Bagian 9
Diary
Panas
matahari siang menyengat, udara juga ikut terbawa masuk kepori-pori tubuh.
Begitulah suasana siang itu disebuah pintu Tol Mohammad Toha siang itu. Ivan
bersama kedua orang tuanya dari Ciwidey. Sebuah tempat yang sejuk di daerah
Jawa Barat, sangat terkenal dengan pemandian atau kolam renang yang berair
panas alias pemandian panas. Senganja mereka lewat Tol Mohammad Toha untuk
menghindari macet. Jika lewat Kopo hari minggu seperti ini pasti macet,
bisa-bisa sampai rumahnya malam. Meski rumahnya lebih dekat dari sana.
Jalan
Sukarno Hatta saat itu sangat ramai sekali dengan kendaraan yang lalu-lalang
meski harus berhenti pada setiap lampu merah. Mobil Toyota Avanza itu melesat
masuk di kawasan Cibaduyut. Dimana tempat pabrik pembuatan sepatu. Dengan
lambang sepatu alias tugu di persimpangan masuk daerah itu. Memang lebih mudah
untuk memasuki perumahan Kopo Permai lewat Cibaduyut saja.
Ivan
cengar-cengir, ternyata Cibaduyut sore itu juga macet.
“Eh....ngindar
dari macet malah kejebak.” si ganteng itu merintih kesal. Ayah hanya
senyum-senyum tanpa komentar sebab tadi yang nyuruh lewat Cibaduyut dia.
“Yah...gimana
dong..! malem ni aku ada acara,” Ia tak sabar melihat macet yang begitu
panjang. Ayah hanya senyum sambil menyulut rokok 234.
“Jalan
kaki aja, lagian udah dekat. Biar Ayah yang nyetir,” tanpa banyak kata ia
langsung turun dan meninggalkan Toyota berwarna silver itu.
“Kemana
Van..?” Ibu bertanya. Si ganteng itu sepertinya tak dengar lagi. Ia langsung
menyelip-nyelip melewati jarak-jarak padat diantara mobil-mobil mentereng yang
nimbrung di sana. Juga banyak sekali yang butut bercampur aduk seperti rujak.
Kepulan asappun menambah sesak udara lingkungan kota tersebut.
****
Fotografer Edi telah terlihat
sliwar-sliwer di depan lokasi. Entah apa yang sedang ia kerjakan tapi, mereka
yang berada di sana tidak ambil pusing, paling-paling juga lagi mencari tempat
yang setrategis untuk pemotretan. Salam Gugun yang baru datang.
“Bukannya
jadwal hari ini kosong..?” Tanya Gugun yang terlihat malas hari ini. Semua
tidak ada yang jawab karena kami juga tidak mengerti harus jawab apa. Gugun
merasa sedikit terpojok dengan tidak ada respon dari kami.
“Hah..?”
Ucap Gugun kembali seraya menegaskan pertanyaannya itu.
“Nggak
tau,..gua juga di hubungi pagi tadi langsung aja gua jemput Ivan.” Irwan yang
angkat bicara dengan logat senyumnya. Sedangkan Ivan hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda ia setuju dan membenarkan apa yang dikatakan Irwan. Gugun
langsung ambil posisi di depan Feri yang asik dengan sebatang rorok
ditangannya.
”Fer,
elo nggak sekolah...?” tanya Gugun sambil duduk di depannya.
”Ya,
enggaklah gua ada disini, kalau nggak ada disini kemungkinan gua sekolah.”
sambil cengengesan Feri menjawab pertanyaan Gugun. Ia semakin kesal dengan
jawaban ngelantur dari mulut Feri.
”Gua
tanya bener-bener elo jawab gitu.” sambil memalingkan muka.
”Iya,....Iya,....Gitu
aja ngambek. Lagian elo nanyanya nggak berbobot sih. Gua males sekolah.
Kebetulan ada latihan hari ini jadi kebetulan banget.” sambil menghisap
rokoknya.
”Dasar....elo
nggak pernah kasihan ma orang tua lo ya..?
ntar elo baru nyesal. Kalau gua sih ..” ia memutuskan perkataannya
seperti habis apa yang akan ia katakan dan ia juga bingung harus ngomong apa
jadi ia teruskan dengan senyum. Ivan juga ikut ngumpul di sana. Namun Ivan
sepertinya ada maksud tertentu, ia langsung mendekati Feri.
”Fer,
mana rokoknya lagi...? ngrokok sendirian aja.” tertawa kecil Gugun melihat
tingkah temannya. ”Gitu dong...!” ujar Ivan lagi. Ia langsung menariknya dari
bungkus yang bermerek Star Mild. Dihisapnya dalam-dalam.
”Wah...
Enak juga rokok lo, kirain kayak orangnya, asem gitu.” seloroh Ivan. Feri telah
terbiasa dengan canda-canda dari Ivan.
”Ayo
kita mulai sekarang... entar keburu panas.” ujar Bang Anton yang siap mendidik
dalam dunia fashion.
Pada
saat latihan canda tawa tak pernah lepas dari mereka meski pelatih itu sedikit
kewanita-wanitaan. Biasa dipanggil Ce’.
”Ce’
gua harus jalannya kayak gitu..? gua nggak bisa.” sengkal Gugun alias memprotes
jalan dengan bokong yang lenggak-lenggok.
”Iya....itu
kan jalannya cewek.” tambah Feri yang begitu kesal bila diatur. Yang lainnya
hanya senyum-senyum seperti setuju apa yang dikatakan dua cowok itu. Namun bagi
cewek-ceweknya asik-asik aja.
”Elo...mau
diajarin nggak..? kalau nggak, ya udah. Gue pulang aja. Gue juga udah males
ngajarin pembangkang kayak elo-elo semua.” Mas Anton kali ini benar-benar
marah. Langsung meninggalkan lokasi. Namun Gugun dan Feri begitu gembira.
Sedangkan yang lain diam saja. Ada yang kesal.
“Kamu
ini masih mau tampil nggak..?” manajer keluar langsung angkat bicara. Mereka
semua terdiam. Di sana lebih tidak enaknya punya manajer. Selain diatur
potongan pada setiap kali tampil juga besar, dari 30 sampai 40% dari honorium
yang diterima. Tapi kalau mengingat free lance lebih mendingan. Free lance
sangat susah sekali mencari job, jika tak up date mencari informasi maka takkan
pernah mendapat job. Enaknya pada saat menerima honorium, satu persenpun tak
ada yang memotong kecuali pajak.
****
Setelah semua selesai Ivan langsung
beranjak ke sekolah Syerli untuk menjemputnya. Ia tahu kalau Syerli pasti
banyak yang akan di bicarakan dengannya. Sesampainya di sana terlihat dia sedang
berjalan dengan dua temannya di depan taman samping sekolah mereka.
“Apa
kabar Syer..?” sambil ia acungkan tangan untuk memberi selamat. Namun dia tidak
menjawab hanya menarik Ivan duduk di bawah pohon. Ia tidak banyak bicara hanya
memberikan sebuah Diary yang selalu didekapnya setiap saat. Ia langsung
pamitan. Ia mau kerja kelompok bersama teman-temannya.
Sambil
berjalan menuju rumah, difikaran Ivan terlintas-litas keadaan Syerli, jika
posisinya itu terlimpah padanya pasti ia tidak sanggup menjalani tikungan
selanjutnya. Seketika murung. Tapi ia langsung mengubah fikirannya, seperti
punya garapan pemikiran yang lebih dahsyat daripada kisah Syerli itu. Di dalam
diary itu ia membaca secarik puisi,
Menari-nari di matamu
Aku memunguti segala embun dilangkah
pagi
Meneguk racun itu
Mengoleksi setiap henti nafas itu
Menyayati detik-detik pergulatan itu
Lalu terukir dalam-dalam
Di
serpihan benak yang kelam
Ivan langsung mengerti apa maksud dari puisinya
itu. Namun, ia hanya menggelengkan kapala sambil terus berjalan mengarungi
aspal dan terik mentari.
Sampai
di rumah ia coba untuk menenangkan pikiran yang rancu selama siang ini. Kembali
terlarut dalam lamunan dan juga angan yang terlalu emosi untuk mengungkap
kejenuhan alam sekitar dan realita kehidupan.
“Ah…percuma
sepertinya.” bantah benak Ivan sendiri. Merasa tidak puas dengan ide bodoh itu.
**BERSAMBUNG**
No comments:
Post a Comment