![]() |
ilustrasi dari my.opera.com |
Bagian 19
Pulau Bali
Keuntungan tak pernah ingkar. Siapa yang tidak
tahu dengan pulau Dewata, wisata dan budayanya yang mengasikkan. Pantai dan
tempat klasik ada di sana. Di dunia juga mengenal pulau itu. Indonesia sangat
bangga sekali punya wilayah itu. Sepertinya aset terbesar. Penduduknya yang
teguh dengan adat, sepertinya turis yang keluar masuk tak nampak merubah
mereka.
Ivan
mendapat job kesana. Awal keberuntungan berpihak padanya, tidak sedikit
teman-temanya yang mendambakan untuk bisa mendapat kesempatan kesana dengan
gratis. Baru beberapa tahun ia di Ijensi tawaran pembuatatan iklanpun didapat.
Ia mengiyakan tanpa berfikir panjang. Mungkin inilah tangga yang harus ia
lewati, mulai dari iklan dan kemudian beranjak naik terus. Gigih adalah
modalnya. Ia pernah mengatakan “Jika kita
sanggup berjuang dengan gigih maka keberuntungan pasti berpihak dan hasilnya
pasti memuaskan.”
Ia
berangkat menggunakan pesawat Garuda. Dengan krunya. Dari fotografer sampai
make up. Canda tawa riang diantara mereka setelah menginjakkan kaki di Bali.
Kemudian mereka naik taksi menuju hotel tempat mereka berteduh selama beberapa
hari. Padahal ia sedang sedang disibukkan dengan ujian semester kelima saat
ini. Baginya kesempatan seperti ini susah didapat. Ia tak mau menyanyiakan
kesempatan ini.
Malam
itu ia tidur dengan cepat karena esok ia akan syuting pagi-pagi sekali saat
matahari mulai menampakkan wajahnya. Pantai. Siapa yang tak tergiur dengan keindahan
kota Bali pada pagi hari.
Bang
Firman membangunkannya tengah malam. Ia mengetuk-ngetuk pitu kamarnya, ia
terbangun dengan tergesa-gesa, ia mengucek-ngucek matanya.
“Ada
apa Bang...?” suaranya pelan seperti ia tak mau diganggu.
“Udah
tidur Van...?” senyum Bang Firman sambil berjalan masuk kamarnya. “Udah, emang ada apa malam-malam begini
Bang....?” tanyanya kembali dengan nada menekan. Ia penasaran sekali.
“Nggak
ada, Abang nggak bisa tidur Van, kamu maukan temanin Abang.” Pintanya dengan
logat memaksa.
“Sori
Bang. Bukannya aku nggak mau. Tapi, besok kan
kita harus bangun pagi, kita Syuting Bang. Lagi pula aku capek banget, aku mau
istirahat.” Menolak dengan halus itulah cara Ivan. ia sangat ramah sekali.
Bang
Firman begitu memaksa ia tetap tak mau pergi dari kamar Ivan. entah apa maunya.
Ivan membiarkan saja, ia tidur. Tak menghiraukan, lalu Bang Firman
mengotak-ngatik laptopnya dan menyalakan winam dengan lagu-lagu mellow. Ivan
tertidur. Bang Firman masih asik dengan laptop, namun matanya melirik-lirik
ketubuh Ivan yang tergelimpang dengan piama warna putih dan bintang-bintang kecil
menjadi corak bahannya.
Bang
Firman merabahkan tubuhnya tepat disamping Ivan. ivan tak sadar sama sekali
ketika tangan Bang FIrman gerayapan di tubuhnya. Setelah merasa geli ia
terbangun kaget.
“Bang...Apa-apaan
sih. Brengsek...! keluar nggak...kalau nggak gua teriak biar semua orang
bangun.” Acam Ivan kesal melihat Lightingnya berbuat tak senonoh.
“Gua
ini cowok Bang. Gua bukan Homo atau Gay. Pokoknya kalau Abang gak keluar juga
Gua akan teriak sekencang-kencangnya supaya satpam datang.” Suaranya keras.
“Van,
kamu jangan salah sangka, gua nggak akan berbuat-apa-apa sama kamu.”
Terangkanya gemetar setelah tujuannya gagal.
“Pokoknya
keluar.” Tangan Ivan menunjuk kearah pintu dan kemudian ia mendorong badan yang
gendut itu.
“Brengsek...”
umpatnya sambil membanting pintu kencang. Ia kembali merabahkan badannya. Namun
kali ini ia emosi jadi, sangat susah dibawa tidur keadaan seperti itu.
****
Ivan
memakai baju adat Bali dengan salah satu model wanita asal Jakarta. Membawa
sebuah piring besar berisi sesajen. Itulah bayangan akting yang akan ia
perankan.
Alarm
Hpnya berbunyi untuk membangunkannya dari mimpi buruk yang menerpanya tadi
malam. Wajahnya kusut. Cemberut. Ia masih kesal dengan peristiwa tadi malam. Ia
mengambil handuk dan mandi. Setelah selesai ia mendengar suara panggilan dari
luar. “Itu pasti kru yang mengiraku belum
bangun” dalam hatinya mengira-ngira. Lalu ia membukakan pintu.
“Sudah
siap..? kalau sudah kita langsung berangkat.” Namun ia memendam keberengsekan
Bang Firman, tanpa menceritakan pada siapapun. Saat Syuting berjalan Ivan tidak
mandang wajah lighting sama sekali. Ia muak sekali sepertinya.
Syuting
selesai siang. Semua hasil aktingnya diacungi jempol oleh kameramen, sutradara
dan seluruh kru.
“Pagi
besok kita syuting lagi,” ujar kameramen memberi tahu Ivan. ia jalan- jalan
dengan Mbak Tiara dan Risa, model asal Jakarta itu. Dan salah satu diantara
mereka ada orang asli Bali, ia sebagai penunjuk arah. Ia telah di sediakan oleh
pihak Hotel meski honornya tetap dari pengunjung, tanpa masuk di administrasi.
Memori ponselnya sampai penuh untuk mengngambil
foto-foto indah. Baginya kota itu semuanya punya hak untuk di abadikan. Begitu
pula Risa tak bosan-bosanya memandangi alam yang penuh dengan kereativitas. “Pantes turis-turis itu betah disini.”
Hatinya berbisik-bisik.
Mereka
berempat pulang setelah malam menggoda. Angin laut yang begitu dingin menusuk
kekulit mereka. Kalau dituruti sampai pagi lagi juga belum puas untuk menikmati
alam Bali.
****
Selesai Syuting ia langsung pulang ke Bandung. Ia
tak mau pulang bareng. kru masih pulang besok. Mereka masih ingin jalan-jalan
dulu. Ia ingat yang ia tinggalkan adalah ujian semester bukan ujian biasa atau
sekedar kuis. Tiga hari ia tak mengikuti ujian.
Bang
Firman tak berani satu katapun memberi ucapan kepada Ivan. paling di maki-maki
Ivan. ia naik pesawat langsung ke Bandung. Tidak seperti berangkatnya kemarin,
harus lewat jakarta dahulu. Saat di Air port ia linglung sendirian
mondar-mandir tak jelas. Namun tanpa basa-basi ia langsung menuju ke pesawat.
Jam
lima sore ia telah sampai Bandung. Ia langsung pulang kerumah. Namun ia
menelpon Gugun untuk menanyakan ujian yang ia tinggal kemarin. Gugun juga tidak
tau menau tentang urusan itu, ia hanya memberi tahu mata kuliah yang diujikan
besok.
Sebelum
tidur ia teringat dengan Sari. Ia seperti merindukannya. Namun ia tersenyum
sendiri dan tak lama ia terlelap dengan kecapeannya. Memburu pada mimpi-mimpi
panjang. Seluruh badannya serasa tercabik-cabik. Seperti mimi saja antara
Bandung dan Bali.
Ibunya
masuk kekamar untuk mendengarkan cerita dari Ivan tentang Bali, namun ia telah
tertidur pulas. Ibunya menutup pintunya rapat-rapat. Ia juga tahu kalau anak
kesayangannya itu sedang kepenatan.
“Kak Ivan udah tidur...?” tanya adiknya kepada Ibu
yang barusan keluar dari kamar siganteng. Ibunya hanya mengangguk dan merangkul
pundak adiknya itu menuju kamar.
“Besok
kamu sekolah, cepat tidur.” Nasehat Ibu singkat.
“Tapi
Ibu, bilangin sama kak Ivan kalau aku besok diantar dia,” pintanya manja sambil
berjalan menuju kamar.
****
Syerli
menelpon Ivan untuk meminta oleh-oleh dari Bali. Namun malam itu tak aktif
Hpnya. “Ah...Besok aja....” Gumamnya sendiri. Lalu Syerli keluar dari kamar, ia
duduk sendiri di depan rumahnya. Berharap pujaan hatinya sedang memperlihatkannya.
Namun ia tunggu-tunggu tak juga kelihatan. Rumah Gugun begitu terang.
Jam
sepuluh telah menerpanya, ia masih melamun sendiri. Kemudian Ayahnya keluar.
“Eli.....entar
masuk angin lho....” Ayahnya memang memanggil dengan suara lembut dan bahasa
yang enak didengar. “Eli” itu panggilan Syerli yang sangat khas dari ayahnya.
Ibunya memanggil selayaknya orang lain “Syer”.
“Iya
Yah, sebentar lagi,” sahutnya pelan. Belum juga ia beranjak dari kursi itu.
Malam yang mencekam dengan hembusan angin
yang sejuk. Daun-daun menggigil, rumput-rumputpun meringkuk. Tikus, jangkrik
semua terdiam di sarangnya masing-masing. Langit yang kelabu, tanpa bintang,
tanpa bulan. Mendung tergopoh-gopoh menutupi langit. Mau hujan. Syerli berdiri
sejenak, terus masuk kerumah. Ibu sedang menunggunya.
“Ada masalah apa Syer..? cerita dong
...kalau ada apa-apa,” tatapan Ibu tercurah kasih sayang yang begitu dalam
untuknya.
“Nggak ada kok Bu...Cuma lagi pengen
sendirian aja,” ia terlalu menutupi semuanya. Ia takut itu akan menjadi beban
banyak orang. Sebenarnya itu kesalahan Syerli yang besar. Ia selalu tak mau
terus terang terhadap sesuatu permasalahan. Ia masuk dan duduk disamping Ibunya
sambil menyadar dan memeluk.
“Kalau ada masalah cirita dong sama Ibu, jangan
malu-malu. Anggap saja Ibu teman sebayamu, yang sering kamu ajak curhat,” dengan
penuh kasih sayang dan kelembutan, bicara dari hati-kehati memang sudah
kebiasaan para perempuan di dunia ini.
****
Ia
ingin pergi ke Jakarta hari ini. Setelah dua hari ia menunggu honor yang mau
dikirim lewat rekeningnya tak juga masuk. Ia sedikit kesal sebab teman-temannya
minta diteraktir. Ia menjawab apa adanya namun mereka tetap saja tak percaya.
Traktir temen, itu adalah kebiasaan Ivan saat mendapat honor besar.
Sebelum
berangkat ia menelpon Sari, berharap ia bisa ketemu dan menemaninya
jalan-jalan.
“Halo,
bisa bicara dengan Sari...?” bicaranya sopan.
“Iya,
saya sendiri. Ini dari siapa ya....?” suara yang khas telah terdengar di
telinganya.
“Ini
dari polda, kami mencari anda, sebagai terdakwa dalam kasus peredaran narkoba.”
Ucap Ivan serius barharap Sari akan terkejut.
“Iya
Pak Ivan saya akan kesana secepatnya...ha..ha..ha....” tawa Sari meledak-ledak.
Ia paham sekali suara Ivan dan candanya juga telah ia kuasai.
“Eh
...ketauan,” Ivan juga tertawa sejadi-jadinya. “Masih inget ma gua nih...” Ivan
menghentikan tawanya.
“Inget
dong....kan gue kangen banget ma elo Van,” Sari langsung terdiam sepertinya ia
kelepasan.
“Oke...tunggu
ya di sana. Kalau gua ke Jakarta hari ini, elo bisa temenin gua jalan-jalan
ga..?” suaranya sangat serius, Ivan masih mengatur siasat dalam pikirannya.
“Bisa
banget, beneran elo mau ke sini..?” jelaskan lagi Sari dengan gembira.
“Kalau
Nggak ada halangan,” sahut Ivan santai. “eh udah dulu ya... tunggu aja..? Nanti
setelah nyampek gua telpon lagi, oke...!”
“Oke...!”
jawab Sari begitu ceria. Sebelum mengakhiri hubungan lewat jaringan itu. Memang
sekarang jarak di seluruh dunia ini semakin dekat saja. Kapanpun kita bisa
menggunakan telpon untuk bisa ngobrol dengan saudara, teman, musuk sekalipun.
Kita patut menghargai penemunya yang telah begitu berjasa bagi pngguna dan
pencandu telpon.
****
Sari
begitu bahagia mendengar apa yang diucapkan Ivan tadi. Apa yang dulu ia takuti
ternyata hanya sebuah ilusi saja. Mereka putus baik-baik jadi ketika pertemuan
berpihak pada mereka, juga baik-baik. Tapi ada satu hal yang tak pernah bisa
dipungkiri olehnya adalah, cintanya begitu dalam sehingga ia sangat takut tak
dapat memilikinya lagi seperti dulu. Sampai sekarang saja cintanya terus
bersemayam dihatinya. Setelah Ivan meminta dia untuk menemaninya jalan-jalan,
hatinya serasa mendapatkan cintanya kembali. Perasaannya menjadi tak tentu
arah. Ia ingin Ivan mencintainya lagi.
Ia
sengaja tak masuk kuliah. Menunggu Ivan baginya lebih dari segalanya. Ia
terus-menerus menimang-nimang ponselnya. Ia sangat berharap sekali Ivan sesegra
mungkin berada dihadapannya, ia juga begitu mengumpulkan kata-kata untuk
menyambut kedatangan Ivan. kemudian ia SMS ke Ivan untuk menanyakan kedatangan
kendaraan yang ia tumpangi.
Ivan
menerima dengan senyum dan ia menjawab, dengan logat tak menghiraukan. Ia
mencoba mengalihkan pembicaraan dalam SMS itu, ia menanyakan cowok baru Sari,
Kuliah, sampai hubungan dalam keluarganya. Tetap saja Sari senang meski SMSnya
tak pernah dijawab nyambung.
Bandung
ke Jakarta. Memang terlihat sangat dekat. Tetangga kata banyak orang. Padahal
perjalanan kesana memerlukan waktu dua Jam setengah. Terkadang sampai Tiga jam
karena di Jakartanya macet tak karuan. Disana sulitnya berkendaraan darat.
Sari
buru-buru membuka pintu mobil dan mengeluarkan dari garasinya. Meluncur dengan
kencang menuju tempat yang diberitahukan Ivan tadi saat di telpon. Dijalan ia
tak konsentrasi dengan baik ia begitu merindukan lelaki idamannya itu.
Sedangkan Ivan duduk santai diruang tunggu. Disana banyak orang yang lalu
lalang dan ada juga yang duduk seperti menunggu penjemput sepertinya ada juga
yang sengaja bersantai untuk melepas lelah sambil minum air mineral.
Sari
lari tergopoh-gopoh menuju ruang tunggu. Namun ia menatap arah kiri ternyata
kosong. Hatinya mulai merasa kecewa. Ia menatap seblah kanan juga tak ada Ivan
di sana. “Apa Ivan membohongiku,” dalamhatinya
ragu. Ia berbalik arah dan menuju pintu keluar barang kali Ivan telah keluar.
Disana juga tidak ada.
Ponselnya
berdering, tak ia hiraukan setelah ia sadar ia angkat ternyata dari Dewi yang
menanyakan tugas. Ia kesal tak karuan ia menjawab pertanyaan Dewi.
Ivan
sengaja memperhatikan dari arah yang berlawanan. Ia hanya ingin tahu apa Sari
begitu menginginkan dia hadir. Kemudian ia berlari mendekati Sari dan memukul
bahunya dari belakang. Sari teriak histeris, lalu Sari memukul-mukul bapundak
Ivan dengan manja, ia merasa kalau telah dikerjain. Mereka bercanda selama
diperjalanan menuju tempat yang ditunjukkan Ivan. namun Sari menyinggahkan
mobilya di depan Restouran Jepang. Tanpa basi-basi mereka langsung memesan apa
yang menjadi kesukaan mereka berdua. Ivan menceritakan kalau dia baru pulang
dari Bali. Saripun terkagum-kagum, ia memberikan ucapan selamat dengan senyum
merekah dari bibir tipisnya.
Setelah
makan selesai merekapun langsung melanjutkan ketujuan semula kontor Ijensi.
Ivan masuk dengan sopan, disana ada Tata Rias dan kameramen, Bang Firman juga
ada duduk di samping pot bunga. Sari menggandeng tangan kiri Ivan erat. Semua
meledek dan sorak sorai menyambut kedatangan Ivan dan pasangannya yang serasi.
“Van,
yang baru nih...?” ucap seorang Mas Budi, kameramennya.
“Ivan
hnya mengacungkan jempul kirinya sambil mengelilingi salam kepada mereka semua.
Sari menguntutui dari belakang.
“Kapan
nikah Van,...?” Mas Budi sambil mengacungkan tangan untuk salaman.
“Tunggu
aja ...” Katanya pelan. Sari tertawa cenge-ngesan tak tentu. “Mudah-mudahan apa yang dikatakan Ivan itu
benar terjadi.” Doa Sari dalam hati.
Ivan
masuk keruangan administrasi untuk mengurus honornya. Dan Sari duduk diruang
tunggu bergabung dengan teman-teman Ivan tadi. Mereka menguhujamkan beribu
pertanyaan tentang hubungan mereka sampai aktivitasnya. Namun Sari enggan
mengaku seorang model dulunya karena ia telah lama sekali tak bergelut disana.
Ia hanya bilang kalau ia seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta
yang tidak terlalu terkenal. Ia mengambil jurusan ekonomi perbankan.
Tak
lama Ivan keluar dan mengajak Sari untuk pergi. Mereka berpamitan dengan
semuanya disana. Bang Firman tertunduk malu menatap Ivan, padahal Ivan biasa
saja dan mengulurkan tangan dengan santai dihadapan Bang Firman.
“Van,
gue undangannya,” ujar temanya yang lain waktu meledek. Semnyum simpul dari
bibir Sari sepertinya telah mewakili Ivan dan jawabannya semua.
“Elo
langsung ke Bandung lagi Van,” Mbak Risa keluar dari ruangannya.
“Eh..Mbak
Risa, nggak tau nanti, sekarang sih mau jalan-jalan dulu. Kalau lama di
Jakartanya mampir kerumah. Ivan mengangguk-anggukkan kepala pertanda setuju.
Mereka pun sejenak telah menghilang dari kantor yang sangat mengesalkan bagi
Ivan. “Benar-benar keterlalua, honor gua
di potong seenaknya. Ah ...Resiko. ” Dalam hatinya mengerutu sendiri. Dan
terkadang menentang.
Sari
tak mau banyak kata dia hanya sesekali menanyakan hubungan mereka kenapa harus
berakhir. Ivan tak mau menjawab dengan detil ia merasa banyak bersalah bila
ingat itu semua.
**BERSAMBUNG**
No comments:
Post a Comment