Oleh: Mulyadi Saputra dan Richa Febrina
Aku benar-benar terkejut, tidak pernah menyangka akan bertemu kembali
dengan sosok yang sempat membuat hati ini bergetar beberapa waktu lalu, dan
sekarang dia berada dihadapanku, ada perasaan bahagia namun entah mengapa aku
tak berani mengangkat wajahku, pertama kali melihatnya tekadku yang sebesar
batu karang tiba-tiba saja hancur, kebencian yang menjalari tubuhku sedikit
demi sedikit mulai terlepas, perasaan yang telah tersayat seolah telah terobati,
padahal aku tidak mengenal siapa sosok yang sedang berada dihadapanku, tapi dia
seolah angin yang didatangkan Tuhan untuk meneyejukkan jiwa yang kering
kerontang ini.
“Sekarang kumpul di tempat biasa,” ucapnya tersenyum lembut pada Dinda
sahabatku,
“Iya kak,” sahut Dinda membalas senyumannya.
Aku masih sibuk melempar pandanganku kearah lain sambil sesekali mencoba
untuk meliriknya, akhirnya dia pun pergi dan aku hanya bisa menatapnya dari
belakang.
“Arini, kamu mau ikut?” tanya Dinda.
“Kemana?”
“Biasa lah, ke sanggar,”
Dinda memang senang melukis.
Aku menyunggingkan kedua ujung bibirku sambil menggeleng.
“Oh, ya udah nggak apa- apa, kalau begitu aku pergi
dulu,”
Aku mengangguk.
Dia pun pergi.
Sosok itu kembali menghampiri pikiranku, munafik kalau aku bilang tidak
ingin mengetahui siapa dia, tapi jujur selama ini aku memang tidak pernah
mencoba untuk mencari tahu tentangnya, meski demikian bukan berarti aku tidak
pernah mengingatnya, dia selalu berada dalam benakku dan setiap kali aku
mengingatnya, aku hanya bisa mengingat, tak ada yang bisa kulakukan selain itu.
Sepulang dari kampus tidak sengaja aku bertemu dengannya, pandangan kami
sempat bertemu, tapi aku segera berpaling, bergegas aku pergi, aku pernah
merasakan perasaan seperti ini dulu, perasaan ini aku rasakan saat aku bertemu
dengan Raka, sosok yang berhasil meluluhkan hatiku, memberikan kebahagiaan,
membuat seolah aku adalah orang yang paling beruntung di dunia karena telah
mendapat kasih sayangnya, tapi rupanya kebahagiaan itu semu, semuanya palsu, dalam
sekejap dia telah menghancurkan hati yang selama ini menjadi tempat aku memupuk
dan memelihara kasih sayang untuknya, sejak saat itu aku bertekad untuk menutup
pintu hati ini meski sebenarnya hati ini haus akan kasih sayang. namun, aku
tetap berusaha menutupnya serapat mungkin, aku tidak ingin merasakan kesakitan
lagi, sudah cukup sekali saja perasaan ini tergores dan menyisakan luka yang
teramat dalam.
Ternyata aku tidak sekuat dan setegar keinginanku, kali ini aku harus menerima
kenyataan kalau dia telah berhasil membuatku menyukainya, padahal selama ini
aku terus berusaha untuk tidak menyukai siapapun, ya Tuhan….seandainya aku bisa
memilih, lebih baik tidak pernah merasakan jatuh cinta daripada aku merasakan perasaan
itu tapi harus tersimpan dalam hati saja, itu teramat menyakitkan, aku benar-benar
lelah dengan kesedihan yang menimpaku selama ini, cinta itu indah tapi kenapa
cinta yang menghampiriku tidak seindah cinta yang menghampiri orang-orang,
justru cinta yang datang padaku seolah menjadi sumber kesedihan dalam hidupku.
Saat aku sedang duduk di kantin tiba-tiba seseorang datang menghampiriku
“Kamu temannya Dinda kan?”
tanyanya berdiri tegak dihadapanku.
“Ehm…..iya” jawabku singkat, entahlah perasaan ini terasa tak menentu.
“Dindanya mana ya?”
“Oh….hari ini dia nggak masuk, sakit”
“Begitu ya?”
Aku mengangguk
“Oh iya, nama saya Adit” dia mengulurkan tangannya.
Aku tertegun menatap uluran tangannya.
“Arini” setelah beberapa saat aku pun menyambut uluran tangan itu.
“Kamu nggak ikutan di sanggar?”
“Aku nggak bisa melukis”
Obrolan pun mengalir, sejak saat itu kedekatan pun mulai terjalin
diantara kami, ada perasaan bahagia karena sekarang aku bisa dekat dengan orang
yang kusukai, setidaknya aku bisa selalu melihat senyumannya, mendengar
cerita-cerita tentangnya, candaannya, kini aku bisa mengenalnya.
Kebaikan yang selama ini Adit berikan selain membuatku bahagia tapi juga
membuat hati ini sakit, dia baik pada semua orang tapi ketika kebaikannya
tertuju padaku kadang aku mengartikannya lain, sehingga secara tidak langsung
aku menyakiti perasaanku sendiri, banyak sekali pertanyaan dan harapan dalam
benakku, entah sampai kapan aku akan begini, aku merasa nyaman berada
disampingnya namun, itu sangat menyakitkan, dia seperti fatamorgana, hal
terindah yang berada di depan mata tapi tak bisa kugapai, aku sudah cukup merasa
lelah dengan keadaan ini dan sepertinya aku harus mengakhiri harapan-harapan
yang selama ini bertumpuk dalam otakku, sakit memang tapi mungkin kesakitanku
tak seberapa dibanding kesakitan yang dirasakan Zulaikha pada Yusuf, entahlah
apa perasaan yang kurasakan pada Adit pun sebesar perasaan Juliet pada Romeo.
“Arini! tunggu!” teriak Adit sambil berlari menghampiriku, saat itu aku
baru keluar kelas.
Aku pun menghentikan langkahku,
“Kamu ada waktu? ada yang ingin kubicarakan,”
Aku menatap mata elangnya “Maaf, aku nggak bisa, lain kali saja,” kataku
sambil berlalu.
Akhir-akhir ini aku memang sengaja menghindari Adit, sebenarnya aku tidak
mau melakukan hal ini, tapi mungkin inilah satu-satunya cara supaya aku bisa
menghilangkan perasaanku terhadapnya, mungkin saja karena Adit tidak memiliki
perasaan yang sama sepertiku.
“Arini…”
“Maaf Dit, aku harus pergi,” kataku saat kami bertemu di perpustakaan,
tapi dia menghalangi jalanku.
“Kamu kenapa Arini? kayaknya kamu nggak mau ketemu
sama aku”
Aku hanya bisa diam sambil tertunduk “Bukan begitu Dit,”
“Aku bikin salah ya sama kamu?”
Mulutku masih terbungkam, lalu aku mengarahkan pandanganku ke tempat
lain.
“Oke, kalau aku punya salah aku minta maaf, tapi kamu jangan bersikap
seperti ini Arini!”
Aku mengalihkan pandanganku ke wajahnya tapi aku masih tetap terdiam,
lidah ini terasa kelu.
“Ada apa
sebenarnya Arini?”
Itulah pertanyaan yang selama ini kutakutkan keluar dari mulutnya, karena
pertanyaan itu tak mungkin bisa kujawab, aku nggak mungkin berkata bohong tapi
jujur pun aku tak mampu
“Apa yang menjadi penyebab kamu menghindar dariku?”
“Aku tidak mampu berada didekat kamu Adit, karena setiap aku berada
disampingmu perasaan ini semakin mendalam saja dan itu sangat membuatku
tersiksa, tapi dengan menjauh pun itu malah tambah menyakitkan” kata-kata itu tak terkeluar dari mulutku.
Berat rasanya.
“Arini…..”
“Aku cuma pengen sendiri,” ucapku.
“Kamu lagi ada masalah?” tanyanya terlihat khawatir.
“Jangan seperti itu terhadapku Adit,” sahutku.
“Maksud kamu?” dia mengerutkan dahinya.
“Aku…aku akan berusaha jadi seorang teman yang baik buat kamu,” kataku
sambil mangalihkan pandanganku kearah lain karena rupanya mataku mulai
berkaca-kaca, begitu berat rasanya aku mengucapkan kalimat itu, sakit rasanya.
Dia hanya menatapku heran.
“Permisi” aku pun pergi meninggalkannya, aku melangkah secepat mungkin
karena air mataku sudah tak bisa terbandung lagi, ternyata seperti ini rasanya
patah hati, aku tidak pernah membayangkan sebelumnya tapi sekarang aku
merasakan bagaimana rasanya.
Selama ini aku terlalu berharap banyak dari Adit, aku menyangka kalau
selama ini dia memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan padahal itu
belum tentu, mungkin dia hanya menginginkan teman dekat, hanya sebatas teman
dekat, tidak lebih, sedangkan aku dari awal berjumpa sudah menyukainya,
harusnya aku bersyukur bisa menjadi temannya, aku tidak mungkin menghilangkan
perasaan ini, aku tidak mampu untuk menjauh darinya, mungkin aku harus merasa
cukup walau hanya sebagai temannya, kalau dengan berteman saja aku bisa dekat
kenapa tidak? toh yang kuinginkan adalah selalu bisa dekat dengannya dan selalu
berada disampingnya.
Berulang kali aku pikir. Otakku sampai
kejang-kejang dibuatnya. Tak mungkin aku akan terus di sampingnya tanpa aku
mendapatkannya. Itu hal mustahil. Aku benar-benar mencintainya. Kuulang sekali
lagi kalau perlu. Namun, sebenarnya perasaan ini yang akan membunuhku
pelan-pelan saat semua terbuyar.
Beberapa hari ini aku tak melihat Adit di
kampus. Maklum saja dia memang sedikit sibuk dibanding mahasiswa lain. Selain
urusan sanggar lukis, urusan pekerjaan, sampai tugas kuliah. Ia juga sedang ada
masalah besar dengan rektorat kampus. Masalah lukisan tentunya. Ada salah seorang temannya di sanggar membuat karikatur Rektor, dan masalah itu pula yang
memboyongnya mendapat surat
teguran. Hanya itu yang pernah ia ceritakan padaku. Aku ingin sekali melihat
senyumnya yang lebar dan mata elangnya menyipit. Kalau aku bilang rindu,
mungkin saja iya. Tapi aku yakin ia tak pedulikan itu. Yakin benar.
“Arini… mau kemana? Ih...aku dari tadi nyari
kamu.” Dinda terengah-engah mengejarku saat aku melintas di depan sanggar.
Rupanya dia ada disana.
“Ada
apa Din?”
“Kamu ada lihat Kak Adit nggak minggu-minggu
ini?” tak juga aku mengerti. Namun hatiku telah merasakan hawa tak nyaman. Aku
menggelengkan kepala.
“Dia, berhenti kuliah…di DO” mataku membulat
seperti mau lepas. Seluruh darah dan urat nadiku serasa putus. Persendian tulangku
nyilu tak karuan. Hatiku telah remuk.
***
No comments:
Post a Comment