Saturday, June 19, 2010

Buku Seharusnya Tidak Jadi Barang Mahal

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
-Dimuat di Media Indonesia-


Hal yang sangat sulit tentunya untuk meraih posisi di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional (depdiknas), namun tidak pula salah bila berkeinginan untuk duduk di posisi tersebut. Bila benar posisi itu terduduki, ada langkah-langkah konkrit yang akan saya buat untuk menanamkan budaya literasi pada masyarakat Indonesia. Karena budaya baca dan menulis kita rendah berefek kepada lambanya kemajuan bangsa.
Langkah konkrit pertama yaitu merombak habis institusi saya dengan mengganti orang yang berfikir tidak jadul, diganti dengan yang fikir maju, kritis, dan peka. Sehingga program saya dapat dicerna dan ia juga mempunyai ide-ide baru yang jitu.
Yang kedua, membuat perpustakaan/taman baca yang indah, nyaman dan memiliki koleksi buku terup-date. Perpustakaan yang indah itu bila seorang pembaca masuk dan mencari buku untuk dibaca, akan mudah. Selama ini perpustakaan umum daerah berdesain formal, kaku dan seringkali jauh dari sekolahan, universitas dan lainnya. Buat ruangan tersebut menjadi nyaman dengan taman, ruang baca di lingkungan terbuka sekitar lokasi taman perpustakaan.  Tidak terpaku dengan meja yang berderet diruangan dan dengan system administrasi tak berbelit, sehingga menjadi tidak menjenuhkan.
Sedangkan untuk buku yang lengkap dan terup-date mungkin mudah saja, namun kenyataannya ini tidak mudah. Buku di perpustakaan umum atau perpustakaan sekolah di ambah dengan rentang waktu, misalnya tahunan atau per semester. Padahal buku terus terbit bahkan per hari saja sudah tak terhitung dari penerbit seluruh dunia.
Ketiga, konon katanya subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dialihkan ke pendidikan menjadi dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dana subsidi sebesar itu akan saya sebagian gunakan untuk membentuk perpustakaan atau taman baca yang lebih meriah, nyaman dan di lokasi yang tepat pula. Karena dua puluh persen dari APBN bila di ambil dua setengah persen saja untuk pembuatan taman baca tentu tidak berefek besar. Disana pula para siswa, mahasiswa dan masyarakat dapat membaca dengan mudah.
Keempat, harga buku yang mahal tentunya juga menjadi kendala besar masyarakat untuk rajin baca. Dengan langkah ini tentu akan meringankan harga buku yang begitu menekan di kalangan menengah atau menengah kebawah. Langkahnya yaitu Depdiknas melobby Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak) untuk menghapus pajak PPn buku, diharapkan harga buku menjadi terjangkau oleh masyarakat kita.
Kelima, memberikan atau mengadakan acara-acara yang merangsang masyarakat untuk membaca. Selain itu saya akan mengerahkan orang-orang yang sanggup mengajak masyarakat rajin baca, semacam penyuluhan atau seminar gratis tentang manfaat baca buku. Setelah itu saya mengadakan sebuah acara besar tentang manfaat membaca. Misalnya kontes pengetahuan, lomba menulis dan lainnya yang diadakan per wilayah bahkan per RT, RW, Kecamatan dan di internasional.
Dengan langkah-langkah ini saya yakin masyarakat kita akan menjadi masyarakat yang mempunyai budaya literasi tinggi.  Berpengetahuan luas dan dapat menciptkan kemajuan bangsa yang sampai saat ini terus tertinggal oleh Negara-negara yang sebenarnya dahulu bersamaan merangkak.

1 comment:

Patimah Azzahra said...

kalo buku tak mahal...orang akan semakin bebas membalak hutan...
yang tidak harus mahal adalah isi dari buku itu...
seandainya pemerintah punya berbagai cara menyampaikan isi sebuah buku, masyarakat tidak akan merasa enggan mencari ilmu.....

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.