kita bersungguh-sungguh memperjuangkan,”
Posisi
duduknya kini sama denganku, hanya saja dagunya terpangku oleh lipatan
tangannya. Aku sesekali menatap wajahnya yang sedikit mirip dengan si Manis,
cuma alis saja kok. Mungkin karena aku kangen padanya saja, sehingga semua
wanita mirip dengannya.
Matanya
tajam kearah air yang meriak-riak berbusa. Mukanya mulus kuning, rambut
sebahunya melambai-lambai diterpa angin laut yang semilir tapi menyejukkan,
dengan jaket yang tipis tak terkancing tampak cantik benar wanita ini. Sayang
dia sudah bersuami. Apa masih berlaku kata-kata “KUTUNGGU JANDAMU?”
“Oya,
kita sudah ngobrol panjang lebar tapi belum saling kenal,” tangannya mengulur
ke depanku,
“Feliza,”
“Fajruddin
Saleh bin Tjik Saleh,” tanpa ragu selalu kusebut nama Ayah. Itu suatu
kebanggaan yang tak dapat kuutarakan sekarang. Mungkin dalam hatinya
tergidik-gidik melihat keanehan cara aku menyebutkan nama sampai selengkap
ijazah.
“Islam
ya?”
“Iya,
seratus persen,”
“Saya
Katolik, tapi saya kagum dengan Islam, orangnya baik-baik dan sopan-sopan,
kalau masalah yang sering menyebut-nyebut Islam itu sebenarnya masih samar.
Entah dia sebenarnya agama apa. Toh, seluruh agama itu tak ada yang
menghalalkan kekerasan. Apalagi pembantaian. Ya nggak?”
“Iya,
Mbak. Saya sering risih dengan pengakuan mengatas namakan agama ketika ia
bertindak sesuatu yang jelas-jelas melanggar kaedah-kaedah agama. Dulu saya
pernah berdiskusi dengan teman saya yang juga Katolik. Dia baik sekali Mbak,
katanya gini, pembuat kerusuhan itu sebenarnya orang-orang yang ingin memecah
belah bangsa saja. Di bawanya nama agama supaya nantinya ada perang antar
agama. Dan disana dia akan berteriak menang ketika semuanya telah hancur. Kita
ingin dibuat seperti jaman penjajahan Belanda dengan politik adu domba untuk
menghancurkan,”
“Benar
sekali tu, orang sekarang itu sudah kurang kerjaan, jadi macem-macem aja yang
dia lakuin. Urusan dilarang atau tidak dalam aturan agama itu nomor sembilan
belas, yang jelas ia ingin disebut orang sibuk dulu,” aku tersinggung sedikit
sebenarnya, ketika ia menyebut kata “kurang kerjaan” tapi aku pastikan ia tak
bermaksud itu. Memang pengangguran itu lebih sensitive. “Yah…mudah-mudahan
mereka cepet sadar,”
“Amin,”
lirih sekali suara yang terkeluar. “Orang beragama yang baik itu orang yang
saling menghormati antar pemeluk agama, kalau kita saling menghina itu sudah
salah besar. Agama adalah masalah kepercayaan, kita tidak bisa memaksa sesorang
untuk percaya dengan Tuhan kita. Coba kita pikir sendiri, kita sanggup nggak
untuk percaya dengan Tuhan dia? Itu kalau mereka berpikir jernih. Entah mahluk apa
yang merasuki pikiran mereka, ulahnya yang tidak manusiawi dan tak kenal belas
kasihan. Secara rasio saja bagaimana orang dapat ikut dengannya kalau dirinya
sendiri tak mampu untuk jadi contoh,”
“Iya…Iya…itu
kesalahan mereka yang tak mampu lagi memilah mana kebaikan dan mana yang buruk.
Sepertinya mereka telah buta dari segala hal,” tawa kami menggelagak, mungkin
orang didekat kami mengira kami adalah pasangan yang sedang berlibur menikmati
laut seperti dalam film, libur di kapal pesiar. Lalu tenggelam dan pasangan itu
mati salah satu atau hanya mereka berdua yang hidup. Seperti “TITANIC”.
“Tujuan
kamu kemana sebenarnya?”
“Sambil
jalan-jalan sih Mbak, kalau kampungku di Propinsi Riau, tapi bukan di
Pekanbarunya, kalau Mbak sendiri Palembang di mananya?”
“Saya
di kota madianya, di perumahan dinas Perhutani. Berarti nanti naik mobil ke
Raja Basa dulu ya?”
“Iya,
Mbak. Kalau Mbak?”
“Saya
naik mobil langsung, Jakarta-Palembang,”
“Dulu
kuliah ngambil jurusan apa? Kalau saya dulu kuliah ngambil jurusan Hukum, tapi
nggak selesai,”
“Ngambil
jurusan Jurnalistik Mbak, kenapa nggak selesai Mbak, sayang kan?”
“Iya
sih, saya berhenti pas mau KKN, ketumbur sama kawin. Tadinya mau ngelanjutin
lagi, tapi suami pindah tugas ke Palembang, jadi aja males. Mendingan ikut
suami. Kalau perempuan itu tak sebebas laki-laki, bagaimanapun harus taat
dengan suami. Kalau harus ngungkit-ngungkit itu, saya pernah debat
habis-habisan dengan suami dulu. Masalah kuliah ini, dan ujung-ujungnya saya
bolak-balik dan saya tarik wilayah gender. Setelah saya berfikir kembali, saya
dinikahi itu bukan untuk memposisikan diri, tapi saya ingin menjadi istri yang
baik,”
Bayanganku
kembali melambung dan tertarik kencang ke Bandung. Di sana ada si Manis sedang
mengelap-elap matanya habis manangis teringat aku. Aku juga teringat dia sedang KKN. Benar atau tidaknya ia sedang
mengelap air matanya habis nangis hanya dia dan Tuhan yang tahu. Aku hanya
menerka-nerka saja, aku bukan dukun yang dapat membaca jarak jauh. Barusan aku
lewat Banten…
“Emang,
wacana Gender belum begitu menghipnotis banyak orang, yang jelas menurut saya
perempuan belum siap dengan kesamaan derajat itu. Begitu pula laki-laki juga
belum siap untuk di saingi oleh kaum Hawa. Ya…artinya mereka belum sama-sama
siap,
“Tapi,
jangan salah lo Mbak, gender adalah suatu yang sangat sensitive. Ada wilayah
gender dan ada wilayah kodrat. Gender berbicara mengenai persamaan derajat
dibidang keilmuan misalanya, karir, terus dibidang-bidang yang tidak menyalahi
kodrat,
“Terkadang
wanita sendiri yang terlalu gender sehingga lupa kodratnya yang sesungguhnya.
Sampai tidak mau melahirkan lah, jadi
pemain sepak bola dan lainya. Padahal melahirkan itu memang kodrat, dan itu
tidak bisa di lakukan seorang laki-laki. Dia lupa sifat maskulinnya, dia lupa kelembutan yang menjadi kodratnya, dia hanya
berfikir bahwa dia harus sama dengan laki-laki. Itu gender jadi lupa kodrat
alias gender yang keblinger,
“Padahal
lelaki itu sangat memperhatikan perempuan, misalanya seorang suami Mbak, mereka
tidak ingin istrinya kerja itu bukan masalah ia tak mau tersaingi, tapi ia
ingin istrinya itu lebih nyaman. Eh…kadang-kadang perempaunnya yang malahan
nggak karuan,”
“Dan intinya, saya setuju dengan
pendapat Mbak tadi, kalau seorang perempuan dinikahi oleh seorang laki-laki
bukan untuk memposisikan diri. Tapi, berusahalah untuk jadi istri yang baik dan
taat pada suami. Begitu kan?” benar kali ini nafasku hampir habis tersedot oleh
seluruh lapisan angin laut… ngomong sendiri…. Gila!
“Really I'm so happy can talk with you,”[1]
“Makasih
mbak,” tubuhku serasa mengapung terbawa ombak dan terpental-pental seakan-akan
sedang naik selancar. Diterpa ombak yang menggulung, aku berteriak kebahagiaan.
Baru kali ini aku dapat pujian dan aku merasa tersanjung…
Peluit
ferry mengepung udara dengan kencang sekali. Aku dan dia tak terkejut, malah
keasikan menatap air yang jernih. Mungkin saja air itu menggambarkan hatiku
sekarang ini. Sesuci dan sejernih air laut yang tercemar …tercemar oleh sampah…
orang indonesia tak pernah memikirkan keindahan alam yang semenarik ini.
“Sudah
berapa tahun tinggal di Bandung?”
“Belum
lama kok Mbak, sekitar enam tahunan,”
“Sering
pulang ke Riau?”
“Baru
sekarang, semenjak saya di Bandung, sebenarnya saya kangen pingin pulang dari
dulu Mbak, tapi apa mau dikata. Kondisi keuangan yang harus berbagi pada biaya
kuliah dan terkadang dapat uang banyak untuk bayar hutang. Jadi, kapan ada sisa
untuk pulang kesana. Mahal ongkosnya Mbak,”
“Sebenarnya
semua tindakan kita kalau diniatin dengan sungguh-sungguh pasti ada jalan yang
di berikan oleh-Nya,”
“Iya..tapi
banyak hal yang membelokkan niat sungguh-sungguh kita itu Mbak,” berhasil… dia
terinfeksi virusku. Ia manggut-manggut seperti aku tadi. Gila, cepat juga
reaksinya.
Tatapanku
kosong kearah mukanya, kini lain. Sekarang dia tidak mirip dengan si Manis,
tapi lebih mirip dengan Ibuku. Benar seperti Ibuku kalau bicara. Ia berusaha
menghormati lawan bicaranya dengan kehati-hatian setiap kalimat yang ia
lontarkan. Dicernanya matang lalu baru menghunus melesat langsung
kejantung-hati lawan. Memang harus begitu teka-teki dan tak-tik berbicara.
Bukan asal nyeplos sepertiku. Bukan asal serodot untuk memperoleh kata “SMART”
atau “FUCK”. Pakir dulu dengan berbagai ujian di otak. Saring dulu hingga
benar-benar steril dan samapai benar-benar tidak menyinggung orang lain.
Setelah lolos dalam ujian otak kanan, kiri, samping, belakang, bawah, atas,
(eh…tidak ada ya?) kalimat itu baru sampai garis finis untuk melampiaskan.
Bagus kan? baca: bukan seperti
menyebutkan nama Amirkan, Syahrulkan, Salmankan.
Suara
peluit berbunyi lagi, kencang dan berulang. Aku dan Feliza masih tercenung di
disana, dengan posisi duduk yang tak berubah sama sekali. Tangannya bersedakap
dipagar, dagunya mengantuk diatasnya. Sedangkan aku duduk manis, tangan
terkepit di sela-sela paha. Lumayan menghangatkan sedikit telapak dan jari
tangan. Kami berdua tak memandang kearah berjalannya Ferry, karena kami berdua
duduk di lantai dua dan berada di teras belakang. Lebih indah dan lebih leluasa
menatap kearah manapun, kecuali kedepan. Mataharipun telah meninggi sekitar dua
jengkal bila di ukurnya di depan mukaku. Masih tak menoleh ke depan.
Peluit
berbunyi lagi. Tak lama suara keluar dari pengeras suara yang berada
disudut-sudut kapal. Aku tak begitu mendengarkan suara pemberitahuan itu,
pikiranku masih asik menulusuri seluruh bagian laut yang terbentang,
pulau-pulau kecil yang menggunung. Laut ini katanya terbentuk dari letusan
gunung Krakatau beberapa puluh tahun lalu. Maka disana masih ada anak-anak
Krakatau yang siap meletus bila Tuhan menghendaki.
Feliza
terjingkrak saat mendengar suara dari speaker itu.
“Wah..dah
nyampek nih… gila nggak terasa sama sekali… keasikan ngobrol sama kamu
kayaknya..”
“Oh..dah
nyampe gitu?” aku juga ikut-ikutan terjingkrak, langsung menatap orang di
sekitar mulai siap-siap menuruni tangga besi karatan. Aku menolehkan kearah
samping, benar rupanya Pelabuhan Bakau Heni telah menyambut dengan mesra.
Bangunan-bangunan di pinggir pantai tersusun seperti miniature kampusku dulu
yang terpampang bagus di depan gedung rektorat. Tapi lebih indah ini, karena di
tepi pantai.
“Oya..sampai
jumpa… kapan-kapan kalau main ke Palembang mampir ke rumah. Tinggal cari
perumahan dinas Perhutani, terus tanya aja dengan Satpam nama saya. Dia pasti
nganterin sampai depan rumah,” senyum murni yang tak dibuat-buat terkeluar, dia
mirip juga dengan dosen pisikologiku dulu, yang masih gadis. Teman-temanku
banyak yang naksir padanya. Dia tetap mempertahankan diri sebagai ASDOS (bukan
Asal Dosen tetapi Asisten Dosen) turun wibawa kalau harus pacaran dengan
mahasiswanya.
Obrolan
kami selama hampir tiga jam lebih itu tak terasa sama sekali. Dari mulai kapal
melepas tali sampai kapal ini mengikatnya kembali. Dari aku duduk sendiri
hingga sebentar lagi duduk sendiri. Ia mengulurkan tangannya yang lembut
menjulur kearah posisiku berdiri. Aku sedikit ragu menjabatnya, aku merasa
kurang suka dengan perpisahan kami ini,
“You smart and nice”[2]
lagi-lagi aku terbang dengan hidung mengembang seperti balon gas saat selang dari
tabung meniup karet lunak mirip kondom itu.
“Thank’s.
Sampai jumpa lagi. Saya juga sangat senang dapat teman ngobrol seperti Mbak,”
Jabat
tangan hangat yang lama itu terlepas.
Ferry
berhenti.
Memendek…
memendek…. Dan hilang bayangannya tertelan tangga karat.
Keparat
kau tangga.
Aku
meyesal.
Menyesal
yang bersangatan.
Aku
tak meminta nomor telponnya.
Aku
mengumpat lagi.
***BERSAMBUNG***
No comments:
Post a Comment