Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Aku
sedang asik membaca sebuah majalah di ruang tamu. Sendirian. Isi majalah
beraneka ragam tentunya, dari artikel, kolom, berita, feature, iklan sampai
dengan cerpen. Dan sedari tadi aku menghayati cerpen yang mengharukan ini.
Mengisahkan sebuah cinta… cinta yang terjatuhkan. Kadang aku tergeleng juga
tersenyum sedih…
Cinta…
Cinta…. Cinta… siapa yang tak kenal dengan kata yang terdiri dari lima huruf itu. Bahkan sejak
TK sudah dikenalkan. Cinta kepada orang tua, teman, saudara, guru, pokonya
cinta telah tumbuh sejak lahir sepertinya. Dari zaman kenabianpun telah ada meski mereka tak tahu kalau perasaan itu
sekarang diberi nama c-i-n-t-a. Ingat sekali sewaktu kakek mendongengkan kisah
anak dari Nabi Adam (Khabil-Khobil) darah manusia yang pertama kali mengalir diakibatkan
oleh cinta, yang terus merembet kepada dengki, iri, dan pembunuhan. Ingat pula
kisah Nabi Yusuf yang difitnah mau memperkosa sampai dia masuk dalam penjara,
dan itu karena cinta juga. Berarti cinta punya banyak mengundang hal-hal negatif,
tapi jangan salah… cinta juga dapat mengundang pada hal kebaikan. Karena kita cinta dengan sesama maka ada
rasa kasihan dan saling membantu, Iya khan?
Jangan pernah berharap kalau sekarang
perasaan seperti itu akan hilang begitu saja. Ferri adalah seorang karyawan
bawahan di sebuah perusahaan garmen besar, ia mencintai Nayla seorang kasir supermarket dekat kontrakan dimana Ferri
bernaung. Mereka saling mencintai tepatnya. Hubungan mereka berdua telah
berjalan empat tahun setengah lebih. Ferri hidup dikota itu sebagai pemuda
asing yang tak mengenal lingkungan luar selain temannya bekerja di perusahaan.
Ia berasal dari pulau seberang yang bermodalkan nekat. Sedangkan Nayla adalah
seorang wanita yang tak mempunyai keluarga lagi. Dulu ia tinggal dengan
Neneknya, namun orang yang menjadi rujukan dan tempat curahannya itu meninggal.
Lalu ia menjadi anak kost sejati.
Ia tak punya keluarga lagi, kedua orang
tuanya telah bercerai dan sekarang tak tahu dimana lagi mereka. Ia termasuk 10
wanita tertegar di dunia bila ada nominasinya. Mereka berdua benar-benar
senasib dan seperjuangan yang terikat dalam kata CINTA. Sungguh enak didengar.
Mereka mempunyai cita-cita yang besar.
Akan membangun keluarga. Entah apa lagi yang mereka tunggu. Sepertinya mereka masih
ingin menikmati suka cita berpacaran. Atau mereka punya komitmen tertentu yang
membuat sebegitu tahan menjalin hubungan. Entahlah… karena cinta itu tak dapat
ditentang dengan berbagai teori.
“Ney….. Ney sayang…” tangan Ferri
mengetuk-ngetuk daun pintu sambil menggoyang-goyang gagangnya. Namun tak juga
di sambut oleh kekasihnya.
“Neyla sayang…. Buka dong, sorry deh kalau
kamu marah dengan omonganku kemarin.” Masih tak ada jawaban. Mata Ferri
menelusup masuk melalui lubang kunci. Kosan itu melompong tak ada isinya alias
Neyla tidak ada.
Hati Ferri mulai deg-degan, setahunya ia
tak kerja kalau jumat pagi seperti ini sampai nanti jam satu siang. Pembagian jam
kerja yang menyuruhnya begitu (Part Time).
Lalu ia ke kamar sebelahnya, terkenal sebagai teman yang bisa ditanyai kemana
perginya Nayla. Tapi juga kosong. Lulu ia memburu berangkat kerja, sebentar
lagi jarum jam telah menunjukkan pukul delapan.
“Fer…Fer…” Ibu kost keluar terburu-buru
ketika menatap jejak Ferri.
“Iya…
Ada apa Bu?”
“Tadi
malam Neyla di bawa ke rumah sakit. Nggak tahu kenapa tiba-tiba saja dia sakit perut terus pingsan-pingsan.” Ferri
menumbur perkataan,
“Sekarang dia dirumah sakit mana Bu?”
“Di rumah sakit umum.”
“Terima kasih Bu.” Begitu ia tahu, langsung meloncat dan menghentikan
angkot.
Ada rasa cemas yang teramat besar dalam
hati. Ada rasa gundah yang tak terbaca oleh seisi angkot. Tak ada juga yang
tahu kenapa dia tak masuk kerja hari ini selain Ibu Kost. Tidak ada yang tahu
juga apa yang terjadi ketika Ferri sampai dirumah sakit nanti. Benar-benar tak kutahu…
***
Pintu kaca, kursi panjang, dan
beberapa orang tersenyum-senyum sepanjang duduk disana (receptionist), keramik putih
terhampar. Nah, seperti itulah wajah rumah sakit. Ferri terburu-buru menuju
ruang yang diberi tahu oleh ibu kost tadi. Dan di dalam sana tergeletak sosok yang selama ini menjadi
penyejuk batinnya.
Sampai siang datang, Ferri masih
tertunduk menunggui kekasihnya yang lemas tertutup oleh selimut bercorak hitam
putih. Dan beberapa kali pula Ferri memenuhi panggilan pihak rumah sakit
sebagai penanggung jawab karena harus di oprasi. Neyla menderita usus buntu dan
harus di oprasi.
Ferri tak berpikir panjang untuk
membongkar semua tabungannya sebagai biaya operasi. Baginya nyawa lebih dari
semuanya dan harta hanya kemakmuran sesaat yang tak berguna sama sekali bila
tak bernyawa. Proses oprasi hingga penyembuhan bukan hal sebentar dan tidak
makan biaya sedikit, padahal dia harus kerja setiap hari. Namun, semua ia tinggalkan demi kekasihnya yang
sedang terbaring lunglai. Sampai suatu ketika ia mendapat surat pemberhentian
dari pihak perusahaan karena dianggap telah kabur dari tanggung jawab. Telah
hampir setengah bulan ia tak munculkan tampang ke tempatnya kerja. Wajar sebab
ia pegawai rendahan… Ini benar-benar sudah jatuh tertimpa tangga. Kegaduhan
dalam benak makin bertambah. Hanya Nayla yang masih bisa membuatnya
senyum…
***
Pagi itu ia pulang ke kontrakannya untuk
mengerjakan yang telah lama tidak ia kerjakan. Ya… seperti nyuci pakaian dan
beres-beres kamar karena Nayla telah dapat ditinggalkan bahkan beberapa hari
lagi telah bisa keluar dari rumah sakit. Namun Ferri kini telah menjadi beban
Negara dengan menyandang setatus pengangguran. Dan pesangon yang diberikan oleh
perusahaan tinggal beberapa lagi, biaya sehari-hari dan biaya rumah sakit yang
tak kecil.
Ia juga ke kosan Nayla untuk
mengambilkan pakaian-pakaiannya. Mirip sekali telah berkeluarga. Benar. Setelah
semua lengkap ia langsung pergi ke rumah sakit kembali dengan membawakan
beberapa butir buah-buhan untuk Nayla tercinta tentunya. Sesampainya di rumah
sakit dengan santai ia masuk keruang kelas tiga dengan berderet beberapa tempat
tidur.
Ia begitu terperajat ketika tempat
tidur kekasihnya telah kosong melompong begitu saja. Ia langsung mengejar seorang Suster yang sedang
memeriksa salah satu pasien diruangan itu.
“Sus,
Nayla kemana?”
“Oh…Tadi
sewaktu Mas pergi Tantenya Nayla datang dan membawa pulang, katanya mau dirawat
dirumah. Memang Mas tidak diberitahu?”
“Hah….
Dia itu tidak punya keluarga lagi selain saya Sus…” mata Ferri semakin banyak
menggambarkan sebuah ketidak fahaman.
“Tapi
Mas… Nayla sendiri juga mengatakan kalau itu saudaranya. Dan Nayla juga nurut
saja…”
“Saya
masih tidak paham Sus… kok Tantenya tahu? Kan selama ini yang tahu kalau Nayla sakit
cuma saya… terus kata Nayla juga, dia tak punya keluarga lagi…” gaduh…! Ferri kini
benar-benar gaduh.
“Gini ceritanya Mas, Tante itu
sebenarnya hanya memeriksakan kandungannya saja… ketika dia lewat ruangan ini
ia melihat Nayla yang sedang terbaring. Dan mereka berpeluk-pelukan gitu sampai
akhirnya mereka memutuskan keluar dari rumah sakit ini.” Suster itu dengan
cermat dan sabar bercerita…
“Nanti kalau sudah pulih pasti dia
cari Mas…” Suster itu senyum menenangkan dan berbalik badan menuju pasien
berikutnya.
“Sudah lama Sus?”
“Ya…kira-kira dua jam yang lalu.”
Ferri dengan
lesu menuju kontrakan sambil membawa koran untuk mencari info kerja.
***
Setahun berlalu semenjak peristiwa
itu. Kini Ferri telah menjadi pengangguran yang benar-benar pengangguran. Ia
anak jalanan, tak punya tempat tinggal sebab telah di usir oleh pemilik
kontrakan. Satu-satunya jabatan yang bisa diduduki ialah pengamen. Profesi yang
tak mengenal batas. Hanya tak ramah
lingkungan. Sedangkan Nayla tak tahu lagi apa ceritanya. Ia pernah menyempatkan
datang kekontrakan Ferri tapi tak terjumpai.
Ferri
telah menggeluti profesinya di sebuah simpang jalan. Setiap lampu merah menyala
maka ia akan langsung memburu mobil yang terhenti. Suatu ketika ia menyinggahi sebuah mobil dan
menyanyikan sebuah lagu bersama temannya. Tentu kebanyakan mobil menggunakan
kaca film yang tak bakalan ketrawang sosok didalamnya. Dan apakah menyangka
kalau didalamnya itu orang yang membuatnya menjadi seperti itu?
Ya…Nayla
yang dia hibur siang itu. Dia bersama Tantenya…. Alangkah terkejutnya Nayla
setelah memperhatikan lelaki bertopi diluar bernyanyi riang, berjemur diterik
matahari, kumal tak terurus. Padahal orang itu yang membiayainya hingga ia
terselamatkan dari gempuran jiwa… dia Ferri. Habis-habisan menolong
nyawanya demi cinta. Demi cinta yang tertinggalkan…
Nayla seakan ingin meloncat keluar
dan memeluk pengamen kucel yang hancur kehidupannya deminya… ia ingin keluar…
keluar dari mobil yang memisahkan dia… yang punya mobil itulah pemisahnya. Cinta
mereka buyar. Tapi apa artinya cinta… sedangkan Ferri tak tahu bila kekasihnya
juga bicara dengan cinta di dalam mobil yang sebentar lagi meluncur…. Ferri tak
tahu menahu bila tangan lembut kekasihnya yang terkeluar mengalungkan uang dari
sela-sela jendela…
“Aku mau turun.” Nayla merasa ragu.
“Mau
ngapain?” tatapan Tante telah menembus keluar sana….
Lampu merah telah tergantikan…. Menjadi hijau….
***
Bandung, 2008
No comments:
Post a Comment