Oleh: Mulyadi Saputra
Beberapa
kali ponselku berbunyi, begitu aku berbalik arah, aku teringat akan tugas yang di berikan oleh Pak Ardi seminggu yang
lalu dan harus dikumpul besok. Kubaca
satu demi satu sms yang telah masuk, semuanya menanyakan tugas dari Pak Ardi. Ada yang minta dikirim lewat email, sampai
ada yang pesan sudah jadi alias tau beres. Memang aku
terkenal rajin mengerjakan tugas dan kalau tugas seperti itu aku telah selesai
beberapa hari yang lalu.
Pagi yang cerah menyambutku dengan sorot
matahari yang penuh dengan kehangatan. Aku sengaja berangkat siang supaya
mereka yang menunggu hasil tugas saja akan bingun dan cemas.
“Misi...Pak, boleh masuk.?” ucapku sambil
mengetuk pintu kelas.
“Silahkan.” Pak Ardi dengan kumis hitam menggalar,
memeberiku senyum lebar. Aku langsung duduk di depan sekali, tepatnya dihadapan
Bapak pas. Beberapa kali terdengar panggilan dari teman-temanku dibelakang,
“Pasti tanya tugas.” gumamku tanpa
merespon.
Setelah pelajaran selesai pak Ardi
menyuruh mengumpulkan tugas dan mereka yang memesan padaku bertumbur-tumburan
mendekatiku. Dengan santai
aku mengeluarkan sambil berbisik,
“Lima ribu.” dengan sedikit senyum aku
menepuk bahu Farid. Kemudian aku berjalan keluar sambil menyulut rokok dan duduk
ditangga. Tak lama Farid dan Roy mendekat sambil memberikan uang sepuluh ribu.
Aku menerimanya dengan senyum.
”Makasih ya..” sambil mengulurkan tangan,
pertanda deal.
”Boss, aku kebawah dulu ya.” sambil pamit
turun dari tangga ke dua, gedung
mewah berlantai empat tempat aku
menggali ilmu. Dengan cepat aku meluncur kearah sekretariat atau sering kami
menyebutnya kosan. Disana tempat kami kumpul, diskusi mengeluarkan unek-unek
sampai dengan ngobrol dan canda, kosan itu kami beri nama Ruang Sunyi. Ruang
Sunyi ini belum lama kami bentuk, sebelumnya kami hanya sering diskusi dan
ngobrol di kantin, kosan teman dan tempat-tempat setrategis lainnya.
Di kosan masih gelap dan sepi namun tidak
dikunci. Aku langsung membuka pintu tanpa mengetuk atau mengucap salam sebagaimana
biasanya. Disana terlihat bergelimpangan teman-temanku. Namun sedikit gelap
jadi tidak jelas siapa mereka, kubuka lebar-lebar pintu supaya masuk cahaya
sinar matahari yang semakin jelas membelah langit.
Reza, Dino, dan Angga yang masih meringkuk
kedinginan. Aku menggapai laptop yang terserak disamping buku-buku yang berantakan
seperti habis dibaca. Dari novel, buku ilmiah dan kertas bekas coret-coretan
seperti gambar juga ikut nimbrung dengan hiasan sekar dan puntung rokok di
lantai berkeramik putih. Tak lama Reza menyapa,
”Udah pulang” tanyanya dengan nada
ngantuk. ”Aku di izinin ga?” sambil menarik selimut.
”Nggak, kan lain kelas.” sambil
menatapnya. Angga kemudian bangun dan langsung menuju kamar mandi.
Kopi, dan rokok telah menghiasi kamar itu,
Dino bangun langsung menyeruput kopi hitam khas, tanpa mencuci muka dan gosok
gigi dulu. Angga yang membelinya. Azan zuhur mengalun-ngalun pertanda waktu
solat zuhur telah tiba, kami masih asik dengan petikan gitar disertai
obrolan-obrolan kecil.
”Eh...Berhenti dulu, Azan tuh.” Ucap Rica
menegur Angga yang memegang gitar. Rica namanya namun dipanggil Risa ia anak
dari juragan yang punya kosan. Kami terdiam sejenak untuk menghormati suara
itu. Tak lama dari itu kami
keluar dari kosan dan duduk diteras, masih dengan iringan suara gitar dan
alunan winamp dari komputer Angga dikamar.
”Wina, pa kabar..?” sapaku saat Wina naik
ketangga. Wina memang kerap kumpul dikosan kami, ia masih duduk dibangku
sekolah menengah wajahnya lumayan dan ia tinggal tak jauh. Ia tak menjawab
sapaanku dengan kata-kata melainkan dengan senyumnya yang sangat manis meski
itu bukan senyuman murni.
Matahari semakin bergeser dari garis
tengah, namun panas cahayanya tetap terpancar. Kemudian aku berpamitan pulang,
”Aku pulang dulu, udah sore.” Ujarku.
Banyak sekali jawaban dan perkataan seperti menahanku untuk tidak pulang, meski
itu dari hati atau hanya basa-basi. Terutama Angga, dan Dino, selalu menitip
pesan supaya aku hati-hati.
Malam yang gelap menelanku dalam
perjalanan pulang. Dari angkot berganti angkot namun aku sampai juga ketujuan.
Pintu kamarku terbuka lebar menunggu kehadiranku.
”Uh......” gumamku sambil merbahkan badan
dikasur. Tanganku menggapai komputer, Kunyalakan dan kemudian aku duduk dengan
hati-hati.
****
Ups. Sudah siang rupanya. Buru-buru aku
kemar mandi, mencuci muka kemudian aku langsung berpakaian dan berangkat ke
kampus, tanpa mandi atau yang lainnya maklum terburu-buru. Dinginnya pagi tak
pernah membuat nyaliku surut untuk menempuh perjalanan menuju kampus.
Kini aku terlambat. Dosen yang sedang
mengajar tak marah ia hanya lemparkan senyum, kemudian ia lanjutkan pelajaran
pagi itu. Terlihat disana Dino yang masih asik mengkritisi pembicaraan Dosen. Dan
teman-teman yang lain terus menatap gerak gerikku. Kebetulan hari itu mata
kuliah Pengantar ilmu hukum.
Setelah selesai kami langsung menuju
kantin, dimana tempat kami kumpul setelah selesai mata kuliah dan kami sering
menyebutnya matakuliah ketiga tempat itu. Irvan, Hadi, Dino, Reza, dan teman-teman
yang lainpun banyak ikut kuliah dikantin tersebut.
Jam setengah dua siang. Kami mulai
berangsur-angsur meninggalkan kantin. Suasana kampus mulai sepi hanya beberapa
orang yang masih terlihat lalu lalang disana. Aku dan Reza menuju kosan,
disamping aku ingin istirahat aku juga berencana malam ini aku tidak pulang
alias mau nginap disana.
Angga menyambut dengan ramah.
”Eh...Yogi....baru pulang..?” aku hanya
menganggukkan kepala tanpa menjawab.
”Nggak kuliah....?” tanya Reza padanya.
”Ngak.” jawaban singkat dari mulut Angga.
”Udah nggak musim” tambah Angga lagi sambil tertawa kecil. Reza pun tersenyum
sambil membuka kaos kakinya didepan kamar nomor 06.
***
Malam kembali menyerang. Dengan sorot
bulan dan beberapa gelintir bintang. Terhembus udara malam yang sejuk, disertai
kesunyian yang membuat indah untuk menatap mendung dilangit sana.
Kamipun menjadi penikmat malam yang
sejati, merenungi dan menghayati berlalunya waktu disertai desiran kesejukan.
Tiba-tiba Reza datang dan langsung ikut duduk, sementara Dino bergeser sedikit
pantatnya, menempel padaku.
”Lagi asik ngobrolin apa...?” tanya Reza
mentap Angga yang memegang gitar namun tak dipetiknya. Dino masih asik dengan
lamunannya sambil menatap keatas.
”Lagi cari inspirasi.” jawabku sambil
menarik gitar dari pelukan Angga. ”Indah malam ini” ucapku pelan sambil memetik
gitar. Reza mengangguk-anggukkan kepala seperti paham.
”Buat sensasi yuk” Reza angkat bicara pada
saat kami dalam suasana kosong. Namun Angga sudah masuk kekamar.
”Sensasi apa..?” tanya Dino kembali. ”Boleh....Boleh..” sambungku, menyetujui pendapat Reza. Memang
Reza tak pernah kehabisan Ide untuk membuat sensasi. Tanpa kita sadari sensasi sering membuat kita bisa
tampil lebih baik dalam menjalani hidup.
Malam itu kami bertiga. Reza, Dino dan aku
sendiri mulai beraksi. Sekitar jam dua dini hari. Saat itu semua orang tengah
istirahat namun bagi kami waktu seperti itu adalah waktu yang tepat.
Setelah selesai kami kembali kekamar
sambil berbicara tak tentu untuk mengisi kekosongan. Sedangkan Reza terus
bernyanyi meski tak pernah sampai habis apa yang ia nyanyikan. Dino mendekati
laptop dan menyalakannya, suatu kebiasaannya pada malam hari saat orang tengah
nyenyak tidur ia terus menjalankan aktifitas untuk menuangkan inspirasi yang
tersimpan diotaknya.
Reza kemudian membaca buku puisi karangan
penyair terkenal Khairil Anwar. Ia sangat mengagumi penyair-penyair berkelas
seperti itu, kemudian ia berdiri dan membacakannya dengan lantang. Aku tertegun
menatapnya namun Dino sama sekali tak menoleh ia tetap serius menatap layar LCD
laptop.
Sambil menatap cermin Reza terus
membacakan puisi dengan ekpresi wajah dan tangan untuk lebih menghayati.
“Bagus...Bagus....Za..” ucapku sambil
bertepuk-tepuk tangan kecil mengiringi selesainya ia membaca puisi. Aku kemudian terbaring sambil membaca
novel karangan Gola Gong yang berjudul Balada Si Roy.
Matakupun terkatup. Dino masih juga
diposisi seperti halnya tadi. Dan kini hanya tinggal dia yang belum tidur
diantara kami.
***
Setelah sorot matahari mulai terpancar
kami mulai menjalani kembali aktivitas. Kuliah memang tugas utama kami sebagai
penyandang setatus pelajar. Bareng-bareng bertiga kami berangkat namun kami
singgah dulu diwarung Ibu kos untuk menikmati kopi pada pagi hari. Sudah
menjadi kebiasaan kami setiap harinya meminum kopi sambil menghisap rokok.
Terlihat dari depan kelas telah sepi,
berarti kami terlambat. Hal
biasa terlambat bagi kami. Apalagi Reza, hampir setiap hari ia terlambat. Kami
masuk dengan ketuk pintu terlebih dahulu, namun tetap saja kami menjadi pengganggu
bagi mereka yang sedang berkonsentrasi. Kuliah kembali berjalan dengan
dimulainya Dosen menjelaskan. Kami kembali membuat riuh kelas, Dino mengangkat
tangan dan menanyakan alias mengkritisi ocehan dari dosen itu. Aku yang tak mau
kalah juga ikut mengacungkan tangan pertanda ada sesuatu yang menjanggal
dipikiranku.
Kuliah telah selesai. Reza dan Dino duduk
ditangga sepetinya ada obrolan khusus antara mereka. Kemudian Ivan dan Hadi
juga ikut nimbrung disana, namun aku lari menuju Toilet. Setelah keluar dari
Toilet mereka semua telah hilang.
“Pasti di kantin.” Gumamku sambil menuju
kesana. Terlihat dari jauh mereka tidak singgah dikantin tapi, langsung menuju
pintu gerbang kampus. Aku
berlari dengan kencang untuk bisa jalan bersama-sama mereka.
”Pada mau kemana..?” tanyaku sambil nafas
terengah-engah.
”Ada acara Bos.” Sahut Ivan sambil memutar
motor. Aku kemudian mengejar Dino dan Reza yang arah langkahnya menuju kos.
Kurangkul mereka dengan nafas ngos-ngosan.
”Abis lomba lari sprin ya..?” ledek Reza
sambil tertawa. Begitu pula Dino yang ikut meramaikan dengan tawanya.
Kosan telah tersenyum menatap kami yang
selalu riang dan ribut disana. Kami tidak langsung menuju kekamar, tapi malah
singgah di warung Ibu kos. Disana Rica telah duduk manis sambil tersenyum
menyambut kehadiran kami.
”Risaaaaaa....Kopi Hideng satu.” aku
memesan dengan nada menggoda.
”Apa lagi..?” Rica sambil menatap mataku
yang jelalatan melihat busananya yang lumayan seksi.
Angga kemudian ikut ngompul disana karna
mendengar kami sedang ribut dengan canda-canda Reza dan Dino yang semakin
ngelantur. Wina juga ikut duduk disana begitupula Ibunya yang super terbuka
dengan kami, sebagai anak kos plus tetangga.
”Tadi malam ada yang iseng, kenapa nggak
uang ya, yang ditaruh di depan pintu kami.” Ibu mulai buka mulut masalah
sensasi kami tadi malam. ”kertas berisi coret-coretan kayak puisi gitu.” tambah
sang Ibu untuk memperjelas. Reza menunduk dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
”Angga lo nggak kuliah...?” tanya Reza. Sedangkan
Dino mengalihkannya dengan membaca koran dan menunjukkan salah satu peristiwa
dikoran itu. Sedangkan aku
hanya berulang-ulang kali mengangkat gelas yang berisi kopi itu. Sambil
mengecap-ngecap mulut seperti meresapi kedahsyatannya.
Namun Ibu terus mennyindir tanpa ada berhentinya.
Karna Ibu kos juga asik menanggapinya. Dino kini senyum-senyum sendiri menatap
langit yang semakin cerah dengan sinar mentari yang begitu menyengat.
”Wina, kapan masuk sekolah.” tanyaku untuk
mengalihkn pembicaraan yang membosankan itu.
”Masih lama.” sambil menatapku. ”Kan baru
kemaren mulai liburnya.” jelaskan kembali dari Wina, aku menumbur omongannya,
”Mau liburan kemana..?”
”Rencananya sih mau ke Jakarta, tapi entah
kapan.” nadanya semakin lembut. Namun aku semakin nakal.
”Aduh kalau kamu pergi nggak asik lagi
dong nongkrong disini, nggak ada yang dilihat sih.” Ucapku menggoda. Ia diam
saja hanya matanya yang menyipit dan bibirnya menaruh senyum.
”Ah...Mulai...Mulai.” Reza meledek sambil
mukanya kearah Dino. Angga
pun menambahkan,
”Iya... Aku gimana Dong.”
”Kan ada Teh Risa.” Wina buka mulut juga.
”Ah Wina bisa aja...” Angga sambil
menghisap rokoknya dalam-dalam.
***
Kosan kini sangat ribut dari mulai suara
Winamp dari komputer dan laptop suara gitarpun juga mengiringi sore yang
sedikit mendung, namun udara begitu panas jadi, rasa hauspun sangat mencengkram
tenggorokan. Layang-lanyang megitu banyak menghiasi alam raya. Ada yang sedang
jatuh dan ada yang sedang putus. Umpatan-umpatanpun menjadi suatu tradisi
kekalahan.
”Reza, duduk didepan yuk.” ajakku.
”Yuk” Dino yang malah menjawab. Langkah
kaki menuruni tangga kos. Terlihat sepi di depan warung Ibu. Namun masih saja
Rica duduk di sana sebagai kasir yang baik.
Wina dan Ibunya pun datang. Pasti ini akan ramai karena Ibu membawakan
makanan untuk kami.
”Ajarin aku motor.” Rica memohon entah
pada siapa. Namun Angga
begitu mendengar ia langsung menjawab,
”Boleh...Boleh.” sambil mengeluarkan kuci
motornya.
”Belajar teorinya dulu, baru entar
prakteknya.” Reza memberi saran.
Begitu panjang lebar Reza dan Angga
menjelaskan tehnik-tehnik dan bagian-bagian di motor. Rica mengangguk-anggukkan
kepala sambil sesekali menanyakan kembali penjelasan-penjelasan dari dua nara
sumber itu.
”Wina, kalau gitu kamu bisa belajar dong.”
Ibu Wina memberi semangat pada anaknya.
”Wina mau belajar juga..? Reza seperti menawarkan
jasanya.
”Belajar aja...mumpung ada motor dan ada
yang ngajarin.” Ibu Wina kali ini benar-benar menyuh. Wina sendiri hanya senyum
menatap Reza.
”Udah paham kan teorinya.” Reza menanyakan
pada Wina. Anggukan dan kedipan matanya seperti jawaban yang cukup bagi Reza.
Ia berdiri sambil mengambil kunci motor Angga yang tergeletak di meja. Begitu
pula Wina juga berdiri sambil senyum-senyum menatap kami yang masih asik
menggoda Rica.
Reza duduk manis di jok motor warna hitam
seperti sudah begitu siap untuk menjadi guru. Wina mendekat dan Reza turun
sebagai isarat kalau Wina yang harus duduk didepan mengemudi. Tanpa ragu Wina
langsung mengambil alih dan duduk pas sebagaimana pengendara motor yang
lainnya. Sedangkan Reza juga menjadi penumpang yang baik.
Tatapan kami sebagai penonton sangat
terfokus kesana. Apalagi Ibunya yang terus memberi semangat. Dino yang
berulang-ulang kali menepuk-nepukkan telapak tangan. Aku dan Angga masih duduk
dikursi menghadap Rica.
Drun....Drun....Drun....suara motor empat
tak mengaung. Kamipun beranjak melihat, disusul Rica dan Angga yang berdiri
tepat dibelakangku.
”Masukkan gigi.” Reza memberi Isyarat. “Kemudian
putar gasnya.” anggukan kapala dari Wina sangat meyakinkan.
“Hati-hati.” Aku teriak dengan kencang. Reza
mengacungkan jempol.
Gigi satu telah di injak oleh dengan
perlahan. Reza sedikit kikuk, terlihat dari tangannya yang terus memegang
bemper belakang. ”SSREE........EET..... BRAK....” suara banyang terpeleset
menghantam tembok.
”Auuuuh.....” suara teriakan dari Ibunya.
Kami yang langsung berlarian menuju kesana. Kami menjadi riuh dan gaduh,
melihat darah yang berceceran dari kepala dan kaki Wina. Dan Reza yang
tergeletak diaspal hitam.
Melepas gigi/gear pada saat gas sedang
tinggi membuat keseimbangan Wina menjadi hilang. Sebuah tembok warna putih
menjadi sasaran utama dengan terseret diaspal dulu. Begitu mengenaskan Wina
yang terseret dan tertindih motor kemudian terhempas ke tembok beton.
Rica begitu sibuk lari menuju kerumah berwaksud
menelpon ambulan dari Rumah Sakit terdekat, sebab Wina saat ini pinsan dan
harus segra dibawa ke Rumah Sakit dengan cepat. Lima belas menit kemudian
serine ambulan telah terdengar, Angga langsung lari menuju kejalan untuk
memberi aba-aba.
Keadaan Reza tidak terlalu parah hanya luka
lecet ringan di pergelang tangan dan didekat mata kaki, tidak harus dibawa ke
Rumah Sakit. Ibu begitu cemas dan terus menangis saat di dalam ambulan. Wina
belum juga sadar. Angga dan Rica begitu sibuk berlarian menuju ruang UGD
mencari kamar dimana tempat Wina dirawat. Pada saat membawa Wina kerumah sakit
ia tidak ikut, ia sibuk mengurus Reza dan motornya.
***
Ibu, Reza dan Angga yang menunggu dirumah
sakit malam itu. Sedangkan aku dan Dino pulang karna telah kelelahan. Reza
masih bengong dengan kejadian tadi seperti mimpi menurutnya. Begitu cepat.
Reza kemudian keluar keruangan depan rumah
sakit sepertinya sangat setres sekali. Angga datang menghibur.
”Semua telah terjadi, dan penyebabnya
bukan kamu tapi itu udah takdir.” Angga begitu bijak. Namun ia sepertinya tidak
merasa lega dengan nasehat itu.
”Tapi gua yang ngajarin Nggak, pasti Ibu
begitu menyalahkan gua.” kata-katanya sangat pelan dengan tangan mengacak-ngacak
rambutnya yang gondrong. Reza mengeluarkan rokok dan menyalakannya.
”Mas....Mas....Jangan merokok disini. Disana di luar.” Scurity menegurnya. Angga
tersenym melihat tingkah Reza, karena tulisan besar terpampang didepan
kursi “NO SMOKING !”.
Aku dan Dino tertidur pulas dikosan, pada
hal baru jam sebelas. Sangat tidak biasa bagi kami tidur sore seperti ini.
Mungkin sangat lelah. Rica bermaksud menanyakan keadaan Wina namun setelah
melihat kami telah tertidur ia berbalik arah. Dan merogoh saku untuk
mengambil ponselnya. Ia langsung
menanyakan pada Angga yang menunggu disana.
From : Angga 11:12:27
Wina sdh sadar.
Kedaa nya rada membaik.
Blm tidur? Udh
mlm lo, met mlm da..da...
Rica begitu serius membacanya. Meski ia
juga membalas ucapan selamat malam dari Angga.
”Gimana keadaan Wina..?” tanya Ibunya Rica
dari kamar.
”Udah siuman Ma” sambil masuk kamar ia
menjawab.
***
Pagi sekali Aku dan Dino bangun. Ayam pun
sepertinya belum berkokok, kami langsung cuci muka dan membuat segelas kopi dan
menghisap rokok sambil siap-siap menuju Rumah Sakit. Gantian dengan Reza dan
Angga, pasti mereka belum tidur semalaman.
Sejuknya pagi menusuk kulit kami saat
mengendarai motor meski jaket juga berperan disana. Jalananpun masih sepi,
hanya sesekali saja kendaraan yang melintas. Kami langsung menuju kamar dimana
Wina dirawat. Terlihat Reza yang masih murung duduk dikursi dan tangannya
memegang kepala. Angga tersandar, dipinggir sebelah kiri, ia tertidur. Ibu juga
sama tertidur di samping kasur dimana Wina terbaring.
Selang infus dan Oksigen masih seperti
kemarin. Dan Wina mukanya penuh dengan perban yang menutup lukanya. Aku dan
Dino masuk perlahan-lahan. Reza menoleh kemudian ia menarikku keluar dan
langsung duduk di kursi panjang.
”Gi...gua jadi merasa bersalah banget.
Semua itu karena gua yang tak kontrol waktu itu.” begitu menyudutkannya
sendiri.
”Udah lah....kalau kau merasa bersalah,
kau harus melakukan yang terbaik sebagai penebus kesalahan. Eh kau pulang dulu
istirahat dirumah, kau belum tidur kan.” kemudian Angga keluar sambil memegang
kunci motor.
”Kami pulang dulu ya...” Angga pamit.
Tanpa kami jawab, Dino hanya menyuruh hati-hati saja. Kami berdua masuk dan
duduk dikursi sambil menatap Wina yang masih terpejam. Dan Ibunya yang tertidur
disampingnya, seperti ungkapan kasih sayangnya terus mengalir kepada anak
satu-satunya yang sedang tak berdaya.
Sekitar jam tujuh pagi Wina
memanggil-manggil Ibunya. Aku mendekat,
“Wina, gima keadaanmu...? udah enakan..?”
begitu aku terburu-buru menanyakan keadaannya.
“Bunda mana..?” ia menanyakan itu tanpa menjawab
pertanyaanku terlebih dahulu.
“Lagi ke Toilet.” Dino menjawab dari
belakang. “Masih terasa
sakit..? Udah mendingan kan...?” pertanyaan yang hampir mirip dariku kini
ditanyakan kembali oleh Dino.
Ibunya masuk dengan seorang suster yang
siap memeriksanya. Kemudian aku dan Dino keluar menunju ”Smoking Area” tepatnya
disebelah kanan kantin Rumah Sakit. Bisa dibilang jika masuk Rumah Sakit, hanya
tinggal belok kekanan maka ketemu dengan kantin tinggal nyebelah saja. Kami
berdua lagi asik menikmati rokok, tiba-tiba ada yang memanggil dari belakang,
”Yogi....Yogi..” suara itu tidak asing di
telingku, aku langsung menoleh dan terlihat Angga sedang memarkirkan motor
dengan Rica. Mereka berdua langsung menuju ketempat kami.
Kami pulang dulu untuk masuk kuliah karena
jam sepuluh kami harus masuk. Sesampai di kosan Reza masih melamun di sudut kos
dengan tampang yang murung, sangat jelas masalah ini besar baginya.
”Kau ngak kuliah Za..?” tanyaku sambil
meletakkan kunci motor dimeja. Tak juga dijawabnya. ”Jangan terlalu
dipikirkan.” kembali aku menenangkannya. ”Semua itu sudah kehendak yang kuasa.
Lagi pula bukan kamu kan yang menyuruh dia belajar Motor saat itu. Kalau terus
dipikirkan entar kamu bisa setres, kan malah kacau.” kali ini aku begitu
kasihan dengan nasib temanku ini. Dino pun ikut ikutan menasehatinya.
***
Wina mengalami cidera yang lumayan parah,
kakinya patah sebelah kiri dan kata Dokter sangat sulit untuk disembuhkan patah
tulang seperti itu. Dan dibagian muka sangat banyak sekali yang luka namun
dibagian kepala tidak begitu membahayakan karena tak sampai geger otak.
Reza semakin bingung melihat keadaan Wina,
kata dokter takbisa lagi disembuhkan. Ia seringkali dikamar teriak-teriak
seperti sangat menyalahkan dirinya yang begitu ceroboh dalam menjalankan
sesuatu.
Dino masuk dan langsung memegang bahu
Reza,
”Kamu harus tegar menghadapi masalah
seperti ini, kamu cowok, jangan lemah gitu dong. Kamu terlalu memikirkan, kamu
jadi setres dan semua malah berantakan tak tentu.” Begitu serius Dino bicara.
Namun Reza langsung mendorong Dino dengan tangan kanannya.
”Lo nggak ngerasain sih...jadi enak aja
ngomong. Gua yang ngerasain.” ia keluar sambil membantingkan pintu kosan itu.
Aku langsung mendekatinya sambil memberi sebatang rokok padanya.
”Sekarang aku minta pendapat ma elo Gi.
Gimana jalan keluarnya masalah ini.” sambil menatap rokok dan ia
memutar-mutarkannya.
”Kalau nurut aku, kau harus bisa
membahagiakan dia jika kau masih merasa bersalah. Kau mencoba jadi cowok yang
jentelmen untuk menebus kesalahan kamu.” di tumbur Dino yang baru keluar dari
kamar.
”Iya...setuju aku. Jadi setidaknya kau
meyakinkan dia, supaya dia tabah menghadapi penderitaannya.” Dino sambil
menyulut rokok.
”Maksudnya..?” Reza seperti tidak paham.
”Misalnya kamu bilang ma dia kalau kamu
sayang dan akan menikahinya, itu sepertinya akan membuat dia lebih bergairah.,
sebab dia putus asa karena berpikir siapa yang masih mau dengan orang cacat.”
Reza bengong mendengar kata-kata nikah. Lalu ia masuk.
”Iya, gitu aja Za..” Dino menyetujui
pendapatku. Namun dalam benak Reza masih bertanya-tanya ”NIKAH”.
***
Pagi itu kami berempat naik Bus kota
menuju Rumah Sakit, Aku, Dino, Angga dan Reza. Setelah sampai kami langsung
menuju kamar 102c dimana kamar itu
tempat Wina dirawat.
”Gimana Udah baikan..?” Reza sambil duduk
disampingnya. ”Bunda Kemana..?” sambung Reza.
”Lagi ke belanja. Dari kosan..?” Reza
mengangguk. Kami bertiga langsung keluar menuju ruangan santai alias tempat
merokok. Kami disana asik canda dengan segelas kopi yang menjadi teman sejati
kami.
”Ada korek..?” aku meminta sambil
mengalungkan tangan kearah Angga, ia menggelengkan kepala.
”Di Reza.” aku langsung berdiri menuju
kesana.
Dengan santai aku berjalan, setelah sampai
didepan pintu aku berhenti melihat Reza sedang memegang tangan Wina sambil
mengelus-ngelus dan sesekali ia menciumnya.
“Wina gua sayang elo. Setelah lo sembuh
kita nikah” Wina langsung meremas tangan Reza.
“Reza, aku cacat, kamu nggak salah
mencintai aku.” Wina merendah untuk mengetes ketulusan cinta Reza.
“Kenapa itu harus dipermasalahkan, gua
tetep cinta ma lo meski gimanapun keadaan lo.” Wina senyum dan mereka saling menatap. Aku yang
tak sengaja nguping, langsung memutar badanku, ternyata aku tidak sendiri
dibelakangku ada Angga yang menyusulku untuk mengambil korek.
Kami kemudian menuju ruang merokok.
”Kenapa lama banget.” Dino seperti kesal.
Namun Angga menjelaskan dengan sangat detail sehingga Dino mengangguk paham.
”Cinta Berdarah” Dino menggumam lirih
sambil tersenyum.
”Kapan aku bisa ngajarin Risa belajar
motor ya, supaya aku bisa nikah ma dia.” Angga yang ceplos tak karuan. Dino
malah meledeknya habis-habisan karena perasaan Angga yang berlebihan.
***
Cibaduyut,2007-07-19
23:42
Mulyadi
No comments:
Post a Comment