![]() |
ilustrasi by: www.destination360.com |
Bagian 6
Camping
Terang-benerang
malam itu. Di samping bulan yang membundar seperti bola ditambah kerlap-kerlip
bintang. Angin yang datangpun terlalu bersahabat meski membawa dingin namun
menyimpan keromantisan tersendiri. Kebisingan kota sangat jauh, polusi udara
juga terjaga.
Memang
suasana gunung seperti ini pasti didambakan banyak remaja. Begitu pula ketiga
remaja yang sekarang ini sedang menyusun kayu untuk dibakar sebagai penghangat
badan sekaligus sebagai alat untuk merebus air. Dino,
”Van,
ambil kopi di ransel gua.” Sambil ia berusaha menyalakan korek api. Ivan dengan
kegelapan meraba-raba tas yang tadi terimpan manis dipojok
tenda mereka.
”Bim,
kamu dingin nggak..?” tanya Dino sambil melipat tangannya di bawah ketek.
”Ya...jelaslah,
namanya juga gunung kalau panas itu namanya pantai.” jelaskan Bima sambil
menarik sebatang rokok. Api menyala dengan perlahan-lahan mulai membesar. Tepi,
Ivan belum juga keluar dari tenda.
”Ada
nggak Van..?” tanya Bima singkat, sepertinya ia taksanggup lagi menahan
hasratnya untuk segra minum kopi. Namanya juga gunung, di gunung itu paling
enak minum kopi hangat terus ngeliwet, berpikir sebentar Bima dalam hati.
”Nggak
keliatan Bro’...” keluar Ivan tak membawa hasil.
”Senter
di mana sih...?” tanyanya pada kedua temannya yang duduk enak di depan api.
Tidak ada satupun yang menjawab diantara mereka berdua. Dino hanya mengangkat
tangannya sambil menyala-nyalakan senter itu. Ivan dengan gegas menuju mereka.
”Bim,
gantian elo yang ngambil kopinya, gua udah capek nih.” ucapnya sambil duduk. Ia
juga menjulurkan tangannya disamping dekat api. Sepertinya ia merasa sangat
dingin sekali.
Tidak
tanggung-tanggung. Bima membawanya dengan ransel-ranselnya keluar.
”Susah
banget sih.” ucapnya sambil sempoyongan mengangkat ransel yang berisikan perbekalan
selama tiga hari di gunung.
”Baguslah,”
Ivan sambil tersungging mengomentari perbuatan temannya itu. Asik sekali
sepertinya mereka dengan tawa yang keras dan suara gitar dengan nyaring terus
terdengar sampai tengah malam menjelang.
Suara
binatang kecil juga terus mengiringi seperti tidak mau kalah dengan mereka.
Mereka juga belum ngantuk. Ivan pergi sebentar masuk ke tenda untuk mengambil
makanan yang tersimpan di ranselnya yang tak terangkut oleh Bima. Dengan
membawa senter batrai yang tergenggam erat di tangan kanannya.
”Wah
...semakin lengkap aja malam ini” ujar Dino sambil tertawa kecil dari bibirnya.
Mereka memang ingin begadang. Menghilangkan kejenuhan selama berada di kota
yang selalu disibukkan oleh tugas-tugas kuliah sampai kesibukan luar setiap
harinya seperti Ivan yang terlalu silau menatap kerlap-kerlip dunia model.
Benar-benar enak untuk bersantai suasana gunung.
Sinar
bulan yang terpancar mulai berangsur menepi dari langit yang memayungi mereka
meski sinarnya yang sedikit tertutup oleh pohon-pohon yang rindang. Disana pula
terletak keindahan Gunung meski sekarang telah banyak yang gundul ulah penebang
yang tak mempunyai otak. Para penebang pohon
tak pernah berpikir kalau akibat ulah mereka akan menyebabkan malapetaka
dahsat yang siap menghayutkan.
Malam
berlalu begitu saja. Ivan belum juga tidur meski kedua temannya telah
terbungkus rapi dalam sleeping bag.
Ia tak perduli. Dia sangat asik sekali mengotak atik note booknya. Entah kapan ia akan melepas barang teknologi canggih
itu.
****
Siang
menyala-nyala dengan sinar matahari tajam. Ketiga pemuda itu telah tiga hari
menjalani kehidupan di gunung. Tenda telah mereka lipat rapi begitu pula
peralatan-peralatan mereka telah terkemasi semua, meski ia masih akan pulang
setelah matahari mulai lengser dari pertengahan.
Kembali
mereka merebus air untuk menyeduh bungkusan kopi yang mereka bawa dari kota
tentunya, maklum di gunung seperti ini sangat susah sekali menjumpai warung.
Jangankan warung rumah-rumah warga juga jauh dari sini. Bungkusan roti juga
ikut serta meramaikan santai pagi.
Setelah
siang menggotong, mereka juga berangsur turun dari lereng gunung. Sekitar 3 mil
dari pedesaan tempat mereka menitipkan mobil. Ransel besar menghiasi pinggung
cowok-cowok keren dari kota itu.
Dino
sepertinya kelelahan, karena ranselnya yang paling besar diantara mereka, yang
berisikan tenda dan peralatan masak. Mereka bukan PA yang terbiasa dengan naik
gunung turun gunung yang selalu membawa ransel besar tentunya lebih berat dari
yang digendong oleh Dino sekarang ini.
Setelah
sampai pedesaan mereka sepertinya sangat lelah sekali namun mereka terus
berjalan dengan lambat. Mereka sangat memburu waktu yang mulai menampakkan
matahari sangat condong ke barat. Seorang cewek berpapasan dengan mereka, Dino
dengan agresif merespon gadis itu.
”Hai,...Neng..!”
menggoda. Bima hanya senyum melihat temannya yang begitu doyan dengan cewek.
”Jangan
asal nggoda, ini bukan kota, ntar ada yang sewot. Mampus lo.” nasehat Ivan yang
sedikit takut dengan perbuatan seperti itu. Kembali mereka tertawa riang sambil memetik-metik
gitar tidak karuan di sepanjang jalan menuju rumah Pak RT tempat menitip mobil.
Sesampainya di depan rumah Pak RT mereka langsung
disambut oleh istri Pak RT yang telah kenal dengan tiga pemuda ganteng dari
kota itu. Menyuruh istirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Namun
mereka sedikit menolak karena hari telah mulai menampakkan tanda-tanda malam.
Beberapa kali suara Ponsel terus bergantian. Wajar sih selama tiga hari sinyal
tak menjamah ponsel mereka bertiga, jadi begitu menumpuk. Apa lagi Ivan yang
tergolong manusia yang mempunyai fens yang tidak sedikit.
****
Cahaya terang telah terlihat dari jauh.
Kerlap-kerlip lampu kota yang senantiasa nyala sampai malam menghabiskan
mereka. Terlihat sangat bagus sekali dari lereng-lereng bukit. Mungkin kita
hanya bisa geleng-geleng kepala jika meleihat keindahan seperti itu. Sebenarnya
kota hanya bagus jika di lihat dari kejauhan, tapi jika masuk kedalamnya maka
rasakan sendiri. Betapa polusi yang tak henti, ditambah bau sampah yang
berceceran ditepi-tepi jalan, tidak indah sama sekali.
Kembali
beruntun-runtun SMS masuk ke ponsel Ivan.
”Wah,
disini sinyal sudah penuh, Bro.” ujar Ivan menekan-nekan tombol ponsel,
bermacam-macam sumber SMS. Terutama Sari yang pertama ia baca kemudian pacarnya
yang lain. Tak lupa Mbak Popy yang ikut sibuk menanyakan keberadaan Ivan.
Memang ia tidak memberi tahu siapapun kecuali Ibunya. Belum lagi fens-fens
beratnya yang selalu ingin tau keadaannya.
Suara
musik sangat keras memandu mereka dalam mengendara mobil Jeep itu. Wajarlah anak
muda, pasti gemar mendengarkan musik. Dengan bisik-bisik terlihat bibir Bima
mengikuti lagu yang sedang mengalun dari Linkin
Park itu. Dino juga ikut-ikutan bersiul mengiringi melodi lagu kesayangan
mereka. Tol Cipularang telah habis mereka lalui ia kemudian keluar dari pintu
Tol Kopo yang tidak jauh dari rumah Ivan. Sudah janji mereka untuk mengantar
Ivan sampai kedepan rumahnya.
Pepohonan
ikut menyambut hadirnya sosok yang lesu dan lelah itu. Ivan ikut menyapa
mereka, tak terdengar oleh telinga para manusia biasa, yang jelas hanya melalui
hati saja.
**BERSAMBUNG**
No comments:
Post a Comment