Friday, November 23, 2012

Biarkan Aku Bermimpi

         Dua malam ini aku selalu saja mimpi bertemu dengan gadis itu. Sungguh aku tak percaya kalau gadis itu benar-benar ada dan bisa bertemu denganku. Yang lebih heran lagi sebelumnya aku tak pernah memikirkannya, apalagi berjumpa dengannya. Tapi dalam mimpi itu aku seperti sangat dekat dan akrab dengannya. Aku bukan nabi yang mendapat pentunjuk dari tuhan lewat mimpi. Atau kisah orang dahulu yang harus percaya pada mimpi. Aku sedikit percaya kalau gadis itu memang benar-benar cantik dan matanya yang selalu saja terbayang-bayang di ingatanku dan seperti telah menempel di mataku. Apa memang dia seorang yang akan menyelamatkanku atau ia seorang malaikat yang akan membawaku ke alam yang lebih menyenangkan dari sekarang ini. Mata gadis itu sangat tajam sekali. Tatapannya seperti mengetahui semua yang sedang kupiikirkan dan yang kuinginkan darinya. ”Dik, kamu percaya nggak pada mimpi yang berulang-ulang?” tanyaku pada Dika, teman satu kampus, saat ingin pergi ke kuliah. ”Zep...Zep...kalau kamu masih percaya sama hal-hal yang gituan mendingan kamu berhenti aja kuliah, toh nggak ada gunanya. Percaya sama mimpi itu sama halnya dengan percaya sama dukun peramal alias syirik.” Dika menasehatiku sambil meledek dan menepuk-nepuk pundakku, sepertinya ia sedang menyadarkanku dari lamunan yang panjang.  
Aku masih tak puas. ”Tapi Dik, mimpi itu tak hanya sekali. Dua malam berturut-turut sampai aku hafal sekali bentuk mukanya, suaranya, matanya, dan seluruh kepribadiannya.” tegasku. Ia menganggapku mahasiswa yang masih menganut ilmu perdukunan, yang masih percaya dengan mistik dan lainnya. ”Itu bukan mimpi tapi itu kenyataan Zep. Kamu tau semua kan tentang gadis itu ? gadis itu ibumu kali !” tawanya meledek sambil lari-lari kecil menghindari hantamanku. Kumaki-maki dia. Kesal sekali aku dibuatnya. Yang lebih kesal lagi Dika terus mengejekku dengan panggilan paranormal. Aku mengancamnya dengan kepalan. Kalau saja sampai anak-anak dikelas mengetahui semuanya tentang gadis dalam mimpiku itu, semua bisa amburadul. Berabe. Dika seringkali mengejekku kalau gadis dalam mimpiku itu Wati, seorang mahasiswa satu jurusan denganku yang mempunyai tubuh gendut dan sedikit pendek. Pernah ia kujahili dengan menulis puisi di dalam buku catatannya waktu ia pergi ke toilet. Kutulis sebait puisi yang menyatakan kalau aku seorang lelaki yang menyukainya, namun selalu menyembunyikan identitas. Berkali-kali ia menanyakan pada teman-teman. Tapi semuanya hanya tertawa dan senyum-senyum tak enak. Sebenarnya banyak yang melihat saat aku menulis di bukunya itu. Tapi semuanya bisa tutup mulut. *** Sepulang kuliah aku mampir ke rumah orang tua angkatku yang tak jauh dari kampus. Disana aku kembali menceritakan semuanya tentang mimpiku. Namun, apa yang kuhasilkan dari curhatku itu? Hanya ledekan dan tertawaan. Dalam perjalanan pulang aku senyum-senyum sendiri dalam bis kota. Mungkin orang yang sedang duduk disampingku mengira aku ini orang tak waras. ”Kok, aku bisa sih sebegitu penasaran dengan gadis mata elang dalam mimpi itu ?” aku menggosok-nggosokkan tanganku di lengan sambil bersedakap. Dingin. Malam. Aku sengaja tidur cepat untuk menghilangkan kepenatanku setelah ujian tengah semester tadi siang. Kubuka-buka kembali catatan harianku yang penuh dengan coretan-coretan tak jelas. Gadis Mata Elang!!!!!!!”..............”GADIS MATA ELANG ! Seperti itulah yang tertulis disana. Dengan tinta warna merah dan hitam. Hurufnya kutebali semua dan pinggir-pinggirnya kukasih bingkai dengan tinta warna biru. Aku langsung terlelap. Buku-buku yang masih terserak menina bobokanku bersama komputer yang seakan-akan mengelus-ngelus punggungku. Aku jadi ingat nenekku di kampung yang selalu menidurkanku dengan dongeng Kumbang madu dan seekor kupu-kupu putih yang selalu berebut bunga untuk mereka hisap madunya. Terkadang aku kecewa karena hampir setiap malam cerita itu selalu di ulang-ulang terus. Pagi menjelang. Sorot matahari mulai memanas dari ufuk timur. Kupu-kupu dan kumbang telah berebut mencari dan menghisap madu para bunga. Benar juga kata Nenek. *** Mungkin saja apa yang dikatakan oleh teman-temanku itu benar. ”Mimpi itu hanya bunganya tidur,” Karena sampai saat ini aku belum pernah melihat langsung Gadis Mata Elang itu. Tapi jika kupikir ulang tak mungkin dia bisa masuk dalam tidurku kalau itu tak ada dalam kenyataan. Ah, kuralat, gadis itu sebenarnya ada, hanya saja aku belum bertemu dengannya. Gila ! Kuseduh sebungkus kopi. Kunikmati setiap air warna hitam itu melewati kerongkonganku, sambil berpikir bahwa hari ini aku akan demontrasi bersama teman-teman aktivis dari berbagai kampus. Otakku penuh unek-unek yang akan kulontarkan saat aku orasi nanti. Setelah mandi aku memakai kaos dan jaket andalan berwarna hitam kumal. Kusisir rambut yang terurai seleher. Sepatu dan kaos kaki telah terpasang. Hanya tinggal melangkahkan kaki meninggalkan kamar. Di depan kampus telah berkumpul beberapa mahasiswa yang sedang mencoret-coret kertas karton warna putih. Berbagai karikatur dan tulisan telah tercurah disana. Makian dan tuduhan terumbar semua. Microphone sudah mulai berpeluit-peluit untuk mengumpulkan massa sebanyak mungkin. ”Udah siap semua...?” ”Udah dong...!” Semua mulai berbaris. Yel-yel menggaung dari pelataran kantor Rektorat. Mobil yang akan mengangkut para demonstran pun telah siap berangkat. Kantor Gubenur yang akan menjadi tujuan utama demonstran. Mobil melaju sampai tiba di tujuan. Dan ternyata di lapangan depan kantor Gubenur telah ramai pendemonstran dari berbagai kampus sedang berorasi, ada yang menyanyikan lagu-lagu penyemangat. Ada yang sibuk mengkoordinir massa dari belakang. Rombonganku langsung berbaur. Tak lagi bisa dibedakan. Semuanya satu suara yaitu mempertanyakan, ”Dana subsidi BBM yang akan dikonpensasikan untuk pendidikan dilarikan kemana ? karena sampai sekarang semua itu belum terwujud.” Itulah yang sering diteriak-teriakkan saat orasi. Tak hanya itu, mereka juga mungungkit dua puluh persen dari dana APBN untuk konpensasi pendidikan belum semua terpenuhi. Dan suara yang lainnya membawa sebuah foto salah satu sekolah dasar yang bangunannya ambruk dan siswanya belajar di lapangan bola. ”Entah pemerintah atau ada oknum yang menggelapkan dana itu, Hhh...” ujarku menggumam. Suasana semakin panas namun tak ditanggapi juga dari pihak kantor Gubenur. Aku kini angkat bicara. Kupegang microphone. Aku mulai mengeluarkan unek-unekku yang telah tersusun sejak tadi pagi. Aku memang terkenal vokal dalam setiap demontrasi di kampus. Sorak soray mengiringi setiap ucapan yang kuhujamkan. ”Ya, betuuull !!” ”Lawan ketidakadilaannn...!!” ”Hancurkan kesewenang-wenangan...!! ”Hidup rakyat !!” Tepuk tangan dan yel-yel terus mengiringi. Silih berganti orator dari berbagai kampus maju ke hadapan massa. Berorasi. Aku termenung di belakang teman-temanku sambil memegang air mineral. Lelah. Aku mulai berpikir kalau perubahan ini takkan terjadi secara cepat, ingat saja kisah dalam film Veronica G atau tokoh Che Guevara atau penyair Chairil Anwar atau Pramoedya Ananta Toer. Setelah meninggal, baru mereka dikenang dan terjadi perubahan. Atau kisahku ini juga mungkin begitu. Aku mengusap mukaku dengan air mineral. Para demonstran berduyun-duyun menuju kantor DPRD untuk menyampaikan aspirasi. Disana kembali aku berorasi dan menghujat wakil rakyat dengan sebutan tikus got. Aku percaya sekali kalau dana pendidikan telah dimakan tikus-tikus got itu. Disana kami ditanggapi tak nyaman oleh pihak DPRD. Kami merasa tak puas dengan apa yang disampaikan oleh wakil rakyat yang sok tahu dan terus membohongi rakyat kecil. Cemoohan dan hinaan sepertinya sudah tak mempan bagi mereka. Para demonstran yang lain seperti tidak puas. Mereka melanjutkan demonstrasinya ke Diknas. Disana terjadi sesuatu hal yang tak pernah kupikirkan. Para demonstran merasa kecewa atas sikap dan keterangan yang diberikan. Mereka melakukan anarkis. Batu-batu kecil mereka lemparkan kearah kaca-kaca kantor. Akhirnya para petugas kepolisian dan pamong praja turun untuk menertibkan. Tetapi malah terjadi perlawanan. Sempat terjadi adu lempar antara pendemonstran dan aparat. Dan akhirnya semua bubar, hancur, kacau. Aku lari terbirit-birit dikejar aparat. Terkepung. Aku teriak minta ampun, ”Ampun....Ampun.....!” seruku saat pemukul dari kayu itu berkali-kali numpang di punggungku. Borgol mengikat kedua lenganku. Aku diseret-seret seperti kambing yang akan disembelih. Aku mengumpat tak karuan. Beberapa temanku juga diangkut ke kapolres setempat. Dan juga puluhan mahasiswa lainnya dari berbagai kampus. Kembali aku ingat seorang tokoh pembela yang di sekap pada rezim orde baru dulu. ”Mungkin dia lebih parah dari aku sekarang ini,” gumamku dalam hati. Tapi, aku kembali berfikir, andai saja orangtuaku di kampung tahu kejadian ini. Aku malu sekali. Kesedihan datang seketika. *** Seperti Domba yang digiring untuk masuk kandang, kalau hari menjelang malam. Begitu pula aku saat digiring masuk ke sarang singa itu. Langsung satu persatu kami dipanggil untuk di interogasi. Dan aku yang menunggu giliran masih tetap berdiri. Sedikit teringat sewaktu SD dulu, kalau yang tak mengerjakan PR di hukum berdiri di depan kelas dan menjadi tontonan siswa lainnya. Sekitar jam sepuluh malam, ”Zeptian Tauzik..!” panggil salah seorang anggota dari ruangan interogasi. Aku langsung berjalan malas menuju ruangan itu dengan menundukkan muka. Beribu pertanyaan terlontar dari mulai motif aksi, minat dan aktivitasku semuanya di catat. Seakan-akan aku sedang berada di depan kanibal yang siap melahapku. Aku dibentak-bentak tak karuan. Yang lebih tak masuk akal lagi ia sesering mungkin membawa-bawa nama Ayahku yang tak bersalah. Aku naik darah. Tapi aku ingat kalau ini kandang singa, bila aku bergerak maka aku diterkamnya hidup-hidup. Setelah selesai interogasi aku di masukkan dalam ruang tahanan sementara bersama sepuluh temanku yang tak kukenal. Aku tergolek merapat ke tembok penjara. Aku jeda sejenak. Saat aku menegakkan badan, tiba-tiba refleks aku langsung loncat mendekati teralis besi dan memanggil-mangil seorang perempuan yang lewat ketika itu. ”Bu....Ibu...!!” Ia hanya menolehkan mukanya. Dan saat kulihat. Ya Tuhan, persis sekali dalam mimpiku itu. Gadis Mata Elang. Tak ada perbedaan sedikitpun. Rambutnya sebahu dan matanya tajam, hanya saja mungkin ia sama sekali tak mengenalku. Aku yakin sekali kalau itulah gadis yang menghantuiku selama ini. Paling karena balutan seragamnya saja yang membedakan wanita itu dengan wanita yang ada dalam mimpiku. Keadaan samar. Aku seperti masuk ke dalam mimpiku lagi. Tapi kucubit kulit tanganku. Sakit. Kugoyang-goyang pintu besi. Ia tak memalingkan muka lagi. Aku terduduk lesu. ”Mengapa dia tidak seperti dalam mimpiku itu. Oh....rupanya ia seorang Polwan yang tegap. Tapi, aku yakin kalau dia adalah seorang yang lembut.” tadi aku sempat berusaha membaca nama yang terlekat di dadanya. Marisa Soebroto. ”Itu pasti nama aslinya dan nama belakangnya itu adalah nama Ayahnya.” gumamku tak karuan. Seseorang memukul-mukul pundakku, ”Meskipun ia kenal kita di luar sana, tidak untuk di dalam sini. Apalagi mau membantu kita melepaskan diri dari neraka ini.” ucapnya lirih. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sekitar jam satu malam kami dibubarkan dari polres itu. Tapi aku malah duduk di teras, aku ingin sekali lagi melihat gadis yang selalu kupikirkan akhir-akhir ini. Aku masih tak percaya kalau dia seorang Polwan. Namun, Fariz menarik lenganku mengajak pulang, aku langsung menuruti saja. Capek. Sesampainya di kosan aku terbaring marasakan badanku yang remuk. Sambil terlintas-lintas bayangan Marisa si Polwan dan si Gadis Mata Elang yang tak mungkin bisa kudapatkan. Tertidur pulas. Mimpi. *** Dua hari ini aku tak masuk kuliah. Badanku serasa remuk dan pikiranku yang tak karuan memikirkan Polwan yang tak sesuai dengan mimpiku. Aku mencoba meramal-ramal mimpiku, mungkin saja kami memang takkan sejalan. Kata temanku ”Mimpi biasanya sering berlawanan dengan kenyataan.” aku menjadi sedikit percaya dengan perkataan itu. Setelah beberapa hari, kemudian aku mencoba memberanikan diri untuk menemui Polwan itu meski harus datang ke sarang Singa. Sekitar jam delapan pagi aku telah melangkahkan kaki menuju kesana. Sesampainya di depan kantor aku membaca sebuah plang ”Tamu Wajib Lapor”. Disana terlihat beberapa orang polisi berseragam. ”Permisi Pak !” ucapku sopan. ”Silahkan masuk, ada yang bisa saya bantu ?” ”Saya mau bertemu dengan Ibu Marisa Soebroto,” aku menatap petugas itu yang tempo hari membentakku habis-habisan. ”Sebentar saya hubungi dulu Ibu Marisa-nya, oya bukannya kamu yang tempo hari kesini karena aksi demo ?” aku gugup menjawabnya. Pikiranku tak karuan. ”Rupanya polisi ini kuat juga ingatannya.” aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tanganku bergetar. Kudengarkan perbincangan melalui telepon. Ia menyebutkan kalau aku seorang mahasiswa demonstran waktu itu. ”Ada apa Mahasiswa yang sok membela keadilan itu !!??” tegas Polwan itu. Sepertinya geram dan enggan bertemu. Ah entah kenapa. Karena perbuatanku kah tempo hari. ”Saya sedang sibuk, sampaikan padanya !!!” gagang telepon itu terbanting. Lalu petugas piket menyampaikan apa yang dipesankan oleh atasannya. Aku pulang membopong sejuta kekecewaan. Otakku runyam. Dengan lesu aku menaiki kendaraan umum yang seketika melintas di depanku. Mengapa mahasiswa selalu dipandang sebelah mata ? Mengapa aparatur negara begitu benci dengan mahasiswa ? Bukankah dia dulu juga mahasiswa ? Mengapa kita harus ada perbedaan ? Apakah kesenjangan sosial itu akan terus ada ? Mengapa kebenaran sangat susah ditegakkan ? Mengapa aku bisa terpesona dengan perempuan dalam mimpi itu ? Atau dunia ini memang sudah tak butuh lagi ? tak kulihat jawaban di langit biru. Aku tak putus asa, kucari data dari warnet depan kosku. Kubuka website tentang kapolres yang kutuju dengan bantuan Google. Akhirnya kudapatkan juga alamat Polwan itu. Mungkin dengan cara ini aku bisa ngobrol sebentar untuk mengungkapkan semuanya tentang mimpi dan perasaanku. Ia masih gadis. Aku cengengesan sendiri di depan layar monitor. Aku ulur beberapa hari untuk mendatangi rumahnya. Mencari waktu yang tepat. Meski harus bertempur dengan hatiku. Ketika aku datang ke rumahnya aku melihat Polwan itu sedang duduk sendiri di ruang tamu sambil memegang majalah remaja. ”Permisi...” pintunya terbuka sedikit. ”Mau cari siapa ?” tanyanya. Aku begitu gembira mendengar suara merdu itu yang sama persis saat ia dalam mimpi. ”Saya mau bertemu Mbak.” ”Anda siapa ya ? Saya tidak mengenal anda.” seraya menutup pintunya. Aku kembali hancur. ”Mau apa sih orang bodoh itu ? Seharusnya dia sadar diri dong ? Apa yang dia andalkan dari pangkatnya seorang mahasiswa tukang demo nggak jelas itu,” gerutu Marisa. Kini statusku sudah tak jelas. Seakan-akan kami berdua seperti Anjing dan Kucing yang takkan bisa bersatu. Jika aku mengusiknya maka ia siap untuk menerkamku dengan sadis. Aku takkan putus asa. Kuketik rapi di komputer, sebuah surat untuknya. Aku katakan semuanya, ”Aku tak bermaksud mengusik hidupnya. Aku hanya tertarik dengan ucapanmu saat dalam mimpi. Aku yang kehilangan tempuan hidup ini. Aku ingin dia meluruskan semua kegelisahan otakku. Surat kukirim. Surat sampai. ”Dasar orang gila! Memangnya aku ini siapa? Yang harus membelas kasihani seorang pemberontak sepertinya, aku juga tak kan percaya!” Polwan itu tersenyum sinis saat membaca surat dariku. Yang jelas unek-unekku telah tersampaikan. Hatiku tak puas. *** Suatu waktu, akhirnya..... ”Zep, seharusnya kamu harus lebih bisa menegakkan kebenaran. Aku sangat bangga, kamu adalah seorang pahlawan,” hatiku senangnya minta ampun saat Gadis Mata Elang itu menatap mataku. Aku seperti melayang di atas ombak besar samudra Hindia. Di temani segelas es jeruk dan es melon segar kami duduk di warung pinggir jalan. Aku bangga sekali di lihat oleh para pengendara motor, mobil dan sepeda yang melintas. Seorang gadis cantik duduk di depanku. Mungkin saja jika teman-temanku lewat maka mereka akan menggeleng-gelengkan kepala sampai menabrak pagar atau tak sadar kalau lampu merah menyala. Hanya karena aneh, tak percaya dan mungkin takjub. Obrolan kami panjang. Ia begitu mendukung semua pendapat dan niatku. Aku jadi begitu semangat untuk hidup dan mewujudkan impianku. Aku ingin merubah negaraku tercinta ini hingga bebas dari kemunafikan. ”Tok...Tok...Tok...” ”Zep..! Zeptian.... Bangun...” Neli, tetangga kamarku, mengetuk pintu kamar. Aku terkejut, mataku terbelalak lebar. Kekesalanku tumbuh kembali. “Hah, cuma mimpi aja nggak dizinin !” *** Bandung, 2007 Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.