![]() |
Senja di Jatiluhur/Foto: Mulyadi Saputra/Lokasi: Jatiluhur |
Mentari yang bersinar hangat menyuruhku untuk segra menyapa. Melambaikan tangan. Bahkan menatapnya dengan kesilauan. Bila kuinginkan itu maka aku yang akan kepanasan. bak caci9ng geleparan di tanah liat yang keras dan tandus. Teriak melolong. Berlari menjauh semua dari nasib kehidupan. Atau sanggupkah aku melukiskan semua gelisah dalam satu malam? Tak hanya itu yang kuharapkan. Yang hilang akan kembali. Yang pergi akan pulang dan yang mati akan hidup kembali. Ah tapi ini gila….
Anganku telah berlari jauh menuju kepesisir pantai. Menerjang ombak yang mengilap dan menggulung semua duka dermaga. Menatap jauh ketengah hamparan air yang meluas. Menantang badai. Setelah kutaklukan laut akan kutaklukan seluruh benda dilangit. Bulan, Matahari, Awan, Bintang dan Udara yang mengapung-apaung tak bertujuan maka akan kutaklukkan daratan, lengkaplah sudah. Ah, masa ia aku sekuat Arjuna? Atau aku seperti buraq yang mengantarkan Nabi kesurga? Terlalu jauh kini anganku membungkus semua kelu.
“Esok….” Aku hanya ingin bilang kalau esok Aku harus merayap untuk menguasai daratan. Janjiku hanya satu “Aku akan melukiskan semua gelisah dalam satu malam.” Akhir dari cerita yang setiap hari di utarakan setiap Ibu-Ibu rumah tangga. Bukan perselingkuhan suaminya. bukan pula bahan makanan dan minyak yang melonjak. Tapi Anaknya yang tak pulang malam tadi.
***
Mulai kutatar jari jemariku untuk menguaskan seluruh kehidupan. Memberi corak dalam setiap detik yang telah kulalui.
“Kakek, apa dulu Kakek yang mengajari Ayah menulis dan membaca?” ucapku seketika duduk didepan kulit keriputnya. Rupanya ia sama sekali tidak menjawab. Suaranya hanya sekedar dehem dan memberijawaban tak jelas. Kakek adalah pahlawan seribu abad yang lalu. Kakekku adalah alam. Ia sanggup menuntun kelelahan jiwa yang terhantam kerisauan. Benar-benar Abstrak dunia yang kulamunkan sekarang.
“Baren, kemana saja semalaman tadi?” Hatiku mengilu-ngilu tak sedap. Ingin kujawab dengan jujur pasti ini hanya ilusiku saja. Tapi ia telah benar menyebut namaku “Baren”. Nama itu yang pertama kulukis nanti. Nama pemberian Ayah, dan Ayah di ajari oleh Kakek.
“Semalam aku pergi bersama teman-temanku, melintasi Alam yang dingin. Alam yang akan mengajariku tentang kehidupan,” sejenak kuhela nafas, “Alam itu pula yang menjanjikan seluruh kedamaian,” seperti itu aku jawab dalam hatiku.
Mungkin kali ini benar memang Kakekku. Kulitnya kusut, keriput, tulang pipinya telah menonjol. Kelihatan tua sekali dia. Tangannya menepuk bahunku, meremas dan matanya menghilang dari jiwanya. Entah kemana. Hanya aku sanggup menempelkan secarik pikiran. “Ia mau menanyakan sesuatu tentang aku,”
“Kek, ada apa sebenarnya dengan saya?” kutatap dengan jeli setiap bola matanya mengintari alam sekitar. Sepertinya ia tak menghiraukan pertanyaanku. Suaraku tadi, telah hilang melambung terbawa oleh dinginnya angin.
“Apa yang telah kamu lukis selama kamu hidup di dunia ini?” aku begitu terkejut. Pertanyaan yang tak pernah kucari jawabannya kini telah menampar-namparku. Aku tak berkutik, muram, dan tak bergerak.
“Semalam suntuk aku telah mencoba mencari kuas, cat dan berbagai peralatan untuk melukis Kek. Di sana… di sebuah gunung yang tak jauh dari kota. Yang tak jauh dari jiwa yang telah gila,” sebentar-sebentar aku berhenti berkata, kususun rapi yang akan ku utarakan, sehingga yang terucap seperti puitis, “Disana pula telah kutoreh bersama teman-temanku. Sebuah lukisan kehidupan untuk peneruskan habitat kami, mereka orang yang beruntung Kek,”
“Berapa orang yang melukisnya?” Kakek itu menatapku seakan tak percaya dengan ucapan suci ini. ia tak menyangka cucunya yang amburadul telah sanggup melukis. Meski ia sebenarnya belum tau apa lukisan sebenarnya yang ku maksud.
“Kenapa Kakek tak menanyakan seperti apa lukisanku itu?” erat tangannya masih menjamah bahuku. “Apa sebenarnya Kakek tak percaya kalau aku sanggup mengerjakan hal itu?” kulit kusutnya mewakili semua jawaban yang tak terucap dari Kakek.
“Cucuku, dunia ini tak hanya sebuah goresan saja, bahkan warna dunia ini melebihi indah pelangi yang melengkung di timur sana, dan celah kehidupan tak serata kuas yang kau gunakan untuk melukis, dan dahsyatnya badai telah serta merta meluluhlantakkan semua cerita yang akan kau lukis,” tangan Kakek melemah, turun menyentuh krikil-krikil bulat seperti butirn-butiran yang menghiasi pantai.
***
“Apa…? disana kau dan teman-temanmu telah memikirkan, bagaimana kalau lukisan itu sebenarnya tak pernah diterima oleh para penikmat? Apakah kau dan teman-temanmu telah mempercayai kalau kertas yang kau lukis itu adalah kertas yang benar-benar kertas lukis? Ingat cucuku, jika itu tak cocok maka semua akan sia-sia,” Deg…. Jantungku seakan berhenti. Memikirkan bagaimana sebenarnya lukisan itu bila telah terpajang di dinding. Sedangkan yang kutahu lukisan-lukisan itu masih samar, mereka belum jelas semua. Apa mereka lukisan yang idealis atau lukisan abstrak atau yang lainnya. Aku dan teman-temanku bukan paranormal. Aku tak pernah tahu hati mereka. Mereka sebenarnya sama dengan kami. Mereka lukisan.
Dan jika penikmat tak pernah menerima lukisan itu, kami harus bagaimana? Sedangkan kami semua telah habis-habisan mengerahkan semua tenaga, pemikiran, dan hati. Jika tak lebih baik dari lukisan yang sering terpajang di luar sana, berarti kami telah gagal. Kuulangi sekali lagi “GAGAL”. Dua G, dua A dan satu L. lima huruf yang memalukan.
“Kek, kini telah terjadi semua, dengan waktu yang singkat, dengan rencana yang matang, dan dengan lukisan yang berbeda, lima buah lukisan Bunga yang berbeda-beda dan tiga lukisan yang menunjukkan pemangsa bunga,” begitulah aku mengurai satu demi satu lukisan.
“Lalu pelukisanya apakah menyukai bunga itu?” Kakek begitu semangat mengorek data dari setiap lekuk. Dia seakan membaca setiap lompatan mataku. Menatap lukisan bunga yang satu dan yang lain. Sebenarnya aku tak pernah memilah-milah, ia adalah lukisanku dan teman-temanku. Aku mencintai mereka melebihi dari cintaku dengan karya orang lain. Itu pasti!
“Kakek tau benar, pelukisnya semua adalah kaum Adam, mereka yang lembut dan penikmat dari segala karunia Ilahi Robbi. Mereka tak mau menyia-nyiakan suatu keindahan. Mereka semua pengagum dari segala seni,”
***
Malam yang larut kini telah menyusut menjadi butiran-butiran embun yang dingin. Menyerap semua hawa hangat ditubuh setiap manusia, pembakar tubuhpun menjadi kering kerontang seperti dalam masa yang gelap dengan pengetahuan, Yap…zaman dimana Nabi yang mencerahkan, zaman Jahilah tepatnya. Api… benar api yang sanggup menghilangkan semua dingin ditubuh ini. ia akan menghasut embun untuk segera pergi dari lingkungan ini. lalu menghilang dan datanglah kehangatan yang maha nyaman.
Kakek masih terus dihadapanku. Menuntun setiap kerongkonganku yang kering. Meluruskan semua garis yang akan kubuat dalam bingkai lukisan itu.
“Pilihlah cucuku satu lukisan yang benar-benar membuat hatimu sejuk. Dia telah kau lukis dan dia yang akan menghargai semua jerih payahmu, dan dia pula yang menjanjikan keindahan di hidupmu. Kau pajang di dinding yang termulia di sela-sela jiwamu.”
“Apa maksudnya Kek?” otakku kejang pura-pura tak mengerti. Semua yang Kakek utarakan padahal itu yang akan kutanyakan padanya. Namun hatiku terkadang enggan merangkai kata untuk sebait puisi, jika aku ingin mengutarakan padanya. Kutahu persis watakku sendiri. Aku malu bila mengatakan langsung. Kuingin metafora, hiperbola, ironi dan segala jenis majas, yang menyampaikan bait-bait hatiku itu.
***
“Kakek jangan terus menuntunku seperti ini,” kini hatiku mulai takut akan rahasia dibalik lukisan itu.
“Kau itu terlalu jauh meloncat kedasar lautan sana, kau itu terlalu menyembunyikan sesuatu yang jelas, tak usah kau katakan semua orang telah menafsirkan. Lukisanmu berbicara.”
“Tapi, Kakek telah memaksaku untuk mengutarakan semua tentang lukisan itu,” darahku meloncat-loncat tak karuan. Aku tak berdaya dibuatnya. Tapi aku yakin, aku takkan mengatakan semua tentang lukisan kami yang tergores semalam itu. Teman-temanku telah kukunci mulutnya untuk diam.tak mengatakan semuanya.
“Kakek, kami hanya main-main. Mengisi waktu luang dihari libur,” tegasku menutupi semua kejadian dibalik pelukisan itu.
“Kakek tak percaya dengan sumua itu. Dari percikan matamu saja telah terlihat jelas bahwa kau melukis dengan hati dan tercipta lukisan yang sejati.” Kini kedua kaki Kakek telah ditekuk sila menghadapku. Ia begitu serius. “Kakek hanya ingin menilai kerja keras kalian,” liurnya kini telah mongering, rongga-rongga tubuhnya mengeras seakan ia akan mengungkap semua kejadian semalam di hutan Cicalengka itu.
Api kini berkobar dengan dahsyat. Melahap seluruh kayu yang dimasukkan kedalamnya, rating yang dilemparkan kedalam, jangankan yang kering, basahpun nyala. Itulah api. Bila ia sudah menjadi dirinya, tak ada yang sanggup menahan kobarannya, namun sebelum ia benar-benar nyala maka tak ada yang dapat memprediksi, apa api itu akan nyala atau hanya asap yang akan melambung keudara kemudian hanyut bersama angin. Lenyap saja.
Kakek tua itu masih menghadap mataku. Ia menyimpan sejuata Tanya lagi.
“Cucuku, Kakek masih belum puas dengan ceritamu ini. Kakek ingin melihat lukisan-lukisan itu,” aku ingin sekali mencicit lari dari hadapannya. Aku merasa belum sanggup memperlihatkan lukisan itu, meski bukan aku sendiri yang melukisnya.
“Dimana kau menaruh lukisan-lukisan itu?” tangannya mencekam erat lenganku. Aku tak sanggup menghindar. Aku ingin berteriak kencang. Lepaskan!
“Disana Kek,” aku telah menunjukkan lukisan itu, berarti aku harus bertanggung jawab bila ada sesuatu terjadi dengan lukisan-lukisan itu. Kepada Hapid, Restu, Hadi, Ivan, Mul, Dani, Yoko, dan yang lainnya. Terlebih kepada Moses, Bob, Dany, Pian, dan petinggi lainnya. Aku takut.
Mata kakek telah menyerang keseluruh penjuru. Meneliti semua lukisan yang terpajang. Galerikah? Aku juga tak mengatakan itu. Langkahnya telah laju melebihi langkah para malaikat menerobos langit. Melebihi kuda gunung pasir dan lebih lincah dari ayam kampung yang dikejar mau di sembelih.
“Hah, ternyata ini lukisan-lukisan itu,” ia telah menemukan lukisan-lukisan itu. Ingin sekali aku menutup matanya agar tak melihat langsung apa yang telah tergantung di berbagai dinding.
“Inikah yang kau sebut lukisan itu?”
“Benar Kek, itu yang kami gores semalam di hutan belantara Cicalengka,” aku berusaha tegar.
“Karya yang sangat aneh,” matanya belum berkedip juga, “Lukisan ini berisi Idiologi, menggoreskan segala peran-peran dunia, kebersamaan, dan budaya. Lukisan ini belum bebegitu sempurna. Tapi ini adalah anak-anak yang luar biasa. Ia adalah karya Cucu Kakek,” Saat itu gembiran hatiku tak kira-kira. Aku meloncat seakan melewati mendung.
“Kakek hanya berpesan kepada semua teman-temanmu yang menggores lukisan-lukisan ini, jangan pernah bosan melukis. Karya kalian adalah karya yang belum tertandingi.” Kakek itu langsung melenyap. Hilang. Aku berlari menuju arah teman-temanku berada. Akan kukabarkan berita menggaduhkan dunia ini. benar rupanya, kami tak sia-sia melukiskan semua gelisah dalam satu malam kemarin.
***
02:42:07………….17 May 2008
4 comments:
mas... cerpennya bikin pusing
tapi saya copi untuk di baca di rumah!!!
sip lah designa....
ngomong bagaimana kabar si kakenya????
yach... cerpennya pusing emmm....
apaan tuch bawa_2 nama cicalengka...
eh.. foto yg di atas.. foto bareng penampakan yach... yg pake ikat rambut biru... awas ntar di makan lho...
Post a Comment