Oleh: Mulyadi Saputra (Moel)
Di
Pelabuhan Bakau Heni
Suara
teriakan menyambutku, melenting suaranya, menguak-nguak. Calo dan kondektur bus
adu tarik suara. Hayo, siapa yang paling lantang suaranya? Jika ada dewan juri
yang menilai maka akan tahu siapa suara terlantang pagi ini. Sayang semua orang
sibuk dengan kesibukannya masing-masing…
Aku
yang paling santai, saat tasku ditarik sana-tarik sini aku hanya menggeolkan
pundakku. Lantas tas besarku bergerak dan tangan-tangan calo dan kondektur
terpelanting semua. Hebat juga rupanya, padahal aku hanya lewat Banten saja,
tak mampir atau berguru disana. Tapi lenggokan tasku mampu melepaskan tangan
segar mereka semua.
“Mau
kemana Boss?” baru kali ini aku di panggil Boss dengan duble ‘S’ di
belakangnya. Jadi ingat merk celana jeansku
dulu. Warnanya biru belel, di belikan Bapak sewaktu ia ke Pasar Kaget hari
minggu pagi di kampungku. Bagus sekali celana itu, aku rasanya nyaman sekali
memakainya. Hati ini rasanya enggan untuk melepasnya, meski hanya sebentar,
mandi. Setelah mandi aku buru-buru memakainya lagi. Celana itu di belikan saat
seminggu sebelum lebaran, dan dari hari pertama lebaran sudah kupakai sampai
hari ketujuh tak lepas-lepas. Jalan-jalan, makan, tidur, buang air kecil/besar
(hanya di plorotkan saja), sampai sholat di Masjid. Aku belum tahu hukum najis
Muhalladoh, Mutawassitoh, atau najis Muhaffafah, yang penting masih bau baru
itu tandanya masih bersih.
“Nggak
kemana-mana, cuma jalan-jalan aja Boss,” balik kupanggil Boss juga dia. Datang
lagi temannya langsung sekonyong-konyong menarik tanganku mendekati bus reot.
“Ke
Bandar Lampung kan?”
“Enggak…!
Saya cuma jalan-jalan aja kok,” dua kali sudah aku berbohong, tapi ini
benar-benar darurat. Aku bela diri supaya tak tertipu olehnya. Sebelum di tipu
lebih baik menipu duluan. Salah itu. (ralat).
Aku
berjalan lagi lambat menuju warung kopi di depan jalan. Hanya numpang duduk
saja tanpa memesan apa-apa. Wanita penjaga warung itu melihat-lihat, siap untuk
di panggil untuk pesanan, teh panas, teh es, kopi, atau minuman yang lain asal
jangan air putih gratisan.
Setelah
semuanya reda aku berjalan melenggang sampai jalan besar kearah Bandar Lampung.
Lumayan jauh, sekitar satu kilometer dari pelabuhan yang menyesakkan itu.
Kupanggilah bus yang bertuliskan didepannya ‘Bakau Heni-Raja Basa’. Tanganku
melambai seperti orang mau nyawer saat ada acara hajatan nikah dan mengundang
hiburan Dangdut. Biduan itu siap untuk disawer, dan uang saweran itu melesat
masuk ke dalam BHnya. Gatel. Menurut kesehatan itu sangat dilarang sekali,
menyimpan uang di bagian vital. Baik itu laki-laki atau perempuan, karena uang
adalah sumber kuman. Dari berbagai jenis tangan menikmati kelembutan kertas
berharga itu, dari tangannya penuh kudis sampai tangan yang lembut seperti
tangan Feliza tadi. Hi…mengkirik…
***BERSAMBUNG***
No comments:
Post a Comment