![]() |
Bakau
Heni-Rajabasa, Lampung
Aku
meloncat masuk dan duduk di kursi paling belakang.
“Mau kemana Bang?” kondektur menanyaiku bermaksud meminta
ongkos perjalanan, gaya bahasanya memang tak terbaca bila hanya membaca teks
pertanyaan ini. Sedikit kugambarkan, orang itu memakai topi warna hitam,
memakai kaos merah dan celana setengah tergantung bekas potongan. Di kantongnya
terselip handuk kecil untuk mengelap keringat seperti Mang tahu gejrot yang
tiap hari lewat depan kos. Ditangannya tertumpuk uang puluhan, lima ribuan,
seribuan dan receh lima ratusan. Crik..crik…crik..
“Ke Rajabasa,” aku langsung mengacungkan lembaran penuh kuman
kepada kondektur itu. Sigap dan cermat mengatur kembalian tanpa terselip
selembarpun lebihan. Kuteliti kembali uang angsulan[1]
itu, lalu kuluruskan semua lipatan hingga uang ditangan ini persis uang baru
keluar dari kotak ATM. Kutumpuk rapi lalu masuk perlahan ketempat penyimpanan
paling aman. Jangan ngintip…
Aku masih terdiam mencari tempat yang strategis untuk
ranselku. Melirik kanan kiri penuh semua dengan umat. Melihat ke atas tak ada
sanggahan seperti dalam kreta api. Melihat ke bawah kursi tempat duduk telah
penuh dengan karung-karung, entah apa isinya. Kalau aku boleh tebak, paling
juga beras, gula, atau ganja…. Benar-benar jauh tebakanku, meleset.
“Mas ranselnya ditaruh di bawah sini aja, masih kosong
kok,” ucap salah seorang pemuda berambut tak lebih panjang dariku. Di belah
tengahnya rapi, lilis, kalau saja cicak jahat buang hajat sama sekali tak
nempel di rambutnya. Menggelinding sangking licin dan curamnya. Keningnya
melebar bak professor…
“Oya…” langsung kudatangi dia dan mendorongkan ranselku ke
bawah sela-sela kakinya. Ia menggeser-geser pantatnya merapat dengan orang
disebelahnya. Aku pun duduk disela-selanya itu.
“Mau mudik Mas?”
“Iya…Mas mau kemana?”
“Saya mau pulang, ke Bandar Lampung. Mudiknya kemana?”
“Ke Riau…”
“Wah, berarti ke Rajabasa dulu ya? Hati-hati aja Mas,
disana rawan,”
“Oya…!”
“Iya Mas,” sedikit tak sopan kalau di ingat. Ia menumbur
tanpa ada kode terlebih dahulu. Sebenarnya ia tak bermaksud begitu. Ia hanya
ingin memperingatkan aku saja. Ia sepertinya orang baik-baik.
“Terima kasih Mas, boleh kenalan Mas?” kali ini aku yang
mengajak kenalan teman sekejapku di perjalanan.
“Trisno,” ia menjabat tanganku erat. Kulit tangannya
keras, terasa ia memegang tanganku seperti memegang gagang pacul. Erat dan
kencang. Aduh sakit…
Langkah biasa selalu kulakukan untuk menyebutkan nama,
tak terpotong sedikitpun. Sama dengan di akte kelahiran dan di ijazah. Panjang
dan memakai nama orang tua. Khas bukan?
Air mukanya mulai terkagum mendengar ucapan namaku yang
susah dihafal. Duble ‘D’ yang tak pernah luput dari kefasihan mulutku untuk
melafalkan.
“Mas Fajruddin, kenapa nggak ngambil yang langsung tanpa
ke Rajabasa dulu?” ia melafalkan namaku dengan fasih benar, namun logat Jawanya
kental terdengar, jadi sedikit ganjil didengar.
“Hitung-hitung cari pengalaman, juga sedikit irit
ongkos,”
“Irit bagaimana Mas, kan
biaya makannya lebih banyak,”
“Jangan makan,” aku terbahak, menjawab tanpa berfikir
panjang, itu sudah andalanku untuk mencari sensasi orang tertawa dan mengikuti
gayaku berbicara seperti orang tak makan bangku sekolahan.
“Wah…bisa mati di jalan
kalau gitu nanti,” ia juga mulai terjangkit dengan nada tawanya yang meledak
juga.
“Mas asli Lampung?”
“Saya lahir di sini, tapi orang tua saya dari Jawa Tengah
asli, dulu orang tua saya kan
transmigrasi. Terus menetap disini,”
“Ooooh, disini banyak orang Jawa berarti ya?”
“Hampir menyeluruh, sampai di pelosok-plosok itu orang
Jawa Mas,” pengucapan yang kental itu menjadi terdengar unik. “kalau suku
Lampung asli itu sudah hampir punah Mas, di desa saya saja tidak ada suku lain
selain orang Jawa, terus ada dua keluarga, yang satu itu orang Padang, yang
satu lagi orang Palembang, suku Lampungnya malah tidak ada sama sekali,
“Ceritanya kan
dulu orang dari Jawa itu merantau satu rombongan, terus di tambah dengan
transmigrasi. Semakin banyak jadinya. Terus orang asli Lampung sendiri semakin
sedikit dan lama-lama kayak sekarang ini sudah hampir tidak ada,” sebenarnya
aku merasa kurang yakin dengan ceritanya tentang Lampung itu, tapi setidaknya
di Bus itu hampir semua berisi orang Jawa. Berimbang antara percaya dan tidak
percaya dalam tubuhku. “Orang tua saya itu aslinya dari Seragen Mas,” tambahnya
lagi. Otaknya semakin mendesak untuk bercerita tentang profil keluarganya
dengan selengkap-lengkapnya, aku hanya memancing reaksi saja.
“Terus, kalau gitu tradisi sehari-hari berubah menjadi
tradisi Jawa dong Mas?”
“Ya..iya to…Wong kita orang Jawa,” ucapnya yakin, tanpa
alasan penguatpun bakalan percaya.
“Kalau tradisi Lampung sendiri gimana?” kugarap terus
pertanyaan diotak, biasalah obsesi kewartawananku sudah merasuk dari ujung kuku
kaki sampai ujung rambut,
“Tidak tahu saya…” seraya kosong dalam otaknya. Blank!
“Kalau lihat dari sepanjang jalan tadi Mas, saya banyak
melihat Pura-pura di depan rumah
penduduk, berarti orang sini itu banyak pemeluk agama Hindu Mas, ya?”
“Ya, sebagian. Namanya Indonesia. Kita kan tidak membeda-bedakan ras, suku, dan
agama. Jadi, ya… itu tergantung kepercayaannya masing-masing, ya too…” Benar
sangat salah...! Kali ini pertanyaanku
tak mengena sama sekali. Aku memberi tanda setuju dari kelopak mataku. Ia pasti
paham dengan bahasa non verbal
seperti ini. Langsung kualihkan pembicaraanku, meralat dengan cara tidak
langsung. Mengganti topik pembicaraan. Bahkan tema dan judul ikut-ikutan kuganti
semua. Anggap saja ini renovasi…
“Kalau usaha orang disini itu apa Mas Trisno?” aku
sedikit ragu mengutarakan nama itu. Ingin tertawa tapi di tahan. Aku teringat
lagu dangdut masa kecilku dulu, ‘aku trisno karo kowe, apa sih artinya?....’
begitu kalau tidak salah bait lagunya. Jadi kalau aku menyebut namanya seperti hendak
bernyanyi lagu itu. Kalau dilihat dari segi makna memang bagus, Trisno artinya
suka atau cinta. Jadi kalau aku menyebut namanya seperti sedang memanggil pacar
saja ‘Cinta…!’ mesra sekali…Puih!
“Macem-macem, ada yang ladang tebu, lahan karet, nelayan,
ada juga yang mulai merintis baru berkebun kelapa sawit, tapi disini yang
kebanyakan, menanam tebu Mas, tapi ini sepengetahuan saya. Yang menanam
sayur-mayur juga tidak sedikit,”
“Kalau kebun kopi dimana Mas? Kan, yang terkenal itu kopi lampung Mas, dimana itu Mas?”
pertanyaan ini sebenarnya yang aku simpan sejak aku menginjak tanah Lampung
ini. Jujur! aku suka kopi dan idolaku kopi lampung, enaknya tak dapat aku
ceritakan sekarang. Menyetrum seluruh rangsangan otak sehingga melenting deras
menuju garis puncak, padahal garis puncak itu masih ribuan kilo lagi. Mungkin
aku termasuk pecandu kopi terberat dari nominasi ini, aku tak pernah memikirkan
cafeein yang melekat dalam tubuh. Aku hanya berpikir begini, cafeein hanya
bagian kecil dari penyebab matinya diriku, tapi justru yang lebih dahsyat
adalah statusku. Bila setatusku lebih baik dari sekarang maka aku dapat hidup
lebih lama (tetap dalam hitungan takdir), sedangkan setatusku yang pengangguran
ini seakan mengikat kerongkonganku hingga tak bernapas dan 1….2…3… lepaslah
sudah nyawaku…
“Oh…saya tidak tahu tuh Mas, sering sih dengar nama kopi
lampung gitu, tapi saya tidak tahu dimana produksinya, terus perkebunannya”
tersirat dimukanya rasa malu sedikit, sedikit sekali. Karena dia dilahirkan di
kota ini, tapi ia tak tahu apa yang trend di kota lahirnya. Memalukan. Aku
alihkan pembicaraan supaya ia tak melamun menahan… (titik ini jangan diartikan
negatif ya? Bukan seperti lagu Surti Tejo dari Jamrud ‘Si Tejo melamun menahan
…..nya.., diacungkan jari…bla..bla..bla…’)
“Kalau kayak tebu gitu Mas, dimana produksinya?”
“Wooo, lha..wong disini ini yang saya tahu ada tiga
pabrik kok, ya... di Lampung saja produksinya,” benar-benar kelihatan terbang
sana-sini nada logat Jawa asli. Aku suka mendengar logat itu… medok…
Udara panas merasuk keseluruh bagian bus kelas merakyat
ini. Ekonomi, tanpa AC. Cuma kipas angin alami apabila jendela slot dibuka.
Angin semena-mena masuk, menggoyang kerah baju, muka serasa merot sana-merot
sini tak karuan, mata berkedip-kedip kepedihan, mengutik-utik seluruh bagian
rambut seperti berada di tepi pantai hanya saja tak ada suara deburan ombak,
tapi diganti dengan kernyiran ban dan suara rem angin yang menghembus seperti
Gajah sedang mendengus makanan. Pussssssss!
“Nanti, kalau sampai Rajabasa jangan turun sampai
terminalnya. Nanti di sebelum Rajabasa ada simpang tiga, biasanya disana itu
banyak yang turun. Terus kondektur atau sopirnya ngasih tahu kalau itu simpang
tiga, yang mau ke Palembang, Jambi dan seterusnya… ribet Mas, kalau turun
diterminal. Tarik sana-tarik sini, kita jadi kayak artis,”
Dulu aku pernah mengalami
keadaan seperti itu, tapi sudah lama sekali, enam tahun yang lalu. Hanya lain
arah saja, sekarang aku kearah Riau sedangkan dulu kearah Bandung. Tapi bukan
seperti artis, malah seperti barang yang disebar untuk di perebutkan. Dan hal
itu menjadi pelajaran pertamaku tentang dunia carut-marut terminal. Siapa yang
tak paham itu…
“Mas,
tadi dari mana?”
“Ah saya
biasa, jalan-jalan ke rumah temen di dekat pelabuhan sana,”
Gerakan
bawaan lahir terkeluar lagi.
Manggut-manggut.
Bus melaju dengan
kecepatan tinggi, meski belum secepat balap mobil F1. Tapi, terasa goyangannya
terkadang miring kebkiri kalau sedang menikung ke arah kanan. Orang sampingku
harus menahan berat badanku. Giliran menikung kekanan aku terasa remuk
terdempet dua orang sebelah kiri. Disengaja mungkin sebagai balas dendam…
Kami berdua
sejenak diam. Diam seribu bahasa. Tatapan kosong terpancar dari sorot matanya
menghadap ke arah pintu. Sedangkan aku masih mengarang-ngarang pertanyan untuk
mengisi kekosongan. Kurancang rapi lalu terkeluar, begitu yang terfikirkan
bukan pertanyaan yang akan keluar… dasar bego… aku mengeluarkan rokok
andalanku, lalu menyulut dan menawarinya. Tapi dia tak berkata apa-apa hanya
mengaacungkan tangan seperti melambai. Tapi lebih sama dengan tukang parkir
saat memberi aba-aba STOP!
“Mas, kuliah?”
“Iya, saya kuliah di Bandung dulu, sekarang sudah selesai,”
kembali otakku semakin tak menentu, lagi-lagi pertanyaan seperti itu keluar.
Feliza juga memulai mananyakan statusku dari kata ini. Uh… tidak ada pertanyaan
lain apa yang lebih bermutu? “Kalau Mas, sendiri?” aku merasa gusar dengan
panggilan Mas, Mes, Mos, seperti ini. Dia manggil aku Mas, aku panggil dia Mas,
jadi siapa yang labih berwibawa disini. Aku lebih suka di panggil nama dari
pada seperti ini. Dari awal melangkah dari Bandung namaku telah diganti, dari
Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh menjadi Mas…entah Mas Bakso..atau Mas-Mas… Mas
kawin juga jadi…
“Dulu saya kuliah di UNSRI, baru sampai semester tiga
saya berhenti. Tidak mampu bayar semester Mas,” lugu kedengaran suara itu.
Menjadi prihatin. Aku sendiri kuliah jungkir-balik. Dari pedagang boneka di
Gasibu, ikut-ikutan jadi karyawan perusahan keluarga di Cibaduyut. Produksi
sendal spon. Disana aku membagi waktu yang lumayan repot. Padahal penghasilan
jadi karyawan perusahaan sendal itu sedikit lumayan, dibanding jualan kartu
ucapan, cuma hari-hari tertentu dapat terjual. Di perusahaan sendal itu system
gajinya lumayan transparan. Systemnya berapa kodi yang sanggup kami selesaikan
dalam waktu seminggu, karena setiap hari Sabtu sore kami hitung-hitungan gaji.
Wajah ceriaku tampak kalau sedang mengantongi uang hasil keringat seminggu.
Tapi aku kalah cepat dengan teman-temanku yang lain. Mereka sanggup
menyelesaikan dua sampai tiga kodi dalam
sehari. Sedangkan aku dua sampai tiga kodi itu selama seminggu…
“Ooooh…saya juga maksain kuliah kemarin itu Mas, saya
kerja mati-matian setiap hari untuk makan dan biaya kuliah kalau sisa, tapi
dari semester tiga saya dapet beasiswa. Lumayan sedikit membantu jadi saya bisa
mebeli buku dan kalau sisa bisa nraktir pacar…he..he…” tawa kami
tumbur-tumburan… seperti balap motor GP baru start. Tumbur depan, ditumbur lagi
dari belakang, salip kiri banting kanan…. Seru pokoknya.
Perbincangan kami terputus. Ia mengambil tas selempang
warna hitam dari pangkuannya. Memasukkan tapi dari atas kepalanya lalu tali
menyelempang dipundak. Entah apa isinya kecil tas itu, mungkin hanya muat dua
celana dalam, dan odol gigi plus sikat.
“Mas, saya turun sini…”
“Iya…hati-hati…” benar sekali aku seperti melepas
pacarku. Ia melambaikan tangan.
Sesaat sepi…
Sepi …. Mengapa sepi?
Hanya suara gemuruh mesin bus…
Aku diam…
Tak punya teman…
Aku mulai bergrilia mencari teman ngobrol lagi. Aku tak
tahan suasana seperti ini. Jadi teringat yang macam-macam, si Manis, Orang
tuaku saat menyambut kedatangan anaknya yang pengangguran, suasana kampung yang
sepi, aku kangen sama si Manis (lagi-lagi si Manis), sampai aku teringat
kerjaanku di kamar mandi lama-lama… (bersihin bak mandi sambil mencuci closed
dan lantainya, bukan yang pakai sabun itu…)
“Pak, masih jauh sampai Rajabasanya?”
“Lumayan,” hah…? Cuma segitu jawabannya? Jawaban apa itu.
Kata lumayan punya dua arti yang sama
kuat, bisa lumayan jauh lagi, bisa juga lumayan dekat. Itu jawaban mengambang
dan tak bermutu. Atau sebenarnya orang yang ketanyai basa-basi itu tak tahu
wilayah ini, sama halnya aku. Jadi, dengan jawaban LUMAYAN dapat menghilangkan
kemaluannya karena tidak tahu dan dapat juga membuat kesal aku. Yang jelas aku
tanya-nya basa-basi maka ia juga jawab basa-basi.
Barusan aku telah membuka jaringanku untuk dapat teman,
tapi GATOT (gagal total). Bapak itu tak mood
ngobrol denganku. Ia lebih konsen pada batu cincinnya yang sebesar mata sapi,
warnanya kecoklatan batu akiknya, dan dibalut dengan logam warna kuning, entah
emas atau kuningan aku tak peduli. Sebentar-sebentar ia mengelapnya ke paha
sebelah kiri supaya mengkilap. Aku tak terhipnotis dengan akik itu. Lebih
terhipnotis kalau dia mengajakku ngobrol.
Akhirnya aku diam saja. Sudah trauma untuk membuka
obrolan dengan siapapun di dalam bus ini, kecuali orang tersebut yang mengajakku
bicara. Aku akan menikmati bangunan dan semak belukar dalam sisa perjalan
menuju Rajabasa ini.
Aku memandang samping kiri terus, kalau memandang kekanan
yang kujumpai bukan pemandangan yang enak melainkan sepet melihat kumis yang memutih dan kemeja polos warna kecoklatan
sedang menggosok-gosok cincinnya. Fuih… tatapanku terus mengikuti laju bus.
Bagus benar setiap pemandangan selalu berputaar diluar sana, inilah rotasi
mataku. Jadi, seakan-akan bus yang kutumpangi hanya berputar mengelilingi satu
tempat saja. Coba deh…
Entah masih berapa lama lagi aku berada dalam bus ekonomi
yang sesak ini. Suara mesin yang berisik lebih dari sekandang anak ayam dipisah
dari induknya kemarin sore, atau sepuluh kelas Taman Kanak-kanak sedang tidak
ada gurunya. Entah suara apa saja yang gemerecak dari tubuh bus tua ini.
Mungkin As gardannya lecek, mungkin fistonnya hampir terbakar kepanasan,
mungkin ban-nya yang gundul, mungkin remnya sudah blong, mungkin jok yang aku
duduki renyot, mungkin radiatornya tak di isi air, mungkin kalbulatornya kotor
dan penuh kerak tak di servis tujuh tahun, mungkin aku mulai bosan berada di
bus ini, mungkin!
Aku keluarkan TTS dari saku ransel. Mudah-mudahan ia
sanggup menghilangkan kejenuhan ini. bin
salabin hadra kadabra…fuuuuh…
Mulutku menggumam,
“Udang kering….Ebi”
“Kata ganti
orang ketiga… kotaknya ada tiga …Dia…”
“Tiga menurun,
hewan yang hidup di air… ‘udang’ ‘ikan’ ah…bukan juga…sepuluh mendatarnya,
salah satu Negara bagian di Eropa… ah pusing..”
“Panggilan
untuk adik laki-laki ayah… ‘Oom..’ bukan… lima kotak…mungkin ‘Oooom’ ah tak
masuk akal… ‘Paman’ yach benar… tapi kalau adiknya perempuan kan bisa Tante…” begitu seterusnya sampai aku sudah benar-benar pusing otak di
ajaknya mencerna habis-habisan. Kututup TTS itu, lalu kutatap kafernya,
CUANTIK…COY…! Model impor yang pastinya sudah tak asing di mata dan telinga
para penggemarnya. “Myaby” kenal? Tahu? Anda penggemarnya? Suka nonton filmnya?
Hayo…Jujur?
Lalu kumasukan lagi TTS itu kedalam persembunyiannya.
Biarkan artis kafer itu pengap di dalam sana. Aku santai saja tanpa mengerjakan
sesuatu, mataku terasa berat. Sepertinya aku terlupa untuk tidur beberapa hari
ini. Dan sekarang aku ingat. Tapi suasana tak mengizinkan. Aku tak paham kota
Lampung dan masih jauh atau tidak terminal Rajabasa. Aku takut kelewat suatu
tempat yang di bilang Trisno. Simpang tiga sebelum terminal.
Lamat-lamat dalam kekantukan aku mendengar teriakan
kondektur,
“Simpang tiga…simpang tiga…Yang mau meneruskan ke Jambi
dan Palembang…” aku terperajat dan langsung menatap kumis tak rapi telah
berlumut putih, kening melebar, kilat, berminyak,
“Pak, ni simpang tiga sebelum Terminal Rajabasa itu kan?”
“Iya… mau kemana?”
“Mau ke Jambi,”
“Mendingan turun sini,” oh..My God, dia rupanya baik juga. Prasangkaku telah di bantainya
habis, terlebur semuanya, hingga yang timbul dalam otak adalah kebaiakan, Nila
setitik rusak susu seblanga, tapi ini terbalik susu setitik merubah nila
sebelanga. Ia mau menunjukiku yang telah tahu lebih dulu. Tapi lumayan, setidaknya
perkataan si Trisno alias Cinta punya kekuatan yang lebih. Ada pendukung.
“Terima kasih Pak,” aku tak begitu mendengarkan suara
balasan ucapanku. Hanya samar terdengar,
“Hati-hati”
tak kubalas suara itu, tapi sebenarnya ia tak butuh jawaban atau senyuman
dariku. Buru-buru loncat. Jlak….!
No comments:
Post a Comment