Saturday, March 9, 2013

Cerbung: Perempuan Setengah Hati 11

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)


Bagian 11
Jujur Itu Pedih
Sehabis diskusi ia langsung beranjak pulang. Diperjalanan ia teringat dengan Sari. Ia tak pernah memberi kabar seakan-akan ia mengngantungkan perasaan orang lain. Ia juga berpikir kalau saja itu semua terlimpah padanya pasti itu juga membuat setres. Ia berhenti disebuat rumah makan Padang. Sambil menunggu hidangan diantar oleh pelayan ia menarik ponselnya.

“Mis kol dulu, takutnya udah ganti nomor lagi.” Ujar Ivan dalam hati. Ia kemudian menekan-nekan tombol dan di Phone book. Di layar ponsel terlihat nama Sari. Lalu ia menempelkan di kuping. Setelah terdengar kalau nomor yang ia hubungi aktif lalu ia mengetik SMS.
To : Sari          19:14:01
Hai pa kabr..? kok ga kdngeran lagi...he..he..
ak kngen lo... ak hnya ingin jujur klu ak skrang
udh pnya pcar. Maafin ak ya. Ak tau kau bgtu syang
dg ku, ak mrasa tak pantas. Cari cowk yg lbh pantas
n lbh baik dari ku. Thank Ivan

     “sent”
            Hidangan yang ia tunggu kini telah terserak di depan matanya. Tanpa berfikir sesuatu ia langsung melahapnya dengan nafsu. Ia sangat suka sekali dengan masakan Padang bisa dibilang makanan faforit remaja ganten ini. Tidak terlihat sama sekali kalau dia seorang model yang seharusnya makan Steak atau menu Eropa dan Australia.
            Tidak lama dari itu ponselnya bergetar-getar di sakunya. Terpampang di layar “Sari memanggil”
            “Halo”
            “Halo, Ivan ya...?” tanya Sari seketika.
            “Oh...Sari, apa kabar...? Baik kan...?” seloroh Ivan dengan tawa-tawa kecil.
            “Elo kok gitu sih Van... lo udah lupa dengan kata-kata lo sendiri kalau elo mau setia ama gue selama-lamanya. Lo bilang lo nggak akan cari cewek lagi. Mana ucapan manis elo itu...?” Sari mengondok-ngondok, menahan emosinya yang membeludak.
            “Sori...Sori... gua nggak sanggup kalau kita harus pacaran jarak jauh seperti ini. Gua juga nggak tau apa yang lo lakuin disana. Lo setia atau nggak.” Dengan hati-hati sekali Ivan mengucapkan kata demi kata.
            “Elo nggak inget apa...Gue itu sayang banget ama lo Van. Kalau gue selingkuh atau gue punya yang lain untuk apa gue repot-repot sms elo setiap hari meski nggak pernah lo balas. Gue bukan orang pengingkar janji kayak Elo.” Suaranya semakin tidak karuan seperti menangis kali ini.
            “Sari..!.Sari...! tunggu dulu gua jujur karna gua sayang sama elo.” Usaha terakhir seorang buaya yang digunakan Ivan.
            “Alah ...Gombal..” ucap Sari keras.
            “Terserah elo deh, gua minta maaf kalau gua telah nyakitin perasaan lo.” Pinta Ivan dengan nada standar tapi, ia sepertinya sangat menjaga setiap kata yang keluar.
            “Van, gue sayang ma elo. Gue terlanjur memberikan semuanya. Gue nggak mau putus ma elo Van...” terlihat harga dirinya kini telah hancur.
            “Elo seorang model, elo cantik, mau cari cowok yang kayak gimana elo bisa. Carilah cowok yang lebih baik dari gua. Gua nggak bisa jadi yang terbaik.”
            “Van kenapa elo jahat banget ama gue...?” suara Sari kini tercampur aduk dengan isakan tangis. “Van, elo tetep yang terbaik buat gue.” Itulah kata-kata penutup dari Sari. Tut..tut....tut...pertanda kalau hubungan mereka kini seperti ponsel.
            Ivan langsung melanjutkan makan yang sempat jeda beberapa menit.
****
            Sari merasa kalau hatinya kini telah hancur berantakan. Ia juga mulai berfikir kalau ternyata semua cowok itu sama. Penggombal. Ia hanya terdiam di kamar, mukanya terus tertutup oleh boneka kelinci yang dibelikan Ivan saat jalan-jalan ke Mangga Dua. Sebuah Maal besar.  Terus terlintas sejuta tawa saat bermain Time Zone bersama Ivan dan jalan kaki mengintari sudut-sudut keramaian Jakarta waktu itu.
            “Ivan gue sayang elo.” Terdengar lirih dibalik seprai warna Pink. Isak-isak kecil juga mengiringi kata-katanya.
            “Tok...Tok....Tok..”
            “Non...Sari...” suara itu jelas dari Mbok Ijah, pembantu Sari dan juga sebagai lahan curhatnya dari kecil. Ia diasuh Mbok Ijah dari mulai ia lahir. Ibu dan Ayahnya orang sibuk, jarang dirumah paling-paling malam mereka bisa kumpul sama-sama.
            “Masuk Mbok....” sahut Sari pelan. Dengan hati-hati Mbok masuk membawakan sepiring nasi dan dihiasi lauk-pauk.
            “Kok...di kamar terus Non...? ada apa...Ini Mbok bawain makanan. Mau ya...? dari siang kamu belum makan...?” penuh perhatian sekali setiap titik-titik kalimat yang diutarakan oleh Mbok. Naum Sari hanya diam saja tanpa sepatah katapun. Ia malah semakin memendam wajahnya di atas kasur.
            “Kalau ada apa-apa cerita dong dengan Mbok... biasanya kan kamu juga cerita sama Mbok,” Dengan logat kencang dari Jawa membuat kata-katanya semakin asik di dengar. “Ada apa Non...?” tanya kembali Mbok. Sari kini mulai menyingkirkan boneka yang dari tadi ia peluk.
            “Mbok, laki-laki itu jahat banget ya Mbok...” tanpa berpikir panjang ia langsung mengeluarkan unek-unek kesal dari dalam hatinya. Mbok tersenyum seperti ia setuju apa yang dikatakan Sari.
            “Tergantung sih Non. Maksudnya tidak semuanya laki-laki itu jahat. Contohnya saja Bapak. Ia baikkan...?”
            “Kalau lagi baik.” Tumbur Sari. “Papa juga sering nyakitin Mama, buat nangis Mama.” Sepertinya ia mulai membongkar-bongkar semua.
            “Kamu disakitin cowok ya...?” tanya Mbok lembut. “Mbok juga Pernah disakitin Oleh seorang laki-laki. Makanya sampai sekarang Mbok sangat takut sekali dengan seorang laki-laki.” Sambil menyuapi Sari ia bercerita tentang bagaimana kisahnya dulu. “Dulu Mbok pernah punya suami selama satu tahun. Tapi, ia pergi entah kemana. Dia bilang mau menemui orang tuanya di Sumatra namun setelah Mbok tunggu selama dua tahun dia juga tidak kembali lagi.” Ia berhenti menyuapi Sari, tetesan air matanya menghentikan seluruh udara yang ada dikamar itu. Senyap. Sari merangkul.
            “Mbok kalau merasa terpaksa menceritakannya jangan diteruskan. Aku ngerti kok Mbok.” Samar-samar suara Sari di telinga Mbok Ijah.
            “Nggak apa-apa kok non.” Tangannya mengelus kepala Sari. “Kemudian Mbok kirim surat karena dia dulu pernah kasih alamat sewaktu kami masih tunangan. Katanya, dia tidak akan kembali ke Jawa lagi. Orangtuanya tidak setuju kalau dia dapat jodoh orang Jawa. Hati Mbok seperti hancur lebur saat itu Non... beberapa kali setelah itu Mbok masih kirim surat tapi tak pernah dibalas. Sampai suatu hari saudara kembar suami Mbok yang membalas. Kalau sebenarnya suami Mbok itu sudah menikah lagi di sana. Mbok semakin tidak karuan. Sampai sekarang Mbok paling takut dengan janji-janji laki-laki.” Semakin deras air matanya mengucur, membasahi pipi hingga daster yang ia pakai. Sari semakin gugah hatinya kalau penderitaan yang ia alami sekarang ini belum apa-apanya dibanding kehidupan Mbok Ijah. Kini ia merasa orang yang lebih beruntung.
            Sari merasa kalau dia yang paling sedih waktu sekarang itu. Namun teringat kata seseorang tokoh “Pada saat kita mendapat malapetaka atau bencana dan sebagainya. Pasti kita merasa kita yang paling sedih dan paling susah,” Ia masih begitu kesal dengan Ivan.
            Begitu pula Mbok juga sangat sakit hatinya jika ia mengingat apa yang telah diperbuat oleh suaminya dulu. Ia menceritakan itu semua hanya untuk menegarkan Sari dan sebenarnya ia tidak sanggup untuk mengingat kepahitan itu lagi.
**BERSAMBUNG**

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.