Friday, November 30, 2012

Fatamorgana

Oleh: Mulyadi Saputra dan Richa Febrina


Aku benar-benar terkejut, tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan sosok yang sempat membuat hati ini bergetar beberapa waktu lalu, dan sekarang dia berada dihadapanku, ada perasaan bahagia namun entah mengapa aku tak berani mengangkat wajahku, pertama kali melihatnya tekadku yang sebesar batu karang tiba-tiba saja hancur, kebencian yang menjalari tubuhku sedikit demi sedikit mulai terlepas, perasaan yang telah tersayat seolah telah terobati, padahal aku tidak mengenal siapa sosok yang sedang berada dihadapanku, tapi dia seolah angin yang didatangkan Tuhan untuk meneyejukkan jiwa yang kering kerontang ini.
“Sekarang kumpul di tempat biasa,” ucapnya tersenyum lembut pada Dinda sahabatku,
“Iya kak,” sahut Dinda membalas senyumannya.
Aku masih sibuk melempar pandanganku kearah lain sambil sesekali mencoba untuk meliriknya, akhirnya dia pun pergi dan aku hanya bisa menatapnya dari belakang.
“Arini, kamu mau ikut?” tanya Dinda.
“Kemana?”
“Biasa lah, ke sanggar,”
Dinda memang senang melukis.
Aku menyunggingkan kedua ujung bibirku sambil menggeleng.
“Oh, ya udah nggak apa- apa, kalau begitu aku pergi dulu,”
Aku mengangguk.
Dia pun pergi.
Sosok itu kembali menghampiri pikiranku, munafik kalau aku bilang tidak ingin mengetahui siapa dia, tapi jujur selama ini aku memang tidak pernah mencoba untuk mencari tahu tentangnya, meski demikian bukan berarti aku tidak pernah mengingatnya, dia selalu berada dalam benakku dan setiap kali aku mengingatnya, aku hanya bisa mengingat, tak ada yang bisa kulakukan selain itu.
Sepulang dari kampus tidak sengaja aku bertemu dengannya, pandangan kami sempat bertemu, tapi aku segera berpaling, bergegas aku pergi, aku pernah merasakan perasaan seperti ini dulu, perasaan ini aku rasakan saat aku bertemu dengan Raka, sosok yang berhasil meluluhkan hatiku, memberikan kebahagiaan, membuat seolah aku adalah orang yang paling beruntung di dunia karena telah mendapat kasih sayangnya, tapi rupanya kebahagiaan itu semu, semuanya palsu, dalam sekejap dia telah menghancurkan hati yang selama ini menjadi tempat aku memupuk dan memelihara kasih sayang untuknya, sejak saat itu aku bertekad untuk menutup pintu hati ini meski sebenarnya hati ini haus akan kasih sayang. namun, aku tetap berusaha menutupnya serapat mungkin, aku tidak ingin merasakan kesakitan lagi, sudah cukup sekali saja perasaan ini tergores dan menyisakan luka yang teramat dalam.
Ternyata aku tidak sekuat dan setegar keinginanku, kali ini aku harus menerima kenyataan kalau dia telah berhasil membuatku menyukainya, padahal selama ini aku terus berusaha untuk tidak menyukai siapapun, ya Tuhan….seandainya aku bisa memilih, lebih baik tidak pernah merasakan jatuh cinta daripada aku merasakan perasaan itu tapi harus tersimpan dalam hati saja, itu teramat menyakitkan, aku benar-benar lelah dengan kesedihan yang menimpaku selama ini, cinta itu indah tapi kenapa cinta yang menghampiriku tidak seindah cinta yang menghampiri orang-orang, justru cinta yang datang padaku seolah menjadi sumber kesedihan dalam hidupku.
Saat aku sedang duduk di kantin tiba-tiba seseorang datang menghampiriku
“Kamu temannya Dinda kan?” tanyanya berdiri tegak dihadapanku.
“Ehm…..iya” jawabku singkat, entahlah perasaan ini terasa tak menentu.
“Dindanya mana ya?”
“Oh….hari ini dia nggak masuk, sakit”
“Begitu ya?”
Aku mengangguk
“Oh iya, nama saya Adit” dia mengulurkan tangannya.
Aku tertegun menatap uluran tangannya.
“Arini” setelah beberapa saat aku pun menyambut uluran tangan itu.
“Kamu nggak ikutan di sanggar?”
“Aku nggak bisa melukis”
Obrolan pun mengalir, sejak saat itu kedekatan pun mulai terjalin diantara kami, ada perasaan bahagia karena sekarang aku bisa dekat dengan orang yang kusukai, setidaknya aku bisa selalu melihat senyumannya, mendengar cerita-cerita tentangnya, candaannya, kini aku bisa mengenalnya.
Kebaikan yang selama ini Adit berikan selain membuatku bahagia tapi juga membuat hati ini sakit, dia baik pada semua orang tapi ketika kebaikannya tertuju padaku kadang aku mengartikannya lain, sehingga secara tidak langsung aku menyakiti perasaanku sendiri, banyak sekali pertanyaan dan harapan dalam benakku, entah sampai kapan aku akan begini, aku merasa nyaman berada disampingnya namun, itu sangat menyakitkan, dia seperti fatamorgana, hal terindah yang berada di depan mata tapi tak bisa kugapai, aku sudah cukup merasa lelah dengan keadaan ini dan sepertinya aku harus mengakhiri harapan-harapan yang selama ini bertumpuk dalam otakku, sakit memang tapi mungkin kesakitanku tak seberapa dibanding kesakitan yang dirasakan Zulaikha pada Yusuf, entahlah apa perasaan yang kurasakan pada Adit pun sebesar perasaan Juliet pada Romeo.
“Arini! tunggu!” teriak Adit sambil berlari menghampiriku, saat itu aku baru keluar kelas.
Aku pun menghentikan langkahku,
“Kamu ada waktu? ada yang ingin kubicarakan,”
Aku menatap mata elangnya “Maaf, aku nggak bisa, lain kali saja,” kataku sambil berlalu.
Akhir-akhir ini aku memang sengaja menghindari Adit, sebenarnya aku tidak mau melakukan hal ini, tapi mungkin inilah satu-satunya cara supaya aku bisa menghilangkan perasaanku terhadapnya, mungkin saja karena Adit tidak memiliki perasaan yang sama sepertiku.
“Arini…”
“Maaf Dit, aku harus pergi,” kataku saat kami bertemu di perpustakaan, tapi dia menghalangi jalanku.
“Kamu kenapa Arini? kayaknya kamu nggak mau ketemu sama aku”
Aku hanya bisa diam sambil tertunduk “Bukan begitu Dit,”
“Aku bikin salah ya sama kamu?”
Mulutku masih terbungkam, lalu aku mengarahkan pandanganku ke tempat lain.
“Oke, kalau aku punya salah aku minta maaf, tapi kamu jangan bersikap seperti ini Arini!”
Aku mengalihkan pandanganku ke wajahnya tapi aku masih tetap terdiam, lidah ini terasa kelu.
“Ada apa sebenarnya Arini?”
Itulah pertanyaan yang selama ini kutakutkan keluar dari mulutnya, karena pertanyaan itu tak mungkin bisa kujawab, aku nggak mungkin berkata bohong tapi jujur pun aku tak mampu
“Apa yang menjadi penyebab kamu menghindar dariku?”
Aku tidak mampu berada didekat kamu Adit, karena setiap aku berada disampingmu perasaan ini semakin mendalam saja dan itu sangat membuatku tersiksa, tapi dengan menjauh pun itu malah tambah menyakitkan” kata-kata itu tak terkeluar dari mulutku. Berat rasanya.
“Arini…..”
“Aku cuma pengen sendiri,” ucapku.
“Kamu lagi ada masalah?” tanyanya terlihat khawatir.
“Jangan seperti itu terhadapku Adit,” sahutku.
“Maksud kamu?” dia mengerutkan dahinya.
“Aku…aku akan berusaha jadi seorang teman yang baik buat kamu,” kataku sambil mangalihkan pandanganku kearah lain karena rupanya mataku mulai berkaca-kaca, begitu berat rasanya aku mengucapkan kalimat itu, sakit rasanya.
Dia hanya menatapku heran.
“Permisi” aku pun pergi meninggalkannya, aku melangkah secepat mungkin karena air mataku sudah tak bisa terbandung lagi, ternyata seperti ini rasanya patah hati, aku tidak pernah membayangkan sebelumnya tapi sekarang aku merasakan bagaimana rasanya.
Selama ini aku terlalu berharap banyak dari Adit, aku menyangka kalau selama ini dia memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan padahal itu belum tentu, mungkin dia hanya menginginkan teman dekat, hanya sebatas teman dekat, tidak lebih, sedangkan aku dari awal berjumpa sudah menyukainya, harusnya aku bersyukur bisa menjadi temannya, aku tidak mungkin menghilangkan perasaan ini, aku tidak mampu untuk menjauh darinya, mungkin aku harus merasa cukup walau hanya sebagai temannya, kalau dengan berteman saja aku bisa dekat kenapa tidak? toh yang kuinginkan adalah selalu bisa dekat dengannya dan selalu berada disampingnya.
Berulang kali aku pikir. Otakku sampai kejang-kejang dibuatnya. Tak mungkin aku akan terus di sampingnya tanpa aku mendapatkannya. Itu hal mustahil. Aku benar-benar mencintainya. Kuulang sekali lagi kalau perlu. Namun, sebenarnya perasaan ini yang akan membunuhku pelan-pelan saat semua terbuyar.
Beberapa hari ini aku tak melihat Adit di kampus. Maklum saja dia memang sedikit sibuk dibanding mahasiswa lain. Selain urusan sanggar lukis, urusan pekerjaan, sampai tugas kuliah. Ia juga sedang ada masalah besar dengan rektorat kampus. Masalah lukisan tentunya. Ada salah seorang temannya di sanggar membuat  karikatur Rektor, dan masalah itu pula yang memboyongnya mendapat surat teguran. Hanya itu yang pernah ia ceritakan padaku. Aku ingin sekali melihat senyumnya yang lebar dan mata elangnya menyipit. Kalau aku bilang rindu, mungkin saja iya. Tapi aku yakin ia tak pedulikan itu. Yakin benar.
“Arini… mau kemana? Ih...aku dari tadi nyari kamu.” Dinda terengah-engah mengejarku saat aku melintas di depan sanggar. Rupanya dia ada disana.
“Ada apa Din?”
“Kamu ada lihat Kak Adit nggak minggu-minggu ini?” tak juga aku mengerti. Namun hatiku telah merasakan hawa tak nyaman. Aku menggelengkan kepala.
“Dia, berhenti kuliah…di DO” mataku membulat seperti mau lepas. Seluruh darah dan urat nadiku serasa putus. Persendian tulangku nyilu tak karuan. Hatiku telah remuk.
***

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.