Saturday, December 1, 2012

Prinsip Yang Rapuh

"Kerapuhan" Foto: Mulyadi Saputra/objek: Nagrek Indonesia
Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)


Ponsel di tangan kananku terus bergonta-ganti menu aplikasi. Phone Book sampai Game. Tapi bukan mau menelpon atau mau menulis pesan singkat, melainkan ketidakadaan kerjaanku sore yang tak indah ini. Mau sms bingung yang akan kutuju siapa? Bukan karena tak punya pulsa. Mau iseng kepada perempuan rekan kerja di kantor, aku tak suka padanya dan dia juga sama sepertinya. Bisa dibanting ponselnya karena sangking kagetnya dan bakalan menjerit kencang, sampai satu RW datang mengunjungi.
            Masalahnya malam ini malam minggu. Aku tak punya jadwal bercinta dan bahkan sudah lama aku lupa kalau malam yang kulalui itu malam minggu. Telah kuubah menjadi sabtu malam dan malam senin, jadi tak kujumpai malam minggu dalam satu minggu. Padahal kepenatan kerja selama satu minggu seperti ini akan hilang bila punya pujaan hati untuk di ajak bercanda, bercerita, dan bahkan berdebat sekalipun gara-gara pesan menu makanan saat diner. Semua akan mengasikkan. Sering kali aku mendengar cerita dari teman-teman sekantor tentang asiknya melebur kepenatan dengan pacar, istri, anak, pokonya aku menjadi korban pendengar sejati setiap acara cerita itu telah dapat aba-aba “START”.
*
            Aku tak tahu kenapa aku menjadi seperti ini. Sering kali aku mendengar khutbah mengatakan – kita  harus koreksi diri –. Telah sering aku koreksi namun nihil hasilnya. Mungkin karena aku terlalu khusuk dengan kerjaanku? Mungkin karena aku terlalu egois? Mungkin aku terlalu acuh dengan perempuan? Mungkin…mungkin… dan kemungkinan yang banyak, buat aku akan sinting sekejap.
            Kata teman-teman, aku ini keberatan prinsip hidup. Padahal prinsipku sangat pendek “Kepercayaan hanya satu kali.” Kalau diterjemahkan: aku menaruh kepercayaan pada seseorang hanya satu kali. Cukup satu kali. Sebab bila seseorang telah berbohong terus dimaafkan, bagiku suatu dorongan buatnya untuk bohong kedua kali. Kita dianggapnya cemen. Dan aku merasa compatible dengan karekterku yang cepat percaya dan mudah emosi.
Dua tahun yang lalu aku punya seorang kekasih, dia teramat aku sayangi sampai-sampai aku putuskan hubungan itu. Apa aku salah? Setahun yang lalu aku suka dengan teman kawanku, belum aku ungkapkan perasaanku rupanya dia telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa lebih dulu. Apa aku salah? Sampai seminggu yang lalu aku kenal dengan seorang gadis bernama Delia, tanpa sebab aku langsung cinta padanya. Apa aku benar?
*
Kini usiaku telah tiga puluh tiga tahun lebih empat bulan setengah. Kerjaanku sudah mendukungku untuk berkeluarga. Rumah sudah punya. Namun calon pendampingku masih tabu. Harapanku hanya Delia, gadis cantik yang kukenal saat aku belanja di supermarket tempo hari. Dan malam ini aku tercenuk di sebuah resto tak lain hanya menunggunya. Aku telah buat janji kemarin.
Lama juga rupanya aku telah menunggu disini. Lapar perutku telah tak tertahankan dan akhirnya makan sendirian. Delia belum datang juga. Beberapa kali kutelepon tak diangkat, smspun tak dibalas. Delia memang jarang membalas sms dan mengangkat telpon, kecuali dia benar-benar tak sibuk. Aku makin jenuh menunggunya.
Jam telah beberapa kali memutari lingkaran. Dan kini jarum pendek telah diantara angka sembilan dan sepuluh. Artinya dia tidak bakalan datang. Aku pun beringsut akan meninggalkan tempat ini. Telpon yang tergenggam di tangan akhirnya bergetar dan mengeluarkan suara. Sms dari Delia. Isinya permintaan maaf karena dia tak bisa datang dengan alasan ada urusan. Entah urusan apa. Aku kesal tak kepalang. Pulang.
*
Emosiku begitu melunjak hingga sangat-sangat kesal. Aku jelas takkan pernah percaya lagi padanya. Kerena aku beracu pada prinsip dan itu artinya harapanku mulai pudar. Tapi aku merasa tak boleh terus mengacu pada prinsip. Bisa jadi aku tak dapat jodoh nantinya, aku harus mengabaikan prinsip kali ini saja karena ini menyangkut banyak hal.
Kini Delia ingin minta maaf. Sudah berulang kali ia menelpon dan sms, tapi tak kuangkat dan tak kubalas.. Dalam tubuhku sekarang sedang bertempur hebat antara prinsip yang mengatakan jangan percaya lagi dengan orang yang telah menyakiti kita. Dengan akal yang memikirkan tentang masa depan, karena ini masalah yang menentukan hidupku. Sampai aku putuskan untuk mengikuti akal. Tapi tunggu dulu, ada sms masuk. Mulutku komat-kamit membaca sms itu,
“Aku tahu kamu marah banget denganku. Itu karena kamu menaruh hati denganku. Karena itu pula aku tak datang tadi malam itu. kalaupun aku datang, bakalan membuat kamu lebih marah. Aku telah bersuami. Tadinya takkan kukatakan, karena kuanggap tak perlu.”
Hatiku lunglai.
*
2008

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.