Bagian 11
Jujur Itu Pedih
Sehabis diskusi ia langsung beranjak
pulang. Diperjalanan ia teringat dengan Sari. Ia tak pernah memberi kabar
seakan-akan ia mengngantungkan perasaan orang lain. Ia juga berpikir kalau saja
itu semua terlimpah padanya pasti itu juga membuat setres. Ia berhenti disebuat
rumah makan Padang. Sambil menunggu hidangan diantar oleh pelayan ia menarik
ponselnya.
“Mis
kol dulu, takutnya udah ganti nomor lagi.” Ujar Ivan dalam hati. Ia kemudian menekan-nekan
tombol dan di Phone book. Di layar ponsel terlihat nama Sari. Lalu ia
menempelkan di kuping. Setelah terdengar kalau nomor yang ia hubungi aktif lalu
ia mengetik SMS.
To : Sari 19:14:01
Hai pa kabr..?
kok ga kdngeran lagi...he..he..
ak kngen lo...
ak hnya ingin jujur klu ak skrang
udh pnya pcar.
Maafin ak ya. Ak tau kau bgtu syang
dg ku, ak mrasa
tak pantas. Cari cowk yg lbh pantas
n lbh baik dari
ku. Thank Ivan
“sent”
Hidangan
yang ia tunggu kini telah terserak di depan matanya. Tanpa berfikir sesuatu ia
langsung melahapnya dengan nafsu. Ia sangat suka sekali dengan masakan Padang
bisa dibilang makanan faforit remaja ganten ini. Tidak terlihat sama sekali
kalau dia seorang model yang seharusnya makan Steak atau menu Eropa dan
Australia.
Tidak
lama dari itu ponselnya bergetar-getar di sakunya. Terpampang di layar “Sari
memanggil”
“Halo”
“Halo,
Ivan ya...?” tanya Sari seketika.
“Oh...Sari,
apa kabar...? Baik kan...?” seloroh Ivan dengan tawa-tawa kecil.
“Elo
kok gitu sih Van... lo udah lupa dengan kata-kata lo sendiri kalau elo mau
setia ama gue selama-lamanya. Lo bilang lo nggak akan cari cewek lagi. Mana
ucapan manis elo itu...?” Sari mengondok-ngondok, menahan emosinya yang
membeludak.
“Sori...Sori...
gua nggak sanggup kalau kita harus pacaran jarak jauh seperti ini. Gua juga
nggak tau apa yang lo lakuin disana. Lo setia atau nggak.” Dengan hati-hati
sekali Ivan mengucapkan kata demi kata.
“Elo
nggak inget apa...Gue itu sayang banget ama lo Van. Kalau gue selingkuh atau
gue punya yang lain untuk apa gue repot-repot sms elo setiap hari meski nggak
pernah lo balas. Gue bukan orang pengingkar janji kayak Elo.” Suaranya semakin
tidak karuan seperti menangis kali ini.
“Sari..!.Sari...!
tunggu dulu gua jujur karna gua sayang sama elo.” Usaha terakhir seorang buaya
yang digunakan Ivan.
“Alah
...Gombal..” ucap Sari keras.
“Terserah
elo deh, gua minta maaf kalau gua telah nyakitin perasaan lo.” Pinta Ivan
dengan nada standar tapi, ia sepertinya sangat menjaga setiap kata yang keluar.
“Van,
gue sayang ma elo. Gue terlanjur memberikan semuanya. Gue nggak mau putus ma
elo Van...” terlihat harga dirinya kini telah hancur.
“Elo
seorang model, elo cantik, mau cari cowok yang kayak gimana elo bisa. Carilah
cowok yang lebih baik dari gua. Gua nggak bisa jadi yang terbaik.”
“Van
kenapa elo jahat banget ama gue...?” suara Sari kini tercampur aduk dengan
isakan tangis. “Van, elo tetep yang terbaik buat gue.” Itulah kata-kata penutup
dari Sari. Tut..tut....tut...pertanda kalau hubungan mereka kini seperti
ponsel.
Ivan
langsung melanjutkan makan yang sempat jeda beberapa menit.
****
Sari
merasa kalau hatinya kini telah hancur berantakan. Ia juga mulai berfikir kalau
ternyata semua cowok itu sama. Penggombal. Ia hanya terdiam di kamar, mukanya
terus tertutup oleh boneka kelinci yang dibelikan Ivan saat jalan-jalan ke Mangga
Dua. Sebuah Maal besar. Terus terlintas
sejuta tawa saat bermain Time Zone bersama Ivan dan jalan kaki mengintari
sudut-sudut keramaian Jakarta waktu itu.
“Ivan
gue sayang elo.” Terdengar lirih dibalik seprai warna Pink. Isak-isak kecil
juga mengiringi kata-katanya.
“Tok...Tok....Tok..”
“Non...Sari...”
suara itu jelas dari Mbok Ijah, pembantu Sari dan juga sebagai lahan curhatnya
dari kecil. Ia diasuh Mbok Ijah dari mulai ia lahir. Ibu dan Ayahnya orang sibuk,
jarang dirumah paling-paling malam mereka bisa kumpul sama-sama.
“Masuk
Mbok....” sahut Sari pelan. Dengan hati-hati Mbok masuk membawakan sepiring
nasi dan dihiasi lauk-pauk.
“Kok...di
kamar terus Non...? ada apa...Ini Mbok bawain makanan. Mau ya...? dari siang
kamu belum makan...?” penuh perhatian sekali setiap titik-titik kalimat yang
diutarakan oleh Mbok. Naum Sari hanya diam saja tanpa sepatah katapun. Ia malah
semakin memendam wajahnya di atas kasur.
“Kalau
ada apa-apa cerita dong dengan Mbok... biasanya kan kamu juga cerita sama Mbok,” Dengan logat kencang dari Jawa
membuat kata-katanya semakin asik di dengar. “Ada apa Non...?” tanya kembali
Mbok. Sari kini mulai menyingkirkan boneka yang dari tadi ia peluk.
“Mbok,
laki-laki itu jahat banget ya Mbok...” tanpa berpikir panjang ia langsung
mengeluarkan unek-unek kesal dari dalam hatinya. Mbok tersenyum seperti ia
setuju apa yang dikatakan Sari.
“Tergantung
sih Non. Maksudnya tidak semuanya laki-laki itu jahat. Contohnya saja Bapak. Ia
baikkan...?”
“Kalau
lagi baik.” Tumbur Sari. “Papa juga sering nyakitin Mama, buat nangis Mama.”
Sepertinya ia mulai membongkar-bongkar semua.
“Kamu
disakitin cowok ya...?” tanya Mbok lembut. “Mbok juga Pernah disakitin Oleh
seorang laki-laki. Makanya sampai sekarang Mbok sangat takut sekali dengan
seorang laki-laki.” Sambil menyuapi Sari ia bercerita tentang bagaimana
kisahnya dulu. “Dulu Mbok pernah punya suami selama satu tahun. Tapi, ia pergi
entah kemana. Dia bilang mau menemui orang tuanya di Sumatra namun setelah Mbok
tunggu selama dua tahun dia juga tidak kembali lagi.” Ia berhenti menyuapi
Sari, tetesan air matanya menghentikan seluruh udara yang ada dikamar itu.
Senyap. Sari merangkul.
“Mbok
kalau merasa terpaksa menceritakannya jangan diteruskan. Aku ngerti kok Mbok.”
Samar-samar suara Sari di telinga Mbok Ijah.
“Nggak
apa-apa kok non.” Tangannya mengelus kepala Sari. “Kemudian Mbok kirim surat
karena dia dulu pernah kasih alamat sewaktu kami masih tunangan. Katanya, dia
tidak akan kembali ke Jawa lagi. Orangtuanya tidak setuju kalau dia dapat jodoh
orang Jawa. Hati Mbok seperti hancur lebur saat itu Non... beberapa kali
setelah itu Mbok masih kirim surat tapi tak pernah dibalas. Sampai suatu hari
saudara kembar suami Mbok yang membalas. Kalau sebenarnya suami Mbok itu sudah
menikah lagi di sana. Mbok semakin tidak karuan. Sampai sekarang Mbok paling
takut dengan janji-janji laki-laki.” Semakin deras air matanya mengucur,
membasahi pipi hingga daster yang ia pakai. Sari semakin gugah hatinya kalau penderitaan
yang ia alami sekarang ini belum apa-apanya dibanding kehidupan Mbok Ijah. Kini
ia merasa orang yang lebih beruntung.
Sari
merasa kalau dia yang paling sedih waktu sekarang itu. Namun teringat kata
seseorang tokoh “Pada saat kita mendapat malapetaka atau bencana dan
sebagainya. Pasti kita merasa kita yang paling sedih dan paling susah,” Ia
masih begitu kesal dengan Ivan.
Begitu
pula Mbok juga sangat sakit hatinya jika ia mengingat apa yang telah diperbuat
oleh suaminya dulu. Ia menceritakan itu semua hanya untuk menegarkan Sari dan
sebenarnya ia tidak sanggup untuk mengingat kepahitan itu lagi.
**BERSAMBUNG**
No comments:
Post a Comment