Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Bagian 15
Fens Club
Majalah
besar pastinya ingin dikagumi oleh pembaca dan akan memberikan perubahan baik
secara langsung atau tidak langsung, itulah harapan mereka sebagai media. Apalagi
media itu adalah media remaja, di mana para anak muda untuk memperoleh
informasi tentang model, gaya hidup dan penampilan mereka. Tak hayal jika
majalah akan mencari model untuk mengisi pada suatu kolom atau rubliknya adalah
seorang model yang disukai dan dikagumi banyak orang.
Hari ini Ivan datang ke lokasi pemotretan
kebetulan di pantai background yang di minati oleh fotografernya. Suasana
pantai memang sangatlah menarik dengan hempasan ombak. Pasir-pasir putih yang
terus melekat pada telapak kaki dan ribuan bintang laut yang terdampar oleh
kencangnya terpaan ombak. Bebatuan yang mencerminkan gejala alam, karang yang
membuat begitu bervariasinya alam kita. Turis-turis pun tak pernah melupakan
pantai-pantai di Indonesia yang pernah mereka datangi. Begitu bangga menjadi
warga negara yang mempunyai keindahan alam. Jika kita tak mau merawatnya sangat
disayangkan sekali. Namun tidak sedikit pabrik-pabrik membuang limbahnya ke
dalam laut.
Ia sampai di lokasi langsung disambut
meriah oleh fotografer dan make upnya. Namun ia tak ragu dan tak gerogi sama
sekali meski mereka baru saling mengenal, keakraban mereka sudah tak
terkalahkan dari yang sudah kenal selama satu tahun. Ivan memang orang yang
mudah akrab bila berteman dan dia sangat bisa menghargai lawan bicara atau
teman bekerja dan kliennya.
Saat pemotretan berlangsung tawa, canda
juga terus mengiringi mereka dari mulai kesalahan dalam berpouse sampai dengan
tempat mereka yang tak setrategispun menjadi bahan. Ia terlihat risih selama
disana. Oleh prilaku sang make up , sebentar-sebentar ia terus dirapihkan,
seperti aktor film.
“Mas jangan sering-sering dong...” tawa
renyahnya membuat mereka terundang membuka bibirnya untuk tertawa. Namun logat
dan gelagat Make up menjadi ia tak pernah marah, kewanita-wanitaan.
Setelah pemotretan selesai ia
ngobrol-ngobrol sebentar untuk menghilangkan kejenuhan dan capek. Mereka saling
bertanya latar belakang sampai pengalaman mereka di dunianya masing-masing. Tak
salah jika Ivan menceritakan tunggang- langgangnya di dunia model dan
perkuliahan. Sedangkan fotografer itupun menceritakan pengalaman dari mulai
lahir sampai menjadi sekarang ini, bila saja di tulis maka akan menjadi sebuah
biografi yang kurang lebih panjangnya empat sampai lima ratus halaman. Tak mau
mengalah Rendi juga menceritakan pengalamannya sehingga gelogatnya seperti
wanita.
Snak
dan minuman dingin yang menjadi pengiring obrolan itu. Berkali-kali Ivan
menyeruput minuman itu dan mengambil biskuit yang terserak, rokok menjadi
penutup. Kebulan asap mengapung dan tertiup oleh kencangnya terpaan angin
pantai.
Ivan
pulang bersama-sama mereka, hanya saja Ivan mengendarai motor. Padahal sebelumnya mereka telah menyuruh Ivan ke
studio dulu dan kemudian berangkat bareng kelokasi, Ivan memilih berangkat
sendiri ke sana menggunakan motor karena mobil andalannya sedang dirawat di
bengkel. Sangat jauh sebenarnya dari rumahnya, sekitar dua jam bila tidak
terjebak macet di jalan.
Sampai
rumah sekitar jam tujuh malam. Ia langsung mandi dan kemudian tidur. Capeknya
tidak kepalang. Ia tidak ingat kalau ia ada janji dengan teman-temanya untuk
ngumpul di kawasan Dago pusat kota. Deru-deru mempi menjelma, mengusik dan
meradang disetiap detik di mimpinya.
****
Pagi
yang ceria. Embun dan angin yang sejuk menusuk dan menepis disetiap
eroni-eroni. Ia bangun dan menekuk-nekuk tubuhnya. Serasa pegal-pegal di
seluruh persendian dan tulangnya. Kemarin ia begitu penat sehingga badannya
menjadi sasaran utama. Tertunduk pulas di hadapan cermin menatap raut mukanya
yang asli. Tanpa make up. Kemudian ia berjalan menuju wastafel untuk mencuci
muka dan sikat gigi. Tidak mandi. Biasa ia mandi bila ia akan berangkat kesuatu
tempat atau ke pesta saja tapi, kalau dirumah ia bisa sampai tengah hari.
Kopi
hitam dan sepotong roti panggang menemaninya di teras samping kamar. Sebungkus
rokok dan korek api itulah pembangun semangat pagi baginya. Kemudian ia berdiri
dan bersandar di tiang kayu penyangga genteng. Melamun. Sepertinya ia telah
terbawa oleh arus para seniman dan sastrawan yang kebanyakan dari mereka
melamun dan berkarya. Inspirasi itulah yang mereka cari dan mereka akan
mengorek sedalam-dalam mungkin jika menemukannya. Ia membalikkan badan, masuk
ke kamar. Laptop yang duduk rapi diatas mejanya menjadi tujuan utama. Kemudian
ia memboyong keteras bersama carger dan kabel-kabel. Ia mendapat Inspirasi.
Menusun kabel dan mencolok-colokan ke
terminal listrik itu adalah kerjaannya setiap waktu. Di kosan temen di kelas
dan membaca di perpustakaanpun itu yang ia kerjakan. Tak salah jika di bilang
sebagai kutu laptop. Ia pernah membaca sebuah sebuah buku tentang kebebasan
(Road to the freedom) mengatakan, “Jika kita terikat pada sesuatu alat
elektronik itu berarti kita bisa dibilang telah tidak mempunyai kebebasan lagi,”
Ia tidak peduli rupanya.
“Jika perbuatan itu menimbulkan karya dan
kita tidak merasa kehilangan atau tertindas itulah kebebasan,” Mengerutu saat
ia teringat akan buku itu. Padal Ivan sangat banyak mengeruk pengetahuan dari
buku itu. Dari mulai kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat dan sebagainya.
Kini ia telah menyalakan laptopnya. Dan
menulis kata-kata yang tergambar semua di dalam pikirannya. Ia ingat kalau tiga
hari lagi foto-fotonya kemarin akan terbit. Ia tersenyum sendiri mengingat saat
di pantai kemarin ada sekerumun pemuda yang sedang memainkan gitar dan
menyanyikan lagu Jamrud “Telat tiga bulan” begitu sesuai dengan suasana pantai
dan pasirnya.
Gugun datang bersama pacarnya Nania. Pasangan itu
sungguh awet sekali.
“Wah...lagi sibuk Van....” Gugun sekarang sudah
biasa dirumah Ivan. Ia langsung masuk dan menemui Ivan diteras. Sebelumnya ia
tanya dengan pembantu Ivan dan menunjukkan kalau Ivan ada di sana.
“Gimana pemotretan kemarin...? Asik nggak...?”
Nania tersenyum-senyum melihat pacarnya. Rambutnya acak-acakan memang hasil
rebonding tapi kalau acak-acakan seperti banguntidur. Jadi tidak rapi juga.
“Lumayan, elo ada perlu apa kesini, biasanya ada
tugas nih...?” tebak Ivan sambil menyulut rokok.
“Nggak...mau main aja, asik dong honoriumnya. Gede
ya...?” tawa Gugun meledek.
“Mudah-mudahan aja nggak ngecewain.” Mereka terus
terlarut dengan obrolan-obrolannya tentang pemotretan, fashion, dan seputar
dunia model.
****
Ivan permisi keluar saat perkuliahan.
“Halo...” padahal ia paling tidak suka ada
orang yang menelponnya saat jam pelajaran alias jam kuliah.
“Ini siapa...?” singkat saja.
“Nanti telpon lagi aja aku masih kuliah.” tumbur
saja saat penelpon tak dikenal itu mulai bergerak untuk bicara. Dalam hatinya
ngomel-ngomel “Kirain penting nggak
taunya iseng. Pantes dari tadi mis col-mis col terus,”
Ia sama sekali tidak ingat kalau hari ini
majalah itu terbit. Di sana identitasnya semua dicantumkan dari mulai nomor
Hand Phone sampai dengan kesukaan dan cita-cita dicantumkan. Biasanya tertulis
kalau mau menghubungi dipersilahkan.
Sepulang kuliah ia mampir di perpustakaan
dan menyalakan laptop. Disana jaringan internet gratis tersedia. Cuma tinggal
menyambungkan saja. Meskipun loudingnya lama tapi justru mengasikkan. Saat ia
membuka e-mail, bertumpuk-tumpuk pesan yang belum di baca. Ada yang menanyakan
setatus percintaan, sampai dengan mengajak ketemu, dan makan. Ia masih heran
sendiri.
“Kok banyak banget sih yang kirim imel ke
gua, dari mana mereka dapat alamat emailnya. Terus, yang mis kol ke Hp gua juga
banyak banget. Resek ...” hatinya jengkel sekali.
Kemudian ia menerima telpon,
“Halo...Tante Jesca...ada apa..nih...?.”
kemudian ia berjalan keluar dari perpustakaan. Di dalam perpustakaan dilarang
berisik apa lagi menerima telpon. Nada dering saja harus di pelankan kalau
perlu hanya getaran. Mengganggu bagi mereka yang sedang konsentrasi membaca.
Itulah alasan utamanya.
“Van udah saya kirim honornya ke nomor
rekening kamu. Dan majalahnya sudah dikirim lewat pos, ke alamat rumah kamu.”
Jelaskannya.
“Udah terbit ya..? pantesan dari tadi,
banyak banget yang miskol gua, terus imel gua juga penuh.” tumbur Ivan ceria.
Tante Jesca pun diam saja dan langsung mengakhiri pembicaran singkat mereka.
Syerly juga turut mengirim e-mail dengan
ucapan-ucapan kekaguman dan memuji. Lalu Ivan membalasnya dengan satu jawaban
ke seluruh alamat e-mail yang masuk. Sangat singkat sekali tulisan di di kolom
e-mailnya “Terima kasih atas pujian, dukungan, komentar, saran dan partisipasi
kalian semua. Saya sangat bangga sekali bisa mengenal kalian meski hanya lewat
e-mail. Saya hanya kasih saran “Buat aja fens club.” Ha...ha...” tulisnya
dengan ramah. Ia juga tersenyum-senyum sendiri.
Ivan juga membalas bagi yang kirim SMS
namun lebih singkat lagi. “Kalau mau puas lewat e-mail.” Dan yang menelpon ia
menganjurkan membuat fens club. Para fensnya semua tertawa cekikikan saat
membaca e-mail, SMS dan mendengar jawaban melalui telpon.
Satu jam ia di perpustakaan. Kemudian ia
beranjak pergi meninggalkan termpat penuh ilmu itu dan menuju ketempat
tongkrongan mereka biasa. Kantin. Tapi di sana hanya ada Anto, Sonni dan dua
temannya yang lain.
“Gugun mana...To’...?” sangat khas sekali
saat ia memanggil nama Anto. Dengan akhiran seperti mentok. To’. Bukan huruf K.
“Biasa. Gugun pemalas banget. Katanya sih
sibuk. Tapi yang jelas dia males kuliah Van,” mereka semua tertawa cekakakan
seperti mendengar atau sedang menonton pelawak. Ivan duduk di sebelah Sonni,
“Dian gimana kabarnya Son...?”
basa-basinya sungguh membuat orang teringat masa lalu. Padahal ia tahu kalau
mereka sedang ada masalah. Merekapun ngobrol dan saling menanyakan satu sama
lain.
**BERSAMBUNG**
No comments:
Post a Comment