Monday, December 24, 2012

Cinta Berdarah

Oleh: Mulyadi Saputra


Beberapa kali ponselku berbunyi, begitu aku berbalik arah, aku teringat akan tugas  yang di berikan oleh Pak Ardi seminggu yang lalu dan harus dikumpul besok. Kubaca satu demi satu sms yang telah masuk, semuanya menanyakan tugas dari Pak Ardi. Ada yang minta dikirim lewat email, sampai ada yang  pesan  sudah jadi alias tau beres. Memang aku terkenal rajin mengerjakan tugas dan kalau tugas seperti itu aku telah selesai beberapa hari yang lalu.
Pagi yang cerah menyambutku dengan sorot matahari yang penuh dengan kehangatan. Aku sengaja berangkat siang supaya mereka yang menunggu hasil tugas saja akan bingun dan cemas.
“Misi...Pak, boleh masuk.?” ucapku sambil
mengetuk pintu kelas.
“Silahkan.” Pak Ardi dengan kumis hitam menggalar, memeberiku senyum lebar. Aku langsung duduk di depan sekali, tepatnya dihadapan Bapak pas. Beberapa kali terdengar panggilan dari teman-temanku dibelakang,
“Pasti tanya tugas.” gumamku tanpa merespon.
Setelah pelajaran selesai pak Ardi menyuruh mengumpulkan tugas dan mereka yang memesan padaku bertumbur-tumburan mendekatiku. Dengan santai aku mengeluarkan sambil berbisik,
“Lima ribu.” dengan sedikit senyum aku menepuk bahu Farid. Kemudian aku berjalan keluar sambil menyulut rokok dan duduk ditangga. Tak lama Farid dan Roy mendekat sambil memberikan uang sepuluh ribu. Aku menerimanya dengan senyum.
”Makasih ya..” sambil mengulurkan tangan, pertanda deal.
”Boss, aku kebawah dulu ya.” sambil pamit turun dari tangga ke dua, gedung  mewah  berlantai empat tempat aku menggali ilmu. Dengan cepat aku meluncur kearah sekretariat atau sering kami menyebutnya kosan. Disana tempat kami kumpul, diskusi mengeluarkan unek-unek sampai dengan ngobrol dan canda, kosan itu kami beri nama Ruang Sunyi. Ruang Sunyi ini belum lama kami bentuk, sebelumnya kami hanya sering diskusi dan ngobrol di kantin, kosan teman dan tempat-tempat setrategis lainnya.
Di kosan masih gelap dan sepi namun tidak dikunci. Aku langsung membuka pintu tanpa mengetuk atau mengucap salam sebagaimana biasanya. Disana terlihat bergelimpangan teman-temanku. Namun sedikit gelap jadi tidak jelas siapa mereka, kubuka lebar-lebar pintu supaya masuk cahaya sinar matahari yang semakin jelas membelah langit.
Reza, Dino, dan Angga yang masih meringkuk kedinginan. Aku menggapai laptop yang terserak disamping buku-buku yang berantakan seperti habis dibaca. Dari novel, buku ilmiah dan kertas bekas coret-coretan seperti gambar juga ikut nimbrung dengan hiasan sekar dan puntung rokok di lantai berkeramik putih. Tak lama Reza menyapa,
”Udah pulang” tanyanya dengan nada ngantuk. ”Aku di izinin ga?” sambil menarik selimut.
”Nggak, kan lain kelas.” sambil menatapnya. Angga kemudian bangun dan langsung menuju kamar mandi.
Kopi, dan rokok telah menghiasi kamar itu, Dino bangun langsung menyeruput kopi hitam khas, tanpa mencuci muka dan gosok gigi dulu. Angga yang membelinya. Azan zuhur mengalun-ngalun pertanda waktu solat zuhur telah tiba, kami masih asik dengan petikan gitar disertai obrolan-obrolan kecil.
”Eh...Berhenti dulu, Azan tuh.” Ucap Rica menegur Angga yang memegang gitar. Rica namanya namun dipanggil Risa ia anak dari juragan yang punya kosan. Kami terdiam sejenak untuk menghormati suara itu. Tak lama dari itu kami keluar dari kosan dan duduk diteras, masih dengan iringan suara gitar dan alunan winamp dari komputer Angga dikamar.
”Wina, pa kabar..?” sapaku saat Wina naik ketangga. Wina memang kerap kumpul dikosan kami, ia masih duduk dibangku sekolah menengah wajahnya lumayan dan ia tinggal tak jauh. Ia tak menjawab sapaanku dengan kata-kata melainkan dengan senyumnya yang sangat manis meski itu bukan senyuman murni.
Matahari semakin bergeser dari garis tengah, namun panas cahayanya tetap terpancar. Kemudian aku berpamitan pulang,
”Aku pulang dulu, udah sore.” Ujarku. Banyak sekali jawaban dan perkataan seperti menahanku untuk tidak pulang, meski itu dari hati atau hanya basa-basi. Terutama Angga, dan Dino, selalu menitip pesan supaya aku hati-hati.
Malam yang gelap menelanku dalam perjalanan pulang. Dari angkot berganti angkot namun aku sampai juga ketujuan. Pintu kamarku terbuka lebar menunggu kehadiranku.
”Uh......” gumamku sambil merbahkan badan dikasur. Tanganku menggapai komputer, Kunyalakan dan kemudian aku duduk dengan hati-hati.
****
Ups. Sudah siang rupanya. Buru-buru aku kemar mandi, mencuci muka kemudian aku langsung berpakaian dan berangkat ke kampus, tanpa mandi atau yang lainnya maklum terburu-buru. Dinginnya pagi tak pernah membuat nyaliku surut untuk menempuh perjalanan menuju kampus.
Kini aku terlambat. Dosen yang sedang mengajar tak marah ia hanya lemparkan senyum, kemudian ia lanjutkan pelajaran pagi itu. Terlihat disana Dino yang masih asik mengkritisi pembicaraan Dosen. Dan teman-teman yang lain terus menatap gerak gerikku. Kebetulan hari itu mata kuliah Pengantar ilmu hukum.
Setelah selesai kami langsung menuju kantin, dimana tempat kami kumpul setelah selesai mata kuliah dan kami sering menyebutnya matakuliah ketiga tempat itu. Irvan, Hadi, Dino, Reza, dan teman-teman yang lainpun banyak ikut kuliah dikantin tersebut.
Jam setengah dua siang. Kami mulai berangsur-angsur meninggalkan kantin. Suasana kampus mulai sepi hanya beberapa orang yang masih terlihat lalu lalang disana. Aku dan Reza menuju kosan, disamping aku ingin istirahat aku juga berencana malam ini aku tidak pulang alias mau nginap disana.
Angga menyambut dengan ramah.
”Eh...Yogi....baru pulang..?” aku hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab.
”Nggak kuliah....?” tanya Reza padanya.
”Ngak.” jawaban singkat dari mulut Angga. ”Udah nggak musim” tambah Angga lagi sambil tertawa kecil. Reza pun tersenyum sambil membuka kaos kakinya didepan kamar nomor 06.
***
Malam kembali menyerang. Dengan sorot bulan dan beberapa gelintir bintang. Terhembus udara malam yang sejuk, disertai kesunyian yang membuat indah untuk menatap mendung dilangit sana.
Kamipun menjadi penikmat malam yang sejati, merenungi dan menghayati berlalunya waktu disertai desiran kesejukan. Tiba-tiba Reza datang dan langsung ikut duduk, sementara Dino bergeser sedikit pantatnya, menempel padaku.
”Lagi asik ngobrolin apa...?” tanya Reza mentap Angga yang memegang gitar namun tak dipetiknya. Dino masih asik dengan lamunannya sambil menatap keatas.
”Lagi cari inspirasi.” jawabku sambil menarik gitar dari pelukan Angga. ”Indah malam ini” ucapku pelan sambil memetik gitar. Reza mengangguk-anggukkan kepala seperti paham.
”Buat sensasi yuk” Reza angkat bicara pada saat kami dalam suasana kosong. Namun Angga sudah masuk kekamar.
”Sensasi apa..?” tanya Dino kembali. ”Boleh....Boleh..” sambungku, menyetujui pendapat Reza. Memang Reza tak pernah kehabisan Ide untuk membuat sensasi. Tanpa kita sadari sensasi sering membuat kita bisa tampil lebih baik dalam menjalani hidup.
Malam itu kami bertiga. Reza, Dino dan aku sendiri mulai beraksi. Sekitar jam dua dini hari. Saat itu semua orang tengah istirahat namun bagi kami waktu seperti itu adalah waktu yang tepat.
Setelah selesai kami kembali kekamar sambil berbicara tak tentu untuk mengisi kekosongan. Sedangkan Reza terus bernyanyi meski tak pernah sampai habis apa yang ia nyanyikan. Dino mendekati laptop dan menyalakannya, suatu kebiasaannya pada malam hari saat orang tengah nyenyak tidur ia terus menjalankan aktifitas untuk menuangkan inspirasi yang tersimpan diotaknya.
Reza kemudian membaca buku puisi karangan penyair terkenal Khairil Anwar. Ia sangat mengagumi penyair-penyair berkelas seperti itu, kemudian ia berdiri dan membacakannya dengan lantang. Aku tertegun menatapnya namun Dino sama sekali tak menoleh ia tetap serius menatap layar LCD laptop.
Sambil menatap cermin Reza terus membacakan puisi dengan ekpresi wajah dan tangan untuk lebih menghayati.
“Bagus...Bagus....Za..” ucapku sambil bertepuk-tepuk tangan kecil mengiringi selesainya ia membaca puisi. Aku kemudian terbaring sambil membaca novel karangan Gola Gong yang berjudul Balada Si Roy.
Matakupun terkatup. Dino masih juga diposisi seperti halnya tadi. Dan kini hanya tinggal dia yang belum tidur diantara kami.
***
Setelah sorot matahari mulai terpancar kami mulai menjalani kembali aktivitas. Kuliah memang tugas utama kami sebagai penyandang setatus pelajar. Bareng-bareng bertiga kami berangkat namun kami singgah dulu diwarung Ibu kos untuk menikmati kopi pada pagi hari. Sudah menjadi kebiasaan kami setiap harinya meminum kopi sambil menghisap rokok.
Terlihat dari depan kelas telah sepi, berarti kami terlambat. Hal biasa terlambat bagi kami. Apalagi Reza, hampir setiap hari ia terlambat. Kami masuk dengan ketuk pintu terlebih dahulu, namun tetap saja kami menjadi pengganggu bagi mereka yang sedang berkonsentrasi. Kuliah kembali berjalan dengan dimulainya Dosen menjelaskan. Kami kembali membuat riuh kelas, Dino mengangkat tangan dan menanyakan alias mengkritisi ocehan dari dosen itu. Aku yang tak mau kalah juga ikut mengacungkan tangan pertanda ada sesuatu yang menjanggal dipikiranku.
Kuliah telah selesai. Reza dan Dino duduk ditangga sepetinya ada obrolan khusus antara mereka. Kemudian Ivan dan Hadi juga ikut nimbrung disana, namun aku lari menuju Toilet. Setelah keluar dari Toilet mereka semua telah hilang.
“Pasti di kantin.” Gumamku sambil menuju kesana. Terlihat dari jauh mereka tidak singgah dikantin tapi, langsung menuju pintu gerbang kampus. Aku berlari dengan kencang untuk bisa jalan bersama-sama mereka.
”Pada mau kemana..?” tanyaku sambil nafas terengah-engah.
”Ada acara Bos.” Sahut Ivan sambil memutar motor. Aku kemudian mengejar Dino dan Reza yang arah langkahnya menuju kos.
Kurangkul mereka dengan nafas ngos-ngosan.
”Abis lomba lari sprin ya..?” ledek Reza sambil tertawa. Begitu pula Dino yang ikut meramaikan dengan tawanya.
Kosan telah tersenyum menatap kami yang selalu riang dan ribut disana. Kami tidak langsung menuju kekamar, tapi malah singgah di warung Ibu kos. Disana Rica telah duduk manis sambil tersenyum menyambut kehadiran kami.
”Risaaaaaa....Kopi Hideng satu.” aku memesan dengan nada menggoda.
”Apa lagi..?” Rica sambil menatap mataku yang jelalatan melihat busananya yang lumayan seksi.
Angga kemudian ikut ngompul disana karna mendengar kami sedang ribut dengan canda-canda Reza dan Dino yang semakin ngelantur. Wina juga ikut duduk disana begitupula Ibunya yang super terbuka dengan kami, sebagai anak kos plus tetangga.
”Tadi malam ada yang iseng, kenapa nggak uang ya, yang ditaruh di depan pintu kami.” Ibu mulai buka mulut masalah sensasi kami tadi malam. ”kertas berisi coret-coretan kayak puisi gitu.” tambah sang Ibu untuk memperjelas. Reza menunduk dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
”Angga lo nggak kuliah...?” tanya Reza. Sedangkan Dino mengalihkannya dengan membaca koran dan menunjukkan salah satu peristiwa dikoran itu. Sedangkan aku hanya berulang-ulang kali mengangkat gelas yang berisi kopi itu. Sambil mengecap-ngecap mulut seperti meresapi kedahsyatannya.
Namun Ibu terus mennyindir tanpa ada berhentinya. Karna Ibu kos juga asik menanggapinya. Dino kini senyum-senyum sendiri menatap langit yang semakin cerah dengan sinar mentari yang begitu menyengat.
”Wina, kapan masuk sekolah.” tanyaku untuk mengalihkn pembicaraan yang membosankan itu.
”Masih lama.” sambil menatapku. ”Kan baru kemaren mulai liburnya.” jelaskan kembali dari Wina, aku menumbur omongannya,
”Mau liburan kemana..?”
”Rencananya sih mau ke Jakarta, tapi entah kapan.” nadanya semakin lembut. Namun aku semakin nakal.
”Aduh kalau kamu pergi nggak asik lagi dong nongkrong disini, nggak ada yang dilihat sih.” Ucapku menggoda. Ia diam saja hanya matanya yang menyipit dan bibirnya menaruh senyum.
”Ah...Mulai...Mulai.” Reza meledek sambil mukanya kearah Dino. Angga pun menambahkan,
”Iya... Aku gimana Dong.”
”Kan ada Teh Risa.” Wina buka mulut juga.
”Ah Wina bisa aja...” Angga sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
***
Kosan kini sangat ribut dari mulai suara Winamp dari komputer dan laptop suara gitarpun juga mengiringi sore yang sedikit mendung, namun udara begitu panas jadi, rasa hauspun sangat mencengkram tenggorokan. Layang-lanyang megitu banyak menghiasi alam raya. Ada yang sedang jatuh dan ada yang sedang putus. Umpatan-umpatanpun menjadi suatu tradisi kekalahan.
”Reza, duduk didepan yuk.” ajakku.
”Yuk” Dino yang malah menjawab. Langkah kaki menuruni tangga kos. Terlihat sepi di depan warung Ibu. Namun masih saja Rica duduk di sana sebagai kasir yang baik.
Wina dan Ibunya pun datang. Pasti ini akan ramai karena Ibu membawakan makanan untuk kami.
”Ajarin aku motor.” Rica memohon entah pada siapa. Namun Angga begitu mendengar ia langsung menjawab,
”Boleh...Boleh.” sambil mengeluarkan kuci motornya.
”Belajar teorinya dulu, baru entar prakteknya.” Reza memberi saran.
Begitu panjang lebar Reza dan Angga menjelaskan tehnik-tehnik dan bagian-bagian di motor. Rica mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali menanyakan kembali penjelasan-penjelasan dari dua nara sumber itu.
”Wina, kalau gitu kamu bisa belajar dong.” Ibu Wina memberi semangat pada anaknya.
”Wina mau belajar juga..? Reza seperti menawarkan jasanya.
”Belajar aja...mumpung ada motor dan ada yang ngajarin.” Ibu Wina kali ini benar-benar menyuh. Wina sendiri hanya senyum menatap Reza.
”Udah paham kan teorinya.” Reza menanyakan pada Wina. Anggukan dan kedipan matanya seperti jawaban yang cukup bagi Reza. Ia berdiri sambil mengambil kunci motor Angga yang tergeletak di meja. Begitu pula Wina juga berdiri sambil senyum-senyum menatap kami yang masih asik menggoda Rica.
Reza duduk manis di jok motor warna hitam seperti sudah begitu siap untuk menjadi guru. Wina mendekat dan Reza turun sebagai isarat kalau Wina yang harus duduk didepan mengemudi. Tanpa ragu Wina langsung mengambil alih dan duduk pas sebagaimana pengendara motor yang lainnya. Sedangkan Reza juga menjadi penumpang yang baik.
Tatapan kami sebagai penonton sangat terfokus kesana. Apalagi Ibunya yang terus memberi semangat. Dino yang berulang-ulang kali menepuk-nepukkan telapak tangan. Aku dan Angga masih duduk dikursi menghadap Rica.
Drun....Drun....Drun....suara motor empat tak mengaung. Kamipun beranjak melihat, disusul Rica dan Angga yang berdiri tepat dibelakangku.
”Masukkan gigi.” Reza memberi Isyarat. “Kemudian putar gasnya.” anggukan kapala dari Wina sangat meyakinkan.
“Hati-hati.” Aku teriak dengan kencang. Reza mengacungkan jempol.
Gigi satu telah di injak oleh dengan perlahan. Reza sedikit kikuk, terlihat dari tangannya yang terus memegang bemper belakang. ”SSREE........EET..... BRAK....” suara banyang terpeleset menghantam tembok.
”Auuuuh.....” suara teriakan dari Ibunya. Kami yang langsung berlarian menuju kesana. Kami menjadi riuh dan gaduh, melihat darah yang berceceran dari kepala dan kaki Wina. Dan Reza yang tergeletak diaspal hitam.
Melepas gigi/gear pada saat gas sedang tinggi membuat keseimbangan Wina menjadi hilang. Sebuah tembok warna putih menjadi sasaran utama dengan terseret diaspal dulu. Begitu mengenaskan Wina yang terseret dan tertindih motor kemudian terhempas ke tembok beton.
Rica begitu sibuk lari menuju kerumah berwaksud menelpon ambulan dari Rumah Sakit terdekat, sebab Wina saat ini pinsan dan harus segra dibawa ke Rumah Sakit dengan cepat. Lima belas menit kemudian serine ambulan telah terdengar, Angga langsung lari menuju kejalan untuk memberi aba-aba.
Keadaan Reza tidak terlalu parah hanya luka lecet ringan di pergelang tangan dan didekat mata kaki, tidak harus dibawa ke Rumah Sakit. Ibu begitu cemas dan terus menangis saat di dalam ambulan. Wina belum juga sadar. Angga dan Rica begitu sibuk berlarian menuju ruang UGD mencari kamar dimana tempat Wina dirawat. Pada saat membawa Wina kerumah sakit ia tidak ikut, ia sibuk mengurus Reza dan motornya.
***
Ibu, Reza dan Angga yang menunggu dirumah sakit malam itu. Sedangkan aku dan Dino pulang karna telah kelelahan. Reza masih bengong dengan kejadian tadi seperti mimpi menurutnya. Begitu cepat.
Reza kemudian keluar keruangan depan rumah sakit sepertinya sangat setres sekali. Angga datang menghibur.
”Semua telah terjadi, dan penyebabnya bukan kamu tapi itu udah takdir.” Angga begitu bijak. Namun ia sepertinya tidak merasa lega dengan nasehat itu.
”Tapi gua yang ngajarin Nggak, pasti Ibu begitu menyalahkan gua.” kata-katanya sangat pelan dengan tangan mengacak-ngacak rambutnya yang gondrong. Reza mengeluarkan rokok dan menyalakannya.
”Mas....Mas....Jangan merokok disini. Disana di luar.” Scurity menegurnya. Angga tersenym melihat tingkah Reza, karena tulisan besar terpampang didepan kursi  “NO SMOKING !”.
Aku dan Dino tertidur pulas dikosan, pada hal baru jam sebelas. Sangat tidak biasa bagi kami tidur sore seperti ini. Mungkin sangat lelah. Rica bermaksud menanyakan keadaan Wina namun setelah melihat kami telah tertidur ia berbalik arah. Dan merogoh saku untuk mengambil  ponselnya. Ia langsung menanyakan pada Angga yang menunggu disana.
From : Angga       11:12:27 
Wina sdh sadar. Kedaa nya rada membaik.
Blm tidur? Udh mlm lo, met mlm da..da...
Rica begitu serius membacanya. Meski ia juga membalas ucapan selamat malam dari Angga.
”Gimana keadaan Wina..?” tanya Ibunya Rica dari kamar.
”Udah siuman Ma” sambil masuk kamar ia menjawab.
***
Pagi sekali Aku dan Dino bangun. Ayam pun sepertinya belum berkokok, kami langsung cuci muka dan membuat segelas kopi dan menghisap rokok sambil siap-siap menuju Rumah Sakit. Gantian dengan Reza dan Angga, pasti mereka belum tidur semalaman.
Sejuknya pagi menusuk kulit kami saat mengendarai motor meski jaket juga berperan disana. Jalananpun masih sepi, hanya sesekali saja kendaraan yang melintas. Kami langsung menuju kamar dimana Wina dirawat. Terlihat Reza yang masih murung duduk dikursi dan tangannya memegang kepala. Angga tersandar, dipinggir sebelah kiri, ia tertidur. Ibu juga sama tertidur di samping kasur dimana Wina terbaring.
Selang infus dan Oksigen masih seperti kemarin. Dan Wina mukanya penuh dengan perban yang menutup lukanya. Aku dan Dino masuk perlahan-lahan. Reza menoleh kemudian ia menarikku keluar dan langsung duduk di kursi panjang.
”Gi...gua jadi merasa bersalah banget. Semua itu karena gua yang tak kontrol waktu itu.” begitu menyudutkannya sendiri.
”Udah lah....kalau kau merasa bersalah, kau harus melakukan yang terbaik sebagai penebus kesalahan. Eh kau pulang dulu istirahat dirumah, kau belum tidur kan.” kemudian Angga keluar sambil memegang kunci motor.
”Kami pulang dulu ya...” Angga pamit. Tanpa kami jawab, Dino hanya menyuruh hati-hati saja. Kami berdua masuk dan duduk dikursi sambil menatap Wina yang masih terpejam. Dan Ibunya yang tertidur disampingnya, seperti ungkapan kasih sayangnya terus mengalir kepada anak satu-satunya yang sedang tak berdaya.
Sekitar jam tujuh pagi Wina memanggil-manggil Ibunya. Aku mendekat,
“Wina, gima keadaanmu...? udah enakan..?” begitu aku terburu-buru menanyakan keadaannya.
“Bunda mana..?” ia menanyakan itu tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu.
“Lagi ke Toilet.” Dino menjawab dari belakang. “Masih terasa sakit..? Udah mendingan kan...?” pertanyaan yang hampir mirip dariku kini ditanyakan kembali oleh Dino.
Ibunya masuk dengan seorang suster yang siap memeriksanya. Kemudian aku dan Dino keluar menunju ”Smoking Area” tepatnya disebelah kanan kantin Rumah Sakit. Bisa dibilang jika masuk Rumah Sakit, hanya tinggal belok kekanan maka ketemu dengan kantin tinggal nyebelah saja. Kami berdua lagi asik menikmati rokok, tiba-tiba ada yang memanggil dari belakang,
”Yogi....Yogi..” suara itu tidak asing di telingku, aku langsung menoleh dan terlihat Angga sedang memarkirkan motor dengan Rica. Mereka berdua langsung menuju ketempat kami.
Kami pulang dulu untuk masuk kuliah karena jam sepuluh kami harus masuk. Sesampai di kosan Reza masih melamun di sudut kos dengan tampang yang murung, sangat jelas masalah ini besar baginya.
”Kau ngak kuliah Za..?” tanyaku sambil meletakkan kunci motor dimeja. Tak juga dijawabnya. ”Jangan terlalu dipikirkan.” kembali aku menenangkannya. ”Semua itu sudah kehendak yang kuasa. Lagi pula bukan kamu kan yang menyuruh dia belajar Motor saat itu. Kalau terus dipikirkan entar kamu bisa setres, kan malah kacau.” kali ini aku begitu kasihan dengan nasib temanku ini. Dino pun ikut ikutan menasehatinya.
***
Wina mengalami cidera yang lumayan parah, kakinya patah sebelah kiri dan kata Dokter sangat sulit untuk disembuhkan patah tulang seperti itu. Dan dibagian muka sangat banyak sekali yang luka namun dibagian kepala tidak begitu membahayakan karena tak sampai geger otak.
Reza semakin bingung melihat keadaan Wina, kata dokter takbisa lagi disembuhkan. Ia seringkali dikamar teriak-teriak seperti sangat menyalahkan dirinya yang begitu ceroboh dalam menjalankan sesuatu.
Dino masuk dan langsung memegang bahu Reza,
”Kamu harus tegar menghadapi masalah seperti ini, kamu cowok, jangan lemah gitu dong. Kamu terlalu memikirkan, kamu jadi setres dan semua malah berantakan tak tentu.” Begitu serius Dino bicara. Namun Reza langsung mendorong Dino dengan tangan kanannya.
”Lo nggak ngerasain sih...jadi enak aja ngomong. Gua yang ngerasain.” ia keluar sambil membantingkan pintu kosan itu. Aku langsung mendekatinya sambil memberi sebatang rokok padanya.
”Sekarang aku minta pendapat ma elo Gi. Gimana jalan keluarnya masalah ini.” sambil menatap rokok dan ia memutar-mutarkannya.
”Kalau nurut aku, kau harus bisa membahagiakan dia jika kau masih merasa bersalah. Kau mencoba jadi cowok yang jentelmen untuk menebus kesalahan kamu.” di tumbur Dino yang baru keluar dari kamar.
”Iya...setuju aku. Jadi setidaknya kau meyakinkan dia, supaya dia tabah menghadapi penderitaannya.” Dino sambil menyulut rokok.
”Maksudnya..?” Reza seperti tidak paham.
”Misalnya kamu bilang ma dia kalau kamu sayang dan akan menikahinya, itu sepertinya akan membuat dia lebih bergairah., sebab dia putus asa karena berpikir siapa yang masih mau dengan orang cacat.” Reza bengong mendengar kata-kata nikah. Lalu ia masuk.
”Iya, gitu aja Za..” Dino menyetujui pendapatku. Namun dalam benak Reza masih bertanya-tanya  ”NIKAH”.
***
Pagi itu kami berempat naik Bus kota menuju Rumah Sakit, Aku, Dino, Angga dan Reza. Setelah sampai kami langsung menuju kamar  102c dimana kamar itu tempat Wina dirawat.
”Gimana Udah baikan..?” Reza sambil duduk disampingnya. ”Bunda Kemana..?” sambung Reza.
”Lagi ke belanja. Dari kosan..?” Reza mengangguk. Kami bertiga langsung keluar menuju ruangan santai alias tempat merokok. Kami disana asik canda dengan segelas kopi yang menjadi teman sejati kami.
”Ada korek..?” aku meminta sambil mengalungkan tangan kearah Angga, ia menggelengkan kepala.
”Di Reza.” aku langsung berdiri menuju kesana.
Dengan santai aku berjalan, setelah sampai didepan pintu aku berhenti melihat Reza sedang memegang tangan Wina sambil mengelus-ngelus dan sesekali ia menciumnya.
“Wina gua sayang elo. Setelah lo sembuh kita nikah” Wina langsung meremas tangan Reza.
“Reza, aku cacat, kamu nggak salah mencintai aku.” Wina merendah untuk mengetes ketulusan cinta Reza.
“Kenapa itu harus dipermasalahkan, gua tetep cinta ma lo meski gimanapun keadaan lo.” Wina senyum dan mereka saling menatap. Aku yang tak sengaja nguping, langsung memutar badanku, ternyata aku tidak sendiri dibelakangku ada Angga yang menyusulku untuk mengambil korek.
Kami kemudian menuju ruang merokok.
”Kenapa lama banget.” Dino seperti kesal. Namun Angga menjelaskan dengan sangat detail sehingga Dino mengangguk paham.
”Cinta Berdarah” Dino menggumam lirih sambil tersenyum.
”Kapan aku bisa ngajarin Risa belajar motor ya, supaya aku bisa nikah ma dia.” Angga yang ceplos tak karuan. Dino malah meledeknya habis-habisan karena perasaan Angga yang berlebihan.
***
                                                Cibaduyut,2007-07-19 23:42
              Mulyadi

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.