Tuesday, December 30, 2008

Cita-Cita Kecilku

oleh : Mulyadi (Moel)

Matahari sebentar lagi akan meninggalkan alam sekitar, pertanda malam akan segera menjenguk dengan keromantisan dan kedinginan. Sedari tadi aku duduk melamun di taman dekat sekolah TK sebelah kantor tempatku bekerja. Bisa dibilang aku yang mengantarkan kepergian matahari hari ini. Di taman itu aku tak mengerjakan apa-apa selain melamun, menghayal dan mengingat yang dulu dan yang jauh meninggalkanku. Cita-citaku tepatnya yang kupikirkan sekarang.
Ingat benar waktu itu. Aku masih duduk di bangku TK, guruku yang baik dan murah senyum itu menanyai seluruh isi kelas. Bu Mun namanya, dan nama panjangnya sudah tak tersave di batok kepalaku lagi. Ia menanyakan cita-cita kami semua. Hanya dua jawaban yang paling bumming diantara 21 anak di kelas itu. Dokter dan Pilot. Termasuk aku yang mencita-citakan menjadi seorang dokter.
Sampai sekarangpun aku masih tetap mendambakan cita-cita itu. Entah mengapa?. Padahal aku percaya sekali kalau Dokter adalah cita-cita anak TK. Karena setelah besar nanti akan berpikir dua kali untuk mengambil kuliah jurusan itu. Mahal yang jelas. Atau seorang pilot yang menjadi cita-cita temanku yang lain… entah bagaimana nasib cita-cita itu. Tapi, benar juga kata orang-orang, “bercita-citalah setinggi langit, meleset-melesetnya akan jatuh di awan atau bulan.”
Dari 21 teman TKku dulu, sama sekali tak ada yang sesuai dengan cita-citanya termasuk juga aku. Keluaran jurusan Akuntansi kerja menjadi pubic relation di perusahan miskin yang bayar gajinya selalu nunggak. Puah…!
Kalau dokter apa ya.. cita-citanya waktu kecil? Atau seorang pilot? Pasti dia cita-citanya ingin menjadi Presiden atau Astronot, jadi melesetnya jadi dokter atau pilot. Kupikir lagi. Berarti dulu cita-citaku kurang tinggi, sehingga aku jadi seperti ini. Mungkin saja.
***
Gelap malam mulai menyerang dari setiap titik kehidupan. Suara jangkrik dan binatang malam yang lain mulai memutar volumenya. Kakiku mulai beranjak untuk pulang. Bila pulang terlalu malam bisa-bisa tak ada lagi kendaraan yang melintas untuk mengantarku sampai depan rumah. Kini aku duduk di sebuah halte, menunggu bus. Membosankan.
Lamunanku terus melayang sampai aku telah berdiri di bus. Penumpang penuh, dari yang pulang kerja sampai yang mau brangkat dan pulang pacaran, campur aduk, bahkan pulang kuliah juga banyak. Ponselku bergetar-getar pertanda pesan singkat telah masuk. Kubuka perlahan dan kubaca dengan cermat, kemudian jempolkupun menari-nari indah. Membalas.
Suara bising dan bau yang campur aduk mengisi bus itu. Pengap tanpa AC. Ditambah pula dengan nyanyian pengamen. Tambah sesak lagi. Aku masih tergantung-gantung memegang besi yang melintang di atas kepalaku. Apa bila di rem mendadak maka aku akan menumbur orang di depanku, lalu memantul kembali kebelakang seperti tarian yang tak mempunyai nama.
Tersentak aku ingat. Aku sedang menunggu balasan sms temanku. Ku gerayangi ponsel dikantong kiri celanaku tak ada lagi. Kantong kanan juga tidak ada. Seluruh kantong semuanya tak menyelipkan ponselku satu-satunya itu. Keringatku mengucur deras. Cemas tak terkira. Bingung tak terkontrol. Ponselku kini telah di tangan copet. Jelas sekali itu. Copet sialan. Dia telah mengajariku mengumpat.
Otakku belum berjalan normal, aku mencurigai seorang yang berdiri didepanku. Sebenarnya ia belum lama naik ke bus itu. Tapi aku yakin benar.
“Mas ngambil hp saya ya?”
“Kurangajar, jangan sembarang nuduh dong, jangan cari-cari masalah,” matanya sinis sekali. Lidahnya menyambar-nyambar seperti lidah ular, bercabang dua.
“Jangan marah dulu dong, saya hanya bertanya…”
Emosiku meledak-ledak. Yang jelas aku kesal sekali dengan kejadian ini. ponsel satu-satunya yang kubeli dari gaji pertama setahun lalu raib. Pikiranku tarkatung-katung menyimpan Tanya, “Copet itu cita-citanya apa ya? Kalau tidak perampok apa lagi?” meleset-melesetnya jadi copet.
***
Bandung,2008


“TELAH DI MUAT DI MAJALAH PATRIOT TELKOM”

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.