Sliwar-sliwer
kendaraan tak pernah ada hentinya dari mulai matahari terbit sampai rembulan
tersenyum, terus ada yang menyenangi aspal hitam. Entah apa yang mereka cari
dari ngebut sampai pelan-pelan. Tidak mungkin tak ada keperluan penting jika
malam hari seperti ini. Lampu jalan terus bercahaya menaungi derasnya arus
angin malam. Dingin, sejuk terus menusuk dari kulit dan lubang fori-foriku.
Aku
sendiri berjalan menuju rumahku, terlihat anak-anak jalanan sedang asik
bercanda dan tawa dengan kabut malam. Liku-liku jalan terus mengarungi bagaikan
wahana yang terukir tajam. Lampu lalulintas hanya berkedip kuning saja pertanda
“Hati-hati”.
Sampailah
aku di depan lorong tempat kududuk biasanya. Istirahat sejenak aku disana untuk
menghilangkan pegal di betisku. Kusandarkan badanku di papan yang terbungkus
dengan debu jalanan. Disana aku masih terus memerhatikan kendaraan yang terus
lalulalang dengan gesitnya. Tanpa terasa aku tertidur dengan bersandar
panjang, maklum sedikit panjang kursi itu.
*****
Pagi
memanggil dengan sentuhan kesejukan yang menusuk-nusuk dalam kulit ari hingga
aku terjaga.
”Ah....Aku tertidur disini. Jam berapa ya
sekarang..?” tanyaku sendiri seperti aku kebingungan. Tiada sosok orangpun yang
bisa kutanya. Namun jalan belum juga sepi. Masih terlihat kendaraan lewat. Aku
turun dari kursi dengan langkah kaki menuju rumah untuk melanjutkan tidur yang
terputus sejenak. Sesampainya didepan rumah aku sangat hati-hati alias
pelan-pelan supaya tak terdengar oleh Ayah dan Ibu. Jika saja ketahuan pulang
malam pasti dimarahi sama ORTUku. Kugapi kunci yang biasanya ditaruh disamping kanan pintu. Sampai akhirnya
pegal sekali tanganku tapi, semakin kupaksakan. Sedikit sampai tarkadang harus
jinjit.
“Ah susah banget lagi...?” gumamku kesal.
Tapi aku tak putus asa aku terus mencobanya sampai akhirnya ku dapati.
Ups.
Ayahku rupanya tidur disofa ruang tamu. Sepertinya ia ketiduran saat menonton TV. Aku langsung saja masuk kamar
dengan hati-hatinya.
”Kasihan juga Ayah tidur disana. Ah,....aku
bangunin.” Berbalik badanku menuju sofa.
”Yah...Yah...Bangun
pindah ke kamar.” seru suaraku sambil menggoyang-goyang badannya yang gendut
tidak seperti aku sering disebut Ibu kulit dan tulang. Ayahku dengan terkejut
bangun langsung duduk.
”Kamu
baru pulang..?” tanya ia padaku. Aku sedikit gagap menjawabnya.
”Wah pasti aku di marahin ni..” dalam
hatiku ragu. Tapi aku mencoba menjawab dengan alasan tentunya.
”Ia
Yah...Abisnya aku tertidur tadi.” terangkanku tidak lengkap. Jika saja aku
katakan aku tertidur di kursi tepi jalan, ia pasti tertawa terbahak-bahak bisa
terbangun semua mendengarnya.
”Ya..Udah tidur sono...Besok kau sekolah kan..?” suruh Ayahku sambil ia bergerak
menuju kamarnya dan pasti Ibu telah menunggu disana. Aku juga tanpa menjawab
pertanyaannya, langsung beranjak masuk ke kamar. Meneruskan mimpi yang sempat terputus tadi. Berkerut keningku menatap dinding kamar
serasa ada yang sangat serius aku fikirkan. Tanpa aku sadari aku tertidur.
Pagi
menjelang dengan suara Ibuku sibuk membangunkan Kakak-ku. Ia harus berangkat ke
kantor pagi-pagi, maklum kantornya lumayan jauh. Sedangkan aku santai saja, aku
masuk sekolah siangan sekitar jam delapan, lebih beruntungnya lagi sekolahku
tidak begitu jauh dari rumah. Kutarik lagi selimut tebal. Namun aku tidak
nyenyak lagi sebab suara dengungan Mobil kaka-ku sedang memanaskan mesin
meraung-raung berisik. Kututup telingaku
dengan bantal.
Kini
aku harus bangun meski dengan malas sekali. Namun jarum jam telah menunjukkan pada angka
setengah delapan berarti aku harus segera bangun, mandi, sarapan dan berangkat
sekolah. Meski saat sekarang ini aku masih duduk dikelas dua SMA tetapi bukan
berarti aku jarang masuk sekolah seperti anak-anak yang lain, bila kelas dua
boleh nakal. Sebab kelas satu kita masih baru disekolahan itu terus kelas tiga
kita bersiap-siap dengan kelulusan.
*****
Sepulang sekolah aku nongkrong sebentar bersama teman-temanku
di pinggir jalan setelah stopan dekat sekolahan. Kulihat beberapa orang sibuk
dengan aktivitasnya. Sebagai penjual koran eceran juga sibuk menyerukan
koran-koran yang ia bawa dan ada pula yang sibuk menawarkan barang bawaannya
sejenis minuman dingin dan rokok, ia gendong diatas perut. Lebih membuat aku
terpaku menatapnya yaitu para pengamen terus mengadu nasib dengan lampu merah.
Sedangkan kami hanya bercanda dan ngobrol kecil bisa dibilang diskusi bisa
dibilang cuma ngumpul bareng saja. Aktivitas keramaian jalan sebagaimana
biasanya terkadang macet dan terkadang sibuk dengan bunyi klakson mobil dan
motor yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Aku sambil memegang buku sebagai andalanku dalam suasana
seperti ini. Terkadang aku baca, terkadang aku hanya membuka larikan-larikan
dalam buku itu. Teman-temanku jarang menghiraukan aku, mereka asik sibuk menggoda
setiap cewek yang lewat.
”Hai....cewek aku padamu.” Itulah seruan yang
kerap sekali aku dengar. Mungkin bisa dikatakan perkataan basi. Aku tidak
begitu betah disana.
”Don, Rif, Sul, semuanya ...Aku pulang dulu ya....?” aku
pamit bermaksud menghindar dengan kerjaan monoton bagiku.
”Kemana Van..? Masih siang gini.” sebagian temanku
menahan kepergianku. Takku kabulkan permintaannya. Aku langsung pulang dengan
nada standar. Sambil berjalan aku terus pandangi sekitar jalan aspal. Banyak
sekali cerita disana jika saja aku tulis mungkin sudah menjadi buku yang
berjilid-jilid.
Rumahku telah terlihat dengan pintu garasi berwarna
kecoklat-coklatan. Aku langsung masuk kamar dan berganti baju seraya aku rebahkan
badanku dengan buku ditangan yang kubaca sesaat, setelah itu aku tidur. Sore
menjelang aku bangun dan mandi terus keluar menuju tempat pangkalan anak-anak
sekeliling komplek perumahanku. Yaitu kursi didepan lorong, pernah kutiduri
beberapa waktu lalu.
Doni dan Febry yang telah duduk sambil menghisap rokok
terlihat dari jauh. Aku datang dengan diam-diam bermaksud untuk mengejutkan.
”Hoi....Asik banget..?” mereka sepertinya tidak
terkejut.
”Eh..Ivan.” Ujarnya sambil memandangku dengan tatapan
tajam. Namun Doni yang langsung menyuruhku duduk. Tak lama kemudian ia
membicarakan tentang seorang perempuan yang kemarin sore ia candain dan ia
sepertinya naksir dengan perempuan itu. Tanpa aku tanya aku sudah tau dari cara
ia membicarakannya penuh arti. Tetapi aku tidak begitu heran dengan sifat Doni
yang tidak bisa melihat perempuan cantik sedikit. Kalau ada pasti ia langsung
naksir begitu saja.
”Urusan diterima nggaknya urusan nanti yang penting kita
ungkapin dulu.” kata-kata itu selalu muncul dari mulutnya. Tak seperti aku yang
selalu menunggu dan menunggu bukan takut ditolak tetapi tidak berani untuk
seperti itu. Sering kali Doni dan Febry meledekku tetapi aku tak ambil pusing
aku jawab saja dengan singkatnya,
”Aku punya pendirian.”
Kehidupan jalan telah diarungi Doni hampir dari ia
beranjak dewasa. Aku sedikit heran dengannya padahal ia tergolong orang yang
berpunya. Suatu pagi aku berangkat sekolah bareng dengannya. Ia banyak sekali
cerita tentang perempuan itu padaku. Sedikitku olah sepertinya ia benar-benar
suka dengan perempuan itu. Aku mulai cari tahu siapa namanya, sekolahnya dimana
dan rumahnya jangan lupa. Namun aku sedikit pusing sebab aku tidak melihat
dengan jelas kemarin itu.
”Don, orangnya seperti apa sih cantiknya..?” tanyaku
dengan penasaran. Namun dia hanya senyum, sedikit membuatku penasaran.
”Don, kok gitu sih..” tekanku dengan nada memaksa.
”Pokoknya susah diungkapkan dengan kata-kata. Tapi,
bukannya kemarin itu kamu ada...?” sembari ia kembali bertanya denganku.
”Aku seperti lupa-lupa ingat Don.” tanpa kami
sadari telah sampai didepan pintu gerbang sekolah.
Tak lama kemudian bell berbunyi pertanda belajar dimulai
hari ini. Kamipun belajar dengan seriusnya, namun ada juga yang sedikit tidak
serius sepertinya Lukman dan Yoyo yang terus asik ngobrolin entah apa.
****
Bell berbunyi pertanda waktu pulang telah tiba. Kebisingan
kelas terkeluar dari masing-masing mulut yang tadinya terikat dengan keseriusan
belajar. Aku memasuk-masukkan buku didekat Doni. Ia mengajakku untuk keluar,
aku hanya diam saja tanpa sepatahpun kata yang kuucap.
Aku yang langsung pulang kerumah. Sebenarnya
teman-temanku semua mengajak untuk kumpul-kumpul bareng dulu seperti biasa.
Namun aku punya alasan yang membuat anak-anak itu mengerti.
”Aku mau pulang terus tidur ntar malem kita ngumpul
sampai pagi oke..!” Ujarku dengan serius.
”Gitu dong... sampai pagi bener ya..?” tanpa kurespon
anak-anak itu sudah merasa lega.
Rumahku terlihat ramai tidak seperti biasa, maklum hari
sabtu pasti pada kumpul sebab mereka pada libur. Aku masuk kerumah dengan
ucapan selam. Mereka menjawabnya dengan sahutan yang bebarengan. Kamarlah
tujuan utamaku. Aku langsung terbaring di kasur busa tempatku memperindah
mimpi.
”Kok langsung tidur, nggak makan dulu..?” Ibuku datang ke
kamar. Jawabku yang seakan-akan sangat ngantuk sekali.
”Udah makan tadi disekolah, aku mau tidur Bu. Aku capek
banget.” sebagai alasan supaya tidak terus di ganggu. Keluar Ibuku dengan
membawa pakaian kotorku untuk dicuci oleh penbantu. Tertidurlah aku pulas untuk
modal nanti malam.
Aku bangun tepat jam empat sore. Aku langsung menuju meja
makan karena perut yang keroncongan. Setelah makan aku langsung mandi dan
memakai baju yang bersih lagi wangi yang terkeluar dari persembunyiannya.
Kupakai pula wewangian yang khas untuk badanku.
”Rapi banget mau kemana...? Ada pesta ya..?” Tanya Ibuku
yang masuk kekamarku saat itu.
”Ia Bu..!” jawabku bohong biar aku bisa tidak
pulang nanti malam. Aku keluar dari kamar bareng dengan Ibuku. Ayahku yang
duduk manis didepan TV sambil membaca koran. Tak bertanya denganku sepatah
katapun mungkin ia tak melihat aku yang sedang ganteng gini.
Aku bermaksud pamit sambil meminta uang.
”Yah... Aku mau pergi acara. Mungkin nggak pulang
ntar malem sekalian nginep di rumah temen.” Aku ngomong dengan lancarnya.
“Ia ..jaga diri baik-baik.” nasehat Ayahku sedikit sekali
biasanya banyak dan bertele-tele. Aku tidak pergi juga dari hadapan Ayahku, aku
masih tetap berdiri disana.
“Ada apa lagi...? Ujar Ayahku sambil memandangku sinis.
Ibuku menyambung dengan sangat mengerti sekali.
“Biasa Yah...Duit.” Ibuku sambil tersenyum. Aku sedikit
malu-malu.
“Oh...” Ayahku sambil menyabut dopet dikantong saku
belakang.
”Nggak bawa
mobil.....?” tanya Ayahku kembali. Teringat dengan kebiasaanku yang sering
meminjam mobil setiap malam minggu.
”Enggak...Enggak..!”
kujawab dengan senyuman sedikit.
”Biasanya mau
minjem susah banget giliran nggak mau minjem di tawari.” mengerutu dalam hatiku
sendiri. Aku salami Ayah dan Ibuku ketika mau melangkah dengan pasti.
Ketika sampai
depan Doni, Febry dan teman-temanku yang lain telah menunggu untuk segera
berangkat ketempat sasaran yaitu perempatan jalan menuju Jakarta. Disana adalah
tempat sangat setrategis sekali untuk bisa bernyanyi dan berhura-hura dengan
puasnya.
”Gila...Anak
muda satu ini necis banget.” sambutan sore itu dari Febry. Aku yang langsung
nimbrung dan mereka yang langsung mengajak brangkat sekarang.
”Kamu bener
nggak akan pulang kerumah malem ini...?” tanya Agus yang telah mendengar cerita
dari Doni pastinya. Aku menjawab dengan anggukan kepala disambung dengan alasan.
”Malam ini
malam minggu berarti malam kebebasan. Ia kan..?” sambil tertawa geli aku
mengatakan itu kepada teman-temanku. Doni yang mengangguk-anggukkan kepala
seperti paham, padahal dia berjalan sambil main gitar entah dengar atau tidak.
Aku terus memandangi
jalan yang macet hari itu. Maklumlah malam minggu, malam dimana tempat
pelepasan asmara bagi kamu yang dilanda badai percintaan. Kami berjalan
melewati berpuluh-puluh kendaraan yang tersusun rapi. Semakin bereaksi para
pengguna kemacetan seperti tukang lap kaca mobil sampai pengemis dan pengamen
yang terus berputar mencari koin kedamaian.
Kami disana
telah duduk dan bernyanyi meski sekarang masih terlihat matahari seperti kuning
telur. Teman-teman yang lain belum kumpul semua jadi kami sekarang masih menunggu
undangan, seandainya ini acara yang seperti aku katakan dengan kedua
Orangtuaku.
Malam mulai
berangsur membawaku dengan semilirnya angin. Perhatianku terus ke
jalan yang semakin panjang macetnya. Ada yang sedang apel. Ada yang baru pulang
dari dari kerja dan lainnya. Kebisingan suara terus berkumandang dari suara
kendaraan sampai suara gitar beserta teriakan nyanyian disampingku. Malampun
terus mengguyur sampai akhirnya semua temanku hadir disana dengan ramainya
sekitar 14 orang. Ada yang curhat, cerita dan berbagai bentuk kekalutan terserak di kursi
depan Ruko-ruko mewah. Mereka saling bertanya mengapa tidak apel malam mingguan
...? namun jawaban merekapun beragam dan dengan argumen yang terkadang masuk
akal terkadang hanya masuk tong sampah.
Bergelut dengan
malam memang sangat mengasikkan sekali. Apa lagi di tambah dengan banyak teman
seperti saat ini. Canda ria bertepuk tangan mengiringi dentingan gitar. Suara
sahdu dan teriakan keras mulai terkeluar setelah jalanan tampak sedikit sepi
dengan semakin jarangnya penggunanya lewat.
Samar-samar
terdengar serine Polisi yang sedang berkeliling namun teman-temanku dan aku
tidak menghiraukan sama sekali. Dengan perkiraan lagi menggiring anak
bawahannya sedang latihan. Namun suara itu semakin mendekat dengan lokasi kami.
Semakin kencang kami bernyanyi.
Mobil polisi
itu membawa pasukan yang lumayan banyak untuk oprasi penertiban. Mereka langsung
berhenti pas dihadapan tempat kami berkumpul. Seraya kami terbengong sejenak.
Turunlah pasukan semuanya dan berteriak.
”Jangan
bergerak atau kami tembak...!” mendengar suara itu kami semua berhamburan bukan
diam. Aku yang terpontang panting lari, entah kemana sendalku tercecer aku
seperti orang sedang kesurupan. Temanku lari tanpa arah seperti aku juga.
Polisi itu mengejar kami semua dengan suara tembakan.
”Doorrr...” aku
pikir temankulah yang mati saat mendengar suara letusan pistol itu. Aku merasa
nyawaku juga sangat terancam. Terus aku berlari dengan kencangnya tanpa kumenoleh
kebelakang, namun tiada satupun temanku yang mengikuti jejak lariku.
Tolehku
kebelakang. Terlihat polisi mengejarku sambil membawa kayu pemukul, terasa lega
sedikit hatiku melihat yang ia acungkan padaku bukan sebuah pistol. Kulihat
didepanku ada sebuah got yang muat untuk ukuranku aku langsung jejalkan badanku
kedalamnya meski entah bau apa yang tercampur. Tanpa berpikir lagi aku masuk
kesana.
Doni, Agus,
Febry, Yoyo dan tiga temanku yang lainnya tertangkap dan digiring ke Pos Polisi
yang tidak jauh dari sana. Aku masih didalam got itu dan di atasku terlihat
seorang Polisi yang tadi mengejarku masih bilak-balik mencari jejakku yang
telah hilang.
”Dag...Dig...Dug..”suara
jantungku memompa dan nafasku yang tak beraturan mengusungku kepada getaran
seluruh tubuh karena ketakutan. Teman-temanku yang lain entah kemana saja
mereka jejaknya hanya ke bingunganlah yang ada dalam seluruh aliran tubuh dari
darah sampai jalannya otak.
Terdengar suara
serine mobil Polisi itu meninggalkan tempat itu dengan membawa temanku. Sedikit
demi sedikit aku keluarkan kepalaku dari tempat jorok itu. Naik aku kejalan dan
mencari tempat yang sedikit terang untuk melihat bagaimana keadaan tubuhku saat
sekarang ini. Aku berjalan dengan lemas tak berdaya hanya berfikiran seandainya
aku tertangkap aku bagaimana...? itu terus yang ku ingat. Tetapi selintas
kurasakan penderitaan temanku yang sekarang dalam dekapan satuan pengaman itu.
Terlihat
bermunculan lagi teman-temanku yang tidak terditeksi. Mereka semua berperasaan
dan bertubuh lemah seperti aku. Mereka saling bertanya antar temanku yang lain
siapa saja yang terangkut. Aku menundukkan kepala sedih. Sepertinya mereka juga
sama denganku yang memelaskan dengan teman-teman yang lain. Gitar kami juga
diboyong sebagai barang bukti.
Kembali kami
berfikir untuk menyelamatkan mereka yang tertangkap. Tapi kami tidak habis
fikir bagaimana caranya. Kalau kami kesana, itu sama halnya dengan masuk
kandang harimau. Beribu argumen telah terkumpul tetapi tak juga bisa dilaksanakan.
Mereka yang
tertangkap sedang di siksa dan di introgasi dengan pertanyaan yang terus
membunuh nurani. Doni yang terkenal pembangkang terus dipukul karena sifatnya
yang tak takut dengan siapapun dan dengan Polisipun terus ia membantah dan
membangkang dengan apa yang terlontar sebagai tuduhan padanya.
Aku terus berputar-putar
mencari sendalku yang terlepas tadi. Begitu pula yang senasib denganku. Setelah
tersorot cahaya terlihat tanganku berlumur darah begitu pula celana dan dan
bajuku, berbaur dengan bebauan Got. Sejenak aku berfikir lagi tentang bagaimana
mereka yang di kantor Polisi sekarang.
Kokok ayampun
mulai berkumandang dengan bersahut-sahutan pertanda pagi terjelang. Kami terus
menunggu mereka yang terangkut. Merenung kembali aku dengan sedih teringat
sosok Doni begitu berambisi untuk bisa mengajakku bergadang dijalan malam ini.
Jam lima
sekarang ini. Kendaraan mulai bermunculan kembali dari berbagai arah. Ada yang
menuju pintu Tol ada yang baru keluar Tol. Dengan kebutnya mereka menyetir. Kami
semua terlihat kecapean berbaring diteras-teras tanpa alas sedikitpun, padahal kalau dirumah sebegitu enak dengan
selimut tebal dan alas yang empuk pula. Sedangkan sekarang berselimut dengan
angin yang sejuk dan beralas kramik yang dingin dan bau keringat yang tercucur
deras ulah Pak Polisi.
Terlihat tujuh
sosok pria yang berjalan beriringan menuju arah kami. Kami kembali berdiri
karena sedikit waspada kalau saja sang aparat itu kembali ingin menciduk kami. Hanya
sedikit sorot bayangan yang tak memberi kejelasan pada kami.
”Hoi...Jangan
lari tetap diam di tempat.” Suara itu terdengar dari arah itu. Kami kembali
teriak.
”Lari....!”
seraya kami melangkahkan kaki dengan cepatnya cemas sibuk dan seperti anjing
yang sedang dikejar harimau. Tertawa mereka tidak mengejar sedangkan kami tetap
dengan langkah jitu untuk lolos dari cengkrama.
Setelah
terlihat ditempat terang rupanya mereka Doni, Agus, Febry, Yoyo, Anton, Riko
dan Jon. Mereka cekikikan tertawa melihat kami sebegitu trauma dengan kejadian
tadi. Kami sangat kesal sekali karna jantung detaknya hampir terputus dan paru-paru
yang hampir tak kuasa lagi mencari oksigen.
Kembali kami
semua disana dengan sedikit gembira karna mereka telah kembali. Dilain sisi,
kembalinya mereka membuat kami sedikit kesal sebab telah membuat kami buyar
konsentrasi.
Disana kami
bernostalgia dengan kisah seru seperti film Hollywood. Terlihat memar di pipi Doni, dan Agus siraja bangkang. Yang
lainnya hanya diberi peringatan bahwa perbuatannya itu mengganggu istirahat
warga. Sungging, tawa dan ceria kembali seperti semula apa lagi setelah mendengar
ceritaku yang masuk ke Got dan sendal ku yang hilang mereka tertawa
terbahak-bahak. Meski gitar kami diambil tetapi bagi Doni yang punya gitar itu
sama sekali tidak masalah.
”Untuk
kenang-kenangan supaya di kantor Polisi tidak selalu serius dan sangar. Rileks
dikit ngapa..” ceplos Doni dengan logat candanya yang santai tanpa ketawa. Kami
yang tertawa malahan.
Aku sedikit
bingung pulang nanti memberikan alasan dengan Orangtuaku melihat badanku yang banyak luka dan bajuku
yang kotor pasti mereka akan introgasi aku dan pasti nantinya aku akan
ketahuan. Begitu pula Doni yang terkenal anak kesayangan dan anak simatawayang.
*****
Sekarang sekitar jam setengah enam pagi. Jalan mulai
ramai kembali dari yang jalan kaki sambil menghirup udara segar sampai yang sibuk
menyetir. Sungguh tidak aneh bila pagi minggu begini ramai. Semua orang yang
melintas jalan itu melihat kami, meski terkadang cuma melirik dan berpaling
sekejap.
Kami semua beranjak pulang kerumah
masing-masing dengan arah yang berlainan kecuali Doni, Agus dan aku sendiri
yang searah dan satu komplek. Aku berjalan dengan merasaka sedikit pegal pada
persendian lutut dan paha. Tangan dan siku mulai terasa perih-perih. Doni pun
mulai buka mulut tentang rasa sakit di pipi dan tulang-tulang yang juga sengal.
Kutatap benar-benar aspal jalan yang terlihat meledekku.
Sesampainya
dirumah telah terbuka lebar pintu gerbang dan garasi. Aku dengan mindik-mindik
memasuki rumah.
”Dek...Mengapa
kamu...? dan badankamu yang berlumpur gitu...?” tanya Bibi, pembantuku.
Langsung ku tarik tanganku dan ku acungkan jari kemulutku sendiri.
”Syuuuuuut....,
jangan bilang-bilang ma siapapun diem aja.” ujarku menekannya supaya tutup
mulut.
”Ia...Ia...”
Bibi itu menjawab dengan memegang sapu di tangan kanannya.
”Ibu sama Ayah
kemana..?” tanyaku kembali. Sambil ku berjalan menuju tangga.
”Bapak masih
tidur kalau Ibu ada didapur membuat sarapan..” jawabnya dengan bisik-bisik pula
seperti aku yang bertanya.
Aku masuk kamar
dan mandi terus membersihkan luka-luka ditangan. Selesai mandi aku mengenakan
baju lengan panjang berharap tak terlihat lukanya. Aku berbaring dengan rasa
lemah sekali. Sambil aku berfikir yang tidak karuan. Baru kali ini aku dijalan
dan mendapat suatu cerminan bahwa hidup dijalan adalah resiko terberat
kehidupan. Berkerut keningku, tak pernah kubayangkan keadaan seperti itu
sebelumnya. Yang ada hanya keasikan dan kebebasan tidak seperti yang dirumah
sepertiku yang telah hilang kebebasannya. Terdiam sejenak dan aku pun tertidur
sebagai balas dendam tadi malam.
*****
Jumat dini hari 04-mei-2007 / 03:32:31
No comments:
Post a Comment