Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Bagian 18
Sejuta Masalah
Syerly
duduk di teras depan rumahnya, ia termenung dan sedikit murung. Wajahnya
tersirat sejuta masalah yang menekan disetiap hari sepi mengguncang jiwanya. Ivanlah
yang sangat tahu bagaimana keadaannya sekarang ini, ia sering menceritakan
dengan nada sedih. Ivan sama sekali tak mampu memberikan saran atau apapun
kepadanya. Ia sering bercerita tentang cintanya yang tak kunjung terjawab oleh
derasnya angin yang meniup dunia asmara. Ia juga tak pernah berusaha
mengungkapkan perasaannya itu.
Ivan
termangu mengingat Syerly. Dalam keadaan seperti itu ia tetap tegar, tetapi Ivan
sedikit tidak suka dengannya. Ketidak terus terangan, akan terus mengusung hati kecilnya kedalam jurang ketidak jelasan.
Sesering mungkin Ivan berkata padanya tentang itu namun, ia hanya tersenyum
tidak labil seperti menahan sesuatu yang selama ini selalu menerpa benaknya
untuk selalu tidak jujur dalam hati nurani. Sedikit yang Ivan ketahui, cintanya
kepada Gugun yang tak sanggup ia utarakan itu adalah sebuah penyiksaan besar
terhadap perih batin.
Gugun
seketika lewat didepannya seperti angin yang membawa bau surga baginya. Namun
sapa kecilpun tak juga terlihat dari Gugun dan dia hanya lontarkan senyuman
yang tak terlihat oleh Gugun pujaan hatinya itu. Rasa senangpun bergelimpangan
dalam hati Syerli yang begitu mendambakan sosok Gugun mengetuk bibir untuk senyum padanya.
Pagi
itu Gugun keluar untuk membeli sesuatu di warung samping rumahnya. Hanya
melewati beberapa rumah saja untuk sampai ke sana. Sedangkan rumah Syerli di
depan warung itu. Namun sosok Gugun yang tak pernah menoleh kesamping, telah terlihat
dari cinta Syerli yang tidak pernah ia mengerti. Tidak lama kemudian Syerli
berangkat menuju pertempuran dahsyat yang tergeletak dalam dinding sekolah.
Hanya senyum jika mengingat betapa Gugun
yang terlihat tak pernah mengerti keadaan mentari yang muncul pagi itu. Gugun
sangat mencintai Nania. Aku juga tahu kalau sebenarnya Nania juga sangat
menyayangi Gugun dengan tampangnya yang sangat menarik perhatian para bidadari.
*****
Di perempatan jalan ia
melihat banyak orang yang hilir mudik. Berangkat pulang atau pergi sekolah.
Banyak juga yang sedang berdekapan di motor dan jalan gandengan. Syerli terdiam
melamun.
“Andai
saja ia telah aku miliki pasti yang mengantarku dan menjemputku adalah dia,” suara
klakson mobil dibelakangnya begitu kencang hingga menggugahnya untuk segra
menginjak pedal gas. Lalu ia terus menelusuri sepanjang jalan Mohammad Toha.
Lalu ia masuk ke jalan masuk kejalan-jalan yang berkelok-kelok. Kemudian
tembuslah kejalan Dewi Sartika. Sedikit lagi ia sampai kesekolahan yang ia
tuju.
Teman-teman
sekelasnya menyapa dengan riang. Namun ia masih saja teringat akan sosok Gugun
yang baru melintas di hadapannya. Tak lama sang Guru masuk untuk memberikan
pelajaran yang telah terjadwal. Ia masih tertunduk tak memperhatikan. Diantara
teman akrabnya menanyakan keadaannya, apakah dia sakit atau ada masalah. Namun
ia hanya menggelengkan kepala pertanda ia tak mau mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi pada perasaannya. Gersang sekali sekolahannya.
Tumbuh-tumbuhan berguguran seperti merasakan penderitaannya. Kolam ikanpun
surut, rumput-rumputpun mengering.
Jam
istirahat siang menggema. Ia pergi kekantin. Duduk, melamun. Teman-temannya tak
mempu mendeskripsikan permasalahan yang ia alami itu. Tak juga teman sebangku.
Ivan
kemudian muncul-tiba-tiba. Biasanya Ivan selalu memberi tahu sebelumnya bila
ingin datang kesokolahan. Ia juga Alumni SMA itu. Tak salah dan tak sungkan
bila ia masih sering main kesana, sebab kantin itu adalah tempat nongkrongnya
dulu.
“Ivan....kok
nggak bilang kalau mau kesini...?” dengan semangat Syerli menyambut kehadiran
orang mengerti penderitaan batinnya.
“Suprize....!!!”
ketawa mereka membuat riuh kantin semakin merebak. Debi juga ada di tempat itu.
Hanya sedikit jauh. Namun tatapannya terus kearah Ivan. kecurigaannya dulu
semakin jelas kalau antara dia dan Ivan putus, karena Syerli yang merebutnya.
Ivan hanya sebentar, kebetulan ia sedang lewat, sekalian ia mampir dan mereka
berdua juga telah lama sekali tidak ngobrol dan mendengar curhatan Syerli.
Setelah
masuk kekelas pandangan Debi begitu sinis dengannya. Sama sekali ia tak
menghiraukan. Kata demi kata ia dengar dari mulut Debi,
“Dulu
kami itu temenan tapi, dia itu penghianat. Cowok gue direbut. Katanya temen
sih. Tapi, ia tega nusuk gue dari belakang,” begitu keras suaranya sampai
terkatup-katup telinganya mendengar. Ia sangat tersinggung sekali di bilang
merebut pacar temen. Ia berbalik arah menghadap Debi.
“Eh..Deb,
elo kalau ngomong jangan sembarangan... siapa yang ngerebut cowok lo... gue
temenan dengan dia sudah lama. Sebelum elo pacaran dengan dia, gue juga udah
temenan.” Mukanya memerah, emosinya menyala-nyala bagai bara api yang tertiup
oleh angin.
“Siapa
lagi.... yang ngomongin elo... gue ngobrol sama dia, bukan elo. Kalau elo
tersinggung berarti elo ngerasa.” Ia berdiri, tangannya gemas. Ingin sekali ia
mengobrak-abrik isi mulutnya. Teriakan dan ejekanpun terkumpul sudah di ruangan
itu. Semua memojokkannya. Tatapan siswa di kelas itu semua melecehkan dan
membenarkan ucapan Debi.
“Mau
lo apa sih...? elo nyesel putus ma dia....? elo ngaca dong... supaya elo itu
nyadar,” semakin perih ucapan-ucapan yang terlontar. Isi kelas itu terdiam.
Mereka juga bingung mana yang benar mana yang salah diantara mereka berdua.
Syerli atau Debi.
Teman-teman
Debi begitu mengandalkan. Sedangkan dia sama sekali tak mempunyai dukungan
meski yang tak memihak diantara mereka juga banyak. Ia tertunduk lesu.
Memalingkan muka dan kemudian ia duduk. Olok-olokan telah reda dengan datangnya
seorang guru.
****
Bell
begitu nyaring terdengar. Treeeeeeng...! Treeeeeng....! Treeeeng! Begitulah
kedengarannya. Suara sorak soray terdengar dari setiap kelas, mereka riang
sekali kalau saat yang ia tunggu-tunggu tiba. Syerli masih membereskan
buku-buku yang acak-acakan di bangku. Teman-tamannya langsung padakeluar Debi
lewat dengan kesal melihat tampangnya geram.
“Entar
dijemput sama cowok elo ya Deb...?” singgung teman Debi atas suruhannya sendiri.
Namun Syerli tetap diam. Capek meladini mereka. Padahal dulu mereka itu teman
akrab, bahkan Debi sampai jadian dengan Ivan atas jomblangan Syerli.
Sindiran-sindiran panas terus terlontar. Emosinya terlonjak juga akhirnya ia
langsung pergi meninggalkan kelas dan masuk mobil. Meluncur saja.
Arah
setirnya tertuju kearah rumah Ivan. apa Ivan datang tadi menyuruhnya kerumah..?
setirnya kencang, jalan tidak macet rumah Ivan sedah dekat. Ivan masih asik
dengan kelincinya di pekarangan. Namun ia sangat paham kalau dengungan mesin
mobil itu pasti Syerli. Ia melepas kelincinya dan menuju kesana.
“Udah
pulang Syer....?” basa-basinya singkat.
“Kalau
pulang pasti gue udah ganti baju...!” Ivan ketawa ceki-kikan, maksud pulang
bagi Ivan adalah pulang sekolah. Salang tanggap.
“Ya...udah
lah....masuk apa mau ngobrol di teras aja. Atau di taman..? terus mau minum
apa..?” begitu istimewa Syerli duduk dihadapan Ivan rupanya. Apa mereka
benar-benar pacaran..?
“Minumnya
apa aja deh yang penting dingin. Kayaknya di taman aja biar lebih santai, nggak
panas kan...?” Ivan tak menjawab ia langsung menunjukkan tempat yang strategis
bitaman dan kemudian masuk untuk mengambil minuman.
Syerli
banyak cerita tentang kisahnya di rumah dan di sekolahan tadi, Ivan begitu
emosi melihat ulah Debi yang kelewatan. Ia juga cerita tentang Gugun dan timbal
baliknyapun sama. Ivan banyak sekali menceritakan kisah dan cerita yang ia
alami kemarin dan lusa. Ivan juga bilang kalau dia sekarang mendapat tawaran
untuk menjadi bintang iklan, dari suatu produk dalam negeri. Ucapan selamatpun
terlontar dari Syerli.
Ijensi
yang mempertemukan Ivan kepada keuntungan. Iklan. Bukan hal mudah untuk
memasuki dunia akting. Penjiwaan dan karakter seseorang adalah modal utama.
**BERSAMBUNG**
No comments:
Post a Comment