Sunday, December 2, 2012

Manusia Jalan

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)


Sliwar-sliwer kendaraan tak pernah ada hentinya dari mulai matahari terbit sampai rembulan tersenyum, terus ada yang menyenangi aspal hitam. Entah apa yang mereka cari dari ngebut sampai pelan-pelan. Tidak mungkin tak ada keperluan penting jika malam hari seperti ini. Lampu jalan terus bercahaya menaungi derasnya arus angin malam. Dingin, sejuk terus menusuk dari kulit dan lubang fori-foriku.
Aku sendiri berjalan menuju rumahku, terlihat anak-anak jalanan sedang asik bercanda dan tawa dengan kabut malam. Liku-liku jalan terus mengarungi bagaikan wahana yang terukir tajam. Lampu lalulintas hanya berkedip kuning saja pertanda “Hati-hati”.
Sampailah aku di depan lorong tempat kududuk biasanya. Istirahat sejenak aku disana untuk menghilangkan pegal di betisku. Kusandarkan badanku di papan yang terbungkus dengan debu jalanan. Disana aku masih terus memerhatikan kendaraan yang terus lalulalang dengan gesitnya.  Tanpa terasa aku tertidur dengan bersandar panjang, maklum sedikit panjang kursi itu.
*****
            Pagi memanggil dengan sentuhan kesejukan yang menusuk-nusuk dalam kulit ari hingga aku terjaga.
            ”Ah....Aku tertidur disini. Jam berapa ya sekarang..?” tanyaku sendiri seperti aku kebingungan. Tiada sosok orangpun yang bisa kutanya. Namun jalan belum juga sepi. Masih terlihat kendaraan lewat. Aku turun dari kursi dengan langkah kaki menuju rumah untuk melanjutkan tidur yang terputus sejenak. Sesampainya didepan rumah aku sangat hati-hati alias pelan-pelan supaya tak terdengar oleh Ayah dan Ibu. Jika saja ketahuan pulang malam pasti dimarahi sama ORTUku. Kugapi kunci yang biasanya ditaruh disamping kanan pintu. Sampai akhirnya pegal sekali tanganku tapi, semakin kupaksakan. Sedikit sampai tarkadang harus jinjit.
            “Ah susah banget lagi...?” gumamku kesal. Tapi aku tak putus asa aku terus mencobanya sampai akhirnya ku dapati.
            Ups. Ayahku rupanya tidur disofa ruang tamu. Sepertinya ia ketiduran saat menonton TV. Aku langsung saja masuk kamar dengan hati-hatinya.
            ”Kasihan juga Ayah tidur disana. Ah,....aku bangunin.” Berbalik badanku menuju sofa.
            ”Yah...Yah...Bangun pindah ke kamar.” seru suaraku sambil menggoyang-goyang badannya yang gendut tidak seperti aku sering disebut Ibu kulit dan tulang. Ayahku dengan terkejut bangun langsung duduk.
            ”Kamu baru pulang..?” tanya ia padaku. Aku sedikit gagap menjawabnya.
            ”Wah pasti aku di marahin ni..” dalam hatiku ragu. Tapi aku mencoba menjawab dengan alasan tentunya.
            ”Ia Yah...Abisnya aku tertidur tadi.” terangkanku tidak lengkap. Jika saja aku katakan aku tertidur di kursi tepi jalan, ia pasti tertawa terbahak-bahak bisa terbangun semua mendengarnya.
            ”Ya..Udah tidur sono...Besok kau sekolah kan..?” suruh Ayahku sambil ia bergerak menuju kamarnya dan pasti Ibu telah menunggu disana. Aku juga tanpa menjawab pertanyaannya, langsung beranjak masuk ke kamar. Meneruskan mimpi yang sempat terputus tadi. Berkerut keningku menatap dinding kamar serasa ada yang sangat serius aku fikirkan. Tanpa aku sadari aku tertidur.
            Pagi menjelang dengan suara Ibuku sibuk membangunkan Kakak-ku. Ia harus berangkat ke kantor pagi-pagi, maklum kantornya lumayan jauh. Sedangkan aku santai saja, aku masuk sekolah siangan sekitar jam delapan, lebih beruntungnya lagi sekolahku tidak begitu jauh dari rumah. Kutarik lagi selimut tebal. Namun aku tidak nyenyak lagi sebab suara dengungan Mobil kaka-ku sedang memanaskan mesin meraung-raung berisik.  Kututup telingaku dengan bantal.
            Kini aku harus bangun meski dengan malas sekali. Namun  jarum jam telah menunjukkan pada angka setengah delapan berarti aku harus segera bangun, mandi, sarapan dan berangkat sekolah. Meski saat sekarang ini aku masih duduk dikelas dua SMA tetapi bukan berarti aku jarang masuk sekolah seperti anak-anak yang lain, bila kelas dua boleh nakal. Sebab kelas satu kita masih baru disekolahan itu terus kelas tiga kita bersiap-siap dengan kelulusan.
*****
            Sepulang sekolah aku nongkrong sebentar bersama teman-temanku di pinggir jalan setelah stopan dekat sekolahan. Kulihat beberapa orang sibuk dengan aktivitasnya. Sebagai penjual koran eceran juga sibuk menyerukan koran-koran yang ia bawa dan ada pula yang sibuk menawarkan barang bawaannya sejenis minuman dingin dan rokok, ia gendong diatas perut. Lebih membuat aku terpaku menatapnya yaitu para pengamen terus mengadu nasib dengan lampu merah. Sedangkan kami hanya bercanda dan ngobrol kecil bisa dibilang diskusi bisa dibilang cuma ngumpul bareng saja. Aktivitas keramaian jalan sebagaimana biasanya terkadang macet dan terkadang sibuk dengan bunyi klakson mobil dan motor yang melaju dengan kecepatan tinggi.
            Aku sambil memegang buku sebagai andalanku dalam suasana seperti ini. Terkadang aku baca, terkadang aku hanya membuka larikan-larikan dalam buku itu. Teman-temanku jarang menghiraukan aku, mereka asik sibuk menggoda setiap cewek yang lewat.
            ”Hai....cewek aku padamu.” Itulah seruan yang kerap sekali aku dengar. Mungkin bisa dikatakan perkataan basi. Aku tidak begitu betah disana.
            ”Don, Rif, Sul, semuanya ...Aku pulang dulu ya....?” aku pamit bermaksud menghindar dengan kerjaan monoton bagiku.
            ”Kemana Van..? Masih siang gini.” sebagian temanku menahan kepergianku. Takku kabulkan permintaannya. Aku langsung pulang dengan nada standar. Sambil berjalan aku terus pandangi sekitar jalan aspal. Banyak sekali cerita disana jika saja aku tulis mungkin sudah menjadi buku yang berjilid-jilid.
            Rumahku telah terlihat dengan pintu garasi berwarna kecoklat-coklatan. Aku langsung masuk kamar dan berganti baju seraya aku rebahkan badanku dengan buku ditangan yang kubaca sesaat, setelah itu aku tidur. Sore menjelang aku bangun dan mandi terus keluar menuju tempat pangkalan anak-anak sekeliling komplek perumahanku. Yaitu kursi didepan lorong, pernah kutiduri beberapa waktu lalu.
            Doni dan Febry yang telah duduk sambil menghisap rokok terlihat dari jauh. Aku datang dengan diam-diam bermaksud untuk mengejutkan.
            ”Hoi....Asik banget..?” mereka sepertinya tidak terkejut.
            ”Eh..Ivan.” Ujarnya sambil memandangku dengan tatapan tajam. Namun Doni yang langsung menyuruhku duduk. Tak lama kemudian ia membicarakan tentang seorang perempuan yang kemarin sore ia candain dan ia sepertinya naksir dengan perempuan itu. Tanpa aku tanya aku sudah tau dari cara ia membicarakannya penuh arti. Tetapi aku tidak begitu heran dengan sifat Doni yang tidak bisa melihat perempuan cantik sedikit. Kalau ada pasti ia langsung naksir begitu saja.
            ”Urusan diterima nggaknya urusan nanti yang penting kita ungkapin dulu.” kata-kata itu selalu muncul dari mulutnya. Tak seperti aku yang selalu menunggu dan menunggu bukan takut ditolak tetapi tidak berani untuk seperti itu. Sering kali Doni dan Febry meledekku tetapi aku tak ambil pusing aku jawab saja dengan singkatnya,
 ”Aku punya pendirian.”
            Kehidupan jalan telah diarungi Doni hampir dari ia beranjak dewasa. Aku sedikit heran dengannya padahal ia tergolong orang yang berpunya. Suatu pagi aku berangkat sekolah bareng dengannya. Ia banyak sekali cerita tentang perempuan itu padaku. Sedikitku olah sepertinya ia benar-benar suka dengan perempuan itu. Aku mulai cari tahu siapa namanya, sekolahnya dimana dan rumahnya jangan lupa. Namun aku sedikit pusing sebab aku tidak melihat dengan jelas kemarin itu.
            ”Don, orangnya seperti apa sih cantiknya..?” tanyaku dengan penasaran. Namun dia hanya senyum, sedikit membuatku penasaran.
            ”Don, kok gitu sih..” tekanku dengan nada memaksa.
            ”Pokoknya susah diungkapkan dengan kata-kata. Tapi, bukannya kemarin itu kamu ada...?” sembari ia kembali bertanya denganku.
            ”Aku seperti lupa-lupa ingat Don.” tanpa kami sadari telah sampai didepan pintu gerbang sekolah.
            Tak lama kemudian bell berbunyi pertanda belajar dimulai hari ini. Kamipun belajar dengan seriusnya, namun ada juga yang sedikit tidak serius sepertinya Lukman dan Yoyo yang terus asik ngobrolin entah apa.
****
            Bell berbunyi pertanda waktu pulang telah tiba. Kebisingan kelas terkeluar dari masing-masing mulut yang tadinya terikat dengan keseriusan belajar. Aku memasuk-masukkan buku didekat Doni. Ia mengajakku untuk keluar, aku hanya diam saja tanpa sepatahpun kata yang kuucap.
            Aku yang langsung pulang kerumah. Sebenarnya teman-temanku semua mengajak untuk kumpul-kumpul bareng dulu seperti biasa. Namun aku punya alasan yang membuat anak-anak itu mengerti.
            ”Aku mau pulang terus tidur ntar malem kita ngumpul sampai pagi oke..!” Ujarku dengan serius.
            ”Gitu dong... sampai pagi bener ya..?” tanpa kurespon anak-anak itu sudah merasa lega.
            Rumahku terlihat ramai tidak seperti biasa, maklum hari sabtu pasti pada kumpul sebab mereka pada libur. Aku masuk kerumah dengan ucapan selam. Mereka menjawabnya dengan sahutan yang bebarengan. Kamarlah tujuan utamaku. Aku langsung terbaring di kasur busa tempatku memperindah mimpi.
            ”Kok langsung tidur, nggak makan dulu..?” Ibuku datang ke kamar. Jawabku yang seakan-akan sangat ngantuk sekali.
            ”Udah makan tadi disekolah, aku mau tidur Bu. Aku capek banget.” sebagai alasan supaya tidak terus di ganggu. Keluar Ibuku dengan membawa pakaian kotorku untuk dicuci oleh penbantu. Tertidurlah aku pulas untuk modal nanti malam.
            Aku bangun tepat jam empat sore. Aku langsung menuju meja makan karena perut yang keroncongan. Setelah makan aku langsung mandi dan memakai baju yang bersih lagi wangi yang terkeluar dari persembunyiannya. Kupakai pula wewangian yang khas untuk badanku.
            ”Rapi banget mau kemana...? Ada pesta ya..?” Tanya Ibuku yang masuk kekamarku saat itu.
            ”Ia Bu..!” jawabku bohong biar aku bisa tidak pulang nanti malam. Aku keluar dari kamar bareng dengan Ibuku. Ayahku yang duduk manis didepan TV sambil membaca koran. Tak bertanya denganku sepatah katapun mungkin ia tak melihat aku yang sedang ganteng gini.
            Aku bermaksud pamit sambil meminta uang.
            ”Yah... Aku mau pergi acara. Mungkin nggak pulang ntar malem sekalian nginep di rumah temen.” Aku ngomong dengan lancarnya.
            “Ia ..jaga diri baik-baik.” nasehat Ayahku sedikit sekali biasanya banyak dan bertele-tele. Aku tidak pergi juga dari hadapan Ayahku, aku masih tetap berdiri disana.
            “Ada apa lagi...? Ujar Ayahku sambil memandangku sinis. Ibuku menyambung dengan sangat mengerti sekali.
            “Biasa Yah...Duit.” Ibuku sambil tersenyum. Aku sedikit malu-malu.
            “Oh...” Ayahku sambil menyabut dopet dikantong saku belakang.
”Nggak bawa mobil.....?” tanya Ayahku kembali. Teringat dengan kebiasaanku yang sering meminjam mobil setiap malam minggu.
”Enggak...Enggak..!” kujawab dengan senyuman sedikit.
”Biasanya mau minjem susah banget giliran nggak mau minjem di tawari.” mengerutu dalam hatiku sendiri. Aku salami Ayah dan Ibuku ketika mau melangkah dengan pasti.
Ketika sampai depan Doni, Febry dan teman-temanku yang lain telah menunggu untuk segera berangkat ketempat sasaran yaitu perempatan jalan menuju Jakarta. Disana adalah tempat sangat setrategis sekali untuk bisa bernyanyi dan berhura-hura dengan puasnya.
”Gila...Anak muda satu ini necis banget.” sambutan sore itu dari Febry. Aku yang langsung nimbrung dan mereka yang langsung mengajak brangkat sekarang.
”Kamu bener nggak akan pulang kerumah malem ini...?” tanya Agus yang telah mendengar cerita dari Doni pastinya. Aku menjawab dengan anggukan kepala disambung dengan alasan.
”Malam ini malam minggu berarti malam kebebasan. Ia kan..?” sambil tertawa geli aku mengatakan itu kepada teman-temanku. Doni yang mengangguk-anggukkan kepala seperti paham, padahal dia berjalan sambil main gitar entah dengar atau tidak.
Aku terus memandangi jalan yang macet hari itu. Maklumlah malam minggu, malam dimana tempat pelepasan asmara bagi kamu yang dilanda badai percintaan. Kami berjalan melewati berpuluh-puluh kendaraan yang tersusun rapi. Semakin bereaksi para pengguna kemacetan seperti tukang lap kaca mobil sampai pengemis dan pengamen yang terus berputar mencari koin kedamaian.
Kami disana telah duduk dan bernyanyi meski sekarang masih terlihat matahari seperti kuning telur. Teman-teman yang lain belum kumpul semua jadi kami sekarang masih menunggu undangan, seandainya ini acara yang seperti aku katakan dengan kedua Orangtuaku.
Malam mulai berangsur membawaku dengan semilirnya angin. Perhatianku terus ke jalan yang semakin panjang macetnya. Ada yang sedang apel. Ada yang baru pulang dari dari kerja dan lainnya. Kebisingan suara terus berkumandang dari suara kendaraan sampai suara gitar beserta teriakan nyanyian disampingku. Malampun terus mengguyur sampai akhirnya semua temanku hadir disana dengan ramainya sekitar 14 orang. Ada yang curhat, cerita dan berbagai bentuk kekalutan terserak di kursi depan Ruko-ruko mewah. Mereka saling bertanya mengapa tidak apel malam mingguan ...? namun jawaban merekapun beragam dan dengan argumen yang terkadang masuk akal terkadang hanya masuk tong sampah.
Bergelut dengan malam memang sangat mengasikkan sekali. Apa lagi di tambah dengan banyak teman seperti saat ini. Canda ria bertepuk tangan mengiringi dentingan gitar. Suara sahdu dan teriakan keras mulai terkeluar setelah jalanan tampak sedikit sepi dengan semakin jarangnya penggunanya lewat.
Samar-samar terdengar serine Polisi yang sedang berkeliling namun teman-temanku dan aku tidak menghiraukan sama sekali. Dengan perkiraan lagi menggiring anak bawahannya sedang latihan. Namun suara itu semakin mendekat dengan lokasi kami. Semakin kencang kami bernyanyi.
Mobil polisi itu membawa pasukan yang lumayan banyak untuk oprasi penertiban. Mereka langsung berhenti pas dihadapan tempat kami berkumpul. Seraya kami terbengong sejenak. Turunlah pasukan semuanya dan berteriak.
”Jangan bergerak atau kami tembak...!” mendengar suara itu kami semua berhamburan bukan diam. Aku yang terpontang panting lari, entah kemana sendalku tercecer aku seperti orang sedang kesurupan. Temanku lari tanpa arah seperti aku juga. Polisi itu mengejar kami semua dengan suara tembakan.
”Doorrr...” aku pikir temankulah yang mati saat mendengar suara letusan pistol itu. Aku merasa nyawaku juga sangat terancam. Terus aku berlari dengan kencangnya tanpa kumenoleh kebelakang, namun tiada satupun temanku yang mengikuti jejak lariku.
Tolehku kebelakang. Terlihat polisi mengejarku sambil membawa kayu pemukul, terasa lega sedikit hatiku melihat yang ia acungkan padaku bukan sebuah pistol. Kulihat didepanku ada sebuah got yang muat untuk ukuranku aku langsung jejalkan badanku kedalamnya meski entah bau apa yang tercampur. Tanpa berpikir lagi aku masuk kesana.
Doni, Agus, Febry, Yoyo dan tiga temanku yang lainnya tertangkap dan digiring ke Pos Polisi yang tidak jauh dari sana. Aku masih didalam got itu dan di atasku terlihat seorang Polisi yang tadi mengejarku masih bilak-balik mencari jejakku yang telah hilang.
”Dag...Dig...Dug..”suara jantungku memompa dan nafasku yang tak beraturan mengusungku kepada getaran seluruh tubuh karena ketakutan. Teman-temanku yang lain entah kemana saja mereka jejaknya hanya ke bingunganlah yang ada dalam seluruh aliran tubuh dari darah sampai jalannya otak.
Terdengar suara serine mobil Polisi itu meninggalkan tempat itu dengan membawa temanku. Sedikit demi sedikit aku keluarkan kepalaku dari tempat jorok itu. Naik aku kejalan dan mencari tempat yang sedikit terang untuk melihat bagaimana keadaan tubuhku saat sekarang ini. Aku berjalan dengan lemas tak berdaya hanya berfikiran seandainya aku tertangkap aku bagaimana...? itu terus yang ku ingat. Tetapi selintas kurasakan penderitaan temanku yang sekarang dalam dekapan  satuan pengaman itu.
Terlihat bermunculan lagi teman-temanku yang tidak terditeksi. Mereka semua berperasaan dan bertubuh lemah seperti aku. Mereka saling bertanya antar temanku yang lain siapa saja yang terangkut. Aku menundukkan kepala sedih. Sepertinya mereka juga sama denganku yang memelaskan dengan teman-teman yang lain. Gitar kami juga diboyong sebagai barang bukti.
Kembali kami berfikir untuk menyelamatkan mereka yang tertangkap. Tapi kami tidak habis fikir bagaimana caranya. Kalau kami kesana, itu sama halnya dengan masuk kandang harimau. Beribu argumen telah terkumpul tetapi tak juga bisa dilaksanakan.
Mereka yang tertangkap sedang di siksa dan di introgasi dengan pertanyaan yang terus membunuh nurani. Doni yang terkenal pembangkang terus dipukul karena sifatnya yang tak takut dengan siapapun dan dengan Polisipun terus ia membantah dan membangkang dengan apa yang terlontar sebagai tuduhan padanya.
Aku terus berputar-putar mencari sendalku yang terlepas tadi. Begitu pula yang senasib denganku. Setelah tersorot cahaya terlihat tanganku berlumur darah begitu pula celana dan dan bajuku, berbaur dengan bebauan Got. Sejenak aku berfikir lagi tentang bagaimana mereka yang di kantor Polisi sekarang.
Kokok ayampun mulai berkumandang dengan bersahut-sahutan pertanda pagi terjelang. Kami terus menunggu mereka yang terangkut. Merenung kembali aku dengan sedih teringat sosok Doni begitu berambisi untuk bisa mengajakku bergadang dijalan malam ini.
Jam lima sekarang ini. Kendaraan mulai bermunculan kembali dari berbagai arah. Ada yang menuju pintu Tol ada yang baru keluar Tol. Dengan kebutnya mereka menyetir. Kami semua terlihat kecapean berbaring diteras-teras tanpa alas sedikitpun,  padahal kalau dirumah sebegitu enak dengan selimut tebal dan alas yang empuk pula. Sedangkan sekarang berselimut dengan angin yang sejuk dan beralas kramik yang dingin dan bau keringat yang tercucur deras ulah Pak Polisi.
Terlihat tujuh sosok pria yang berjalan beriringan menuju arah kami. Kami kembali berdiri karena sedikit waspada kalau saja sang aparat itu kembali ingin menciduk kami. Hanya sedikit sorot bayangan yang tak memberi kejelasan pada kami.
”Hoi...Jangan lari tetap diam di tempat.” Suara itu terdengar dari arah itu. Kami kembali teriak.
”Lari....!” seraya kami melangkahkan kaki dengan cepatnya cemas sibuk dan seperti anjing yang sedang dikejar harimau. Tertawa mereka tidak mengejar sedangkan kami tetap dengan langkah jitu untuk lolos dari cengkrama.
Setelah terlihat ditempat terang rupanya mereka Doni, Agus, Febry, Yoyo, Anton, Riko dan Jon. Mereka cekikikan tertawa melihat kami sebegitu trauma dengan kejadian tadi. Kami sangat kesal sekali karna jantung detaknya hampir terputus dan paru-paru yang hampir tak kuasa lagi mencari oksigen.
Kembali kami semua disana dengan sedikit gembira karna mereka telah kembali. Dilain sisi, kembalinya mereka membuat kami sedikit kesal sebab telah membuat kami buyar konsentrasi.
Disana kami bernostalgia dengan kisah seru seperti film Hollywood. Terlihat memar  di pipi Doni, dan Agus siraja bangkang. Yang lainnya hanya diberi peringatan bahwa perbuatannya itu mengganggu istirahat warga. Sungging, tawa dan ceria kembali seperti semula apa lagi setelah mendengar ceritaku yang masuk ke Got dan sendal ku yang hilang mereka tertawa terbahak-bahak. Meski gitar kami diambil tetapi bagi Doni yang punya gitar itu sama sekali tidak masalah.
”Untuk kenang-kenangan supaya di kantor Polisi tidak selalu serius dan sangar. Rileks dikit ngapa..” ceplos Doni dengan logat candanya yang santai tanpa ketawa. Kami yang tertawa malahan.
Aku sedikit bingung pulang nanti memberikan alasan dengan Orangtuaku  melihat badanku yang banyak luka dan bajuku yang kotor pasti mereka akan introgasi aku dan pasti nantinya aku akan ketahuan. Begitu pula Doni yang terkenal anak kesayangan dan anak simatawayang.
*****
            Sekarang sekitar jam setengah enam pagi. Jalan mulai ramai kembali dari yang jalan kaki sambil menghirup udara segar sampai yang sibuk menyetir. Sungguh tidak aneh bila pagi minggu begini ramai. Semua orang yang melintas jalan itu melihat kami, meski terkadang cuma melirik dan berpaling sekejap.
  Kami semua beranjak pulang kerumah masing-masing dengan arah yang berlainan kecuali Doni, Agus dan aku sendiri yang searah dan satu komplek. Aku berjalan dengan merasaka sedikit pegal pada persendian lutut dan paha. Tangan dan siku mulai terasa perih-perih. Doni pun mulai buka mulut tentang rasa sakit di pipi dan tulang-tulang yang juga sengal. Kutatap benar-benar aspal jalan yang terlihat meledekku.
Sesampainya dirumah telah terbuka lebar pintu gerbang dan garasi. Aku dengan mindik-mindik memasuki rumah.
”Dek...Mengapa kamu...? dan badankamu yang berlumpur gitu...?” tanya Bibi, pembantuku. Langsung ku tarik tanganku dan ku acungkan jari kemulutku sendiri.
”Syuuuuuut...., jangan bilang-bilang ma siapapun diem aja.” ujarku menekannya supaya tutup mulut.
”Ia...Ia...” Bibi itu menjawab dengan memegang sapu di tangan kanannya.
”Ibu sama Ayah kemana..?” tanyaku kembali. Sambil ku berjalan menuju tangga.
”Bapak masih tidur kalau Ibu ada didapur membuat sarapan..” jawabnya dengan bisik-bisik pula seperti aku yang bertanya.
Aku masuk kamar dan mandi terus membersihkan luka-luka ditangan. Selesai mandi aku mengenakan baju lengan panjang berharap tak terlihat lukanya. Aku berbaring dengan rasa lemah sekali. Sambil aku berfikir yang tidak karuan. Baru kali ini aku dijalan dan mendapat suatu cerminan bahwa hidup dijalan adalah resiko terberat kehidupan. Berkerut keningku, tak pernah kubayangkan keadaan seperti itu sebelumnya. Yang ada hanya keasikan dan kebebasan tidak seperti yang dirumah sepertiku yang telah hilang kebebasannya. Terdiam sejenak dan aku pun tertidur sebagai balas dendam tadi malam.
*****
Jumat dini hari 04-mei-2007 / 03:32:31

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.