Tuesday, December 30, 2008

Foto Melalui Berbagai Zaman

oleh: Mulyadi Saputra (Moel)



Foto. Siapa yang tidak pernah mendengar kata itu, atau siapa yang tidak pernah melihat melihat foto pada zaman seperti sekarang ini. Bisa dibilang orang tersebut adalah orang yang benar-benar primitive. Bila orang awam mendengar kata FOTO yang terlintas adalah sebuah kertas yang tergambar secara rapi yang di hasilkan oleh kamera. Padahal foto bisa di bilang suatu alat pengabadian momen penting atau tidak penting atau orang biasanya menamakan hal tersebut dokumentasi, seperti momen pernikahan, di abadikan dengan foto, dan lain sebagainya. Ada juga yang bilang foto adalah suatu seni yang mempunyai arti dan dapat bercerita.
Pada zaman dahulu tak ada namanya foto yang berwarna atau bahkan foto belum ada. Bagaimana cara seseorang mengabadikan momen-monen penting? Dilukis? Atau hanya di save dalam ingatan? Mungkin itu suatu pertanyaan yang tak harus diutarakan. Sebab pada zaman-zaman terdahulu mereka baru fikir bagaimana caranya mengubah dunia. Hingga terciptalah suatu dunia yang sampai sekarang kita alami, dimana dunia yang kesemuanya serba digital.
***
Pernah melihat foto hitam putih? Tentu saja pernah. Biasanya pada era sekarang ini sangat jarang kita jumpai kecuali yang tertempel di Ijazah atau di surat lamaran kerja dan yang lainnya. Untuk sekarang ini yang menggunakan film hitam putih hanya dikalangan studio foto atau dikalangan yang mencari sensasi keklasikan. Namun, dikalangan masyarakat biasa sangat jarang sekali kita temui. Selain kurang enak dipandang juga tak dapat melukiskan suatu warna, sebagaimana kejadian yang sebenarnya.
Foto yang masih menggunakan film juga sekarang ini hampir terlewati, meskipun masih ada. Banyak orang bilang foto menggunakan film lebih ribet, banyak biaya, dan tidak bisa melihat langsung objek yang diambil. Ribetnya yaitu, pada saat kita harus memasang film (rol), salah sedikitpun maka film tidak berputar dan momen tersebut pun berlalu. Banyak biaya yang dikeluarkan yaitu pada saat harus membeli film dan mencuci cetak negatif atau positif. Pada kalangan tertentu masih menggunakan kamera manual dengan alasan kepuasan, ada juga yang mempunyai alasan belum terbeli yang digital dan lain sebagainya.
Seiring zaman yang terus bergulir, bila kita tidak mengikuti era demi era sampai dengan era globalisai saat ini, kita bisa dibilang gaptek (Gagap Teknologi). Di zaman digital sekarang ini semuanya dipermudah. Yang ribet menjadi mudah, yang banyak membutuhkan biaya menjadi lebih irit. Seperti halnya camera foto, tak perlu memakai film, tak perlu menunggu di cuci cetak untuk melihat hasil pemotretan kecuali untuk di pajang dan itupun lebih mudah dengan bantuan computer dan print out, sekaligus dapat diedit, kemudahan yang lain yaitu dapat disimpan dalam bentuk cetak atau digital (file).
***
Dapat disimpulkan bahwasanya foto mempunyai peran penting, dari segi dokumentasi tentunya. Tanpa foto tak ada yang dapat mengenang momen yang telah berlalu. Meski daya ingat mampu menceritakan namun foto dapat memperkuat dan lebih dapat dipercaya. Seperti pertama fotografi ada di Indonesia, yaitu pada saat pembacaan teks proklamasi (17 Agustus 1945). Setidaknya kita yang tak mengalami langsung peristiwa itu dapat membayangkan masa yang kisruh dan penuh kegembiraan dengan melihat foto dan ditambah dengan cerita dari nenek kita saat mau tidur atau cerita dalam sebuah buku yang dicuri (jangan di ikuti) dari perpus.
***

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.