Sunday, January 25, 2009

Berkarya?…. Dikucilkan?…..

Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Zeptian Tauziek adalah seorang remaja yang ingin berkarya lewat dunia kepenulisan. Ia mulai menulis cerpen, essay sampai dengan novel yang tak selesai-selesai ia garap. Ia merangkap pula menjadi seorang mahasiswa disalah satu PT yang letaknya di pinggirang kota Bandung. Namun, kendalanya ialah teman-temannya sendiri yang selalu membutanya tak semangat menulis, bukan membuatnya menjadi lebih bersemangat.
“Awas! Ada penulis, n’tar kita jadi bahan tulisan atau bisa jadi bahan inspirasinya yang tidak karuan atau tentang kekacauan kita, maklumlah sang penulis, cerpenis, kolumis, novelis yang nggak jadi! Ha…ha…,” itulah perkataan sahabatnya yang telah terukir dalam di memorinya. Tak hanya itu saja, ketika mereka bercanda juga tak pernah luput untuk menyinggung dan meledek.
Coba kita berpikir sejenak. Mereka melakukan itu ada beberapa faktor kemungkinan, yang pertama, sebenarnya teman-teman kita itu ingin memberi semangat agar kita terbakar untuk berkarya lebih bagus lagi dan lebih banyak . Kedua, mereka merasa iri atau dengki karna mereka tak bisa berkarya seperti kita atau bisa saja ia juga seorang penulis yang takut tersaingi. Ketiga, itu adalah cobaan, apakah kita sanggup untuk berkarya terus atau kita cukup sampai disitu saja?”. Keempat, mereka ingin menghentikan perbuatan kita. Namun, ini hanya sebuah perkiran Zeptian yang begitu kesal saat itu.
Ketika seseorang berkarya namun dikucilkan maka, banyak orang yang akan mempertimbangkan untuk berkarya dan menggali bakat. Zeptian sempat berkata sendiri waktu itu,
“Apa setiap penulis dan orang yang telah sukses oleh karyanya juga merasakan hal yang sama?…. Dikucilkan?… Atau diberi semangat?…” ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak tahu. Salah seorang gurunya dulu pernah memberi pembakar padanya,
“Hidup tanpa karya sama dengan mati.” Zeptian akhirnya duduk sendiri disebuah kantin depan kampusnya. Ia masih merenung.
Pramoedya Ananta Toer alias Pram, penulis beberapa buku, novel, roman, dan masih banyak yang lainnya. Dia disebut-sebut sebagai sejarawan karna novel dan roman-nya yang terus mengalir tentang sejarah. Namun, dia hampir menghabiskan hidupnya di trali besi alias penjara karna karyanya. Yang masih teringat “Lebih baik diasingkan dari pada menganut kepada kemunafikan,” itulah yang tertulis disalah satu bukunya. Dan Khairil Anwar yang mengatakan dalam bait puisinya “Sekali berarti setelah itu mati,” apa itu juga bisa dibilang jalan hisdupnya karena ia telah berarti dengan karyanya lalu ia meninggal? Atau tokoh yang lain seperti Che Guivara yang dikenang setelah ia mati. Dan dalam film Veronica. G, setelah ia mati baru terlihat perubahan itu? Ah….!
Ketika Zeptian merenung tiba-tiba ia ingat bahwasanya seorang filosof Yunani Sokretes, rela di hukum mati karena pendapat dan teorinya. “Apa aku harus menyerah?”
***
Tidak hanya itu yang menjadi halangan Zeptian dalam menulis. Publikasi. Ia masih merasakan ejekan teman-temannya. Namun disisi lain ia masih minder untuk mengirimkan lagi hasil karyanya di media karna dia telah berulang-ulang kali mengrimkan ke media nasional atau majalah ia selalu tak memperoleh hasil. Ia seperti prustasi. Jalan satu-satunya adalah media kampus dan komunitas yang mampu memberi jalan kepada karyanya. Menulis.
Terkadang ia sedikit me-review seluruh kerja kerasnya dulu,
“Apa yang aku kerjakan semua telah berjalan dengan maksimal? Atau masih tergolong minimal? Mungkin itu kendala tulisanku susah masuk ke media, karena tulisanku belum layak dikonsumsi oleh para masyarakat? Siapa yang bisa mendewanjuri seluruh tulisanku?” ia bengong. Tak lama seorang teman menepuk dari belakang sambil menaruh sebuah buku di pahanya yang merapat dengan kursi.
“Ni… buku antologi pusi gua udah terbit!” ujar teman sekomunitasnya. Darahnya seakan terhisap habis oleh desusan suara yang keluar dari temannya itu. Ia merasa kalau dirinya tak berarti apa-apa lagi.
“Elo hebat Tu’, gua ngaku kalah ma elo,” ucap Zep sambil membaca judul buku antologi itu “Kado Luka Untuk Cinta” dan dibawahnya terlihat jelas seorang nama penulis Restu Ashari Putra, temannya. Dalam benaknya berdetak kencang “Aku pasti bisa sepertinya, aku tak bisa, entahlah….” mereka berdua saling ngobrol meski Restu terus menceritakan tentang bukunya itu. Ia semakin tak tahan.
Setelah Zep kembali kerumahnya ia langsung menyalakan komputernya. Novel yang ia garap beberapa bulan lalu masih masih berbentuk file, ia tak mau lagi meneruskan. Namun kali itu ia buka kembali dan membacanya. Tak lama ia shut down komputer yang berada di hadapannya itu. Sambil menarik sebuah novel lalu berbaring,
“Kapan aku bisa menyusun buku-buku karyaku di etalase ya?” ia tersenyum sendiri seakan dunia sedang menertawakannya habis-habisan.
***
Beberapa waktu kemudian ia duduk dikantin kampus yang tak jauh dari kelasnya. Restu dan Yoko mendekatinya, “Elo, ngapain sih sering menyendiri terus akhir-akhir ini?” Yoko menyapa sambil mengulurkan tangan. “Enggak…enggak ah, perasaan gua biasa-biasa aja dari kemarin,” tangan Yoko disambutnya lalu ia mengulurkan ke Restu yang telah duduk disampingnya.
“Eh… gua lagi mau nyari penerbit untuk nerbitin puisi-puisi gua,” sesegra mungkin ia tersentak jantungnya seperti sedang terhantam oleh batu besar yang terbongkar dari gunung. Sesak.
“Zep, elo kapan?” Restu menarik sebuah gelas yang berisi air mineral. Ia terdiam.
Zeptian pun pulang langsung mencari File yang sempat ia buka bebrapa waktu lalu. Baginya seluruh kendala yang ia hadapi kemarin itu hanya cobaan namun tantangan untuk membawaku menulis lagi adalah Yoko dan Restu.
“Meski aku dikucilkan dari orang yang sesat tapi aku harus di dekati oleh orang hebat, Pram saja sanggup hidup di trali selama puluhan tahun. Aku ini belum apa-apanya!” ia terdiam sejenak, “Aku harus menulis lagi. Mungkin ini yang akan membawaku kedalam dunia yang lebih menarik.”
***
Kategori 1 dalam lomba menulis www.menulismudah.com, 2008.

3 comments:

Richa Febrina said...

aq belum baca tulisannya, cuma lihat pemilik blognya aja, hemmmm....tuh kan dibandingin sama yang lalu....sekarang lebih enakan di pandangnya, kalo rapih kan jauh lebih baik...ya nggak say...?

Richa Febrina said...

aq udah baca, keren,dlm melakukan sesuatu hal terkdang memang perlu suatu dorongan n' penymangat, siapa pun itu, biar gak mandeg ya....he...he...

Anonymous said...

ok deh

S i n o p s i s Novel: Mencari Aku Waktu Dan Rahasia Dunia

Mencari Aku, Waktu, dan Rahasia Dunia adalah judul dari novel ini. Novel ini menceritakan tentang seorang anak muda dalam proses pencarian. Tokoh utamanya adalah ‘Aku’ dengan nama Fajruddin Saleh bin Tjik Saleh dengan karakter pemuda yang idealis dan memiliki seorang kekasih yang berbeda kepercayaan (ia memanggil kekasihnya itu si Manis, nama aslinya Resita Maulia). Tokoh utama adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik di salah satu universitas di Bandung yang sedang bercerita tentang bagaimana jika ia telah memperoleh gelar sarjana nanti. Ia sedang menjawab sebuah pertanyaan dari temannya (Ivan), di sebuah Pantai Kuta Bali. Novel ini banyak menggunakan pengibaratan, ini kutipan paragraph di dalamnya: Sekarang siang sudah terbentang seperti bioskop yang baru selesai filmnya. Byar...! nyala lampunya. Terang jadinya. Sedangkan orang yang sedang bercumbu langsung berusaha bertingkah seperti orang baru pulang dari masjid, kaki-tangannya langsung kembali kehabitatnya dan buru-buru mengancing segala kancing, celana juga baju. Merapikan rambut yang sama-sama kusut, tak jelas penyebabnya. Mengelap seluruh bagian tubuh yang basah, tak tahulah kalau bagian lain yang basah, di elap atau dibiarkan. Hussss... adegan kegelapan sudah usai! Mirip sekali perbuatan itu dengan penumpang dalam bus ini, ada yang mengusap air liur yang meleleh dibibir, ada yang memoles-moles mata belekan, dan merapi-rapikan rambut yang kusut dan baju yang semerawut, dikancingnya kembali. Masa tidur telah usai. Mau tahu kenapa? Sebab banyak orang menggunakan kegelapan sebagai ajang aji mumpung! Mumpung orang tidak tahu. Mumpung orang tak ada yang lihat, saya boleh melakukan apa saja, dll, dan dll. Maka terjadilah....adegan setiap kegelapan datang. Tokoh utama akan pulang kampung bila telah selesai kuliah nanti karena tak mampu untuk terus menyandang status pengangguran. Nah, dalam perjalanan pulang itu ia memperoleh banyak pengalaman dari seorang fotografer, seorang wanita yang sudah berkeluarga, keluarga perantauan dan seorang petualang. Pada setiap pertemuan ia selalu ngobrol dan bercerita. Jadi novel ini mengisahkan bercerita lalu dalam cerita itu ada lagi cerita. Jidi, novel ini sengaja ditulis dengan penuh canda, kata-kata yang lucu dan terkadang terdengar norak dan canggung di telinga. Sebab saya ingin menghibur, agar setiap pembaca dapat tertawa di samping keseriausannya mengolah semua pesan yang tersirat dalam isi novel. Bukan hanya itu saja isinya, tokoh utama juga meneruskan ceritanya dengan Ivan dengan lamunan. Dalam lamunan tokoh utama ia setelah di kampung halaman, ia mendirikan sekolah gratis untuk buta huruf. Dan sampai ia bekerja di sebuah instansi pemerintahan, kemudian ia kembali lagi ke Bandung untuk mencari impiannya. Ending dari novel ini sengaja saya buat menggantung, agar pembaca yang meneruskan kisahnya… Pesan yang ingin saya sampaikan dalam novel ini yaitu:  Sebuah kisah perjalanan. Disana saya ingin sekali menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan dan penuh pencarian. Pencarian didunia ini tak lain adalah pencarian kepuasan. Sebab, kepuasan adalah tingkat teratas dari semua level pencarian. Adakah seseorang memperoleh kepuasan? (sudah punya motor ingin mobil, punya istri satu pingin dua dan sebagainya), dan disetiap pencarian tak luput dari sebuah perjalanan baik itu perjalanan sebenarnya atau hanya perjalanan pikiran.  Saya juga ingin menyoroti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran di Negara kita yang tercinta ini. Ada satu anekdot “Yang ahli dan bahkan sarjana saja pengangguran apa lagi tidak sekolah dan tak ahli” lapangan pekerjaan di Indonesia memangsungguh sulit. Dan bahkan tingkat pengangguran semakin hari semakin mertambah.  Pendidikan gratis buta huruf. Saya ingin menyinggung tentang pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab banyak daerah terpencil di Indonesia masih belum tahu huruf alias buta huruf. Contoh di wilayah Papua berapa persen orang yang dapat membaca dan menulis?, lalu di wilayah Jambi ada yang dinamakan Suku Anak Dalam (Kubu), nah suku ini bisa dikatakan, orang yang tak terjamah oleh huruf. Masih banyak sekali penduduk Indonesia yang tak dapat membaca dan menulis sebenarnya.  Tokoh utama kembali lagi kekampung dan setelah itu kembali lagi ke Bandung. Itu adalah pesan yang sangat dasar, bahwasanya kehidupan adalah sebuah siklus waktu. Dimana ada kelahiran ada pula kematian, dimana ada kejayaan juga ada keterpurukan.