Thursday, February 19, 2009

Beritahu Aku, Doa Untuk Ibu

“Din…hati-hati di sana. Raihlah cita-citamu. Jadilah orang yang berguna.” Ucapan itu yang terdengar di telinganya pagi itu. Ia bersalaman dan mencium tangan Ibunya. Sunarti sangat sedih sekali, dia adalah anak semata wayang. Ibunya berbisik sedikit terputus dengan isakan tangis kecil yang tak kuat lagi ditahan. Udin ingin merantau.
“ Oh…Tuhan berilah anakku keselamatan, jadikan ia orang yang berguna nantinya, kabulkanlah apa yang tersirat di benaknya.” saat itu sang Ibu meneteskan air mata dan mengenai kepala Udin.
“Ibu jangan pernah pikirkan bagaimana aku hidup di sana. Doakan Udin semoga kerasan disana. Doakan juga agar aku sukses dan tak kecewakan Ibu” Ibu hanya menganggukkan kepala.
“Itu pasti terus Ibu laksanakan” seraya Sang Ibu mengelus kepala Udin pertanda sebegitu sayangnya ia pada Udin.
Langkah kakinya tanpa ragu terus berjalan tanpa menoleh kebelakang. Ia harus terhanyut dengan dinginnya pagi dan tetes embun yang sejuk. Ia pun terus berjalan, namun air matanya menetes tanpa disadari, kaki Udin pun bergetar seakan tidak kuat untuk melangkah meski tadinya begitu tegar. Hatinya serasa tidak tega meninggalkan Ibunya sendirian dirumah, lagi pula rumahnya jauh dari tetangga, kekhawatiran Udin sangat membebani perasaan meskipun ibunya pernah berkata,
“Jangan fikirkan Ibu bagaimana disini, tetapi fikirkan bagaimana kamu bisa merubah kehidupan disini.” Sepertinya perkataan itu tidak bisa menenangkan hatinya, meskipun ia mempunyai hati yang keras seperti batu dan pantang menyerah serta tak pernah sedih.
Sang Ibu terus melihat kepergian anaknya sampai termakan oleh tebalnya embun pagi. Setelah kepergian Udin, sang Ibu selalu sedih dan menangis teringat anak tercinta dan nasibnya di kampung orang. Begitu pula Udin selama di perjalanan juga selalu menangis dan merasa bayangan ibunyalah yang duduk di depan kursinya. Kerap sekali ia memanggil orang tersebut.
“Bu” Dan orang itu menjawabnya,
“Ada apa Nak..?” dan ia kembali bertanya pada Udin, “Kamu akan merantau ya…?” tanya lagi orang itu. Dengan nada sedih,
“Ya Bu, tapi aku baru pertama kalinya pisah dari Ibuku, terus Ibuku hanya tinggal sendiri disana Bu…”
“Yang tabah dalam menghadapi cobaan, pasti kamu akan sukses” disela-sela perkataan Ibu itu ia bergumam lirih dan berulang ulang kali.
“Amin….Amin…Amin” mereka terus ngobrol sepanjang perjalanan, namun Ibu itu berhenti di Bandar Lampung, karena ia memang bertujuan ke sana. Kini ia harus sendiri lagi. Ia terus sedih dan sekali-kali tetesan air matanya masih terlihat mengilau.
***

Sunarti selalu sendiri disetiap waktu dan setiap hari-harinya, ia selalu teringat akan keadaan Udin. Memang cinta seorang Ibu tiada bandingnya meski itu tidak terlihat dan hanya bisa dirasakan. Sunarti ingat saat ia memarahi, saat permintaan Udin yang tak ia turuti pada waktu mereka masih bersama-sama. Canda dan tawanya yang membuat Sunarti terus gelisah dan membayangi mimpi buruk setiap malam.
***
Sebelumnya Udin sekolah SMA di pinggiran kota Riau. Setiap pagi ia berangkat kesekolah tanpa rasa malas dan rasa jenuh, meski harus berjalan sekitar dua kilo meter dari rumahnya. Sejuk dan dinginnya udara pagi dan panas matahari siang juga selalu mengiringi saat Udin berangkat dan pulang dari sekolahnya. Tetapi memang wataknya pantang menyerah, maka ia sangat semangat sekali untuk mengukir ilmu di sana, baginya itu suatu tantangan menarik.
Ibunya terkadang mengantar sampai depan rumah saat ia mau berangkat karena kebiasaannya pamit sambil mencium tangan, membuat Ibunya terpanggil untuk selalu mengantar. Memang dari dulu Ibu sangat sayang dengannya dan ia adalah satu-satunya harapan sang Ibu karena Ayahnya telah meninggal sejak ia dalam kandungan. Setiap pagi ia dibekali dengan ucapan ibu,
“Din…baik-baik di sekolah belajar dengan benar.” itu adalah bekal yang selalu dibawa setiap mau berangkat sekolah, karena kalau bekal uang hanya kadang-kadang meski ada juga palingan cukup untuk membeli tiga tahu pada saat itu, air minumlah yang selalu tak lupa ia bawa dari rumah. Tapi ia tak merasa terbebani dengan gaya hidup yang dia anu, dia anak seorang janda miskin yang hanya mempunyai pekerjaan tukang buat kue dan dititipkan kewarung-warung di sekitar kampungnya.
***
Semenjak kelas dua SMA ia mulai nakal dan bergaul tidak karuan karena ia sudah berani bolos sekolah yang terpengaruh dengan teman-temannya dan disana ia hanya bersenang-senang seperti merokok, dan lain-lainnya. Sama sekali ia tak membayangkan betapa Ibunya sangat mengharapkan ia belajar dengan serius. Sepertinya itu tidak seberapa karena ia pun telah punya pacar dan ia selalu jalan-jalan terus tak pernah memikirkan pelajaran dan sekolah meski dahulu ia rajin baca buku rajin belajar dan jarang bermain diluar, baginya itu tidak bermakna dan tak mengandung ilmu.Tapi, sekarang semua telah berbeda, kini ia tidak pernah ingat akan kata-kata Ibunya dan juga bagaimana Ibunya mencarikan uang untuk membayar SSP, membanting tulang untuk memenuhi itu semua.
Setelah lama kelamaan ia pun sadar karena sebentar lagi UN dan dia harus belajar dengan rajin supaya lulus nantinya, seperti harapan sang Ibu. Mulai dari itu pula ia dianggap sombong oleh teman-temannya karena tak pernah bermain bersama mereka dan akhirnya ia pun disebut penghianat. Anggapan-anggapan seperti itu tak membuat ia kembali kejalan sesat, tetapi ia tetap tegar dan ia berusaha untuk merubah segala kegiatan yang baginya sebuah penghianatan terhadap Ibunya. Sampai akhirnya ia tak punya teman dan ia selalu dirumah membantu Ibunya membuat kue dan mengantarkan ke warung-warung langganan. Kegiatan seperti itu ia lakukan dengan Ibunya pada pukul empat subuh, dan mengantarkannya sambil ia berangkat sekolah dan mengambilnya pada sore hari.
Sampailah waktu dia UN. Ia pun lulus dengan nilai yang sangat Ibunya dambakan.
“Mungkin Tuhan mendengar doa saya dan doa anak saya.” gumam Ibunya dalam hati seraya berterimakasih.“Terima kasih Tuhan telah mengabulkan doa kami.” Rasa syukur Ibunya tercurah saat ia selesai solat. Udin sangat gembira sekali karna ia telah bisa membuat Ibunya senang dan tertawa.
***
Setahun lamanya Udin pergi dari kampung halamannya. Sang Ibu terus menanti kabar anaknya tercinta itu. Tapi sepertinya Udin tak pernah ingat lagi akan keadaan Ibunya. Dalam pikiran sang Ibu.
“Mungkin Udin telah hidup mewah atau ia tak ada uang lagi yang sisa untuk kirim surat.” sangat bermacam-macam sekali perasangka yang ada dalam benak sang Ibu yang sangat merindukan anak tersayangnya. Seperti yang dikatakan Plato bahwa rindu merupakan aktivitas jiwa yang kosong. Sedangkan Aristoteles berkata bahwa rindu adalah sebagai akibat dari butanya perasaan yang bersangkutan dari melihat kekurangan yang ada dalam diri orang yang dicintainya. Namun, Al-Jahizh lain pula rindu adalah konsekuensi dari cinta yang berlebihan. Tak mengerti juga sepertinya sang Ibu dengan pendapat tokoh itu. Karena ia tidak pernah baca buku, bahkan ia tidak bisa baca tulis latin melainkan Arab Melayu.
Gunjingan warga kampung mulai terdengar karena melihat Sunarti semakin kurus dan semakin terlihat tua, bertambah pula bebannya dengan gunjingan-gunjingan yang tidak nyaman di telinga. Sunarti selalu tampakkan ketegaran bila ia bersama warga kampung, untuk memperlihatkan bahwasanya ia tidak sedih dan selalu gembira. Sepertinya warga kampung tidak bisa dibohongi dengan tingkahnya, gunjingan demi gunjingan selalu sampai di telinganya.
“Makanya kalau punya anak jangan di suruh kerja jauh-jauh.” tambah warga kampung yang lainnya. “Kalau sudah jauh, apa lagi dia sekarang sudah enak enggak bakalan lagi dia ingat sama Ibunya.” tambahan-tambahan seperti pupuk yang membuat semakin berfariasinya gunjingan itu. “Apa lagi sama orang di kampung, sedangkan dengan Ibunya saja tidak ingat...” ia semakin sakit hati dan tertekan dengan perkataan-perkataan itu dan Sunarti juga terkadang sempat berfikir.
“Apakah yang dikatakan orang kampung itu benar...?” Kebimbangan Sunarti hanya terjawab bila anaknya pulang.
“Kapan Udin akan pulang...?” Pertanyaan yang selalu muncul difikirannya sebagai sosok Ibu yang terkena Virus kerinduan.
***
Lima tahun kemudian. Sunarti terus menanti tanpa ada rasa bosan sedikitpun, meski tanpa ada sedikitpun burung yang membawa kabar tentang Udin. Sungguh sangat malang sekali nasib sang Ibu itu yang merindukan seseorang tanpa balas sepertinya. Ia terus berdoa untuk keselamatan anaknya.
“Tuhan lindungi anakku jauhkan dari segala dosa-dosa, berikan kesehatan dan ketegaran supaya ia sukses.Begitu pula aku yang selau menantinya disini dan berikan pula padanya ingatan tentang aku supaya ia memberi kahabar dan ia ingin pulang dalam waktu dekat ini karena aku sudah sangat merindukannya.” Sunarti terus berdoa setiap ia selesai solat dan setiap kali ia ingat dengan Udin.
***
Udin sebenarnya juga selalu ingat akan ibunya tetapi, apa mau dikata keadaan yang sebegitu rumit dan sebegitu susahnya hidup di kota metropolitan. Untuk makan sehari-hari saja ia sangat sulit apalagi harus mengirim surat atau pulang kampung. Berbagai pekerjaan ia coba dari pengamen, buruh, kuli bangunan sampai calo terminal, dan sekarang ia kerja di sebuah perusahaan. Ia sangat syukur sekali dengan pekerjaan yang sekarang ia jalani meski sebenarnya ia seorang bawahan yang selalu disuruh-suruh terus dan di omeli itu adalah sarapan paginya.
Udin mulai mempunyai keinginan untuk kirim surat dengan ibunya karna ia juga sangat merindukan Ibunya. Malam itu pula ia membuat surat, setelah selesai ia memasukkan ke amplop. Ia pun mencari alamat yang pernah ia catat sebelum berangkat merantau dulu. Ternyata tidak ketemu alamat itu sampai akhirnya ia bongkar semuanya dokumen-dokumen yang ada, tetapi tak ada hasil juga. Ia berkata sendiri pada saat kebingungan.
“Apa alamat itu tercecer saat aku masih tak punya rumah dulu ya..?” kebingungan Udin membawanya tidak tidur semalam penuh. Tak juga alamat itu ia temukan. Hanya mendapat hasil ngantuk pada saat jam kerja dan ia pun mendapat omelan dari atasannya.
***
Setelah beberapa bulan kemudian ia naik pangkat alias naik jabatan, beribu syukur selalu ia panjatkan karena ia memang sangat sadar kalau itu adalah sebagian dari kasih sayang Tuhan kepada hambanya. Merangkaknya jabatan Udin tak lagi lambat tetapi meluncur seperti roket karena tidak lama dari itu ia naik pangkat lagi. Ia selalu di percaya karena dengan kejujuran, ketekunan kerja dan disiplin serta ia yang tak kenal lelah meski itu bukan pekerjaannya ia selalu mencoba membantu semampunya. Atasan yang melihatnya sangat terkesan dan dianggap Udin sanggup untuk mengemban tugas-tugas yang mereka berikan.
Setelah lama kelamaan ia berpikiran kalau ia merasa tidak sempurna jika selalu sendirian dan ia pun merasa kalau begini terus siapa yang memperhatikan dia. Dan ia pun berkeinginan untuk menikah, tetapi ia tak kan lakukan itu tanpa dilihat dan disaksikan oleh sang Ibu yang tercinta, oleh karena itu Udin mulai berencana untuk pulang kampung dan mengajak calon istri, karena Udin ingin menikah disana jika sang Ibu merestui mereka berdua. Ibunya dulu pernah berkata
“Din...jika kau menikah Ibu ingin sekali yang mendampingi dan kau mencari istri yang baik, terus bisa mengerti kamu dan Ibu.” dengan kata itu pula Udin ingin pulang sesegera mungkin tapi ia takut dan cemas kalau Ibunya telah tiada. Ia juga pernah berjanji pada dirinya sendiri,
“Aku tak kan menikah dengan seseorang yang tidak di restui oleh ibu.” Udin pun selalu ingat perkataan itu, baginya sang ibu adalah seorang yang sanggup menjadi dewan juri dalam hidupnya.
Siang ini Udin diangkat sebagai kepala Supervisior di perusahan tempat ia berkerja. Karir Udin pun benar-benar meluncur cepat seperti roket, berawala Sales Marketing dan terus naik sampai dengan sekarang ini, Udin pun selalu sadar kalau ini tidak pernah lepas dari kasih sayang Allah terhadap umatnya dan terkabulnya doa dia dan doa Ibunya. Karena dia tahu persis bahwa Ibunyalah yang terus mendoakan dalam suasana apa pun dan ia yakin kalau Ibunya masih ada dan ia mulai ingin pulang dalam waktu dekat ini. Keyakinan itu timbul saat dia merasakan sentuhan hangat sang Ibu selalu hadir di setiap waktu. Malam itu juga dia bermimpi, dalam mimpinya ia bertemu dengan seorang Ibu yang menangis di balik pohon, Udin pun mendekati ibu-ibu tersebut.
“Ada apa Bu... kok menangis..?” tanya Udin disambung dengan pertanyaan selanjutnya. “Ibu sedang sakit ya..?” Ia bertanya semakin mendesak sang Ibu menjawab dengan sedetail mungkin.
“Ibu lapar..?” Dengan wajah sedih pula. Ia pun menjawab.
“Aku tidak sakit dan tidak lapar aku hanya rindukan anakku yang telah pergi” Udin pun langsung terjaga, sesaat dia langsung berfikir bahwasanya Ibunya sangat merindukan dia seperti seorang Ibu yang didalam mimpinya itu dan ia langsung mencuci muka (wudlu) dan melaksanakan solat tahajud. Ia merasa kalau sebenarnya itu adalah ratapan Ibunya yang sangat merindukan dia, begitu pula dia yang sangat merindukan Ibunya juga.
Sunarti sakit keras dan selalu menyebut-nyebut nama Udin sampai-sampai orang di kampung itu semua bingung. Mereka ingin menghubungi Udin, tetapi mereka semua tidak tahu ia ada dimana dan harus menghubungi siapa juga tidak ada yang mengetahui keberadaan Udin.
“Memang Udin telah lupa dengan Ibunya.” Seorang warga pun menjawab dengan remehnya.
“Biasa...!” Tambahnya dengan hati yang kesal. “Kalau orang sudah enak itu pasti lupa seperti kata pepatah itu.....Kacang lupa dengan kulitnya....Ha..ha..ha...” Perkataan itu keluar dari mulut warga karena mereka sangat kecewa sekali dengan Udin. Mereka adalah warga kampung yang menunggu saat Sunarti sakit.
Udin Pulang. Ia sedang dalam perjalanan. Ia begitu gelisah dan ingin sekali cepat-cepat sampai ke kampung. Ia merasa perjalanan itu sangat lambat sekali seakan-akan pesawat yang ia tumpangi itu sebuah becak yang terhenti-henti dan melewati jalan yang macet. Amelia terus menasehati Udin, melihat kekasihnya begitu gelisah.
“Bang...yang sabar, tenanglah, Ibu pasti tidak apa-apa kok, pasti semua akan baik-baik saja.” Ia meyakinkannya dengan pelukan mesra dan sesekali ia menyandarkan kepalanya di bahu Udin sambil mengelus-ngelus punggung kekasihnya. Namun kegelisahan dan kecemasan Udin seperti tidak terobati dengan pelukan dan elusan Amelia, Udin selalu bertanya-tanya dalam hati.
“Bagaimana keadaan Ibuku...?”
***
Kampung yang ia tuju sudah dekat. Ia sedikit lupa dan bingung dengan jalan-jalan yang berubah, ia baru sadar kalau sebenarnya ia telah meninggalkan kampung sangat lama sekali. Ia bingung sekali dan ia pun memutuskan untuk bertanya tetapi hari itu sangat sepi, ia terus berjalan beriringan dengan Amelia sampai akhirnya ia bertemu seorang pemuda dan ia pun bertanya dengan orang itu.
“Mas..Mas..tau rumahnya Bu Sunarti ga’...?” padahal yang dia tanya itu adalah orang yang baru pulang dari menjenguk Ibunya , jawabnya dengan tatapan tajam kearah kedua orang itu.
“Ini ...rumahnya.” jawab Iwan.
“Makasih...Mas.” sahut dengan tergesa-gesa.Tanya Iwan dalam benaknya sendiri.
“Sepetinya aku pernah bertemu dan melihat orang itu, tapi siapa ya...?. Kalau istrinya perasaan aku belum pernah ketemu.... cantik banget lagi..?” Iwan adalah salah satu teman kecil Udin, dulu mereka sering bermain bersama. Terus bertanya-tanya dalam benak Iwan. Perasangka demi perasangka mulai keluar dari dalam hati.
“Apa dia orang kampung sebelah ya..?.Atau dia seorang dokter yang mendengar ada orang sakit disini terus ia datang untuk menolongnya,... atau dia Udin...? Atau dia saudaranya yang dari Tanjung Balai..” beribu pertanyaan tentang udin didalam benaknya namun tak satu pun yang terjawab dan ia pun memutuskan tidak jadi pulang alias ia kembali lagi kerumah Sunarti untuk memastikan sebenarnya sepasang manusia itu siapa.
Sesampainya disana Udin langsung teriak
“Ibu...ini Udin pulang..!” Ia lari dan tanpa ia sadar melepas sepatunya langsung saja ia masuk kamar kecil tempat Ibunya terbaring selama sakit. Setelah ia masuk, ia sangat heran Ibunya telah dikerumuni banyak orang dan ia masuk dan langsung memeluknya sambil teriak histeris seperti orang yang kesurupan yang tak kenal akan orang yang nimbrung sebegitu banyak
“Ibu.....! Maafin Udin Bu...!”.Mendengar teriakan itu sang Ibu yang tadinya lemah tidak mampu berbicara dan langsung berkata seperti memaksakan kehendak karena suaranya terputus-putus seakan tali pita suaranya sudah rusak dan terbelit-belit.
“Udin....Ibu sangat rindu sama kamu...!” mereka berdua menangis dan Ibunya seakan-akan langsung sehat setelah bertemu dengan anak kesayangannya. Semua warga yang menunggu heran dan calon istrinya pun hanya terdiam dan terpaku menatap kedua insan yang sedang berpelukan itu.
***
Datang Udin mengagetkan dengan memukul bahu sang kekasih tercintanya.
”Hai....melamun aja. Nggak kerasan ya....? Apa nggak enak tempatnya..?” tanya udin sambil tersenyum dan terus memegang bahu Amelia yang duduk di depan teras. Amelia sama sekali tidak membuka mulutnya hanya ia menggelengkan kepala bermaksud menjawab pertanyaan yang super basi baginya.
”Kok keluar..? Bukannya...” potong Udin yang sepertinya ia tahu kalau perkataan itu akan sedikit menyinggung.
”Abang hanya ingin menyuruh adek masuk. Soalnya udara malam tidak begitu bagus. Ntar masuk angin lagi kan berabe jadinya.” nasehat Udin sepertinya dituruti olehnnya dengan gerakan kaki yang melangkah menuju pintu masuk. Tapi sedikit terlihat bahwasanya ada sedikit kesal yang menyelimuti hatinya.
Sebelum tidur Amelia melamun dan berhayal andai saja dia pulang sendiri ke Jakarta tanpa Udin. Rasa putus asa mulai terasa dengan watak dan sifat Udin yang semakin tidak perhatian dengannya. Memang Udin selalu dengan Ibunya. Mungkin karena sangking rindunya dan sudah berapa tahun mereka tidak bertemu seperti sekarang ini.
Namun ego Amelia selalu muncul, hanya dia yang ingin dimengerti dan ingin diperhatikan oleh Udin. Akhirnya Amelia tertidur dengan pikiran yang kalut dan sedikit ada rasa kekesalan. Bla...bla..bla...
Sinar matahari pancarkan sinarnya pertanda kalau hari itu telah dimulai. Amelia mulai ancang-ancang untuk pamitan dengan Udin dan Ibu calon martuanya. Bukanya pintu kamar. Di depan sudah terlihat dua insan yang ketawa-ketiwi menikmati indahnya kebersamaan. Ia merasa iri karena selama ia disana tidak pernah menikmati hal seperti itu malah terpojok terus setiap kali. Dengan bahasa dan lainnya.
Terlihat Amelia keluar sambil membawa koper/ransel.
”Mau kemana ..? tanya sang Ibu kepadanya. Amelia seperti gugup mendengar pertanyaan itu.
”Sa...Saya mau pulang ke Jakarta.” jawabnya, tetapi Udin langsung menumbur perkataannya,
”Mau pulang...? Bukannya kita berangkat kesini bersama maka pulangnya bersama, dong” tekannya supaya Amelia tidak memaksakan diri. Berdiri Udin sambil mendekati dan menarik tangannya masuk kedalam kamar lagi. Setelah didalam ia berbicara panjang lebar dan Amelia pun mengutarakan yang ada dalam hatinya. Udin pun mencoba menjelaskan dengan sedetail mungkin. Sampai akhirnya Amelia menuruti omongan kekasihnya, artinya Amelia tidak jadi pulang.
Beberapa waktu telah terlewati dan Ibu kembali sakit saat Udin berkata mau pergi lagi ke Jakarta. Ibunya tidak bisa pisah lagi dengannya. Ia mengundur lagi maksud hatinya itu. Sedangkan Amelia yang terbiasa dengan kehidupan kota Jakarta tentu saja ia tidak kerasan dengan kehidupan sepi, kumuh, kampungan, banyak nyamuk, pokoknya membosankan sekali baginya. Ia sudah tidak sabar lagi untuk pulang. Tetapi ia berfikir dua kali setelah melihat sang kekasihnya dilanda kesedihan dan kepanikan itu.
Setelah Ibu sembuh Amelia pun memaksakan diri untuk pulang meski harus bertengkar. Udin menjadi kebingungan. Calon istrinyakah? Ibunyakah? Ia juga ingat tentang jodoh sudah tertulis sejak kita lahir dan rezeki itu ada dimana-mana tetapi Ibuku tidak ada dimana-mana hanya satu Ibuku.
”Ya... Tuhan... Jadi, aku hatus berpihak pada siapa?” hatinya gaduh tak hingga.
*****
Cibaduyut, 2007-07-23

1 comment:

Atas Nama Kami Berdua said...

ehm..... cerpennya bagus bangeeeeetttttttttt....

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.