Thursday, April 11, 2013

Cerbung : Perempuan Setengah Hati 19

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
ilustrasi dari my.opera.com 

Bagian 19
Pulau Bali
            Keuntungan tak pernah ingkar. Siapa yang tidak tahu dengan pulau Dewata, wisata dan budayanya yang mengasikkan. Pantai dan tempat klasik ada di sana. Di dunia juga mengenal pulau itu. Indonesia sangat bangga sekali punya wilayah itu. Sepertinya aset terbesar. Penduduknya yang teguh dengan adat, sepertinya turis yang keluar masuk tak nampak merubah mereka.

            Ivan mendapat job kesana. Awal keberuntungan berpihak padanya, tidak sedikit teman-temanya yang mendambakan untuk bisa mendapat kesempatan kesana dengan gratis. Baru beberapa tahun ia di Ijensi tawaran pembuatatan iklanpun didapat. Ia mengiyakan tanpa berfikir panjang. Mungkin inilah tangga yang harus ia lewati, mulai dari iklan dan kemudian beranjak naik terus. Gigih adalah modalnya. Ia pernah mengatakan “Jika kita sanggup berjuang dengan gigih maka keberuntungan pasti berpihak dan hasilnya pasti memuaskan.”
            Ia berangkat menggunakan pesawat Garuda. Dengan krunya. Dari fotografer sampai make up. Canda tawa riang diantara mereka setelah menginjakkan kaki di Bali. Kemudian mereka naik taksi menuju hotel tempat mereka berteduh selama beberapa hari. Padahal ia sedang sedang disibukkan dengan ujian semester kelima saat ini. Baginya kesempatan seperti ini susah didapat. Ia tak mau menyanyiakan kesempatan ini.
            Malam itu ia tidur dengan cepat karena esok ia akan syuting pagi-pagi sekali saat matahari mulai menampakkan wajahnya. Pantai. Siapa yang tak tergiur dengan keindahan kota Bali pada pagi hari.
            Bang Firman membangunkannya tengah malam. Ia mengetuk-ngetuk pitu kamarnya, ia terbangun dengan tergesa-gesa, ia mengucek-ngucek matanya.
            “Ada apa Bang...?” suaranya pelan seperti ia tak mau diganggu.
            “Udah tidur Van...?” senyum Bang Firman sambil berjalan masuk kamarnya.          “Udah, emang ada apa malam-malam begini Bang....?” tanyanya kembali dengan nada menekan. Ia penasaran sekali.
            “Nggak ada, Abang nggak bisa tidur Van, kamu maukan temanin Abang.” Pintanya dengan logat memaksa.
            “Sori Bang. Bukannya aku nggak mau. Tapi, besok kan kita harus bangun pagi, kita Syuting Bang. Lagi pula aku capek banget, aku mau istirahat.” Menolak dengan halus itulah cara Ivan. ia sangat ramah sekali.
            Bang Firman begitu memaksa ia tetap tak mau pergi dari kamar Ivan. entah apa maunya. Ivan membiarkan saja, ia tidur. Tak menghiraukan, lalu Bang Firman mengotak-ngatik laptopnya dan menyalakan winam dengan lagu-lagu mellow. Ivan tertidur. Bang Firman masih asik dengan laptop, namun matanya melirik-lirik ketubuh Ivan yang tergelimpang dengan piama warna putih dan bintang-bintang kecil menjadi corak bahannya.
            Bang Firman merabahkan tubuhnya tepat disamping Ivan. ivan tak sadar sama sekali ketika tangan Bang FIrman gerayapan di tubuhnya. Setelah merasa geli ia terbangun kaget.
            “Bang...Apa-apaan sih. Brengsek...! keluar nggak...kalau nggak gua teriak biar semua orang bangun.” Acam Ivan kesal melihat Lightingnya berbuat tak senonoh.
            “Gua ini cowok Bang. Gua bukan Homo atau Gay. Pokoknya kalau Abang gak keluar juga Gua akan teriak sekencang-kencangnya supaya satpam datang.” Suaranya keras.
            “Van, kamu jangan salah sangka, gua nggak akan berbuat-apa-apa sama kamu.” Terangkanya gemetar setelah tujuannya gagal.
            “Pokoknya keluar.” Tangan Ivan menunjuk kearah pintu dan kemudian ia mendorong badan yang gendut itu.
            “Brengsek...” umpatnya sambil membanting pintu kencang. Ia kembali merabahkan badannya. Namun kali ini ia emosi jadi, sangat susah dibawa tidur keadaan seperti itu.
****
            Ivan memakai baju adat Bali dengan salah satu model wanita asal Jakarta. Membawa sebuah piring besar berisi sesajen. Itulah bayangan akting yang akan ia perankan.
            Alarm Hpnya berbunyi untuk membangunkannya dari mimpi buruk yang menerpanya tadi malam. Wajahnya kusut. Cemberut. Ia masih kesal dengan peristiwa tadi malam. Ia mengambil handuk dan mandi. Setelah selesai ia mendengar suara panggilan dari luar. “Itu pasti kru yang mengiraku belum bangun” dalam hatinya mengira-ngira. Lalu ia membukakan pintu.
            “Sudah siap..? kalau sudah kita langsung berangkat.” Namun ia memendam keberengsekan Bang Firman, tanpa menceritakan pada siapapun. Saat Syuting berjalan Ivan tidak mandang wajah lighting sama sekali. Ia muak sekali sepertinya.
            Syuting selesai siang. Semua hasil aktingnya diacungi jempol oleh kameramen, sutradara dan seluruh kru.
            “Pagi besok kita syuting lagi,” ujar kameramen memberi tahu Ivan. ia jalan- jalan dengan Mbak Tiara dan Risa, model asal Jakarta itu. Dan salah satu diantara mereka ada orang asli Bali, ia sebagai penunjuk arah. Ia telah di sediakan oleh pihak Hotel meski honornya tetap dari pengunjung, tanpa masuk di administrasi.
            Memori ponselnya sampai penuh untuk mengngambil foto-foto indah. Baginya kota itu semuanya punya hak untuk di abadikan. Begitu pula Risa tak bosan-bosanya memandangi alam yang penuh dengan kereativitas. “Pantes turis-turis itu betah disini.” Hatinya berbisik-bisik.
            Mereka berempat pulang setelah malam menggoda. Angin laut yang begitu dingin menusuk kekulit mereka. Kalau dituruti sampai pagi lagi juga belum puas untuk menikmati alam Bali.
****
            Selesai Syuting ia langsung pulang ke Bandung. Ia tak mau pulang bareng. kru masih pulang besok. Mereka masih ingin jalan-jalan dulu. Ia ingat yang ia tinggalkan adalah ujian semester bukan ujian biasa atau sekedar kuis. Tiga hari ia tak mengikuti ujian.
            Bang Firman tak berani satu katapun memberi ucapan kepada Ivan. paling di maki-maki Ivan. ia naik pesawat langsung ke Bandung. Tidak seperti berangkatnya kemarin, harus lewat jakarta dahulu. Saat di Air port ia linglung sendirian mondar-mandir tak jelas. Namun tanpa basa-basi ia langsung menuju ke pesawat.
            Jam lima sore ia telah sampai Bandung. Ia langsung pulang kerumah. Namun ia menelpon Gugun untuk menanyakan ujian yang ia tinggal kemarin. Gugun juga tidak tau menau tentang urusan itu, ia hanya memberi tahu mata kuliah yang diujikan besok.
            Sebelum tidur ia teringat dengan Sari. Ia seperti merindukannya. Namun ia tersenyum sendiri dan tak lama ia terlelap dengan kecapeannya. Memburu pada mimpi-mimpi panjang. Seluruh badannya serasa tercabik-cabik. Seperti mimi saja antara Bandung dan Bali.
            Ibunya masuk kekamar untuk mendengarkan cerita dari Ivan tentang Bali, namun ia telah tertidur pulas. Ibunya menutup pintunya rapat-rapat. Ia juga tahu kalau anak kesayangannya itu sedang kepenatan.
            “Kak Ivan udah tidur...?” tanya adiknya kepada Ibu yang barusan keluar dari kamar siganteng. Ibunya hanya mengangguk dan merangkul pundak adiknya itu menuju kamar.
            “Besok kamu sekolah, cepat tidur.” Nasehat Ibu singkat.
            “Tapi Ibu, bilangin sama kak Ivan kalau aku besok diantar dia,” pintanya manja sambil berjalan menuju kamar.
****
            Syerli menelpon Ivan untuk meminta oleh-oleh dari Bali. Namun malam itu tak aktif Hpnya. “Ah...Besok aja....” Gumamnya sendiri. Lalu Syerli keluar dari kamar, ia duduk sendiri di depan rumahnya. Berharap pujaan hatinya sedang memperlihatkannya. Namun ia tunggu-tunggu tak juga kelihatan. Rumah Gugun begitu terang.
            Jam sepuluh telah menerpanya, ia masih melamun sendiri. Kemudian Ayahnya keluar.
            “Eli.....entar masuk angin lho....” Ayahnya memang memanggil dengan suara lembut dan bahasa yang enak didengar. “Eli” itu panggilan Syerli yang sangat khas dari ayahnya. Ibunya memanggil selayaknya orang lain “Syer”.
            “Iya Yah, sebentar lagi,” sahutnya pelan. Belum juga ia beranjak dari kursi itu.
Malam yang mencekam dengan hembusan angin yang sejuk. Daun-daun menggigil, rumput-rumputpun meringkuk. Tikus, jangkrik semua terdiam di sarangnya masing-masing. Langit yang kelabu, tanpa bintang, tanpa bulan. Mendung tergopoh-gopoh menutupi langit. Mau hujan. Syerli berdiri sejenak, terus masuk kerumah. Ibu sedang menunggunya.
“Ada masalah apa Syer..? cerita dong ...kalau ada apa-apa,” tatapan Ibu tercurah kasih sayang yang begitu dalam untuknya.
“Nggak ada kok Bu...Cuma lagi pengen sendirian aja,” ia terlalu menutupi semuanya. Ia takut itu akan menjadi beban banyak orang. Sebenarnya itu kesalahan Syerli yang besar. Ia selalu tak mau terus terang terhadap sesuatu permasalahan. Ia masuk dan duduk disamping Ibunya sambil menyadar dan memeluk.
“Kalau ada masalah cirita dong sama Ibu, jangan malu-malu. Anggap saja Ibu teman sebayamu, yang sering kamu ajak curhat,” dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, bicara dari hati-kehati memang sudah kebiasaan para perempuan di dunia ini.
****
            Ia ingin pergi ke Jakarta hari ini. Setelah dua hari ia menunggu honor yang mau dikirim lewat rekeningnya tak juga masuk. Ia sedikit kesal sebab teman-temannya minta diteraktir. Ia menjawab apa adanya namun mereka tetap saja tak percaya. Traktir temen, itu adalah kebiasaan Ivan saat mendapat honor besar.
            Sebelum berangkat ia menelpon Sari, berharap ia bisa ketemu dan menemaninya jalan-jalan.
            “Halo, bisa bicara dengan Sari...?” bicaranya sopan.
            “Iya, saya sendiri. Ini dari siapa ya....?” suara yang khas telah terdengar di telinganya.
            “Ini dari polda, kami mencari anda, sebagai terdakwa dalam kasus peredaran narkoba.” Ucap Ivan serius barharap Sari akan terkejut.
            “Iya Pak Ivan saya akan kesana secepatnya...ha..ha..ha....” tawa Sari meledak-ledak. Ia paham sekali suara Ivan dan candanya juga telah ia kuasai.
            “Eh ...ketauan,” Ivan juga tertawa sejadi-jadinya. “Masih inget ma gua nih...” Ivan menghentikan tawanya.
            “Inget dong....kan gue kangen banget ma elo Van,” Sari langsung terdiam sepertinya ia kelepasan.           
            “Oke...tunggu ya di sana. Kalau gua ke Jakarta hari ini, elo bisa temenin gua jalan-jalan ga..?” suaranya sangat serius, Ivan masih mengatur siasat dalam pikirannya.
            “Bisa banget, beneran elo mau ke sini..?” jelaskan lagi Sari dengan gembira.
            “Kalau Nggak ada halangan,” sahut Ivan santai. “eh udah dulu ya... tunggu aja..? Nanti setelah nyampek gua telpon lagi, oke...!”
            “Oke...!” jawab Sari begitu ceria. Sebelum mengakhiri hubungan lewat jaringan itu. Memang sekarang jarak di seluruh dunia ini semakin dekat saja. Kapanpun kita bisa menggunakan telpon untuk bisa ngobrol dengan saudara, teman, musuk sekalipun. Kita patut menghargai penemunya yang telah begitu berjasa bagi pngguna dan pencandu telpon.
****
            Sari begitu bahagia mendengar apa yang diucapkan Ivan tadi. Apa yang dulu ia takuti ternyata hanya sebuah ilusi saja. Mereka putus baik-baik jadi ketika pertemuan berpihak pada mereka, juga baik-baik. Tapi ada satu hal yang tak pernah bisa dipungkiri olehnya adalah, cintanya begitu dalam sehingga ia sangat takut tak dapat memilikinya lagi seperti dulu. Sampai sekarang saja cintanya terus bersemayam dihatinya. Setelah Ivan meminta dia untuk menemaninya jalan-jalan, hatinya serasa mendapatkan cintanya kembali. Perasaannya menjadi tak tentu arah. Ia ingin Ivan mencintainya lagi.
            Ia sengaja tak masuk kuliah. Menunggu Ivan baginya lebih dari segalanya. Ia terus-menerus menimang-nimang ponselnya. Ia sangat berharap sekali Ivan sesegra mungkin berada dihadapannya, ia juga begitu mengumpulkan kata-kata untuk menyambut kedatangan Ivan. kemudian ia SMS ke Ivan untuk menanyakan kedatangan kendaraan yang ia tumpangi.
            Ivan menerima dengan senyum dan ia menjawab, dengan logat tak menghiraukan. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan dalam SMS itu, ia menanyakan cowok baru Sari, Kuliah, sampai hubungan dalam keluarganya. Tetap saja Sari senang meski SMSnya tak pernah dijawab nyambung.
            Bandung ke Jakarta. Memang terlihat sangat dekat. Tetangga kata banyak orang. Padahal perjalanan kesana memerlukan waktu dua Jam setengah. Terkadang sampai Tiga jam karena di Jakartanya macet tak karuan. Disana sulitnya berkendaraan darat.  
            Sari buru-buru membuka pintu mobil dan mengeluarkan dari garasinya. Meluncur dengan kencang menuju tempat yang diberitahukan Ivan tadi saat di telpon. Dijalan ia tak konsentrasi dengan baik ia begitu merindukan lelaki idamannya itu. Sedangkan Ivan duduk santai diruang tunggu. Disana banyak orang yang lalu lalang dan ada juga yang duduk seperti menunggu penjemput sepertinya ada juga yang sengaja bersantai untuk melepas lelah sambil minum air mineral.
            Sari lari tergopoh-gopoh menuju ruang tunggu. Namun ia menatap arah kiri ternyata kosong. Hatinya mulai merasa kecewa. Ia menatap seblah kanan juga tak ada Ivan di sana. “Apa Ivan membohongiku,” dalamhatinya ragu. Ia berbalik arah dan menuju pintu keluar barang kali Ivan telah keluar. Disana juga tidak ada.
            Ponselnya berdering, tak ia hiraukan setelah ia sadar ia angkat ternyata dari Dewi yang menanyakan tugas. Ia kesal tak karuan ia menjawab pertanyaan Dewi.
            Ivan sengaja memperhatikan dari arah yang berlawanan. Ia hanya ingin tahu apa Sari begitu menginginkan dia hadir. Kemudian ia berlari mendekati Sari dan memukul bahunya dari belakang. Sari teriak histeris, lalu Sari memukul-mukul bapundak Ivan dengan manja, ia merasa kalau telah dikerjain. Mereka bercanda selama diperjalanan menuju tempat yang ditunjukkan Ivan. namun Sari menyinggahkan mobilya di depan Restouran Jepang. Tanpa basi-basi mereka langsung memesan apa yang menjadi kesukaan mereka berdua. Ivan menceritakan kalau dia baru pulang dari Bali. Saripun terkagum-kagum, ia memberikan ucapan selamat dengan senyum merekah dari bibir tipisnya.
            Setelah makan selesai merekapun langsung melanjutkan ketujuan semula kontor Ijensi. Ivan masuk dengan sopan, disana ada Tata Rias dan kameramen, Bang Firman juga ada duduk di samping pot bunga. Sari menggandeng tangan kiri Ivan erat. Semua meledek dan sorak sorai menyambut kedatangan Ivan dan pasangannya yang serasi.
            “Van, yang baru nih...?” ucap seorang Mas Budi, kameramennya.
            “Ivan hnya mengacungkan jempul kirinya sambil mengelilingi salam kepada mereka semua. Sari menguntutui dari belakang.    
            “Kapan nikah Van,...?” Mas Budi sambil mengacungkan tangan untuk salaman.
            “Tunggu aja ...” Katanya pelan. Sari tertawa cenge-ngesan tak tentu. “Mudah-mudahan apa yang dikatakan Ivan itu benar terjadi.” Doa Sari dalam hati.
            Ivan masuk keruangan administrasi untuk mengurus honornya. Dan Sari duduk diruang tunggu bergabung dengan teman-teman Ivan tadi. Mereka menguhujamkan beribu pertanyaan tentang hubungan mereka sampai aktivitasnya. Namun Sari enggan mengaku seorang model dulunya karena ia telah lama sekali tak bergelut disana. Ia hanya bilang kalau ia seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta yang tidak terlalu terkenal. Ia mengambil jurusan ekonomi perbankan.
            Tak lama Ivan keluar dan mengajak Sari untuk pergi. Mereka berpamitan dengan semuanya disana. Bang Firman tertunduk malu menatap Ivan, padahal Ivan biasa saja dan mengulurkan tangan dengan santai dihadapan Bang Firman.
            “Van, gue undangannya,” ujar temanya yang lain waktu meledek. Semnyum simpul dari bibir Sari sepertinya telah mewakili Ivan dan jawabannya semua.
            “Elo langsung ke Bandung lagi Van,” Mbak Risa keluar dari ruangannya.
            “Eh..Mbak Risa, nggak tau nanti, sekarang sih mau jalan-jalan dulu. Kalau lama di Jakartanya mampir kerumah. Ivan mengangguk-anggukkan kepala pertanda setuju. Mereka pun sejenak telah menghilang dari kantor yang sangat mengesalkan bagi Ivan. “Benar-benar keterlalua, honor gua di potong seenaknya. Ah ...Resiko. ” Dalam hatinya mengerutu sendiri. Dan terkadang menentang.
            Sari tak mau banyak kata dia hanya sesekali menanyakan hubungan mereka kenapa harus berakhir. Ivan tak mau menjawab dengan detil ia merasa banyak bersalah bila ingat itu semua.
**BERSAMBUNG**


No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.