Saat Udin ingin pergi merantau ke
Jakarta Ibunya membekali pesan yang akan jadi tumpuan hidup di kampung orang
baginya. Ucapan itu yang terdengar
di telinganya pagi itu.
“Din…hati-hati di sana. Raihlah cita-citamu.
Jadilah orang yang berguna.” Ia bersalaman dan mencium tangan Ibunya. Sunarti
sangat sedih sekali karena Udin adalah anak simata wayang. Ibunya berbisik
sedikit terputus dengan isakan tangis kecil yang tak kuat lagi ia tahan.
“
Oh…Tuhan berilah anakku keselamatan, jadikan ia orang yang berguna nantinya,
kabulkanlah apa yang tersirat di benaknya.” Saat itu sang Ibu meneteskan air mata dan mengenai
kepala Udin.
Sang
Ibu terus melihat kepergian anaknya sampai termakan oleh tebalnya
embun pada
pagi itu. Setelah kepergian Udin, sang Ibu selalu sedih dan menangis teringat
anak tercinta dan nasibnya di kampung orang. Begitu pula Udin selama di
perjalanan ia juga selalu menangis dan merasa bayangan ibunyalah yang duduk di
depan kursinya.
***
Setahun
lamanya Udin pergi dari kampung halamannya. Sang Ibu terus menanti kabar
anaknya tercinta itu. Tapi sepertinya Udin tak pernah ingat lagi akan keadaan
Ibunya. Dalam pikiran sang Ibu.
“Mungkin
Udin telah hidup mewah atau ia tak ada uang lagi yang sisa untuk kirim surat.”
Sangat bermacam-macam sekali perasangka yang ada dalam benak sang Ibu yang
sangat merindukan anak tersayangnya. Seperti yang Al-Jahizh katakan rindu adalah konsekuensi dari cinta yang
berlebihan. Tak mengerti juga
sepertinya sang Ibu dengan pendapat tokoh itu. Karena ia tidak pernah baca buku
dan bahkan ia tidak bisa baca tulis latin melainkan Arab Melayu.
Gunjingan warga kampung mulai terdengar karena
melihat Sunarti semakin kurus dan semakin terlihat tua, bertambah pula bebannya
dengan gunjingan-gunjingan yang tidak nyaman di telinga. Sunarti selalu
tampakkan ketegaran bila ia bersama warga kampung, uutuk memperlihatkan
bahwasanya ia tidak sedih dan selalu gembira. Tetapi warga kampung tak bisa
dibohongi mereka terus menyerbarkannya sampai ke telinga Sunarti.
“Makanya
kalau punya anak jangan di suruh kerja jauh-jauh.” Tambah warga kampung yang
lainnya.
“Kalau
sudah jauh, apa lagi dia sekarang sudah enak enggak bakalan lagi dia ingat sama
Ibunya.” Tambahan-tambahan seperti pupuk yang membuat semakin berfariasinya gunjingan
itu.
“Apa
lagi sama orang di kampung, sedangkan dengan Ibunya saja tidak ingat...” Ia
semakin sakit hati dan tertekan dengan perkataan-perkataan itu dan Sunarti juga
terkadang sempat berfikir.
“Apakah yang dikatakan orang kampung itu benar...?”
Kebimbangan Sunarti hanya terjawab bila anaknya pulang.
“Kapan
Udin akan pulang...?” Pertanyaan yang selalu muncul difikirannya sebagai sosok Ibu yang terkena Virus
kerinduan.
***
Lima
tahun kemudian. Sunarti terus menanti tanpa ada rasa bosan sedikitpun, meski
tanpa ada sedikitpun burung yang membawa kabar tentang Udin. Sungguh sangat
malang sekali nasib sang Ibu itu yang merindukan seseorang tanpa balas
sepertinya. Ia terus berdoa untuk keselamatan anaknya.
“Tuhan
lindungi anakku jauhkan dari segala dosa-dosa, berikan kesehatan dan ketegaran
supaya ia sukses.” Dengan penuh keikhlasan ia mendoakan anaknya.
Udin
sebenarnya juga selalu ingat akan ibunya tetapi, apa mau dikata keadaan yang
sebegitu rumit dan sebegitu susahnya hidup di kota metropolitan. Untuk makan sehari-hari saja ia sangat
sulit apalagi harus mengirim surat atau pulang kampung. Berbagai pekerjaan ia
coba dari pengamen, buruh, kuli bangunan sampai calo terminal, dan sekarang ia
kerja di sebuah perusahaan. Ia sangat syukur sekali dengan pekerjaan yang
sekarang ia jalani meski sebenarnya ia seorang bawahan.
Udin
mulai mempunyai keinginan untuk kirim surat dengan ibunya karna ia juga sangat
merindukan Ibunya. Malam itu pula ia membuat surat, setelah selesai ia
memasukkan ke amplop. Ia pun mencari alamat yang pernah ia catat sebelum ia
berangkat dulu. Ternyata tidak ketemu alamat itu sampai akhirnya ia bongkar
semuanya dokumen-dokumen yang ada, tetapi tak ada hasil juga. Ia berkata
sendiri pada saat kebingungan.
“Apa
alamat itu tercecer saat aku masih tak punya rumah dulu ya..?” kebingungan Udin
membawanya tidak tidur semalam penuh. Tak juga alamat itu ia temukan. Hanya
mendapat hasil ngantuk pada saat jam kerja dan ia pun mendapat omelan dari
atasannya.
***
Beberapa
bulan kemudian ia naik pangkat alias naik jabatan, beribu syukur selalu ia
panjatkan karena ia memang sangat sadar kalau itu adalah sebagian dari kasih
sayang Tuhan kepada hambanya. Merangkaknya jabatan Udin tak lagi lambat tetapi
meluncur seperti roket karena tidak lama dari itu ia naik pangkat lagi.
Ia
berpikiran, kalau ia merasa tidak sempurna jika selalu sendirian dan ia pun
merasa kalu begini terus siapa yang memperhatikan dia. Udin ingin menikah
dikampung jika sang Ibu merestui mereka berdua. Ibunya dulu pernah berkata,
“Din...jika
kau menikah Ibu Ingin sekali yang mendampingi dan kau mencari istri yang baik,
terus bisa mengerti kamu dan Ibu.” Ia juga pernah berjanji pada dirinya sendiri.
“Aku
tak kan menikah dengan seseorang yang tidak di restui oleh ibu.” Ia pun selalu
ingat perkataan itu, yang baginya sang ibu adalah seorang yang sanggup menjadi
dewan juri dalam hidupnya.
Malam itu ia memimpikan seorang Ibu yang
merindukan anaknya sampai menangis-nangis. Udin pun langsung terjaga, sesaat
dia langsung berfikir bahwasanya Ibunya sangat merindukan dia seperti seorang
Ibu yang didalam mimpinya itu dan ia langsung mencuci muka (wudlu) dan
melaksanakan solat tahajjud dan
disertai birrulwalidain. Di teruskan
doa untuk kehidupannya dan Ibunya.
Calon
istri Udin itu bernama Amelia yang sebenarnya takut untuk bertemu dengan calon
martuanya karna Udin telah banyak cerita tentang dia dan ibunya. Sampailah waktunya Udin pulang kampung
sesuai yang Ibunya harapkan. Bersamaan dengan itu pula Sunarti sakit keras dan
selalu menyebut-nyebut nama Udin sampai-sampai orang di kampung itu semua
bingung, mereka ingin menghubungi Udin, tetapi mereka semua tidak tahu dia ada
dimana dan harus menghubungi siapa juga tidak ada yang mengetahui keberadaan
Udin.
“Memang Udin telah lupa dengan Ibunya.”
Seorang warga pun menjawab dengan remehnya.
“Biasa...!”
Tambahnya dengan hati yang kesal.
“Kalau
orang sudah enak itu pasti lupa seperti kata pepatah itu.....Kacang lupa dengan
kulitnya....Ha..ha..ha...” Perkataan
itu keluar dari mulut warga karena mereka sangat kecewa sekali dengan Udin.
Mereka adalah warga kampung yang menunggu saat Sunarti sakit.
Dalam perjalanan Udin sangat gelisah dan ingin
sekali cepat-cepat sampai kekampung. Ia merasa perjalanan itu sangat lambat sekali
seakan-akan pesawat yang ia tumpangi itu sebuah becak yang terhenti-henti dan
melewati jalan yang macet. Amelia terus menasehati Udin, melihat kekasihnya
begitu gelisah.
“Bang...yang
sabar, tenanglah, Ibu pasti tidak apa-apa kok, pasti semua akan baik-baik
saja.” Ia meyakinkannya dengan pelukan mesra dan sesekali ia menyandarkan
kepalanya di bahu Udin sambil mengelus-ngelus punggung kekasihnya. Namun
kegelisahan dan kecemasan Udin seperti tidak terobati dengan pelukan dan elusan
Amelia, Udin selalu bertanya-tanya dalam hati.
“Bagaimana
keadaan Ibuku...?”
***
Sesampainya
dirumah Ibunya ia langsung teriak,
“Ibu.....!Maafin Udin Bu...!”.Ibunya juga
menjawab dengan sedikit terbata-bata.
“Udin....Ibu sangat rindu sama kamu...!” Mereka
berdua menangis dan ibunya seakan-akan langsung sehat setelah bertemu dengan
anak kesayangannya. Semua warga yang menunggu heran dan calon istri Udin pun
hanya terdiam dan terpaku menatap kedua insan yang sedang berpelukan itu.
Udin dan Ibunya terus ngobrol sebagai pelepas
rindunya. Dia pun tidak begitu memperdulikan Amelia. Ia semakin terpojok. Ia
serasa menjadi orang yang sangat asing diantara Ibu dan calon suaminya. Malam itu dia duduk sendiri di depan rumah
calon martuanya.
“Apa
sebenarnya Ibu itu tidak suka denganku.” Fikirnya selintas dengan sedikit kegelisahan dalam jiwa.
“Abang
sepertinya sudah tak sayang lagi denganku. Kalau dia sayang pasti dia temanin
aku sekarang ini.” Gumamnya dalam hati seperti akan menangis alias ngondok-ngondok. Rindu dengan Jakarta
juga seperti umpan kemelud dalam jiwa Amelia.
“Mendingan
aku pulang ke Jakarta. Atau ...” Seiring tetesan airmata pertama jatuh dari
mata yang sayu dan mengalir di pipinya yang lebut seperti tisu. Bintang
bertaburan seakan ikut merasakan kesedihan yang dialami sang gadis malang itu.
Datang
Udin mengagetkan dengan memukul bahu sang kekasih tercintanya.
“Hai....melamun aja. Nggak kerasan ya....?
Apa nggak enak tempatnya..?” Tanya udin sambil tersenyum dan terus memegang
bahu Amelia yang duduk di depan teras. Amelia sama sekali tidak membuka
mulutnya hanya ia menggelengkan kepala bermaksud menjawab pertanyaan yang super
basi baginya.
“Kok
keluar..? Bukannya...” potong Udin yang sepertinya ia tahu kalau perkataan itu
akan sedikit menyinggung.
“Abang
hanya ingin menyuruh kamu masuk. Soalnya udara malam tidak begitu bagus. Ntar masuk angin lagi kan berabe
jadinya.” Nasehat Udin sepertinya dituruti olehnnya dengan gerakan kaki yang
melangkah menuju pintu masuk. Tapi sedikit kesal yang menyelimuti hatinya.
Namun
ego Amelia selalu muncul, hanya dia
yang ingin dimengerti dan ingin diperhatikan oleh Udin. Akhirnya Amelia tertidur dengan pikiran yang kalut dan
sedikit ada rasa kekesalan.
***
Subuh-subuh
Amelia bangun yang melebihi paginya dari
Udin dan Ibunya. Tetapi ia tidak keluar dari kamarnya. Dia hanya berfikir untuk
pulang ke Jakarta karena ia berfirasat bahwasanya Ia di tolak secara halus oleh
Keluarga Udin.dan sebenarnya ia sangat tidak kerasan hidup di kampung yang
kumuh pokkoknya ....! Terlihat Amelia
keluar sambil membawa koper alias tas.
“Mau
kemana ..? tanya sang Ibu kepadanya. Ameliah seperti gugup mendengar pertanyaan
itu.
“Sa...Saya
mau Pulang keJakarta.” Jawabnya tetapi Udin yang langsung menumbur
perkataannya.
“Mau
pulang...?’ Bukannya kita berangkat kesini bersama maka pulangnya bersama,
dong” Tekannya supaya Amelia tidak memaksakan diri. Berdiri Udin sambil
mendekatinya dan menarik tangannya masuk kedalam kamar lagi. Setelah didalam ia
berbicara panjang lebar dan Sari pun mengutarakan yang ada dalam hatinya. Sari
tidak jadi pulang.
Setelah
Ibu sembuh Amelia pun memaksakan diri untuk pulang meski harus bertengkar
telebih dulu dengan Udin. Tetapi akhirnya Udin pun mengizinkannya untuk pulang.
Setelah sembuh Udin mencoba mengajak Ibunya ikut ke Jakarta bersamanya.
“Pokoknya
Ibu tetap tidak mau tinggal di Jakarta. Ibu tidak bisa pindah dan meninggalkan
kampung ini.” Ibunya terus bertahan dengan perkataannya yang membuatnya sangat
bingun dan setres sekali. Udin sangat mencintai Amelia dan pekerjaannya namun
ia juga sangat mencintai Ibunya dan ia merasa telah banyak membuat dosa dengan
Ibunya pada saat ia pergi sangat lama sekali.
Saat-saat sekarang ini Udin pun semakin
setres dan semakin bingung. Dengan keadaannya seperi buah simalakama itu. Ia berangkat ke Jakarta Maka ia tidak tega dengan
Ibunya, bila ia terus bersama ibunya di kampung bagaimana dengan cintanya maka
ia tergolong orang yang mendustai perasaan sendiri, dan pekerjaannya juga
bagaimana. Sampai akhirnya ia berfikir
“Kalau saja aku sampai menyakiti Ibu
berarti aku durhaka dengannya dan jika ia tidak ada maka aku juga tiada.”
Dengan pemikirannya itu pula ia memutuskan kalau ia akan tetap di samping
Ibunya, meski harus kehilangan pekerjaan dan harus kehilangan cintanya. Ia juga
ingat bahwasanya jodoh itu Allah yang menetapkan dan rezeki itu ada dimana-mana
tetapi Ibuku tidakada dimana-mana hanya satu Ibuku.
Bandung, 2007-03-21
No comments:
Post a Comment