Monday, March 31, 2014

CERBUNG: Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia (Part 8)

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
foto by: www.supreme-energy.com
Bakau Heni-Rajabasa, Lampung

Aku meloncat masuk dan duduk di kursi paling belakang.
            “Mau kemana Bang?” kondektur menanyaiku bermaksud meminta ongkos perjalanan, gaya bahasanya memang tak terbaca bila hanya membaca teks pertanyaan ini. Sedikit kugambarkan, orang itu memakai topi warna hitam, memakai kaos merah dan celana setengah tergantung bekas potongan. Di kantongnya terselip handuk kecil untuk mengelap keringat seperti Mang tahu gejrot yang tiap hari lewat depan kos. Ditangannya tertumpuk uang puluhan, lima ribuan, seribuan dan receh lima ratusan. Crik..crik…crik..

            “Ke Rajabasa,” aku langsung mengacungkan lembaran penuh kuman kepada kondektur itu. Sigap dan cermat mengatur kembalian tanpa terselip selembarpun lebihan. Kuteliti kembali uang angsulan[1] itu, lalu kuluruskan semua lipatan hingga uang ditangan ini persis uang baru keluar dari kotak ATM. Kutumpuk rapi lalu masuk perlahan ketempat penyimpanan paling aman. Jangan ngintip…
            Aku masih terdiam mencari tempat yang strategis untuk ranselku. Melirik kanan kiri penuh semua dengan umat. Melihat ke atas tak ada sanggahan seperti dalam kreta api. Melihat ke bawah kursi tempat duduk telah penuh dengan karung-karung, entah apa isinya. Kalau aku boleh tebak, paling juga beras, gula, atau ganja…. Benar-benar jauh tebakanku, meleset.
            “Mas ranselnya ditaruh di bawah sini aja, masih kosong kok,” ucap salah seorang pemuda berambut tak lebih panjang dariku. Di belah tengahnya rapi, lilis, kalau saja cicak jahat buang hajat sama sekali tak nempel di rambutnya. Menggelinding sangking licin dan curamnya. Keningnya melebar bak professor…
            “Oya…” langsung kudatangi dia dan mendorongkan ranselku ke bawah sela-sela kakinya. Ia menggeser-geser pantatnya merapat dengan orang disebelahnya. Aku pun duduk disela-selanya itu.
            “Mau mudik Mas?”
            “Iya…Mas mau kemana?”
            “Saya mau pulang, ke Bandar Lampung. Mudiknya kemana?”
            “Ke Riau…”
            “Wah, berarti ke Rajabasa dulu ya? Hati-hati aja Mas, disana rawan,”
            “Oya…!”
            “Iya Mas,” sedikit tak sopan kalau di ingat. Ia menumbur tanpa ada kode terlebih dahulu. Sebenarnya ia tak bermaksud begitu. Ia hanya ingin memperingatkan aku saja. Ia sepertinya orang baik-baik.
            “Terima kasih Mas, boleh kenalan Mas?” kali ini aku yang mengajak kenalan teman sekejapku di perjalanan.
            “Trisno,” ia menjabat tanganku erat. Kulit tangannya keras, terasa ia memegang tanganku seperti memegang gagang pacul. Erat dan kencang. Aduh sakit…
            Langkah biasa selalu kulakukan untuk menyebutkan nama, tak terpotong sedikitpun. Sama dengan di akte kelahiran dan di ijazah. Panjang dan memakai nama orang tua. Khas bukan?
            Air mukanya mulai terkagum mendengar ucapan namaku yang susah dihafal. Duble ‘D’ yang tak pernah luput dari kefasihan mulutku untuk melafalkan.
            “Mas Fajruddin, kenapa nggak ngambil yang langsung tanpa ke Rajabasa dulu?” ia melafalkan namaku dengan fasih benar, namun logat Jawanya kental terdengar, jadi sedikit ganjil didengar.
            “Hitung-hitung cari pengalaman, juga sedikit irit ongkos,”
            “Irit bagaimana Mas, kan biaya makannya lebih banyak,”
            “Jangan makan,” aku terbahak, menjawab tanpa berfikir panjang, itu sudah andalanku untuk mencari sensasi orang tertawa dan mengikuti gayaku berbicara seperti orang tak makan bangku sekolahan.
             “Wah…bisa mati di jalan kalau gitu nanti,” ia juga mulai terjangkit dengan nada tawanya yang meledak juga.
            “Mas asli Lampung?”
            “Saya lahir di sini, tapi orang tua saya dari Jawa Tengah asli, dulu orang tua saya kan transmigrasi. Terus menetap disini,”
            “Ooooh, disini banyak orang Jawa berarti ya?”
            “Hampir menyeluruh, sampai di pelosok-plosok itu orang Jawa Mas,” pengucapan yang kental itu menjadi terdengar unik. “kalau suku Lampung asli itu sudah hampir punah Mas, di desa saya saja tidak ada suku lain selain orang Jawa, terus ada dua keluarga, yang satu itu orang Padang, yang satu lagi orang Palembang, suku Lampungnya malah tidak ada sama sekali,
            “Ceritanya kan dulu orang dari Jawa itu merantau satu rombongan, terus di tambah dengan transmigrasi. Semakin banyak jadinya. Terus orang asli Lampung sendiri semakin sedikit dan lama-lama kayak sekarang ini sudah hampir tidak ada,” sebenarnya aku merasa kurang yakin dengan ceritanya tentang Lampung itu, tapi setidaknya di Bus itu hampir semua berisi orang Jawa. Berimbang antara percaya dan tidak percaya dalam tubuhku. “Orang tua saya itu aslinya dari Seragen Mas,” tambahnya lagi. Otaknya semakin mendesak untuk bercerita tentang profil keluarganya dengan selengkap-lengkapnya, aku hanya memancing reaksi saja.
            “Terus, kalau gitu tradisi sehari-hari berubah menjadi tradisi Jawa dong Mas?”
            “Ya..iya to…Wong kita orang Jawa,” ucapnya yakin, tanpa alasan penguatpun bakalan percaya.
            “Kalau tradisi Lampung sendiri gimana?” kugarap terus pertanyaan diotak, biasalah obsesi kewartawananku sudah merasuk dari ujung kuku kaki sampai ujung rambut,
            “Tidak tahu saya…” seraya kosong dalam otaknya. Blank!
            “Kalau lihat dari sepanjang jalan tadi Mas, saya banyak melihat Pura-pura di depan rumah penduduk, berarti orang sini itu banyak pemeluk agama Hindu Mas, ya?”
            “Ya, sebagian. Namanya Indonesia. Kita kan tidak membeda-bedakan ras, suku, dan agama. Jadi, ya… itu tergantung kepercayaannya masing-masing, ya too…” Benar sangat  salah...! Kali ini pertanyaanku tak mengena sama sekali. Aku memberi tanda setuju dari kelopak mataku. Ia pasti paham dengan bahasa non verbal seperti ini. Langsung kualihkan pembicaraanku, meralat dengan cara tidak langsung. Mengganti topik pembicaraan. Bahkan tema dan judul ikut-ikutan kuganti semua. Anggap saja ini renovasi…
            “Kalau usaha orang disini itu apa Mas Trisno?” aku sedikit ragu mengutarakan nama itu. Ingin tertawa tapi di tahan. Aku teringat lagu dangdut masa kecilku dulu, ‘aku trisno karo kowe, apa sih artinya?....’ begitu kalau tidak salah bait lagunya. Jadi kalau aku menyebut namanya seperti hendak bernyanyi lagu itu. Kalau dilihat dari segi makna memang bagus, Trisno artinya suka atau cinta. Jadi kalau aku menyebut namanya seperti sedang memanggil pacar saja ‘Cinta…!’ mesra sekali…Puih!
            “Macem-macem, ada yang ladang tebu, lahan karet, nelayan, ada juga yang mulai merintis baru berkebun kelapa sawit, tapi disini yang kebanyakan, menanam tebu Mas, tapi ini sepengetahuan saya. Yang menanam sayur-mayur juga tidak sedikit,”
            “Kalau kebun kopi dimana Mas? Kan, yang terkenal itu kopi lampung Mas, dimana itu Mas?” pertanyaan ini sebenarnya yang aku simpan sejak aku menginjak tanah Lampung ini. Jujur! aku suka kopi dan idolaku kopi lampung, enaknya tak dapat aku ceritakan sekarang. Menyetrum seluruh rangsangan otak sehingga melenting deras menuju garis puncak, padahal garis puncak itu masih ribuan kilo lagi. Mungkin aku termasuk pecandu kopi terberat dari nominasi ini, aku tak pernah memikirkan cafeein yang melekat dalam tubuh. Aku hanya berpikir begini, cafeein hanya bagian kecil dari penyebab matinya diriku, tapi justru yang lebih dahsyat adalah statusku. Bila setatusku lebih baik dari sekarang maka aku dapat hidup lebih lama (tetap dalam hitungan takdir), sedangkan setatusku yang pengangguran ini seakan mengikat kerongkonganku hingga tak bernapas dan 1….2…3… lepaslah sudah nyawaku…
            “Oh…saya tidak tahu tuh Mas, sering sih dengar nama kopi lampung gitu, tapi saya tidak tahu dimana produksinya, terus perkebunannya” tersirat dimukanya rasa malu sedikit, sedikit sekali. Karena dia dilahirkan di kota ini, tapi ia tak tahu apa yang trend di kota lahirnya. Memalukan. Aku alihkan pembicaraan supaya ia tak melamun menahan… (titik ini jangan diartikan negatif ya? Bukan seperti lagu Surti Tejo dari Jamrud ‘Si Tejo melamun menahan …..nya.., diacungkan jari…bla..bla..bla…’)
            “Kalau kayak tebu gitu Mas, dimana produksinya?”
            “Wooo, lha..wong disini ini yang saya tahu ada tiga pabrik kok, ya... di Lampung saja produksinya,” benar-benar kelihatan terbang sana-sini nada logat Jawa asli. Aku suka mendengar logat itu… medok…
            Udara panas merasuk keseluruh bagian bus kelas merakyat ini. Ekonomi, tanpa AC. Cuma kipas angin alami apabila jendela slot dibuka. Angin semena-mena masuk, menggoyang kerah baju, muka serasa merot sana-merot sini tak karuan, mata berkedip-kedip kepedihan, mengutik-utik seluruh bagian rambut seperti berada di tepi pantai hanya saja tak ada suara deburan ombak, tapi diganti dengan kernyiran ban dan suara rem angin yang menghembus seperti Gajah sedang mendengus makanan. Pussssssss!
            “Nanti, kalau sampai Rajabasa jangan turun sampai terminalnya. Nanti di sebelum Rajabasa ada simpang tiga, biasanya disana itu banyak yang turun. Terus kondektur atau sopirnya ngasih tahu kalau itu simpang tiga, yang mau ke Palembang, Jambi dan seterusnya… ribet Mas, kalau turun diterminal. Tarik sana-tarik sini, kita jadi kayak artis,”
Dulu aku pernah mengalami keadaan seperti itu, tapi sudah lama sekali, enam tahun yang lalu. Hanya lain arah saja, sekarang aku kearah Riau sedangkan dulu kearah Bandung. Tapi bukan seperti artis, malah seperti barang yang disebar untuk di perebutkan. Dan hal itu menjadi pelajaran pertamaku tentang dunia carut-marut terminal. Siapa yang tak paham itu…
“Mas, tadi dari mana?”
“Ah saya biasa, jalan-jalan ke rumah temen di dekat pelabuhan sana,”

Gerakan bawaan lahir terkeluar lagi.
            Manggut-manggut.

Bus melaju dengan kecepatan tinggi, meski belum secepat balap mobil F1. Tapi, terasa goyangannya terkadang miring kebkiri kalau sedang menikung ke arah kanan. Orang sampingku harus menahan berat badanku. Giliran menikung kekanan aku terasa remuk terdempet dua orang sebelah kiri. Disengaja mungkin sebagai balas dendam…
             Kami berdua sejenak diam. Diam seribu bahasa. Tatapan kosong terpancar dari sorot matanya menghadap ke arah pintu. Sedangkan aku masih mengarang-ngarang pertanyan untuk mengisi kekosongan. Kurancang rapi lalu terkeluar, begitu yang terfikirkan bukan pertanyaan yang akan keluar… dasar bego… aku mengeluarkan rokok andalanku, lalu menyulut dan menawarinya. Tapi dia tak berkata apa-apa hanya mengaacungkan tangan seperti melambai. Tapi lebih sama dengan tukang parkir saat memberi aba-aba STOP!
            “Mas, kuliah?”
            “Iya, saya kuliah di Bandung dulu, sekarang sudah selesai,” kembali otakku semakin tak menentu, lagi-lagi pertanyaan seperti itu keluar. Feliza juga memulai mananyakan statusku dari kata ini. Uh… tidak ada pertanyaan lain apa yang lebih bermutu? “Kalau Mas, sendiri?” aku merasa gusar dengan panggilan Mas, Mes, Mos, seperti ini. Dia manggil aku Mas, aku panggil dia Mas, jadi siapa yang labih berwibawa disini. Aku lebih suka di panggil nama dari pada seperti ini. Dari awal melangkah dari Bandung namaku telah diganti, dari Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh menjadi Mas…entah Mas Bakso..atau Mas-Mas… Mas kawin juga jadi…
            “Dulu saya kuliah di UNSRI, baru sampai semester tiga saya berhenti. Tidak mampu bayar semester Mas,” lugu kedengaran suara itu. Menjadi prihatin. Aku sendiri kuliah jungkir-balik. Dari pedagang boneka di Gasibu, ikut-ikutan jadi karyawan perusahan keluarga di Cibaduyut. Produksi sendal spon. Disana aku membagi waktu yang lumayan repot. Padahal penghasilan jadi karyawan perusahaan sendal itu sedikit lumayan, dibanding jualan kartu ucapan, cuma hari-hari tertentu dapat terjual. Di perusahaan sendal itu system gajinya lumayan transparan. Systemnya berapa kodi yang sanggup kami selesaikan dalam waktu seminggu, karena setiap hari Sabtu sore kami hitung-hitungan gaji. Wajah ceriaku tampak kalau sedang mengantongi uang hasil keringat seminggu. Tapi aku kalah cepat dengan teman-temanku yang lain. Mereka sanggup menyelesaikan dua sampai tiga kodi  dalam sehari. Sedangkan aku dua sampai tiga kodi itu selama seminggu…
            “Ooooh…saya juga maksain kuliah kemarin itu Mas, saya kerja mati-matian setiap hari untuk makan dan biaya kuliah kalau sisa, tapi dari semester tiga saya dapet beasiswa. Lumayan sedikit membantu jadi saya bisa mebeli buku dan kalau sisa bisa nraktir pacar…he..he…” tawa kami tumbur-tumburan… seperti balap motor GP baru start. Tumbur depan, ditumbur lagi dari belakang, salip kiri banting kanan…. Seru pokoknya.
            Perbincangan kami terputus. Ia mengambil tas selempang warna hitam dari pangkuannya. Memasukkan tapi dari atas kepalanya lalu tali menyelempang dipundak. Entah apa isinya kecil tas itu, mungkin hanya muat dua celana dalam, dan odol gigi plus sikat.
            “Mas, saya turun sini…”
            “Iya…hati-hati…” benar sekali aku seperti melepas pacarku. Ia melambaikan tangan.

            Sesaat sepi…
            Sepi …. Mengapa sepi?
            Hanya suara gemuruh mesin bus…
            Aku diam…
            Tak punya teman…

            Aku mulai bergrilia mencari teman ngobrol lagi. Aku tak tahan suasana seperti ini. Jadi teringat yang macam-macam, si Manis, Orang tuaku saat menyambut kedatangan anaknya yang pengangguran, suasana kampung yang sepi, aku kangen sama si Manis (lagi-lagi si Manis), sampai aku teringat kerjaanku di kamar mandi lama-lama… (bersihin bak mandi sambil mencuci closed dan lantainya, bukan yang pakai sabun itu…)
            “Pak, masih jauh sampai Rajabasanya?”
            “Lumayan,” hah…? Cuma segitu jawabannya? Jawaban apa itu. Kata lumayan  punya dua arti yang sama kuat, bisa lumayan jauh lagi, bisa juga lumayan dekat. Itu jawaban mengambang dan tak bermutu. Atau sebenarnya orang yang ketanyai basa-basi itu tak tahu wilayah ini, sama halnya aku. Jadi, dengan jawaban LUMAYAN dapat menghilangkan kemaluannya karena tidak tahu dan dapat juga membuat kesal aku. Yang jelas aku tanya-nya basa-basi maka ia juga jawab basa-basi.
            Barusan aku telah membuka jaringanku untuk dapat teman, tapi GATOT (gagal total). Bapak itu tak mood ngobrol denganku. Ia lebih konsen pada batu cincinnya yang sebesar mata sapi, warnanya kecoklatan batu akiknya, dan dibalut dengan logam warna kuning, entah emas atau kuningan aku tak peduli. Sebentar-sebentar ia mengelapnya ke paha sebelah kiri supaya mengkilap. Aku tak terhipnotis dengan akik itu. Lebih terhipnotis kalau dia mengajakku ngobrol.
            Akhirnya aku diam saja. Sudah trauma untuk membuka obrolan dengan siapapun di dalam bus ini, kecuali orang tersebut yang mengajakku bicara. Aku akan menikmati bangunan dan semak belukar dalam sisa perjalan menuju Rajabasa ini.
            Aku memandang samping kiri terus, kalau memandang kekanan yang kujumpai bukan pemandangan yang enak melainkan sepet melihat kumis yang memutih dan kemeja polos warna kecoklatan sedang menggosok-gosok cincinnya. Fuih… tatapanku terus mengikuti laju bus. Bagus benar setiap pemandangan selalu berputaar diluar sana, inilah rotasi mataku. Jadi, seakan-akan bus yang kutumpangi hanya berputar mengelilingi satu tempat saja. Coba deh
            Entah masih berapa lama lagi aku berada dalam bus ekonomi yang sesak ini. Suara mesin yang berisik lebih dari sekandang anak ayam dipisah dari induknya kemarin sore, atau sepuluh kelas Taman Kanak-kanak sedang tidak ada gurunya. Entah suara apa saja yang gemerecak dari tubuh bus tua ini. Mungkin As gardannya lecek, mungkin fistonnya hampir terbakar kepanasan, mungkin ban-nya yang gundul, mungkin remnya sudah blong, mungkin jok yang aku duduki renyot, mungkin radiatornya tak di isi air, mungkin kalbulatornya kotor dan penuh kerak tak di servis tujuh tahun, mungkin aku mulai bosan berada di bus ini, mungkin!
            Aku keluarkan TTS dari saku ransel. Mudah-mudahan ia sanggup menghilangkan kejenuhan ini. bin salabin hadra kadabra…fuuuuh…
            Mulutku menggumam,
            “Udang kering….Ebi”
            “Kata ganti orang ketiga… kotaknya ada tiga …Dia…”
            “Tiga menurun, hewan yang hidup di air… ‘udang’ ‘ikan’ ah…bukan juga…sepuluh mendatarnya, salah satu Negara bagian di Eropa… ah pusing..”
            “Panggilan untuk adik laki-laki ayah… ‘Oom..’ bukan… lima kotak…mungkin ‘Oooom’ ah tak masuk akal… ‘Paman’ yach benar… tapi kalau adiknya perempuan kan bisa Tante…” begitu seterusnya sampai aku sudah benar-benar pusing otak di ajaknya mencerna habis-habisan. Kututup TTS itu, lalu kutatap kafernya, CUANTIK…COY…! Model impor yang pastinya sudah tak asing di mata dan telinga para penggemarnya. “Myaby” kenal? Tahu? Anda penggemarnya? Suka nonton filmnya? Hayo…Jujur?
            Lalu kumasukan lagi TTS itu kedalam persembunyiannya. Biarkan artis kafer itu pengap di dalam sana. Aku santai saja tanpa mengerjakan sesuatu, mataku terasa berat. Sepertinya aku terlupa untuk tidur beberapa hari ini. Dan sekarang aku ingat. Tapi suasana tak mengizinkan. Aku tak paham kota Lampung dan masih jauh atau tidak terminal Rajabasa. Aku takut kelewat suatu tempat yang di bilang Trisno. Simpang tiga sebelum terminal.
            Lamat-lamat dalam kekantukan aku mendengar teriakan kondektur,
            “Simpang tiga…simpang tiga…Yang mau meneruskan ke Jambi dan Palembang…” aku terperajat dan langsung menatap kumis tak rapi telah berlumut putih, kening melebar, kilat, berminyak,
            “Pak, ni simpang tiga sebelum Terminal Rajabasa itu kan?”
            “Iya… mau kemana?”
            “Mau ke Jambi,”
            “Mendingan turun sini,” oh..My God, dia rupanya baik juga. Prasangkaku telah di bantainya habis, terlebur semuanya, hingga yang timbul dalam otak adalah kebaiakan, Nila setitik rusak susu seblanga, tapi ini terbalik susu setitik merubah nila sebelanga. Ia mau menunjukiku yang telah tahu lebih dulu. Tapi lumayan, setidaknya perkataan si Trisno alias Cinta punya kekuatan yang lebih. Ada pendukung.
            “Terima kasih Pak,” aku tak begitu mendengarkan suara balasan ucapanku. Hanya samar terdengar,
“Hati-hati” tak kubalas suara itu, tapi sebenarnya ia tak butuh jawaban atau senyuman dariku. Buru-buru loncat. Jlak….!

****BERSAMBUNG****

[1] Kembalian

No comments:

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.