Monday, January 12, 2009

Akan Kulukis Semua Gelisah dalam Satu Malam




Senja di Jatiluhur/Foto: Mulyadi Saputra/Lokasi: Jatiluhur
Oleh: Mulyadi Saputra

Mentari yang bersinar hangat menyuruhku untuk segra menyapa. Melambaikan tangan. Bahkan menatapnya dengan kesilauan. Bila kuinginkan itu maka aku yang akan kepanasan. bak caci9ng geleparan di tanah liat yang keras dan tandus. Teriak melolong. Berlari menjauh semua dari nasib kehidupan. Atau sanggupkah aku melukiskan semua gelisah dalam satu malam? Tak hanya itu yang kuharapkan. Yang hilang akan kembali. Yang pergi akan pulang dan yang mati akan hidup kembali. Ah tapi ini gila….
Anganku telah berlari jauh menuju kepesisir pantai. Menerjang ombak yang mengilap dan menggulung semua duka dermaga. Menatap jauh ketengah hamparan air yang meluas. Menantang badai. Setelah kutaklukan laut akan kutaklukan seluruh benda dilangit. Bulan, Matahari, Awan, Bintang dan Udara yang mengapung-apaung tak bertujuan maka akan kutaklukkan daratan, lengkaplah sudah. Ah, masa ia aku sekuat Arjuna? Atau aku seperti buraq yang mengantarkan Nabi kesurga? Terlalu jauh kini anganku membungkus semua kelu.
“Esok….” Aku hanya ingin bilang kalau esok Aku harus merayap untuk menguasai daratan. Janjiku hanya satu “Aku akan melukiskan semua gelisah dalam satu malam.” Akhir dari cerita yang setiap hari di utarakan setiap Ibu-Ibu rumah tangga. Bukan perselingkuhan suaminya. bukan pula bahan makanan dan minyak yang melonjak. Tapi Anaknya yang tak pulang malam tadi.
***
Mulai kutatar jari jemariku untuk menguaskan seluruh kehidupan. Memberi corak dalam setiap detik yang telah kulalui.
“Kakek, apa dulu Kakek yang mengajari Ayah menulis dan membaca?” ucapku seketika duduk didepan kulit keriputnya. Rupanya ia sama sekali tidak menjawab. Suaranya hanya sekedar dehem dan memberijawaban tak jelas. Kakek adalah pahlawan seribu abad yang lalu. Kakekku adalah alam. Ia sanggup menuntun kelelahan jiwa yang terhantam kerisauan. Benar-benar Abstrak dunia yang kulamunkan sekarang.
“Baren, kemana saja semalaman tadi?” Hatiku mengilu-ngilu tak sedap. Ingin kujawab dengan jujur pasti ini hanya ilusiku saja. Tapi ia telah benar menyebut namaku “Baren”. Nama itu yang pertama kulukis nanti. Nama pemberian Ayah, dan Ayah di ajari oleh Kakek.
“Semalam aku pergi bersama teman-temanku, melintasi Alam yang dingin. Alam yang akan mengajariku tentang kehidupan,” sejenak kuhela nafas, “Alam itu pula yang menjanjikan seluruh kedamaian,” seperti itu aku jawab dalam hatiku.
Mungkin kali ini benar memang Kakekku. Kulitnya kusut, keriput, tulang pipinya telah menonjol. Kelihatan tua sekali dia. Tangannya menepuk bahunku, meremas dan matanya menghilang dari jiwanya. Entah kemana. Hanya aku sanggup menempelkan secarik pikiran. “Ia mau menanyakan sesuatu tentang aku,”
“Kek, ada apa sebenarnya dengan saya?” kutatap dengan jeli setiap bola matanya mengintari alam sekitar. Sepertinya ia tak menghiraukan pertanyaanku. Suaraku tadi, telah hilang melambung terbawa oleh dinginnya angin.
“Apa yang telah kamu lukis selama kamu hidup di dunia ini?” aku begitu terkejut. Pertanyaan yang tak pernah kucari jawabannya kini telah menampar-namparku. Aku tak berkutik, muram, dan tak bergerak.
“Semalam suntuk aku telah mencoba mencari kuas, cat dan berbagai peralatan untuk melukis Kek. Di sana… di sebuah gunung yang tak jauh dari kota. Yang tak jauh dari jiwa yang telah gila,” sebentar-sebentar aku berhenti berkata, kususun rapi yang akan ku utarakan, sehingga yang terucap seperti puitis, “Disana pula telah kutoreh bersama teman-temanku. Sebuah lukisan kehidupan untuk peneruskan habitat kami, mereka orang yang beruntung Kek,”
“Berapa orang yang melukisnya?” Kakek itu menatapku seakan tak percaya dengan ucapan suci ini. ia tak menyangka cucunya yang amburadul telah sanggup melukis. Meski ia sebenarnya belum tau apa lukisan sebenarnya yang ku maksud.
“Kenapa Kakek tak menanyakan seperti apa lukisanku itu?” erat tangannya masih menjamah bahuku. “Apa sebenarnya Kakek tak percaya kalau aku sanggup mengerjakan hal itu?” kulit kusutnya mewakili semua jawaban yang tak terucap dari Kakek.
“Cucuku, dunia ini tak hanya sebuah goresan saja, bahkan warna dunia ini melebihi indah pelangi yang melengkung di timur sana, dan celah kehidupan tak serata kuas yang kau gunakan untuk melukis, dan dahsyatnya badai telah serta merta meluluhlantakkan semua cerita yang akan kau lukis,” tangan Kakek melemah, turun menyentuh krikil-krikil bulat seperti butirn-butiran yang menghiasi pantai.
***
“Apa…? disana kau dan teman-temanmu telah memikirkan, bagaimana kalau lukisan itu sebenarnya tak pernah diterima oleh para penikmat? Apakah kau dan teman-temanmu telah mempercayai kalau kertas yang kau lukis itu adalah kertas yang benar-benar kertas lukis? Ingat cucuku, jika itu tak cocok maka semua akan sia-sia,” Deg…. Jantungku seakan berhenti. Memikirkan bagaimana sebenarnya lukisan itu bila telah terpajang di dinding. Sedangkan yang kutahu lukisan-lukisan itu masih samar, mereka belum jelas semua. Apa mereka lukisan yang idealis atau lukisan abstrak atau yang lainnya. Aku dan teman-temanku bukan paranormal. Aku tak pernah tahu hati mereka. Mereka sebenarnya sama dengan kami. Mereka lukisan.
Dan jika penikmat tak pernah menerima lukisan itu, kami harus bagaimana? Sedangkan kami semua telah habis-habisan mengerahkan semua tenaga, pemikiran, dan hati. Jika tak lebih baik dari lukisan yang sering terpajang di luar sana, berarti kami telah gagal. Kuulangi sekali lagi “GAGAL”. Dua G, dua A dan satu L. lima huruf yang memalukan.
“Kek, kini telah terjadi semua, dengan waktu yang singkat, dengan rencana yang matang, dan dengan lukisan yang berbeda, lima buah lukisan Bunga yang berbeda-beda dan tiga lukisan yang menunjukkan pemangsa bunga,” begitulah aku mengurai satu demi satu lukisan.
“Lalu pelukisanya apakah menyukai bunga itu?” Kakek begitu semangat mengorek data dari setiap lekuk. Dia seakan membaca setiap lompatan mataku. Menatap lukisan bunga yang satu dan yang lain. Sebenarnya aku tak pernah memilah-milah, ia adalah lukisanku dan teman-temanku. Aku mencintai mereka melebihi dari cintaku dengan karya orang lain. Itu pasti!
“Kakek tau benar, pelukisnya semua adalah kaum Adam, mereka yang lembut dan penikmat dari segala karunia Ilahi Robbi. Mereka tak mau menyia-nyiakan suatu keindahan. Mereka semua pengagum dari segala seni,”
***
Malam yang larut kini telah menyusut menjadi butiran-butiran embun yang dingin. Menyerap semua hawa hangat ditubuh setiap manusia, pembakar tubuhpun menjadi kering kerontang seperti dalam masa yang gelap dengan pengetahuan, Yap…zaman dimana Nabi yang mencerahkan, zaman Jahilah tepatnya. Api… benar api yang sanggup menghilangkan semua dingin ditubuh ini. ia akan menghasut embun untuk segera pergi dari lingkungan ini. lalu menghilang dan datanglah kehangatan yang maha nyaman.
Kakek masih terus dihadapanku. Menuntun setiap kerongkonganku yang kering. Meluruskan semua garis yang akan kubuat dalam bingkai lukisan itu.
“Pilihlah cucuku satu lukisan yang benar-benar membuat hatimu sejuk. Dia telah kau lukis dan dia yang akan menghargai semua jerih payahmu, dan dia pula yang menjanjikan keindahan di hidupmu. Kau pajang di dinding yang termulia di sela-sela jiwamu.”
“Apa maksudnya Kek?” otakku kejang pura-pura tak mengerti. Semua yang Kakek utarakan padahal itu yang akan kutanyakan padanya. Namun hatiku terkadang enggan merangkai kata untuk sebait puisi, jika aku ingin mengutarakan padanya. Kutahu persis watakku sendiri. Aku malu bila mengatakan langsung. Kuingin metafora, hiperbola, ironi dan segala jenis majas, yang menyampaikan bait-bait hatiku itu.
***
“Kakek jangan terus menuntunku seperti ini,” kini hatiku mulai takut akan rahasia dibalik lukisan itu.
“Kau itu terlalu jauh meloncat kedasar lautan sana, kau itu terlalu menyembunyikan sesuatu yang jelas, tak usah kau katakan semua orang telah menafsirkan. Lukisanmu berbicara.”
“Tapi, Kakek telah memaksaku untuk mengutarakan semua tentang lukisan itu,” darahku meloncat-loncat tak karuan. Aku tak berdaya dibuatnya. Tapi aku yakin, aku takkan mengatakan semua tentang lukisan kami yang tergores semalam itu. Teman-temanku telah kukunci mulutnya untuk diam.tak mengatakan semuanya.
“Kakek, kami hanya main-main. Mengisi waktu luang dihari libur,” tegasku menutupi semua kejadian dibalik pelukisan itu.
“Kakek tak percaya dengan sumua itu. Dari percikan matamu saja telah terlihat jelas bahwa kau melukis dengan hati dan tercipta lukisan yang sejati.” Kini kedua kaki Kakek telah ditekuk sila menghadapku. Ia begitu serius. “Kakek hanya ingin menilai kerja keras kalian,” liurnya kini telah mongering, rongga-rongga tubuhnya mengeras seakan ia akan mengungkap semua kejadian semalam di hutan Cicalengka itu.
Api kini berkobar dengan dahsyat. Melahap seluruh kayu yang dimasukkan kedalamnya, rating yang dilemparkan kedalam, jangankan yang kering, basahpun nyala. Itulah api. Bila ia sudah menjadi dirinya, tak ada yang sanggup menahan kobarannya, namun sebelum ia benar-benar nyala maka tak ada yang dapat memprediksi, apa api itu akan nyala atau hanya asap yang akan melambung keudara kemudian hanyut bersama angin. Lenyap saja.
Kakek tua itu masih menghadap mataku. Ia menyimpan sejuata Tanya lagi.
“Cucuku, Kakek masih belum puas dengan ceritamu ini. Kakek ingin melihat lukisan-lukisan itu,” aku ingin sekali mencicit lari dari hadapannya. Aku merasa belum sanggup memperlihatkan lukisan itu, meski bukan aku sendiri yang melukisnya.
“Dimana kau menaruh lukisan-lukisan itu?” tangannya mencekam erat lenganku. Aku tak sanggup menghindar. Aku ingin berteriak kencang. Lepaskan!
“Disana Kek,” aku telah menunjukkan lukisan itu, berarti aku harus bertanggung jawab bila ada sesuatu terjadi dengan lukisan-lukisan itu. Kepada Hapid, Restu, Hadi, Ivan, Mul, Dani, Yoko, dan yang lainnya. Terlebih kepada Moses, Bob, Dany, Pian, dan petinggi lainnya. Aku takut.
Mata kakek telah menyerang keseluruh penjuru. Meneliti semua lukisan yang terpajang. Galerikah? Aku juga tak mengatakan itu. Langkahnya telah laju melebihi langkah para malaikat menerobos langit. Melebihi kuda gunung pasir dan lebih lincah dari ayam kampung yang dikejar mau di sembelih.
“Hah, ternyata ini lukisan-lukisan itu,” ia telah menemukan lukisan-lukisan itu. Ingin sekali aku menutup matanya agar tak melihat langsung apa yang telah tergantung di berbagai dinding.
“Inikah yang kau sebut lukisan itu?”
“Benar Kek, itu yang kami gores semalam di hutan belantara Cicalengka,” aku berusaha tegar.
“Karya yang sangat aneh,” matanya belum berkedip juga, “Lukisan ini berisi Idiologi, menggoreskan segala peran-peran dunia, kebersamaan, dan budaya. Lukisan ini belum bebegitu sempurna. Tapi ini adalah anak-anak yang luar biasa. Ia adalah karya Cucu Kakek,” Saat itu gembiran hatiku tak kira-kira. Aku meloncat seakan melewati mendung.
“Kakek hanya berpesan kepada semua teman-temanmu yang menggores lukisan-lukisan ini, jangan pernah bosan melukis. Karya kalian adalah karya yang belum tertandingi.” Kakek itu langsung melenyap. Hilang. Aku berlari menuju arah teman-temanku berada. Akan kukabarkan berita menggaduhkan dunia ini. benar rupanya, kami tak sia-sia melukiskan semua gelisah dalam satu malam kemarin.
***
02:42:07………….17 May 2008

4 comments:

Anonymous said...

mas... cerpennya bikin pusing

Anonymous said...

tapi saya copi untuk di baca di rumah!!!

Rumput said...

sip lah designa....

ngomong bagaimana kabar si kakenya????

caTatan Hati..... said...

yach... cerpennya pusing emmm....
apaan tuch bawa_2 nama cicalengka...

eh.. foto yg di atas.. foto bareng penampakan yach... yg pake ikat rambut biru... awas ntar di makan lho...

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.