![]() |
"Kerapuhan" Foto: Mulyadi Saputra/objek: Nagrek Indonesia |
Ponsel di tangan
kananku terus bergonta-ganti menu aplikasi. Phone
Book sampai Game. Tapi bukan mau
menelpon atau mau menulis pesan singkat, melainkan ketidakadaan kerjaanku sore
yang tak indah ini. Mau sms bingung yang akan kutuju siapa? Bukan karena tak
punya pulsa. Mau iseng kepada perempuan rekan kerja di kantor, aku tak suka
padanya dan dia juga sama sepertinya. Bisa dibanting ponselnya karena sangking
kagetnya dan bakalan menjerit kencang, sampai satu RW datang mengunjungi.
Masalahnya
malam ini malam minggu. Aku tak punya jadwal bercinta dan bahkan sudah lama aku
lupa kalau malam yang kulalui itu malam minggu. Telah kuubah menjadi sabtu
malam dan malam senin, jadi tak kujumpai malam minggu dalam satu minggu.
Padahal kepenatan kerja selama satu minggu seperti ini akan hilang bila punya
pujaan hati untuk di ajak bercanda, bercerita, dan bahkan berdebat sekalipun
gara-gara pesan menu makanan saat diner.
Semua akan mengasikkan. Sering kali aku mendengar cerita dari teman-teman
sekantor tentang asiknya melebur kepenatan dengan pacar, istri, anak, pokonya
aku menjadi korban pendengar sejati setiap acara cerita itu telah dapat aba-aba
“START”.
Aku
tak tahu kenapa aku menjadi seperti ini. Sering kali aku mendengar khutbah
mengatakan – kita harus koreksi diri –. Telah sering aku
koreksi namun nihil hasilnya. Mungkin karena aku terlalu khusuk dengan
kerjaanku? Mungkin karena aku terlalu egois? Mungkin aku terlalu acuh dengan
perempuan? Mungkin…mungkin… dan kemungkinan yang banyak, buat aku akan sinting
sekejap.
Kata
teman-teman, aku ini keberatan prinsip hidup. Padahal prinsipku sangat pendek
“Kepercayaan hanya satu kali.” Kalau diterjemahkan: aku menaruh kepercayaan
pada seseorang hanya satu kali. Cukup satu kali. Sebab bila seseorang telah
berbohong terus dimaafkan, bagiku suatu dorongan buatnya untuk bohong kedua
kali. Kita dianggapnya cemen. Dan aku
merasa compatible
dengan karekterku yang cepat percaya dan mudah emosi.
Dua tahun yang
lalu aku punya seorang kekasih, dia teramat aku sayangi sampai-sampai aku
putuskan hubungan itu. Apa aku salah? Setahun yang lalu aku suka dengan teman
kawanku, belum aku ungkapkan perasaanku rupanya dia telah dipanggil oleh yang
Maha Kuasa lebih dulu. Apa aku salah? Sampai seminggu yang lalu aku kenal dengan
seorang gadis bernama Delia, tanpa sebab aku langsung cinta padanya. Apa aku
benar?
*
Kini usiaku
telah tiga puluh tiga tahun lebih empat bulan setengah. Kerjaanku sudah
mendukungku untuk berkeluarga. Rumah sudah punya. Namun calon pendampingku
masih tabu. Harapanku hanya Delia, gadis cantik yang kukenal saat aku belanja
di supermarket tempo hari. Dan malam
ini aku tercenuk di sebuah resto tak
lain hanya menunggunya. Aku telah buat janji kemarin.
Lama juga
rupanya aku telah menunggu disini. Lapar perutku telah tak tertahankan dan
akhirnya makan sendirian. Delia belum datang juga. Beberapa kali kutelepon tak
diangkat, smspun tak dibalas. Delia memang jarang membalas sms dan mengangkat
telpon, kecuali dia benar-benar tak sibuk. Aku makin jenuh menunggunya.
Jam telah
beberapa kali memutari lingkaran. Dan kini jarum pendek telah diantara angka
sembilan dan sepuluh. Artinya dia tidak bakalan datang. Aku pun beringsut akan
meninggalkan tempat ini. Telpon yang tergenggam di tangan akhirnya bergetar dan
mengeluarkan suara. Sms dari Delia. Isinya permintaan maaf karena dia tak bisa
datang dengan alasan ada urusan. Entah urusan apa. Aku kesal tak kepalang.
Pulang.
*
Emosiku begitu
melunjak hingga sangat-sangat kesal. Aku jelas takkan pernah percaya lagi
padanya. Kerena aku beracu pada prinsip dan itu artinya harapanku mulai pudar.
Tapi aku merasa tak boleh terus mengacu pada prinsip. Bisa jadi aku tak dapat
jodoh nantinya, aku harus mengabaikan prinsip kali ini saja karena ini
menyangkut banyak hal.
Kini Delia ingin
minta maaf. Sudah berulang kali ia menelpon dan sms, tapi tak kuangkat dan tak
kubalas.. Dalam tubuhku sekarang sedang bertempur hebat antara prinsip yang
mengatakan jangan percaya lagi dengan orang yang telah menyakiti kita. Dengan
akal yang memikirkan tentang masa depan, karena ini masalah yang menentukan
hidupku. Sampai aku putuskan untuk mengikuti akal. Tapi tunggu dulu, ada sms
masuk. Mulutku komat-kamit membaca sms itu,
“Aku tahu kamu
marah banget denganku. Itu karena kamu menaruh hati denganku. Karena itu pula
aku tak datang tadi malam itu. kalaupun aku datang, bakalan membuat kamu lebih
marah. Aku telah bersuami. Tadinya takkan kukatakan, karena kuanggap tak
perlu.”
Hatiku lunglai.
*
2008
No comments:
Post a Comment