![]() |
ilustrasi by: pesantrenmedia.com |
Bagian 8
Untuk Teman
Bersantai
di kamar sambil baca buku adalah yang sangat mengasikkan bagi pemuda satu ini.
Alunan musik dari sebuah winamp pun memboyong damainya suasana kamar itu. Lampu
di meja itulah yang menjadi saksi.
Ivan
memang gemar membaca, apalagi itu berbau sastra seperti Novel, Cerpen dan
Puisi. Kemudian ia beranjak mendekati Tape yang mengumandangkan lagu.
Telunjuknya pas di tombol power. Mati. Seketika terasa sepi, namun ia kembali
duduk di meja belajar. Lalu ia menjamah
sebuah tas hitam yang berisikan laptop.
Begitu laptop itu nyala ia langsung membuka sebuah program. Di sana ia bergelut
dengan inspirasi yang membeludak dari otaknya. Sesaat ia terdiam. Jarinya
bergerak mengetuk-ngetuk meja, tatapannya kosong kearah ponsel yang
bergetar-getar dari tadi. Ia sama sekali tidak menghiraukan.
”Ah...Ganggu
aja, siapa sih..?” tanpa mendekati ia mengoceh sendiri. Kembali tangannya tepat
di kibot laptopnya. Sebuah cerpen ia susun. Baru satu paragraf. Matanya terpaku
menatap layar LCD. Sambil membacanya perlahan sesekali ia memegang Mouse.
Mentok sepertinya.
“Lihat
SMS dulu ah...Tau... tau ada inspirasi di sana.” dalam hatinya berkata.
From : Sulfi 19:04:38
Van, Anto kecelakaan.
Skrng di rmh skt
umum
Lo cptn ksni, tmnin gw. Gw sndrian.
Sangat terkejut sekali ia membacanya buru-buru ia
membalas SMS tersebut.
To : Sulfi 18:41:09
Ok. Gw ksna skrng. Tggu aja.
“sent”
Setelah
itu ia langsung ganti pakaian dan beranjak keluar dengan buru-buru. Namun Ibu
menyegatnya di pintu.
”Mau
kemana malam-malam begini.” sambil berjalan menuju pintu juga Ibu. ”Mau ke rumah sakit, Bu.” dengan
memakai sendal ia menjawab pertanyaan Ibu. Muka Ibu menjadi seribu kerutan.
”Siapa
yang sakit...?” Ibu bertanya kembali dengan penasaran yang menguak. ”Anto, kecelakaan.” Sesingkat mungkin ia
menjawab. Namun Ibu semakin penuh tanda tanya.
”Bu,
aku berangkat.” ucap si ganteng sambil meluncur ke garasi.
”Hati-Hati,
ntar malah kamu lagi yang minta ditunggu juga.” Pesan ibu dengan muka yang
semakin kasihan.
”Iya,
Bu.” Sambil mengeluarkan kendaraan andalannya. Ibu terus menatap anak tersayangnya
sampai tikungan menelan habis sorot lampu mobil Ivan.
****
Sesampainya
di rumah sakit ia kembali kebingungan mencari kamar yang di beritahukan Sulfi
tadi. Bolak-balik ia melewati ruang gawat darurat di sana. Seorang satpam mulai
tertarik untuk menanyakan pada pemuda yang berpenampilan keren itu.
”Mas...Mas...lagi
nyariin apa.” tanya satpam sambil mendekatinya.
”Ini
Pak mau cari teman saya di kamar 139 B. Mana ya Pak...?” sangat kacau
pikirannya sehingga ia tampak seperti gemetar saat berbicara.
”Oh...ruangan
ini ada di lantai Tiga Mas...” jawab satpam itu sambil tersenyum. Namun Ivan
tanpa mengucap terima kasih, langsung meluncur cepat menuju lif. Pak satpam
hanya menggelengkan kepala sambil bergumam lirih,
”Pasti,
pacarnya yang sakit. Kalau temannya nggak mungkin sampai segitunya.” kembali
satpam itu tersenyum, sambil menuju loket.
Langsung
masuk saja tanpa ia mengucapkan salam. Anto terlihat lemas dan di tangannya
terlihat selang menuju ke botol yang tergantung disamping. Hidungnya juga
tertutup. Majahnya penuh perban dan bercak merah darah di kain putih itu. Silfi
langsung merangkul Ivan. Sambil menangis terisak-isak. Ia mencoba menenangkan
perempuan yang berkulit kecoklat-coklatan dan hidungnya mancung.
”Van.
Gimana dong ....?” dengan terputus-putus
dia berbicara.
”Pasti
Anto nggak kenapa-kenapa.” Ivan sambil mengelus-ngelus pundaknya.
Ivan makin penasaran kecelaan bagaimana yang
dialami temannya sehingga keadaannya
sebegitu parah.
”Tadi
kan, kami jalan-jalan, terus lewat jalan Kiara Condong. Pas di jembatan layang Anto
ngebut sambil canda ma gua, dari samping ada seseorang pakai motor ngebut,
nyenggol kami. Anto langsung tergoyang kesamping dan dari depan truk kontainer
sangat laju menabrak bagian depan motor kami. Sampai disana gua nggak ingat
lagi. Setelah ingat gua udah di kerumunin banyak orang, gua tidak parah hanya
luka-luka sedikit. Sedangkan dia terplanting sekitar 10 meter dari sana. Kata
orang-orang ia terseret di aspal.” ia menghentikan sejenak ceritanya. Namun
Ivan terus mendesak.
“Terus...terus,”
sangat serius sekali ia menanggapi.
“Anto
tak sadar sampai sekarang. Kami langsung dibawa kesini oleh seseorang. Tapi,
yang brengseknya truk itu langsung saja ngebut. Tak bertanggung jawab,” dengan
sedikit air mata mengalir memebasahi pipi mulus. “Sebenarnya Truk itu nggak
salah, yang sakah orang yang nyenggol kami itu,” kembali ia terdiam menunduk
seperti ada sesuatu yang sangat ia sesali.
“Salah
gua. Semuanya itu salah gua Van,” semakin kencang ia menangis. Tak sampai hati
Ivan langsung mengelus-ngelus pundaknya.
“Semua
itu udah takdir Fi. Kalau kalian nggak jalan-jalan pasti ada tragedi juga,”
ujar Ivan menegarkan.
“Tapi
Van, kalau gua nggak ngajak dia jalan-jalan pasti nggak seperti ini. Terus gua
juga yang ngajak dia canda di jalan,” semakin ia merasa bersalah.
“Sudah...
semua itu sudah terjadi,” Ivan juga menunduk kali ini, ia merasa kehabisan
kata.
“Orangtuanya
udah di kasih tau belum..?,” Ia mengalihkan pembicaraan. Namun Silfi masih
menjawabnya dengan suara tangisan,
“Udah,
tapi orangtuanya masih di luar kota. Mungkin besok pagi mereka datang,”
terangkan Silfi bercampur air mata.
Tiba-tiba
suasana langsung berubah ketika seorang Suster masuk didampingi seorang Dokter.
Mereka membawa sebuah tas dijinjing dan langsung mendekati Anto, pastinya ia
mau memeriksa bagaimana keadaannya setelah dua jam terakhir ini. Ivan langsung
keluar dari kamar itu. Sesampainya di luar ia terus berjalan melewati
lorong-lorong, naik lif terus berjalan. Area Smoking. Ia menyulut rokok sambil bersandar
di pagar. Ia seperti bingung melihat Realita sekarang ini. Lalu ia mengeluarkan
ponsel dari kantong depannya. Ia membaca sebuah SMS dari ibu. Ia tanya apa anak
ganteng itu nginap di rumah sakit..?
******
Jam
dua dini hari suasana begitu sepi lampu putih yang terus nyala, suara orang
berjalan bolak balik sepertinya itu sebuah hal yang tidak aneh, namun suara
keributan tiada lagi. Ivan tertidur di kursi samping meja tempat menaruh
barang-barang atau makanan, begitu pula Silfi juga tertidur di samping Anto.
Anto
mulai siuman setelah mereka semua tertidur. Tiada yang mengetahui, sebenarnya
itulah yang ditunggu. Anto langsung menatap orang-orang yang telah begitu setia
mendampingi dan menunggu sampai saat sekarang ini. Tangan sebelah kirinya
memegang kepala Silfi yang tertidur pulas. Dalam hati Anto, “Pasti mereka semua kecapean,” Silfi
langsung terkejut.
“To..!” sangat gembira sekali Silfi
memandang pujangganya telah sadar. Mereka langsung berpelukan erat seperti lama
tidak ketemu.
“To,
aku bangunkan Ivan ya..?” Silfi ingin segra memberi tahu Ivan saat itu untuk
menyatakan kegembiraannya. Anto melarangnya, karna ia kasihan pasti Ivan sangat
capek.
Sekitar
jam empat lebih, suara sepatu yang terburu-buru tepat berhenti di depan kamar
139 B.Silfi langsung menoleh kearah pintu. Terlihat dari kaca kecil seorang
laki-laki dan perempuan. Kemudian Silfi langsung menuju kesana,
“Apa
ini kamar Pasien yang bernama HerAnto ..?” tanya lelaki itu. Silfi
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka langsung menumbur. Semakin heran Silfi
melihat mereka, ia tak sadar kalau itu kedua orangtua Anto. Namun setelah
mereka semua mendekati termasuk Ivan yang terbangun seketika, terjawablah apa
yang ada di benak Silfi, Ivan telah mengenal kedua orang tua Anto semenjak
mereka duduk di bangku SMP. Anto kembali tertidur.
***
Mereka saling bercerita tentang bagaimana semua
itu bisa terjadi. Ivan sedikit menutupi apa yang dikatakan Silfi, ia bercerita
seakan-akan kesalahan itu di buat oleh motor yang menumbur dari belakang dan
truk yang menumburnya dari depan. Silfi terlihat diam saja ia hanya gerogi
menghadapi kedua orang tua Anto.
“Kalian
kalau mau tidur...tidur aja... Fi, tidur gi, pasti ngantuk, kamu juga Van, biar
Ibu dan Bapak yang tunggu.” Tapi kedua remaja itu menolaknya.
Ivan
terus ngobrol dengan kedua orang yang banyak menasehatinya dari tadi. Ia tak
tidur sampai pagi. Silfi kemudian tertidur karena ia tidak begitu nyambung
dengan semua obrolan mereka. Ibu Anto menceritakan masa kecil Anto yang pendiam
tidak nakal dan jarang mau tertawa.
“Bu...sepertinya
sifat itu masih dibawa sampai sekarang ya...?” canda Ivan supaya mereka tidak
terlarut dengan suasana rumah sakit. Tahu sendiri jarang sekali rumah sakit
sebagai ajang tawa dan ceria, mungkin pada bagian melahirkan. Pasti sang Ayah
akan gembira bila anak yang didambakannya telah keluar sesuai yang ia harapkan.
Akhirnya
mereka tersenyum. Ibunya mengeluarkan banyak makanan, oleh-oleh asal Jogja. Anto
asli kelahiran Jogja namun ia besar di Bandung setelah orang tuanya pindah kerja
ke Bandung. Namun Orang tuanya sering kali pulang ke Jogja untuk menjenguk
kampung dan keluarga di sana.
**BERSAMBUNG**
No comments:
Post a Comment