Saturday, February 16, 2013

Cerbung: Perempuan Setengah Hati 6


ilustrasi by: www.destination360.com
Bagian 6
Camping
             Terang-benerang malam itu. Di samping bulan yang membundar seperti bola ditambah kerlap-kerlip bintang. Angin yang datangpun terlalu bersahabat meski membawa dingin namun menyimpan keromantisan tersendiri. Kebisingan kota sangat jauh, polusi udara juga terjaga.
            Memang suasana gunung seperti ini pasti didambakan banyak remaja. Begitu pula ketiga remaja yang sekarang ini sedang menyusun kayu untuk dibakar sebagai penghangat badan sekaligus sebagai alat untuk merebus air. Dino,
            ”Van, ambil kopi di ransel gua.” Sambil ia berusaha menyalakan korek api. Ivan dengan kegelapan meraba-raba tas yang tadi terimpan manis dipojok
tenda mereka.
            ”Bim, kamu dingin nggak..?” tanya Dino sambil melipat tangannya di bawah ketek.
            ”Ya...jelaslah, namanya juga gunung kalau panas itu namanya pantai.” jelaskan Bima sambil menarik sebatang rokok. Api menyala dengan perlahan-lahan mulai membesar. Tepi, Ivan belum juga keluar dari tenda.
            ”Ada nggak Van..?” tanya Bima singkat, sepertinya ia taksanggup lagi menahan hasratnya untuk segra minum kopi. Namanya juga gunung, di gunung itu paling enak minum kopi hangat terus ngeliwet, berpikir sebentar Bima dalam hati.
            ”Nggak keliatan Bro’...” keluar Ivan tak membawa hasil.
            ”Senter di mana sih...?” tanyanya pada kedua temannya yang duduk enak di depan api. Tidak ada satupun yang menjawab diantara mereka berdua. Dino hanya mengangkat tangannya sambil menyala-nyalakan senter itu. Ivan dengan gegas menuju mereka.
            ”Bim, gantian elo yang ngambil kopinya, gua udah capek nih.” ucapnya sambil duduk. Ia juga menjulurkan tangannya disamping dekat api. Sepertinya ia merasa sangat dingin sekali.
            Tidak tanggung-tanggung. Bima membawanya dengan ransel-ranselnya keluar.
            ”Susah banget sih.” ucapnya sambil sempoyongan mengangkat ransel yang berisikan perbekalan selama tiga hari di gunung.
            ”Baguslah,” Ivan sambil tersungging mengomentari perbuatan temannya itu. Asik sekali sepertinya mereka dengan tawa yang keras dan suara gitar dengan nyaring terus terdengar sampai tengah malam menjelang.
            Suara binatang kecil juga terus mengiringi seperti tidak mau kalah dengan mereka. Mereka juga belum ngantuk. Ivan pergi sebentar masuk ke tenda untuk mengambil makanan yang tersimpan di ranselnya yang tak terangkut oleh Bima. Dengan membawa senter batrai yang tergenggam erat di tangan kanannya.
            ”Wah ...semakin lengkap aja malam ini” ujar Dino sambil tertawa kecil dari bibirnya. Mereka memang ingin begadang. Menghilangkan kejenuhan selama berada di kota yang selalu disibukkan oleh tugas-tugas kuliah sampai kesibukan luar setiap harinya seperti Ivan yang terlalu silau menatap kerlap-kerlip dunia model. Benar-benar enak untuk bersantai suasana gunung.
            Sinar bulan yang terpancar mulai berangsur menepi dari langit yang memayungi mereka meski sinarnya yang sedikit tertutup oleh pohon-pohon yang rindang. Disana pula terletak keindahan Gunung meski sekarang telah banyak yang gundul ulah penebang yang tak mempunyai otak. Para penebang pohon  tak pernah berpikir kalau akibat ulah mereka akan menyebabkan malapetaka dahsat yang siap menghayutkan.
            Malam berlalu begitu saja. Ivan belum juga tidur meski kedua temannya telah terbungkus rapi dalam sleeping bag. Ia tak perduli. Dia sangat asik sekali mengotak atik note booknya. Entah kapan ia akan melepas barang teknologi canggih itu.
****

            Siang menyala-nyala dengan sinar matahari tajam. Ketiga pemuda itu telah tiga hari menjalani kehidupan di gunung. Tenda telah mereka lipat rapi begitu pula peralatan-peralatan mereka telah terkemasi semua, meski ia masih akan pulang setelah matahari mulai lengser dari pertengahan.
            Kembali mereka merebus air untuk menyeduh bungkusan kopi yang mereka bawa dari kota tentunya, maklum di gunung seperti ini sangat susah sekali menjumpai warung. Jangankan warung rumah-rumah warga juga jauh dari sini. Bungkusan roti juga ikut serta meramaikan santai pagi.
            Setelah siang menggotong, mereka juga berangsur turun dari lereng gunung. Sekitar 3 mil dari pedesaan tempat mereka menitipkan mobil. Ransel besar menghiasi pinggung cowok-cowok keren dari kota itu.
            Dino sepertinya kelelahan, karena ranselnya yang paling besar diantara mereka, yang berisikan tenda dan peralatan masak. Mereka bukan PA yang terbiasa dengan naik gunung turun gunung yang selalu membawa ransel besar tentunya lebih berat dari yang digendong oleh Dino sekarang ini.
            Setelah sampai pedesaan mereka sepertinya sangat lelah sekali namun mereka terus berjalan dengan lambat. Mereka sangat memburu waktu yang mulai menampakkan matahari sangat condong ke barat. Seorang cewek berpapasan dengan mereka, Dino dengan agresif merespon gadis itu.
            ”Hai,...Neng..!” menggoda. Bima hanya senyum melihat temannya yang begitu doyan dengan cewek.
            ”Jangan asal nggoda, ini bukan kota, ntar ada yang sewot. Mampus lo.” nasehat Ivan yang sedikit takut dengan perbuatan seperti itu. Kembali  mereka tertawa riang sambil memetik-metik gitar tidak karuan di sepanjang jalan menuju rumah Pak RT tempat menitip mobil.
            Sesampainya di depan rumah Pak RT mereka langsung disambut oleh istri Pak RT yang telah kenal dengan tiga pemuda ganteng dari kota itu. Menyuruh istirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Namun mereka sedikit menolak karena hari telah mulai menampakkan tanda-tanda malam. Beberapa kali suara Ponsel terus bergantian. Wajar sih selama tiga hari sinyal tak menjamah ponsel mereka bertiga, jadi begitu menumpuk. Apa lagi Ivan yang tergolong manusia yang mempunyai fens yang tidak sedikit.
****
            Cahaya terang telah terlihat dari jauh. Kerlap-kerlip lampu kota yang senantiasa nyala sampai malam menghabiskan mereka. Terlihat sangat bagus sekali dari lereng-lereng bukit. Mungkin kita hanya bisa geleng-geleng kepala jika meleihat keindahan seperti itu. Sebenarnya kota hanya bagus jika di lihat dari kejauhan, tapi jika masuk kedalamnya maka rasakan sendiri. Betapa polusi yang tak henti, ditambah bau sampah yang berceceran ditepi-tepi jalan, tidak indah sama sekali.
            Kembali beruntun-runtun SMS masuk ke ponsel Ivan.
            ”Wah, disini sinyal sudah penuh, Bro.” ujar Ivan menekan-nekan tombol ponsel, bermacam-macam sumber SMS. Terutama Sari yang pertama ia baca kemudian pacarnya yang lain. Tak lupa Mbak Popy yang ikut sibuk menanyakan keberadaan Ivan. Memang ia tidak memberi tahu siapapun kecuali Ibunya. Belum lagi fens-fens beratnya yang selalu ingin tau keadaannya.
            Suara musik sangat keras memandu mereka dalam mengendara mobil Jeep itu. Wajarlah anak muda, pasti gemar mendengarkan musik. Dengan bisik-bisik terlihat bibir Bima mengikuti lagu yang sedang mengalun dari Linkin Park itu. Dino juga ikut-ikutan bersiul mengiringi melodi lagu kesayangan mereka. Tol Cipularang telah habis mereka lalui ia kemudian keluar dari pintu Tol Kopo yang tidak jauh dari rumah Ivan. Sudah janji mereka untuk mengantar Ivan sampai kedepan rumahnya.
            Pepohonan ikut menyambut hadirnya sosok yang lesu dan lelah itu. Ivan ikut menyapa mereka, tak terdengar oleh telinga para manusia biasa, yang jelas hanya melalui hati saja.                                                                                      
**BERSAMBUNG**

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.